Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bororing, Sheella R.
"LATAR BELAKANG: Olahraga memainkan peran penting pada pencegahan penyakit jantung koroner (PJK). Latihan aerobik senam jantung sehat (SJS) adalah senam yang khusus dibuat oleh Yayasan Jantung Indonesia, ditujukan untuk peserta sehat maupun penderita jantung. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa pengaruh latihan SJS terhadap parameter fibrinolisis (t-PA dan PAI-1), viskositas (viskositas darah dan plasma) dan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, kolesterol HDL, koletserol LDL)
BAHAN DAN METODE: 30 subyek terdiri dan 28 wanita dan 2 pria yang berusia 40-80 tahun. Subyek penelitian mengikuti latihan SJS dengan frekuensi 3 kali seminggu, intensitas sedang dan durasi 40-45 menit, selama 9-12 minggu. Pengambilan darah sebanyak 13,5 mL dilakukan sebelum program dimulai dan setelah program selesai. Darah dimasukkan ke dalam tabung berisi sitrat, K3EDTA dan tanpa antikoagulan. Plasma sitrat untuk pemeriksaan kadar t-PA dan PAI-1, darah K3EDTA untuk viskositas darah dan plasma, serta serum untuk pemeriksaan profil lipid. Penetapan kadar t-PA dan PAI-1 berdasarkan prinsip double antibody sandwich enzyme linked immuno assay (ELISA), pemeriksaan viskositas menggunakan alat viskometer Brookfield LVDV-III dengan prinsip metode rotasional, kolesterol total dan trigliserida memakai prinsip enzimatik, serta kolesterol HDL dan kolesterol LDL diukur secara langsung dengan prinsip enzimatik homogen.
HASIL: Peneltian ini memberikan hasil peningkatan berrnakna t-PA (18,25%, p=0,040) dan penurunan bermakna PAI-1 (29,14%, p=0,03). Didapatkan penurunan bermakna viskositas darah (2,94%, p=0,030). Didapatkan penurunan yang tidak bermakna viskositas plasma, kolesterol total, trigliserida, dan kolesterol LDL, dan didapatkan peningkatan yang tidak bermakna kolesterol HDL.
KESIMPULAN: Berdasarkan hasil penelitian ini dibuktikan bahwa latihan aerobik SJS dapat menyebabkan peningkatan fibrinolisis dan penurunan viskositas darah.
SARAN : Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh latihan SJS terhadap fibrinolisis, viskositas dan profil lipid dengan frekuensi latihan ditingkatkan menjadi 4-5 kali. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh latihan aerobik terhadap faktor risiko PJK yang lain, seperti obesitas, fibrinogen dan Lp (a).

BACKGROUND: Exercise plays an important role in the prevention of coronary heart disease. Senam Jantung Sehat (SJS) programmed is an aerobic training originally created by Yayasan Jantung Indonesia, the Indonesia heart foundation. This training is suitable for healthy people and heart patients. The purpose of this study is to analyze the influence of SJS training on fibrinolysis (t-PA and PAl-1), blood viscosity and plasma viscosity, and also lipid profile (total cholesterol, triglyceride, HDL cholesterol, LDL cholesterol) in the member of Kiub Jantung Sehat (KJS).
MATERIAL AND METHODS: 30 subjects consisted of 28 women and 2 men aged 40-60 years_ Subjects had performed a regular SJS training 3 times weekly, with moderate intensity, 40-45 minutes a day for 9-12 weeks. A fasting 13.5 mL arm vein blood sample was taken twice, before and after training. Blood sample was divided into citrate, K3EDTA, and without anticoagulan. Plasma citrate is fort-PA and PAM, blood and plasma in K3EDTA is for viscosity, and serum for lipid profile_ t-PA and PAI-1 was measured using the enzyme linked immuno assay (ELISA) double antibody sandwich. Blood viscosity and plasma viscosity were measured using a rotational method of Brookfield viscometer LVDV-III, lipid profile were measured using the enzymatic method (total cholesterol and triglyceride) and direct enzymatic homogenous method (HDL cholesterol and LDL cholesterol).
RESULTS: There were significant increase in t-PA (18.25%, p=0.040) and significant decrease in PAI-1(29.14%, p=0.003). The blood viscosity was decreased significantly (2.94%, p=0.030). The plasma viscosity, total cholesterol, triglyceride, and LDL cholesterol were decreased but not significantly. The HDL cholesterol was increased not significantly.
CONCLUSIONS: These findings demonstrated that SJS training increased fibrinolysis, and decreased the blood viscosity.
