Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Purwaning Rahayu
"Toluena sudah diketahui sebagai toksikan yang dapat menimbulkan toksisitas pada manusia sehingga ditetapkan nilai ambang batas pada pekerja sebesar 50 ppm. Hingga saat ini data mengenai efek pajanan toluena dibawah nilai ambang batas terhadap gangguan pada tingkat molekuler masih terbatas. Penelitian mengenai dosis toluena dibawah nilai ambang batas masih diperlukan sebagai upaya perlindungan yeng lebih baik terhadap pekerja. Penelitian toksisitas pada dosis toluena yang lebih rendah dari nilai ambang batas dapat dilakukan pada hewan coba. Rancangan penelitian eksperimental murni terhadap 30 ekor tikus Wistar jantan dengan tingkat pajanan1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml, dan kontrol. Pajanan dilakukan selama 14 hari berturut-turut dengan durasi 4 jam per hari, dengan mengalirkan toluena cair ke dalam chamber yang dipertahankan pada jumlah yang tetap. Analisis data dilakukan untuk memperoleh perbandingan jumlah sel Sertoli dan kadar malondyaldehide (MDA) testis antar kelompok penelitian dengan uji ANOVA, untuk mengendalikan faktor suhu dan kelembaban lingkungan digunakan uji MANOVA. Jumlah sel Sertoli pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol masing-masing nilai memiliki nilai mean 2,35 per 10 lapang pandang; 4,47 per 10 lapang pandang; 4,08 per 10 lapang pandang; 5 per 10 lapang pandang; dan 4;83 per 10 lapang pandang yang secara statistik tidak bermakna pada p=0,067. Kadar MDA testis pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol untuk masing-masing kelompok memiliki nilai median 0,10 mmol/mg; 0,9 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; dan 0,07 mmol/mg, yang secara statistik tidak bermakna pada nilai p= 0,856. Disimpulkan dosis pajanan kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak menyebabkan perubahan kadar MDA testis dan penurunan jumlah sel sertoli.

Toluene has known as toxicant that can cause human toxicity which the treshold is 50 ppm. Nowadays, we have lacked data of effects of toluene exposure below the treshold that can lead mollecular disturbances. The experiment of toluene exposure below the treshold is necessary to prevent the workers. The experiment of toluene toxicity by toluene exposure below the treshold can do in animal. The true experimental study of 30 male Wistarrats, administered by 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; and 12,8ml toluene liquid and control. Exposure given by flows the liquid toluene on the chamber with the duration of 4 hours per day, for 14 consecutive days. Statistical analysis to comparation the Sertoli cel and malondialdehyde (MDA) level in each group do by ANOVA test and MANOVA test do to control the environment. Sertoli cel on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each mean 2,35 per 10 field of view; 4,47 per 10 field of view; 4,08 per 10 field of view; 5,00 per 10 field of view; and 4;83 per 10 field of view, which is not significants in p=0,067. The testicular MDA level on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each median 0,10 mmol/mg; 0,09 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; and 0,07 mmol/mg, which is not significants in p=0,856. Conclutions the exposure dose less then equal to 12,8 ml cannot lead the testicular MDA level and decreasing of Sertoli cells
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Helenasari
"Toluena yang bersifat lipofilik dapat menyebabkan gangguan irama, fibrosis jaringan interstitial serta pembentukan vakuola lipid. Pajanan toluena perinhalasi dapat menyebabkan stress oksidatif pada miokardium melalui pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang akan memicu stress oksidatif dengan pembentukan lipid peroksidase sehingga membentuk malondialdehyde (MDA) yang dapat terdeteksi pada miokardium.
Tujuan: mengetahui tingkat pajanan toluena pada dosis rendah di bawah ambang batas yang menyebabkan kenaikan nilai MDA miokardium dan kenaikan jumlah vakuola lipid.
