Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chairil Hamdani, supervisor
"Morbiditas kanker payudara kerap menempati peringkat pertama atau kedua di antara kanker pada wanita di berbagai negara. Taksiran morbiditas kanker payudara di seluruh dunia tahun 2000 lebih kurang satu juta wanita. Morbiditas di negara-negara Asia, yang semula disangka rendah, mulai mendekati pola Eropa dan Amerika. Mortalitas total kanker payudara menetap, belum menunjukkan penurunan nyata Taksiran mortalitas tahun 2000 di seluruh dunia lebih kurang 400.000.
Morbiditas kanker payudara berdasarkan data 13 senter patologi di Indonesia tahun 1992 menempati peringkat kedua di antara kanker pada wanita, dengan Age Standardized Cancer Ratio 17,01 (jumlah seluruh kanker pada wanita tahun 1992 ialah 13673). Kanker payudara pada wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 1998 sebanyak 107 kasus (frekuensi relatif 15,4%). Registrasi berdasarkan populasi di Semarang (1985-1989) menunjukkan rerata Age Standardized Incidence Rate setiap tahun 18,69/100.000 populasi. Perkembangan mutakhir menunjukkan pergeseran pemecahan masalah kanker payudara. Di ufuk cakrawala, terbit upaya pengendalian kelompok risiko. Penemuan kelompok risiko tinggi, antara lain ialah penentuan wanita yang menerima penurunan rnutasi gen alur benih, dan penetapan lesi prakanker sebagai sasaran kemoprevensi.
Kebijakan umum dewasa ini ialah skrining/deteksi dini untuk menurunkan mortalitas. Deteksi dini dilaksanakan dengan program Sadari (periksa payudara sendiri) dan skrining mamografi. Pelaksanaan skrining mamografi dengan sasaran populasi wanita berisiko membutuhkan biaya, peralatan dan sumber daya manusia profesional. Cakupan diperluas dengan pemanfatan biopsi jarum halus sebagai sarana deteksi dini.
Pemeriksaan sitologik berpotensi mengurangi kelambatan penanganan. Pada unit "klinik tumor payudara", beranggotakan dokter spesialis bedah, dokter spesialis radiologi dan dokter spesialis patologi, peran bersama menghasilkan tridiagnosis sebagai diagnosis penentu prabedah. Sasaran terbaik ialah kanker minimal, berupa lesi payudara yang tak teraba. Beberapa penulis mulai mengupas peran sitologi untuk mendeteksi lesi prakanker.
Diagnosis sitologik, yang bertumpu pada evaluasi gambaran morfologik sel, pada umumnya menunjukkan ketepatan tinggi. Sakaguru evaluasi sitomorfologik ialah perubahan nukleus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D21
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryono D. Pusponegoro
"Dengan kemajuan teknologi dan ekonomi maka di Indonesia, seperti juga di negara maju maupun berkembang lainnya, kejadian kecelakaan pun meningkat, terutama kecelakaan lalu lintas (KLL). KLL selalu berisiko menyebabkan trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Namun penanganan trauma ini kurang memperoleh perhatian para dokter, sehingga sering dikatakan bahwa trauma merupakan the neglected disease. Keadaan terlihat pada data di bawah ini.
Menurut data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1986, pada tahun tersebut terdapat 2.500.000 orang Indonesia yang mendapat trauma, di antaranya 125.000 dirawat di Rumah Sakit (RS) dan 50.000 meninggal, tetapi hanya 4000 yang meninggal di RS. Jadi ada 46.000 orang Indonesia yang meninggal karena kecelakaan, yang meninggal dalam perjalanan ke RS, di tempat kejadian, atau di tempat pengobatan lain - lainnya. Menurut SKRT 1991, secara keseluruhan trauma merupakan penyebab kematian nomor empat di Indonesia setelah penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular, dan penyakit degenerasi seperti kanker. Kalau dipilah menurut kelompok umur, tampak bahwa kelompok umur 5-14 tahun trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, kelompok umur 15-24 tahun merupakan penyebab kematian nomor satu karena trauma, kelompok umur 25-34 tahun penyebab kematian nomor dua karena trauma bersama dengan ibu hamil dan kelompok umur 35-44 tahun penyebab kematian nomor tiga.