SUGGESTIONS: Further study is needed to know the influence of SJS on fibrinolysis, viscosity, and lipid profile if the training performs 4 or 5 times weekly. The further investigations is also suggested to know the influence of SJS on the other risk factors like obesity, fibrinogen, or Lp(a).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mandey, Neila Mona Anita Grace
"Gagal jantung telah menjadi masalah yang terus berkembang diseluruh dunia dan menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi untuk penyakit kardiovaskular. Klasifikasi New York Heart Association (NYHA) digunakan sebagai pembagian fungsional untuk menentukan progresifisitas gagal jantung berdasarkan derajat keterbatasan gejala. Interleukin 1 (IL-1) memiliki anggota reseptor yaitu reseptor interleukin-1 (IL-1R) atau yang biasanya dikenal dengan nama interleukin-1 receptor like 1 (IL-1RL1) dan reseptor interleukin-18 (IL-18R). Tahun 1989 beberapa peneliti berhasil mengidentifikasi salah satu reseptor dari IL-1 yaitu ST2. Kadar ST2 yang tinggi di jantung menandakan bahwa pada pasien tersebut sedang berlangsung proses kerusakan jantung atau sedang terjadi proses remodeling. Pada pasien gagal jantung, kadar ST2 berkorelasi kuat dengan memberatnya penyakit dan mortalitas. Peningkatan kadar ST2 sesuai keadaan hipertrofi jantung, fibrosis dan disfungsi ventrikel. Penelitian longitudinal pre post tes ini terdiri dari 23 orang pasien gagal jantung klasifikasi NYHA III 70% dan IV 30%. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan (51.4% vs 48.6%). Median usia NYHA III 52 tahun dan rerata usia NYHA IV 58 tahun. Penyebab gagal jantung terbanyak adalah CAD 52% dan non CAD 48%. Kadar ST2 pada awal hari perawatan lebih tinggi bermakna dibandingkan pada akhir hari perawatan 31.4 (14 – 129.2) ng/mL vs 18.4 (7.6 - 77.8) ng/mL, dengan p=0.001. Hasil ini menunjukkan dengan adanya perbaikan klinis penderita, terjadi penurunan kadar ST2 yang bermakna. Kadar ST2 berkorelasi dengan usia dan lama perawatan, namun tidak berkorelasi dengan jenis kelamin dan faktor penyebab gagal jantung. Disimpulkan bahwa ST2 dapat digunakan sebagai petanda untuk menentukan perbaikan klinis gagal jantung NYHA III & IV.

Heart failure has become a problem that continues to grow around theworld and causing high morbidity and mortality rate for cardiovascular disease Classification of New York Heart Association NYHA functional division isused to determine progressivity of heart failure based on the degree of symptomslimitation Interleukin 1 IL 1 has family of receptors that are interleukin 1 receptor IL 1R or commonly known as interleukin 1 receptor like 1 IL 1RL1 andinterleukin 18 receptor IL 18R In 1989 some researchers had identified thatone of the IL 1 receptor was ST2 ST2 levels were high in patient that haveongoing process of cardiac damage or remodelling process In heart failurepatients ST2 levels correlate strongly with disease and mortality Increased ST2levels was observed in circumstances such as cardiac hypertrophy fibrosis andventricular dysfunction This longitudinal pre post test study consists of 23 heart failure patientsNYHA classification III 70 and IV 30 was conducted There were moremale patients compare to female 51 4 vs 48 6 Median age of NYHA IIIwas 52 years and mean age of NYHA IV was 58 years The main cause of heartfailure was CAD 52 and non CAD 48 ST2 levels in the early days oftreatment was significantly higher than at the end of treatment 31 4 14 ndash 129 2 ng mL vs 18 4 7 6 ndash 77 8 ng mL p 0 001 These results indicate that patientswith clinical improvement showed significant decrease in ST2 level ST2 levelscorrelated with age and length of care but did not correlated with sex and cause ofheart failure It was conclude that ST2 can be used as a marker for assessment ofclinical improvement NYHA III IV of heart failure
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harny Edward
"LATAR BELAKANG: Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang turut berperan dalam peningkatan angka morbiditas dan mortalitas stroke, gagal jantung dan gagal ginjal. Morbiditas dan mortalitas hipertensi meningkat dengan makin banyaknya faktor risiko yang dimiliki, makin tinggi tekanan darah dan makin lama seseorang menderita hipertensi. Sampai saat ini mekanisme pasti terjadinya hipertensi belum jelas. Belakangan ini disfungsi endotel juga dikaitkan dengan hipertensi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran kadar sVCAM-1 dan MAU, membuktikan adanya hubungan antara kadar sVCAM-1 dan MAU, menganalisis pengaruh usia, gender, obesitas, terkendali tidaknya hipertensi, lama sakit dan kadar kolesterol terhadap kadar sVCAM-1 dan MAU pada penderita hipertensi primer.