Metoda: Penelitian menggunakan 30 ekor tikus Wistar jantan usia 3 bulan dengan berat badan 150 - 200 gram, dibagi secara acak sederhana menjadi satu kelompok kontrol dan empat kelompok intervensi yang diberikan pajanan toluena 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml, 12,8 ml masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Pajanan diberikan per inhalasi dengan cara menyemprotkan toluena cair ke dalam akuarium, disertai penambahan dosis tiap jam sesuai dengan perhitungan aliran udara dan volume akuarium. Pajanan dilakukan selama 4 jam per hari dalam14 hari berturut-turut. Pada akhir penelitian dianalisa kenaikan nilai MDA miokardium dan jumlah vakuola lipid. Secara mikroskopik vakuola lipid yang mengalami pergeseran inti ke tepi, dihitung dalam 10 lapang pandang.
Analisis data: Uji Oneway ANOVAdigunakan untuk mencari kebermaknaan tingkat pajanan toluena dengan nilai MDA miokardium serta tingkat pajanan toluena dengan jumlah vakuola lipid.
Hasil: Rata-rata tingkat pajanan ada hubungan bermakna secara statistik terhadap nilai MDA miokardium yaitu antara kelompok pajanan 12.8 ml dengan kontrol (p=0.024), kel. 12.8 ml dengan kel. pajanan 6.4 ml (p=0.002) dan kel. 12.8 ml dengan kel. 3.2 ml (p=0.002). Sedangkan rata-rata tingkat pajanan tiap kelompok tidak ada hubungan bermakna terhadap rata-rata jumlah vakuola lipid (p=0.248).
Kesimpulan: Tingkat pajanan toluena dibawah nilai ambang batas menyebabkan kenaikan kadar MDA miokardium pada kelompok pajanan 1,6 ml (12,5 ppm) sampai dengan 6,4 ml (50 ppm). Tidak terdapat kenaikan jumlah vakuola lipid pada tikus Wistar jantan.

Lipophilic nature of toluene can cause rhythm disturbances, interstitial fibrosis problems and disturbances in forming lipid vacuoles. Toluene exposure through inhalation can cause oxidative stress in the myocardium to form Reactive Oxygen Species (ROS) which will trigger oxidative stress with the formation of lipid peroxide and forming Malondialdehyde (MDA) which can be detected in the myocardium.
Objective: To determine the level of exposure to toluene at low doses below the threshold that causes the increase in value of myocardial MDA and increase in the number of lipid vacuoles.
Method: The study used 30 male Wistar rats aged 3 months weighing 150-200 grams, were divided randomly into a control group and four intervention groups which were given exposure to toluene at 1.6 ml, 3.2 ml, 6.4 ml, 12.8 ml, each consisting of 6 rats. Exposure is done through inhalation by spraying liquid toluene into the tank, along with addition doses per hour according to the calculation of the air flow and the volume of the aquarium. Exposure is done for 4 hours every day in 14 consecutive days. At the end of the study, the increase in myocardial MDA value and number of lipid vacuoles is analyzed. On a microscopic level, lipid vacuoles which experience shiftednucleus to the edge are counted in 10 visual fields.
Data Analysis: Oneway ANOVA is used to find the significance level of toluene exposure with myocardial MDA values and exposure levels of toluene by the number of lipid vacuoles.
Results: The average level of exposure is statistically significant to the myocardium MDA value, which is between 12.8 ml exposure group with the control (p = 0.024), 12.8 ml exposure group with 6.4 ml exposure group (p = 0.002), and 12.8 ml exposure group with 3.2 ml exposure group (p = 0.002). While the average level of exposure for each group has no significant relation to the average number of lipid vacuoles (p = 0.248).