Kematian karena KLL di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun; pada tahun 1991 tercatat 9000 kematian meningkat menjadi sekitar 11.000 pada tahun 1994. Pada tahun-tahun yang sama, kematian akibat KLL di Jakarta meningkat dari 345 sampai menjadi 582 orang. Namun di Kamar Jenazah Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM)/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) kematian akibat KLL dilaporkan meningkat dari 1201 pada tahun 1991 menjadi 1580 pada tahun 1994. Di Jakarta diperkirakan sekitar 850 sampai 1000 pasien trauma karena KLL yang pada waktu polisi tiba di tempat kejadian masih hidup, meninggal dalam perjalanan ke RS, di unit gawat darurat (UGD) atau di unit rawat intensif (ICU). Ini menujukkan bahwa pelayanan gawat darurat pra-RS kita masih buruk, meskipun Perhimpunan Spesialis Bedah "IKABI" (IKABI) sudah memprakarsai diadakannya ambulans gawat darurat 118 (AGO 118)4?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D480
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Effendi
"ABSTRAK
Latar Belakang
Cisplatin adalah obat yang sering dipakai sebagai kemoterapi kanker ganas padat. Akan tetapi, efek nefrotoksisitas masih merupakan salah satu masalah. Telah banyak usaha untuk mengurangi nefrotoksisitas ini, antara lain pemberian cairan yang adekuat, pemakaian diuretik, dan amifostin. Senyawa sulfur sudah dikenal mengurangi toksisitas terhadap logam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tumbuhan asli Indonesia yang berkhasiat mengurangi efek toksisitas terhadap cisplatin.
Metode dan Cara
Penelitian ini memakai hewan coba taus jenis Sprague Dawley. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap yaitu, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk mengidentifikasi tumbuhan berkhasiat obat (TBO), sedangkan penelitian utama bertujuan untuk uji renoprotektif.
Pada penelitian pendahuluan dipakai 3 bahan, yaitu petai, bawang putih, dan jengkol. Berdasarkan angka kematian pada penelitian pendahuluan, ditetapkan bahwa petai yang akan dipakai pada penelitian renoprotektif.
Pada penelitian utama dipakai 30 ekor tikus SD yang mendapat dosis petai 200 mg/kg BB, 800 mg/kg BB, dan 3200 mg/kg BB yang diberikan selama 14 hari berturutturut secara oral, dan pada hari ke-15 diinduksi dengan cisplatin 5 mg/kg BB T. Pada penelitian ini dipakai amifostin sebagai kontrol positif dan cisplatin sebagai kontrol negatif. Pada hari ke-18 diperkirakan terjadi gagal ginjal akut (GGA), selanjutnya dilakukan nekropsi dan pengukuran parameter ureum, kreatinin, MDA, GSH, dan histopatologi ginjal.
Hasil
Pada penelitian uji renoprotektif ditemukan bahwa pada dosis 3200 mg ekstrak petai mempunyai daya renoprotektif yang setara dengan pemberian amifostin 200 mg. Hasil pengukuran menunjukkan kadar MDA lebih rendah dan GSH yang lebih tinggi, serta kadar ureum dan kreatinin yang tetap normal pada dosis 3200 mg yang berbeda bermakna dengan kontrol negatif.
Simpulan
Ekstrak petai dosis 3200 mg mempunyai efek renoprotektif.

ABSTRACT
Background
Cisplatin is a frequently used chemotherapeutic agent on solid tumor. But in the other side, nephrotoxicity of cisplatin is still a major problem. Many efforts have been applied in order to reduce this nephrotoxicity, e.g. adequate fluid rescusitation, diuretic agent, and amifostin. Sulphur compound is known to reduce metal toxicity. The aim of this study is to find an Indonesian origin plants, which is effective to reduce nephrotoxicity effect of cisplatin.
Methods
This study use Sprague Dawley rats, and is divided into 2 phases, preliminary and main-study. The aim of the preliminary research is to identify medicine effective plants (MEP) and the main-study is to proof renoprotective effect of the plants. Plants that were used in the preliminary study were petai, garlic and jengkol. According to the death prevalence in the preliminary study, petai is used in the renoprotective study.
Thirty rats were used in the main study which were given petai 200 mg/kg BW, 800 mg/kg BW, and 3200 mg/kg orally for 14 days, and in the 15th day were induced with cisplatin 5 mg/kg BW IP. In the main study, amifostin were used as positive control and cisplatin were used as negative control. ARF was predicted in the 18th day, necropsy were performed and level of ureum, creatinin, NIDA, GSH and histopathology of the kidney were taken as parameter.