BAHAN DAN METOPE: Penelitian ini menggunakan 65 subyek non diabetik dengan kadar hs-CRP < 5 mgIL dan protein win < 3+. Dilakukan pemeriksaan kadar sVCAM-1, K-LDL, albumin dan kreatinin urin terhadap subyek dengan protein win negatif atau trace, sedangkan subyek dengan protein urin 1+ atau 2+ hanya dilakukan pemeriksaan kadar sVCAM-1 dan K LDL. Penetapan kadar sVCAM-1 berdasarkan prinsip quantitative sandwich enzyme immunoassay, penetapan kadar K-LDL berdasarkan prinsip enzimatik homogen, penetapan kadar albumin urin berdasarkan prinsip imunoturbidimetri, penetapan kreatinin urin berdasarkan metode kinetik Jaffe dan MAU dinyatakan dengan rasio albumin 1 kreatinin urin.
HASIL: Hasil penelitian menunjukkan proporsi kadar sVCAM-1 tinggi sebesar 81,5 % dan MAU 27,7 %. Kadar sVCAM-1 tinggi dan MAU lebih banyak dijumpai pada subyek tua, lelaki, hipertensi tak terkendali, lama sakit > 10 tahun dan obese. Dari hasil analisis multivariat derigail regresi rr ultipel, Adak didapatkan korelasi -yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dengangender dan lama sakit namun didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dengan usia, MAP dan K-LDL. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui suatu persamaan yaitu kadar sVCAM-1 = 175 + 9,7 x usia (tahun) + 5,9 x MAP (mmHg) -- 2,9 x kadar K-LDL (rngldL) dengan nilai R2 adjusted sebesar 23,1 %. Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara MAU dengan usia, gender, MAP. 1MT, lama sakit dan K-LDL.Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dan rasio A 1 K.
KESIMPULAN: Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan proporsi kadar sVCAM-1 tinggi 81,5 % dan MAU 27,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita hipertensi primer telah terjadi disfungsi endotel. Dari analisis multivariat menunjukkan kadar sVCAM-1 berkorelasi dengan usia, MAP dan K-LDL, sedangkan MAU tidak berkorelasi dengan variabel tersebut. Kadar sVCAM-1 tidak berkorelasi dengan MAU.

Hypertension is a health problem which contributes in the increase morbidity and mortality of stroke, heart failure, and renal failure. The morbidity and mortality of hypertension were influenced by various risk factors, the height of blood pressure and the lenght of illness. The mechanism of hypertension up to now remains unclear. Recently, endothelial dysfunction has been associated with hypertension. The aims of this study were to obtain the level of sVCAM-1 and microalbuminuria (MAU) in primary hypertension, to analyse the relationship between sVCAM-1 level and MAU, to analyse the influences of age, gender, obesity, control of hypertension, length of illness, and the level of LDL cholesterol on sVCAM-1 level and MAU.
Sixty five non diabetic subjects with hs-CRP level < 5 mg/L and protein urine < 3 + were enrolled in this cross sectional study. The level of sVCAM-1 were performed on all subjects by ELISA using reagents from R&D system, while MAU was determined by calculated the albumin : creatinine ratio in the urine. The level of LDL cholesterol was performed by homogenous enzymatic assay.
The results indicated that the proportion of increase of sVCAM-1 level was 81.5% and MAU was 27.7% in primary hypertension. Increase of sVCAM-1 level and MAU were found more frequently in older subjects, male, uncontrolled hypertension, length of illness more than 10 years, and obese subject. The results of multivariate analysis with multiple regression showed that sVCAM-1 level significantly correlated with age, mean arterial pressure (MAP), and LDL cholesterol level, but did not correlate with gender, and length of illness. The relationship could be formulated as: sVCAM-1 level = 175 + 9.7 x age (years) + 5.9 x MAP ( mm Hg) -- 2.9 x LDL cholesterol level (mgldL) with R2 adjusted 23.1%. There were no correlation between MAU with age, gender, MAP, obesity, ienght of illness, and LDL cholesterol level. The level of sVCAM-1 did not correlate with albumin:creatinine urine ratio (MAU).