Conclusion: The level of toluene exposure below the threshold value causes an increase in myocardial MDA levels in the exposure group of 1.6 ml (12.5 ppm) to 6.4 ml (50 ppm), but the group of 12.8 ml (100 ppm), a decrease in the value of MDA transpires. There was no increase in the number of lipid vacuoles in male Wistar rats.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Supartono
"DISAIN. Biopsi aspirasi jarum dilakukan pada 35 penderita Osteosarkoma antara Januari 1996 sampai dengan Juli 1999. Hasilnya dibandingkan dengan biopsi terbuka (BT) dan kesimpulan Konferensi Patologi Klinik (CPC). OBJEKTIF. Mengetahui ketepatan diagnosis biopsi aspirasi jarum dalam hal adekuasi dan akurasi, serta sensitifitas dan spesifisitasnya pada osteosarkoma. LATAR BELAKANG. Sampai saat lni biopsi terbuka menjadi standar dalam mendiagnosis suatu neoplasma pada umumnya dan Osteosarkoma khususnya. Biopsi terbuka memberikan material yang memadai namun mempunyai keterbatasan, risiko dan komplikasi. Biopsi tertutup dengan aspirasi memberikan beberapa keuntungan dengan hasil yang cukup akurat dan memungkinkan penegakan diagnosis secara dini sehingga meningkatkan kualitas penatalaksanaan.

DESIGN. Needle aspiration biopsies were performed on 35 patients with osteosarcoma between January 1996 and July 1999. The results were compared with open biopsy (BT) and clinical pathology conference (CPC) conclusions. OBJECTIVE. To know the accuracy of the diagnosis of needle aspiration biopsy in terms of adequacy and accuracy, as well as its sensitivity and specificity in osteosarcoma. BACKGROUND. Until now, open biopsies have become the standard in diagnosing a neoplasm in general and osteosarcoma in particular. Open biopsy provides adequate material but has limitations, risks and complications. Aspirational closed biopsy provides several advantages with fairly accurate results and allows for early establishment of diagnosis so as to improve the quality of management."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Juniawan
"Latar belakang: Toluena banyak digunakan secara luas di bidang industri. Pajanan toluena perinhalasi dapat menyebabkan peningkatan lipid peroksidase melalui mekanisme stress oksidatif , dengan petanda biologis malondialdehid (MDA) dan perubahan jumlah sel clara dan sel pneumosit tipe II.
Metode penelitian : Desain yang dipilih adalah true eksperimental. Sebanyak 30 ekor tikus Wistar jantan usia 3 bulan dengan berat badan 200 – 250 gram, dibagi menjadi lima kelompok pajanan secara alokasi random, yaitu kelompok kontrol; 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan yang masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Pajanan melalui inhalasi dengan cara menyemprotkan toluena cair ke dalam akuarium, disertai penambahan dosis tiap jam sesuai dengan perhitungan aliran udara dan volume akuarium. Pajanan dilakukan selama 4 jam per hari selama 2 minggu.
Hasil : Dosis pajanan memiliki pengaruh terhadap dengan kadar MDA paru (p=0,004). Dosis pajanan memiliki pengaruh bermakna terhadap jumlah sel pneumosit tipe II (p=0,002) dan tidak berpengaruh bermakna terhadap jumlah sel clara (p=0,077).
Kesimpulan : Dosis pajanan toluena di bawah NAB menyebabkan peningkatan kadar MDA jaringan paru dan peningkatan sel pneumosit tipe II tetapi menyebabkan penurunan jumlah sel clara.

Background: Toluene has been widely used in many industries. Inhalation toluene can cause increasing of lipid peroxidase through oksidatif stress mechanism, with MDA as biology biomarker, and the changing of clara cell also type II pneumocyt cell count.
Method : The design is true eksperimental. Thirty adult male Wistar rats, three months old, 200-250 gram, are divided into five groups by allocation random : control; 1,6 cc; 3,2 cc; 6,4 cc; 12,8 cc, and each group consists of six rats. Exposure is given by injecting liquid toluene into chamber with the addition of dose per hour related to calculation of air flow and chamber volume for four hours per day, in two weeks.
Results : Toluene doses exposure is statistically significant to lung MDA level (p=0,004) and type II pneumocyt cell count (p=0,002) and statistically not significant to clara cell count(p=0,077).