Result
On the renoprotective study were found that 3200 mg petai, extract has renoprotective effect equivalent to 200 mg amifostin. Low level of MDA, higher level of GSH and normal range of ureum and creatinine from the 3200 mg group were found significantly differ from negative control group.
Conclusion
3200 mg petai extract has renoprotective effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D597
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Effendi
"Cisplatin adalah obat yang sering dipakai sebagai kemoterapi kanker ganas padat. Akan tetapi, efek nefrotoksisitas masih merupakan salah satu masalah. Telah banyak usaha untuk mengurangi nefrotoksisitas ini, antara lain pemberian cairan yang adekuat, pemakaian diuretik, dan amifostin. Senyawa sulfur sudah dikenal mengurangi toksisitas terhadap logam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tumbuhan asli Indonesia yang berkhasiat mengurangi efek toksisitas terhadap cisplatin.
Metode dan Cara
Penelitian ini memakai hewan coba taus jenis Sprague Dawley. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap yaitu, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk mengidentifikasi tumbuhan berkhasiat obat (TBO), sedangkan penelitian utama bertujuan untuk uji renoprotektif.
Pada penelitian pendahuluan dipakai 3 bahan, yaitu petai, bawang putih, dan jengkol. Berdasarkan angka kematian pada penelitian pendahuluan, ditetapkan bahwa petai yang akan dipakai pada penelitian renoprotektif.
Pada penelitian utama dipakai 30 ekor tikus SD yang mendapat dosis petai 200 mg/kg BB, 800 mg/kg BB, dan 3200 mg/kg BB yang diberikan selama 14 hari berturutturut secara oral, dan pada hari ke-15 diinduksi dengan cisplatin 5 mg/kg BB T. Pada penelitian ini dipakai amifostin sebagai kontrol positif dan cisplatin sebagai kontrol negatif. Pada hari ke-18 diperkirakan terjadi gagal ginjal akut (GGA), selanjutnya dilakukan nekropsi dan pengukuran parameter ureum, kreatinin, MDA, GSH, dan histopatologi ginjal.
Hasil
Pada penelitian uji renoprotektif ditemukan bahwa pada dosis 3200 mg ekstrak petai mempunyai daya renoprotektif yang setara dengan pemberian amifostin 200 mg. Hasil pengukuran menunjukkan kadar MDA lebih rendah dan GSH yang lebih tinggi, serta kadar ureum dan kreatinin yang tetap normal pada dosis 3200 mg yang berbeda bermakna dengan kontrol negatif.
Simpulan
Ekstrak petai dosis 3200 mg mempunyai efek renoprotektif.

Cisplatin is a frequently used chemotherapeutic agent on solid tumor. But in the other side, nephrotoxicity of cisplatin is still a major problem. Many efforts have been applied in order to reduce this nephrotoxicity, e.g. adequate fluid rescusitation, diuretic agent, and amifostin. Sulphur compound is known to reduce metal toxicity. The aim of this study is to find an Indonesian origin plants, which is effective to reduce nephrotoxicity effect of cisplatin.
Methods
This study use Sprague Dawley rats, and is divided into 2 phases, preliminary and main-study. The aim of the preliminary research is to identify medicine effective plants (MEP) and the main-study is to proof renoprotective effect of the plants. Plants that were used in the preliminary study were petai, garlic and jengkol. According to the death prevalence in the preliminary study, petai is used in the renoprotective study.
Thirty rats were used in the main study which were given petai 200 mg/kg BW, 800 mg/kg BW, and 3200 mg/kg orally for 14 days, and in the 15th day were induced with cisplatin 5 mg/kg BW IP. In the main study, amifostin were used as positive control and cisplatin were used as negative control. ARF was predicted in the 18th day, necropsy were performed and level of ureum, creatinin, NIDA, GSH and histopathology of the kidney were taken as parameter.
Result
On the renoprotective study were found that 3200 mg petai, extract has renoprotective effect equivalent to 200 mg amifostin. Low level of MDA, higher level of GSH and normal range of ureum and creatinine from the 3200 mg group were found significantly differ from negative control group.
Conclusion
3200 mg petai extract has renoprotective effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D780
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library