Based on high proportion of increased sVCAM-1 and MAU, it is concluded that endothelial dysfunction occur in primary hypertension. The level of sVCAM-1 significantly correlates with age, MAP, and LDL cholesterol level, while MAU does not correlate with these variables. There is no correlation between sVCAM-1 level and MAU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan Fakkar
"Patogenesis insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dihubungkan dengan proses autoimun yang merusak sel beta pankreas, sedangkan non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) dihubungkan dengan resistensi insulin. Namun pada sebagian penderita NIDDM juga dapal ditemukan proses autoimun dan penderita tersebut biasanya dalam beberapa tahun akan berkembang menjadi defisiensi insulin absolut. Salah satu petanda proses autoimun sel beta pankreas adalah anti glutamic acid decarboxylase (GAD) Tujuan penelitian ini pertama untuk menentukan prevalensi anti GAD pada penderita IDDM, NIDDM yang mendapat insulin dan NIDDM yang tidak memerlukan insulin. Tujuan kedua untuk menentukan prevalensi anti GAD pada IDDM dihubungkan dengan etnis, lama penyakit, usia saat diagnosis, jenis kelamin dan riwayat keluarga. Tujuan ketiga untuk menilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN) anti GAD untuk menentukan keperluan insulin pada penderita NIDDM Tujuan keempat untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara lama terapi oral pada penderita NIDDM yang mendapat insulin dengan status dan kadar anti GAD. Tujuan kelima untuk mengetahui kadar anti GAD pada penderita IDDM dan NIDDM serta hubungannya dengan lama penyakit Subjek penelitian adalah 32 penderita IDDM, 40 penderita NIDDM yang mendapat insulin dan 40 penderita NIDDM tidak memerlukan insulin yang berobat jalan di Poliklinik Subbagian Endokrin Bagian limu Penyakil Dalam dan Bagian llmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPNCM Pada kelompok NIDDM usia saat diagnosis harus > 35 tahun. Pada kelompok NIDDM yang tidak memerlukan insulin, kadar glukosa darah harus terkontrol (HbA1c 4-8%) dan lama penyakit minimal 5 tahun. Pada kelompok NIDDM yang mendapat insulin, sebelumnya glukosa darah pernah terkontrol dengan diet dan atau obat hipoglikemik oral (OHO) minimal selama 6 bulan Pemeriksaan anti GAD menggunakan kit Diaplets anti GAD dari Boehringer Mannheim dengan metode ELISA Pemeriksaan HbA1c menggunakan kit HbA1c Unimate 3 dari Roche dengan metode imunoturbidimetri. Analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan Fisher's exact. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi anti GAD pada IDDM, NIDDM yang mendapat insulin dan NIDDM yang tidak memeriukan insulin masing-masing berturut-turut 28,1%, 7,5% dan 0% Prevalensi anti GAD pada IDDM tidak berbeda bermakna dihubungkan dengan etnis, lama penyakit, usia saat diagnosis, jenis kelamin dan riwayat keluarga (P > 0,05) Sensitivitas. spesifisitas, NPP dan NPN anti GAD untuk menentukan keperluan insulin pada NIDM masing masing berturut-turut 7,5%, 100%, 100% dan 51,9%. Penderita NIDDM dengan anti GAD positif cenderung lebih cepat memerlukan insulin dibandingkan penderita NIDDM dengan anti GAD negatif, namun kadar anti GAD tidak berhubungan dengan makin cepat atau lambatnya penderita memerlukan insulin. Kadar anti GAD pada NIDDM cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan IDDM Kadar anti GAD pada IDDM dan NIDDM tidak berhubungan dengan lama penyakit Pemeriksaan anti GAD dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pemeriksaan tambahan pada penderita NIDDM saat diagnosis pertama kali ditegakkan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lingnawati
"Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di sebagian negara berkembang. Pasien IMA dengan penyakit ginjal kronis (PGK) mempunyai risiko tinggi terjadinya luaran major adverse cardiac events(MACE) dan mortalitas. Infark miokardium terjadi akibat erosi, maupun ruptur plak aterosklerotik, yang memicu oklusi arteri koroner. Sel yang nekrosis akan melepaskan komponen intraseluer seperti enzim creatine kinase(CK), maupun isoenzim CK-MB, serta protein struktural, seperti troponin ke dalam sirkulasi sistemik. Troponin sebagai baku emas penanda jantung dalam diagnosis IMA, mengalami penurunan spesifisitas, seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus pada pasien PGK sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai diagnostik CK total dan aktivitas CK-MB sebagai penanda alternatif dalam diagnosis IMA, serta nilai prognostiknya terhadap kejadian MACE pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dengan PGK. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai peran pemeriksaan CK total dan aktivitas CK-MB dalam diagnosis IMA, serta desain nested case controluntuk memprediksi kejadian MACE dalam kurun waktu 30 hari. Sejumlah 109 pasien yang memenuhi kriteria, diikutsertakan ke dalam penelitian ini. Pemeriksaan CK total mempunyai luas area under curve(AUC) 81,9% dengan cut-offbatas atas nilai rujukan, yaitu 171 U/L untuk laki-laki, dan 145 U/L untuk perempuan (sensitivitas 76,3%; spesifisitas62,5%), sedangkan pemeriksaan aktivitas CK-MB mempunyai luas AUC 95,2% dengan cut-off14,55 U/L (sensitivitas 92,5%; spesifisitas 87,5%) dalam diagnosis IMA. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara nilai CK total [OR= 0,99; p= 0,98], dan aktivitas CK-MB [OR= 1,31; p= 0,58] dengan kejadian MACE pada pasien SKA dengan PGK. Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan CK total pada batas atas nilai rujukan, dan aktivitas CK-MB pada titik potong 14,55 U/L dapat digunakan sebagai penanda biokimia jantung alternatif dalam diagnosis IMA pada pasien SKA dengan PGK, namun tidak dapat memprediksi luaran kejadian MACE.