Conclusion: Toluene doses exposure below TLV can cause increasing of lung MDA level and type II pneumocyt cell count, in otherwise, decreasing of cell clara count.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heriawaty Hidajat
"Liposarkoma jaringan lunak diklasifikasikan ke dalam lima subtipe histologik yaitu berdiferensiasi baik, miksoid, sel bulat, pleomorfik dan dediferensiasi. Liposarkoma miksoid dan berdiferensiasi baik tergolong derajat keganasan rendah serta mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan subtipe lainnya. Tetapi penentuan subklasifikasi tersebut ternyata tidak selalu mudah dilakukan oleh karena ditemukannya berbagai tipe campuran antara subtipe yang berderajat rendah dengan yang tinggi. Selain itu penentuan grading histologik juga bergantung pada berbagai keadaan sehingga dapat menjadi kurang objektif nilainya.

Soft tissue liposarcoma is classified into five histological subtypes, namely well-differentiated, mycoid, spherical cell, pleomorphic and dedifferentiated. Mixid and well-differentiated liposarcoma is classified as low malignancy and has a better prognosis compared to other subtypes. However, the determination of these subclassifications is not always easy to do because of the discovery of various mixed types between low-degree subtypes with a high one. In addition, the determination of histological grading also depends on various circumstances so that the value can be less objective."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sutopo Widjaja
"Pendahuluan
Angka kematian dan angka kesakitan karena penyakit infeksi khususnya pada bayi dan anak balita, masih sangat tinggi di Indonesia. Hasil survai LitBangKes Republik Indonesia (1980) menunjukkan angka kematian spesifik pada golongan umur 1 - 4 tahun sebesar 19,6 per 1000. Angka kematian yang paling besar terjadi pada golongan umur di bawah satu tahun yaitu 90,3 per 1000 kelahiran hidup. Sebab kematian yang paling menonjol pada golongan umur tersebut ialah : diare (24,1%), infeksi saluran pernafasan (22,1%) dan tetanus neonatorum (20%) . Penyakit-penyakit ini sebenarnya dapat dicegah melalui imunisasi. Diperkirakan imunisasi dapat mencegah 31.5% kematian bayi dan 22,72 kematian anak balita (1).
Program imunisasi melalui Pengembangan Program Imunisasi (PPI) telah dilaksanakan sejak tahun 1977 dan telah meliputi Iebih dari 45,000 desa. Hasil cakupan imunisasi melalui program ini masih belum mencapai sasaran yang diharapkan. Pada tahun 1985 sebagai berikut : BCG 52% , DPT2 37% , DPT3 11% , TT2 24% , Polio-3 10% , Campak 11,7%, sedangkan WHO memperkirakan hasil yang dicapai ialah DPT3 6% dan Polio-3 7%. Angka tersebut menunjukkan drop out imunisasi ulang DPT dan polio masih tinggi.
Zat-zat imunopotensiator diketahui mempunyai efek meningkatkan reaksi imunitas iubuh terhadap imunogen. Levamisol adalah salah satu imunopotensiator non-spesifik yang telah diketahui mampu meningkatkan baik fungsi imonitas selular maupun humoral. Dilaporkan obat tersebut efektif untuk : a) mencegah dan mengobati infeksi menahun rekuren di kulit, mukosa, mata, saluran pernafasan, juga infeksi sistemik yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan sebagainya ; b) menghilangkan anergi pasca infeksi virus dan riketsia ; c) mengobati penyakit reumatik, termasuk artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik dan sindrom Reiter ; d) menekan angka kekambuhan pada penderita kanker, terutama setelah operasi, radioterapi atau kemoterapi. Penggunaan levamisol sebagai ajuvan dalam imunisasi telah pula dilaporkan oleh beberapa peneliti, baik pada pada hewan percobaan maupun pada manusia.
Tujuan penelitian untuk membuktikan manfaat levamisol sebagai ajuvan dalam meningkatkan sintesis zat anti-tetanus. Bila levamisol terbukti mampu meningkatkan sintesis zat anti-tetanus, maka manfaat ini diharapkan akan mempercepat tercapainya kadar zat anti yang optimal, walaupnn terjadi drop out.