Acute myocardial infarction (AMI) is one of the major health problems in some developing countries. Acute myocardial infarction patients with chronic kidney disease (CKD) have a high risk of developing major adverse cardiac events (MACE) and high mortality. Myocardial infarction which results either from erosion or atherosclerotic plaque rupture may triggers coronary artery occlusion. The necrotic cells release intracellular components like creatine kinase (CK) enzyme and CK-MB isoenzyme as well as structural proteins like troponin into the systemic circulation. Troponin, as the gold standard for cardiac markers in the diagnosis of AMI, has decreased specificity along with the decrease in glomerular filtration rate in CKD patients. Therefore, this study aims to obtain a diagnostic value of total CK and CK-MB activity as an alternative marker in the diagnosis of AMI, and to obtain its prognostic value for the occurrence of MACE in acute cardiovascular disease (ACD) patients with CKD. This study uses a cross-sectional design to assess the role of total CK assay and CK-MB activity in AMI diagnosis, as well as a nested case control design to predict the occurrence of MACE within 30 days. A total of 109 patients who met the criteria were included in this study. The total CK assay has an area under the curve (AUC) of 81.9% with cut-off at the upper limit of the reference value at 171 U/L for men, and 145 U/L for women (sensitivity 76.3%; specificity 62.5%), while the assessment of CK-MB activity has an AUC of 95.2% with a cut-off of 14.55 U/L (sensitivity 92.5%; specificity 87.5%) in the diagnosis of AMI. Statistically, there was no significant relationship found between the total CK value [OR= 0.99; p= 0.98] and CK-MB activity [OR= 1.31; p= 0.58] with the occurrence of MACE in ACS patients with CKD. Based on these results, the total CK assay at the upper limit of the reference value, and CK-MB activity at the 14.55 U/L cut point can be used as an alternative biochemical cardiac markers in the diagnosis of AMI in ACS patients with CKD, but cannot predict the outcome of MACE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Gunawan
"A number of investigations reported that hyperhomocysteinemia (hHcy) is a risk factor for vascular diseases. Some casecontrol studies find that total homocysteine (tHcy) level is higher among stroke ischemic patients. if hHcy in stroke ischemic patients is due to genetic defect, their children may inherit that. And if the causes are nutritional deficiencies or lifestyle determinants, their children may have that also. So, it may be expected that hHcy is more prevalent among the children of stroke ischemic patients. The role of Hcy in vascular disease has been investigated in many studies. One of vascular phenotypes observed in hHcy is endothelial dysfunction, manifested by decreased bioavailability of endothelium derived nitric oxide (NO). Hypertension, hypercholesterolemia, diabetes mellitus, and smoking can also decrease NO released from endothelial cells. The aim of this study was to find proportion of hHcy, and the pattern of NO level among the children of stroke ischemic patients. In addition, we examined the relationship between plasma tHcy, hypertension, LDL-cholesterol, and HbAlc 'with NO production, by measuring nitrate-nitrite (NOx) level, as its metabolites. This cross sectional study includes 86 childrenof stroke ischemic patients, who fulfilled study criteria. The proportion of hHcy is in the range of 11,6 } 6,9%. The NOx level of 40 subjects which are randomly selected from the 86 subjects, have the median of 80,99 µM (42,9 - 226,8 1.M). There is no significant relationship between plasma tHcy with NOx level (r = 0,220, p = 0,086). There is no significant relationship between systolic, and diastolic blood pressure, LDL-cholesterol, HbAlc, and history of hypertension with plasma NOx level (r = 0.073 ; p = 0.327, r = 0,220, p = 0,086, r = -0,207 ; p = 0,100, r = 0,261 ; p = 0,052 dan r = 0,119, p = 0,233). The NOx level of subjects .with hHcy, history of hypertension, elevated systolic, diastolic blood pressure, and high LDL-cholesterol level tends to be higher than the subjects with Hcy level < 15 µM, Without hypertension history, normotensive, and subjects with normal LDL-cholesterol level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumawas, Ashwin Marcel
"LATAR EELAKANG
Kejadian stroke menimbulkan kerusakan sel otak. Berbagai faktor risiko telah dikenal meliputi faktor risiko mayor dan minor. Kadar magnesium endogen sebagai salah satu faktor risiko kerusakan set otak masih belum banyak dianalisa dengan berbagai hasil penelitian yang masih kontroversial.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif longitudinal (retreated measurement design) dengan data printer diperoleh dari penderita stroke iskemik yang berobat ke RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis stroke iskemik dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan CT Scan atau MRI kepala. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, analisa urin, EKG, dan foto thoraks pada saat masuk. Dilakukan pemeriksaan magnesium serum, plasma, eritrosit pada hari ke-2, ke-4 dan ke-7 dan skor NIHSS pada hari dan saat yang sama.
HASIL
Jumlah objek penelitian 53 orang. Sebagian besar rerata magnesium serum dan plasma dalam batas normal (1,4-2,0 mmEq/l) pada tiap hari pengambilan (Mg serum 67,9% - 90,6%, Mg plasma 75-5% - 88,7%) sedangkan ditemukan hipoMg eritrosit pada hari ke-4 dan ke-7 onset stroke (81,1 % dan 73,6%). Ditemukan hubungan sangat bermakna antara Mg serum dengan Mg plasma pada tiap hari pengambilan (p=0,000) dan hubungan bermakna antara Mg serum dengan Mg eritrosit (p=0,02) dan Mg plasma dan Mg eritrosit (p=0,033) pada hari ke-4. Ditemukan hubungan bermakna independen antara Mg plasma hari ke-4 dengan NIHSS hari ke-4 (p=0,005) di samping faktor risiko riwayat stroke /TIA, aritmia jantung dan hiperkoleslerolemia dengan NIHSS.
KESIMPULAN
Penderita iskemik serebral menunjukkan perubahan kadar Mg serum, plasma, eritrosit yang dipengaruhi berbagai faktor risiko lain dan hubungan bermakna antara kadar Mg plasma dan skor NIHSS hari ke-4.
KATA KUNCI: Stroke iskemik, hipertensi, magnesium serum, plasma, eritrosit, NIHSS.

PREFACE
Stroke causes damage to brain cells. Many risk factors of stroke are known like mayor and minor risk factors. Endogen magnesium level as one of risk factor of brain cell damage is analyzed rarely with the controversially results of its studies.
METHOD
The design of this study was repeated measurement with its primary data were collected from ischemic stroke patients in Cipto Mangunkusumo hospital who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Diagnosis of stroke was made by physical exam, CT scan or head MRI and completed by blood and urine analysis, echocardiography and chest photo. Serum, plasma and erythrocyte Mg were collected on the 2nd, 4th, aid 7th days after onset and compared with NIHSS scores at the same times.
RESULT
There are 53 persons of subjects studied. Almost all means of the serum Mg and plasma Mg were in normal limits (1,4-2,0 mEq/l) on every days of data collection (serum Mg : 67,6%-90,6%, plasma Mg : 75,5%-88,7%), but there were erythrocyte hipoMg on the 4th and 7th days of stroke onset (81,1% and 73,6%). There were very significant relationship between serum Mg with plasma Mg (p=0,000) on every days of data collection and significant relationship between serum Mg with erythrocyte Mg (p=0,02) and plasma Mg with erythrocyte Mg (p 1,033) on the 4th day onset. There were significant independent relationship between plasma Mg on the 4th day onset with NIHSS in the same day (p=0,005), besides between the history of stroke/TIA, aritmia and hypercholesterolemia with NIHSS.
CONCLUSION
Cerebral ischemic patients showed changes of serum, plasma and erythrocyte Mg levels which were influenced by other risk factors and there was significant relationship between plasma Mg and NIHSS score in the 4th day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Juliawati Haliman
"Gangguan sirkulasi sering menimbulkan penyakit dengan angka kematian yang tinggi. D Indonesia gangguan sirkulasi sudah merupakan masaiah utama kesehatan Peningkatan kekentalan atau viskositas darah dapat merupakan penyebab langsung kegagalan sirkulasi Dengan semakin banyaknya kematian disebabkan oleh gangguan sirkulasi maka diperkirakan dimasa yang akan datang di Indonesia permintaan pemeriksaan rheologi seperti viskositas akan semakin meningkat. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi viskometer yang dimilik Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM sebelum dapat digunakan untuk kepentingan diagnosis dan mengikuti perkembangan suatu penyakit serta menetapkan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Selain itu juga dilakukan uji korelası dan dan uji regresi untuk mengetahui faktor-taktor seluler dan non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas darah dan faktor non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas plasma dan serum Subyek penelitian adalah 139 subyek berasal dari mahasiswa dan penderita yang memeriksakan darahnya di Laboratorium Patolog Klinik FKUI-RSCM Pada subyek tersebut dilakukan uji korelasi dan regresi antara viskositas darah, plasma dan serum dengan parameter seluler dan non seluler Khusus untuk uj korelasi antara viskositas darah dengan vanabel bebas dilakukan uji korelasi parsial dengan melakukan kontrol terhadap variabel yang pengaruhnya pada viskositas darah paling besar yaitu Ht, Hb dan jumlah eritrosit Dari 139 subyek di atas diambil 20 subyek pria dan 20 subyek wanita baik yang memenuhi kriteria untuk dilakukan penetapan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Didapatkan hasil uji ketelitian dan ketepatan viskometer Brookfield LVDV-III Didapatkan nilai rujukan viskositas darah pada pria 3 77- 497 mPa s dan pada wanita 3.36-4 20 nilai rujukan viskositas plasma pada pria dan wanita sama yaitu 1 38-1 70 mPa s. Didapatkan mPa s, Sedangkan nilai rujukan viskositas serum pria lebih tinggi dani wanita yaitu 1 18-1 54 vs 1.19- 1.43. Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas darah Hb (r =0.8281. p 0.000), Ht (r = 0.8358, p = 0.000), hitung enitrosit (r = 0.7454, p=0000) Sedangkan pada uji korelasi parsial setelah dilakukan kontrol terhadap Ht Hb dan entrosit didapatkan korelasi antara viskositas darah dengan log. hitung leukosit (r = 0.3694, p = 0.000), log LED (r = 0.3575, p 0 000), log. hitung trombosit (r= 0.2340, p= 0 006), log trigliserida (r = 0.3707, p = 0 000), log K total (r 0.3331, p = 0.000), K LDL (r = 0 2812, p = 0.001), protein total ( r 0 1981, p 0.021) globulin (r = 0.2598, p 0.002, log glukosa (r = 0 2462, p 0 004), asam urat (r = 0.2667, p= 0.002) dan log fibrinogen ( r = 0 4387, p = 0.000) Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas plasma dengan log fibrinogen (r = 0.2705 p = 0.001), protein total (r= 0.2362. p = 0.005 dan globulin (r = 0.2420, p = 0.004). Pada uji korelasi bivarial didapatkan korelasi antara viskositas serum dengan protein total (r = 0.1786, p = 0.035) dan log trigliserida (r = 0.2037, p= 0.016). Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas darah dipengaruhi oleh Ht, log hitung leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida dengan R² persamaan 077 Pada regresi ganda bertahap didapatkan viskositas plasma dipengaruhi oleh log fibrinogen dan protein total denga R persamaan 0.11. Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas serum hanya dipengaruhi oleh log trigliserida dengan R² persamaan hanya 0.04. Dari hasi uji korelasi tampak bahwa faktor seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah eritrosit (Ht, r = 0.8358) sedangkan faktor non seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah log fibrinogen (r = 0.4367). Faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas plasma adalah log fibrinogen (r = 0.2705) dan faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas serum adalah log triglisenda (r = 0.2037) Sebagai kesimpulan didapatkan korelasi yang baik antara viskositas darah dengan Ht dan Hb dan korelasi sedang antara viskositas darah dengan jumlah eritrosit. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas darah dengan log jumlah leukosit, log LED, log jumlah trombosit. log trigliserida, log K total, K LDL, log fibrinogen, protein total, globulin, log glukosa dan asam urat. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas plasma dengan log fibrinogen, protein total dan log traglisenda Didapatkan kontribusi Ht, log. leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida pada viskositas darah. Didapatkan kontribusi log fibrinogen dan protein total pada viskositas plasma Didapatkan kontribusi log trigliserida pada viskositas serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilya Kuswandi
"Diabetes melitus (DM) merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta merupakan penyebab penting timbulnya kecacatan dan kematian. Dari semua kasus DM, DM tipe 2 mencakup lebih dari 90% dari semua pasien diabetes. Nefropati diabetik dan retinopati diabetik merupakan komplikasi mikroangiopati pada DM tipe 2 yang paling ditakuti dan keduanya sering ditemukan bersamaan. Perkembangan lanjut dari keduanya menyebabkan gagal ginjal tahap akhir dan kebutaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar albumin urin dalam membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.
Penelitian potong lintang ini terdiri dari 100 subyek yang terbagi atas kelompok retinopati diabetik 50 orang dan non retinopati diabetik 50 orang dari populasi DM tipe 2. Penderita didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Untuk retinopati diabetik dan non retinopati diabetik, diagnosis dilakukan dengan foto fundus pada pupil yang didilatasi oleh dokter Divisi Retina Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Pada kedua kelompok dicatat data karakteristik subyek dan dilakukan pemeriksaan kadar albumin urin.
Kadar albumin urin pada kelompok retinopati diabetik lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada kelompok non retinopati diabetik (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). Nilai cut-off kadar albumin urin untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik adalah 118 mg/g kreatinin dengan sensitivitas 72%, spesifisitas 78%, nilai duga positif 77%, nilai duga negatif 74%, rasio kemungkinan positif 3,27 dan rasio kemungkinan negatif 0,36.
Kami menyimpulkan pemeriksaan kadar albumin urin dapat dipakai untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.