"
Lengkap +
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudina Azimata Rosyidah
"Cryptosporidiurn sp. adalah parasit protozoa usus intraseluler yang rnenginfeksi berbagai hewan verteblata termasuk manusia dan menyehabkan penyakit kriptosporidiosis, juga merupakan agen penycbab diare yang bersifat oportunistik. Gejaia yang berulang dan angka penularan yang tinggi akan menurunkan kualitas hidup penderita sehingga diperlukan diagnosis kriptosporidiosis yang cepat secara mikroskopis pada sediaan tinja yang diwarnai.Tesis ini bcrtujuan membandingkan metode pewamaan modiiikasi tahan asam (MTA) dan auramin fenol (AF) untuk dcteksi ookista Cryploaporidiwn sp. dari sampel tirja dengan dan tanpa konsentrasi. Sensitivitas dan spesifisitas setiap metode dari tinja yang dikonsentrasi, ditentukan dengan PCR* sebagai baku emaa Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain cross sectional menggunakan uji diagnostik.
Hasil uji skrining dan tingkat agreement dihitung Dari 130 sampel tirqa yang diperiksa, 5,4%, 10%, 10%, l9,2% dan 32,3% positif Cryprosporidium sp. dengan metode MTA tanpa konsentrasi, MTA dikonsentrasi, AF tanpa konsenuasi, AF dikonsemrasi dan PCR*. I-Iasil positif ookista Cfgptosporidium sp. lebih banyak ditemukan pada sediazm tinja yang dikonsentrasi.
Hasil tidak berbeda bermakna pada perbandingan basil MTA dengan dan tanpa konsentrasi(p=0,07), sedangkan hasil berbeda bcrmakna pada AF (p=0,00). Sensitivitas MTA dan AF tinja konsentrasi adalah 30,9% dan 54,8%; spesifisitas 100% dan 97,7% dibandingkan dengan PCR*. Metode pewarnaan AF memiliki nilai sensitivitas lebih tinggi, tetapi spesifisitasnya sama dengan MTA. Metode pewamaan AF dapat digunakan scbagai altematif dari pewamaan MTA untuk deteksi ookista Cfyptosporidium sp. pada sampel tinja.

Cryptosporzdnm sp. is intestinal protozoa parasite intracellular which infect widely vertebrata include human and cause cryptosporidiosis disease, also opportunistic agent for diarrhea. Reinfection and high transmission can decrease quality of life patient, so it needs a quick diagnostic with microscopy analysis to stain fecal smears. The objective of this study is to investigate the comparison of the modified acid fast (MAF) and auramine phenol (APh) staining method in order to detecting Cryptosporidium sp. oocysts 'nom unconcentrated and concentrated fecal sample. The sensitivity and specificity of each method from concentrated fecal sample was determined with PCR* as the gold standard.
The result of the screening test and the levels of agreement were quantified This research is qualitative interpretation with cross sectional design study which using diagnostic test. Of the |30 fecal samples that has examined, 5,4%, 10%, 10%, 19,2% and 32,3% were positive Cryptosporidium sp. by the MAF unconcentrated, MAF concentrated, APh unconoentrated, APh concentrated and PCR* method respectively. The majority of positive Cryptosporidium sp. samples were found in concentrated samples.