Diabetes mellitus (DM) is a worldwide public health concern as they impose enormous medical, economic and social costs on both patient and the health care system. Together they contribute to serious morbidity and mortality. Type 2 DM affects more than 90% of all DM cases. Diabetic nephropathy and diabetic retinopathy are the two most dreaded complications of diabetes and frequently found together. Progression of both is the leading cause of end-stage renal disease and blindness. The aim of this study is to investigate albumin urine level in distinguishing diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy.
This cross-sectional study consisted of 100 respondents, in which 50 of them were categorized as diabetic retinopathy and 50 as non-diabetic retinopathy. The patients were diagnosed with type 2 DM by a doctor from Endocrinology Metabolic Division of Internal Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Meanwhile diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy were diagnosed by ophthalmologist from Retina Division of Eye Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Baseline characteristics of both groups were recorded and the albumin urine level was measured.
The albumin urine level in diabetic retinopathy group was significantly higher than that in the non-diabetic retinopathy group (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). The albumin urine level cut-off value used to distinguish diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy was 118 mg/g creatinine with sensitivity of 72%, specificity of 78%, positive predictive value of 77%, , negative predictive value of 74%, positive likelihood ratio of 3,27, and negative likelihood ratio of 0,36.
We conclude that albumin urine level test can be utilized to distinguish diabetic retinopathy from non-diabetic retinopathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Banjarnahor, Reny Damayanti
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan hiperglikemia sebagai karakteristik utama. Hiperglikemia terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga komplikasi akibat DM tidak dapat dihindari. Pengendalian terjadinya komplikasi dilakukan dengan kontrol glikemik secara teratur. Pemeriksaan kontrol glikemik antara lain dengan glukosa darah puasa, HbA1c, dan fruktosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kadar fruktosamin dan HbA1c pada diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol, mengetahui perubahan kadar fruktosamin dan HbA1c setelah terapi 2 minggu dan 8 minggu, serta hubungan antara keduanya.
Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 33 subyek yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 9 orang laki-laki. Subyek penelitian diikuti selama 2 minggu dan 8 minggu sejak dilakukan perubahan terapi. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai April 2015. Subyek yang termasuk dalam penelitian adalah diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan HbA1c>7%.
Hasil penelitian diperoleh nilai median dan rentang fruktosamin pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 berturut-turut 362 μmol/L (257-711), 327 μmol/L (234-616), dan 350 μmol/L (245-660). Kadar HbA1c memiliki nilai median dan rentang pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 yaitu 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7), dan 8.4% (5.9-14.2). Terdapat penurunan bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c dengan p<0.001. Adanya korelasi yang kuat dan arah korelasi yang positif antara fruktosamin dan HbA1c (minggu ke-0, r=0.86; minggu ke-2, r=0.82; minggu ke-8, r= 0.84).
Pada penelitian ini diperoleh penurunan yang bermakna kadar fruktosamin dan HbA1c pada 2 minggu dan 8 minggu setelah terapi dengan korelasi yang kuat ( r > 0.8) dan arah korelasi positif. Fruktosamin lebih baik digunakan untuk kontrol glikemik jangka menengah (2 minggu) sedangkan HbA1c lebih baik dipakai untuk kontrol glikemik jangka panjang (8 minggu).

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with hyperglycemia as the main characteristics. Hyperglycemia occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Approximately 50% of people with diabetes in Indonesia have not been diagnosed, thus complications due to diabetes cannot be avoided. Taking control of diabetes mellitus can be done through glycemic control measurements on a regular basis. Fasting blood glucose, HbA1c, and fructosamine tests are lists of key features for glycemic control measurements.
The aims of this study was to overview the levels of fructosamine and HbA1c in uncontrolled type-2 diabetes mellitus, determine changes in fructosamine and HbA1c levels after two weeks and eight weeks of treatment, and analyze the relationship between the two.
This study used a prospective cohort design with 33 subjects consisted of 24 women and 9 men. Subjects were followed for two weeks and eight weeks after the initial therapy amendment. The study began in February and April 2015. The subjects included in the study were uncontrolled type-2 diabetes mellitus with HbA1c> 7%.
Fructosamine concentration, given as median and range values, at weeks 0, 2, and 8 were 362 μmol/L (257-711), 347 μmol/L (234-660), and 333 μmol/L (235-676), respectively. HbA1c levels (median and range) at weeks 0, 2, and 8 were 9.3% (7.1-14.8), 8.8% (6.9-12.7) and 8.4% (5.9-14.2). There was a significant reduction of fructosamine and HbA1c levels (p <0.001). A strong and positive correlation were found between fructosamine and HbA1c (week 0, r = 0.86; week 2, r = 0.82; week 8, r = 0.84).
From this study, it can be concluded that fructosamine and HbA1c levels were significantly reduced at weeks 2 and 8 after treatment, with a positive strong correlation (r> 0.8). Thus, fructosamine is preferable for medium-term (two weeks) glycemic control while the HbA1c is preferred for long-term (eight weeks) glycemic control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>