The results have no significant differences between MAF staining with unconcentrated and concentrated fecal sample (p=0,07), but there is a significant difference for APh staining (p=0,00). In comparison with PCR* results, the sensitivities of MAF and APh concentrated methods were 30,9% and 54,8%; the specificities were l00% and 97,7% respectively. The APh staining method apparently has more sensitivity than MAF staining method, but has the same speciticity. The APh staining method proved to be a valuable altemative to MAF staining for detection of' Cryptosporidium sp. oocysts in fecal sample.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32039
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Kami menganalisa kadar eosinofil sputum induksi dan eosinofil darah tepi pada 106 pasien asma bronkial dalam serangan di RSUP Persahabatan Jakarta, sejak bulan Januari sampai Juli 1996. Dari 17 penderita dalam serangan derajat ringan, rata-rata APE 89,48% nilai dugaan, persentase eosinofil sputum 12,56%, dan jumlah eosinofil darah tepi 429,77. Dari 31 penderita dalam serangan derajat sedang, rata-rata APE 72,86% nilai dugaan, persentase eosinofil sputum 14,31%, dan jumlah eosinofil darah tepi 544,60. Dari 58 penderita dalam serangan derajat berat, rata-rata APE 46,38%, persentase eosinofil sputum 16,66%, dan jumlah eosinofil darah tepi 304,04. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara persentase APE dengan persentase cosinofil sputum disaat serangan. Kami menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini belum dapat membuktikan hubungan antara persentase cosinofil sputum dengan derajat serangan asma bila hanya berdasarkan indikator APE saja.

We analyzed level of eosinophils in sputum induced and peripheral cosinophil in 106 asthmatic patients who experiencing exacerbation (asthma attack), in Persahabatan Hospital Jakarta from January to July 1996, In 17 of patients with mild asthma attack, the mean PEFR is 89,48% of predicted, mean percentage of sputum eosinophil is 12,56%, and the mean of peripheral cosinophils count is 429,77 respectively. In 31 of patients with moderate asthma attack, the mean PEFR is 72,86 % of predicted, mean percentage of sputum eosinophils is 14,31%, and the mean of peripheral eosinophils count is 544,60 respectively. In 58 of patients with severe asthma attack, the mean PEFR is 46,36% of predicted, mean percentage of sputum eosinophils is 16,66%, and the mean of peripheral eosinophils count is 304,04 respectively. The percentage of PEFR did not correlated with the mean percentage of sputum eosinophils in asthma attack. We conclude that this analysis did not improved correlation between percentage of sputum eosinophils with degree of asthma attack, if we used percentage of PEFR predicted only."
Lengkap +
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lousiana
"Latar belakang: Latihan fisik anaerobik adalah latihan fisik yang dilakukan dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi dan dapat merangsang apoptosis pada kardiomiosit ventrikel kiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi apoptosis kardiomiosit pasca latihan serta pasca henti latih latihan fisik anaerobik.
Metode : Identifikasi Caspase-3 dilakukan dengan cara pulasan imunohistokimia dan analisis kuantitatif persentase Caspase-3 yang dilakukan pada kelompok kontrol 4,8,12 dan 16 minggu, kelompok perlakuan latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu serta henti latih 4 minggu pasca latihan (minggu ke 8 dan 16).
Hasil: Analisis data menunjukkan peningkatan persentase caspase-3 pada kelompok latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu dengan p=0,027. Penurunan persentase capase-3 pasca henti latih yang bermakna juga ditemukan antara kelompok latihan fisik anaerobik 4 minggu dengan kelompok henti latih 4 minggu (p=0,0001) dan antara kelompok latihan anaerobik 12 minggu dengan kelompok henti latih 16 minggu (p=0,0001).

Introduction : Anaerobic physical exercise is a high intensity physical exercise performed in a short time. This exercise can stimulate apoptosis in left ventricular cardiomyocytes. The aims of this study is to analyze the expression of cardiomyocyte apoptosis after anaerobic exercise and detraining.
Methods : Caspase-3 expression is identified by immunohistochemistry labeling and quantitative analysis of the percentage of Caspase-3 in the control group 4,8,12 and 16 weeks, groups with 4 and 12 weeks of anaerobic physical exercise, and groups after 4 weeks of detraining ( week 8 and 16).
Conclucion: Data analyses showed a significant increase in the percentage of caspase-3 in the 4 and 12 weeks anaerobic physical exercise groups with p = 0.027. The percentage of Capase-3 after detraining showed a significant decline between the groups of 4 weeks of anaerobic physical exercise and detraining with p = 0.0001 and between groups of 12 weeks of anaerobic exercise and detraining with p = 0, 0001.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library