Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ignatius Sinu
Abstrak :
Indonesia yang pembangunannya berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan dimensi pembangunan kerakyatan dalam usaha mengelola dan memanfaatkan surmber daya alam dalam rangka pembangunan ekonomi nasional telah mampu menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin stabil dan dinamis. Rakyat baik yang berdiam di kota-kota besar maupun yang berdiam di pelosok-pelosok pedesaan meletakkan tumpuan harapannya dari sukses program pembangunan perekonomian nasional tersebut.

Titik berat dari pembangunan perekonomian nasional selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) adalah pada sektor pertanian, karena itu sukses pembangunan perekonomian nasional yang saya maksudkan di sini adalah di sektor pertanian. Pembangunan di sektor ini telah mampu membawa perekonomian nasional memasuki kondisi swasembada pangan, khususnya beras, sejak Pelita IV, tepatnya tahun 1984. Lebih dari itu kenyataan yang terus dialami masyarakat petani Indonesia dewasa ini adalah bahwa pelbagai bentuk inovasi teknologi pembangunan pertanian seperti: intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi tersebar luas ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di dalamnya wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), propinsi yang sebagian wilayahnya berlahan kritis.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli
Abstrak :
Aktivitas pembukaan dan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh warga komuniti lokal atau penduduk yang berdiam di dalam dan sekitar hutan tidak selalu berakhir pada terjadinya deforestasi. Orang Krui yang bermukim di belahan barat pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Lampung, adalah para aktor yang mampu membangun keselarasan fungsi ekonomis dari hutan dengan fungsi ekologis, bahkan juga fungsi sosial dan kultur al. Mereka bukanlah para peramu atau perambah hutan, melainkan para aktor yang secara sadar membuka dan menanami petak demi petak hutan alam dengan berbagai tanaman produktif; tapi yang secara sadar Pula menempatkan sistem wanatani repong damor sebagai fase final dalam pengelolaan lahan hutan. Apa yang menyebabkan sebagian dari mereka mempertahankan pengelolaan lahan dengan sistem repong damor sementara sebagian yang lain pemah mengkonversinya ? Kajian ini berusaha menjelaskan bagaimana petani Krui mengambil keputusan dalam menentukan pengelolaan lahan hutan dan mengungkapkan insentif-insentif yang mendasari keputusan mereka dalam pengelolaan lahan hutan. Penelitian lapangan yang menjadi acuan bagi penulisan tesis ini difokuskan di dua desa di daerah pesisir Krui Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung selama 4 bulan (Juli aid Nopember 1995). Dengan menggunakan pendekatan prosesual dan kombinasi beberapa metode konvensional dalam antropologi, kajian ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani Krui dalam hat mempertahankan atau mengkonversi sistem repong domar didasari oleh paling sedikit empat macam insentif. Keempat macam insentif tersebut adalah insentif ekonomis, ekologis, sosial dan kultural. Keberlarijutan pengelolaan lahan hutan dengan sistem wanatani repong damor akan ditentukan oleh keseimbangan peran keempat insentiftersebut dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani Krui.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi Eka Tjahjono
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mempelajari dan memahami tentang hubungan antara pranata sosial-ekonomi dengan kondisi kemiskinan dan pemiskinan masyarakat di desa Meok. Secara khusus penelitian ini mengkaji hubungan antara pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dan kemiskinan serta pemiskinan masyarakat Desa Meok.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan teori, khususnya pada masalah-masalah antropologi pembangunan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran untuk memahami gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dalam proses pembangunan, sehingga dapat dibuat suatu kebijakan atau keputusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Konsep kemiskinan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai kondisi kerentanan dan ketidakmampuan yang dialami individu atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Sedang konsep pemiskinan dirumuskan sebagai proses yang menyebabkan individu atau masyarakat menjadi miskin atau bertambah miskin. Pranata sosial-ekonomi dalam penelitian ini dirumuskan sebagai sistem hubungan sosial yang mantap yang mengatur pola produksi, pola distribusi dan pola konsumsi dalam memenuhi keperluan (kebutuhan) pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan.

Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tak berstruktur--berfokus, artinya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para informan tidak dengan struktur tertentu tetapi tetap terfokus kepada satuan-satuan gejala yang menjadi pokok kajian penelitian ini. Hasil wawancara ada yang. direkam ke dalam pita kaset, ada yang dicatat langsung dan ada pula yang dicatat kemudian, tergantung dari suasana dan individu yang diwawancarai.

Macam data yang dikumpulkan melalui pengamatan terlibat meliputi jenis mata pencarian, pengolahan komoditas, jenis peralatan dan cara penggunaannya, pendistribusiannya, pola konsumsinya dan kondisi lingkungan hidupnya. Untuk memperoleh gambaran yang lebih realistis maka masalah-masalah tersebut dilacak pada tingkat pendapatan keluarga, tingkat pengeluaran rata-rata perbulan (pola konsumsinya), tingkat pendidikan dan kesehatan.

Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan infomasi mengenai pandangan-pandangan masyarakat Desa Meok yang mencakup norma-norma atau aturan-aturan yang tercermin pada pranata sosial-ekonominya, tentang pengalaman dan perasaannya yang berhubungan dengan keadaan kemiskinan dan pemiskinan.

Penelitian ini dilakukan di Desa Meok, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Pemilihan desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena Desa Meok merupakan desa yang mayoritas penduduknya terdiri dari suku bangsa Enggano, dan kondisi masyarakatnya sebagian besar masih dalam keadaan miskin.

Hasil penelitian mengungkapkan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat Desa Meok sebagai berikut: bahwa orang atau rumah tangga yang dikategorikan miskin mempunyai ciri-ciri rumahnya jelek, tidak punya uang, tidak punya apa-apa, tidak pernah pergi ke Bengkulu, pekerjaannya hanya sebagai anak buah (buruh). Dalam batasan tentang kemiskinan, tidak terdapat unsur pemilikan luas lahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, hal ini disebabkan oleh kondisi dan situasi lokalitas mereka. Dengan demikian batasan mengenai kemiskinan dapat dirumuskan sebagai kondisi individu atau rumah tangga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya; mobilitasnya rendah dan kedudukan dalam struktur pekerjaan hanya sebagi buruh.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola produksi yang belum mampu memberikan nilai tambah yang lebih maksimal terhadap sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Meok dalam menghadapi persaingan bebas dalam pola distribusi yang cenderung mengarah kepada sistem ekonomi pasar. Rendahnya produktivitas dan kecilnya nilai tambah serta kekalahan dalam transaksi menyebabkan tingkat pendapatan rumah tangga mereka dengan sendirinya menjadi sedikit. Dengan pendapatan yang sedikit tersebut akan menjadi hambatan atau kendala bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Di samping tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya mereka juga tidak punya kesempatan untuk mengakumulasikan surplus dalam rangka investasi untuk pemilikan faktor produksi.

Sikap dan perilaku masyarakat golongan miskin dalam menghadapi gejala sosial di lingkungannya ditunjukkan (diungkapkan) melalui gejala kepasrahan yang menjurus pada fatalisme dalam kehidupan sehari-hari, dan partisipasi semu dalam memberikan respon terhadap pembangunan. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membiarkan kondisi kemiskinan tersebut melembaga di dalam lingkungan sosialnya. Ini dapat diamati dalam orientasi mereka terhadap masa depan, misalnya dalam perilaku menabung atau menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi belum tampak dalam kehidupan masyarakat miskin di Meok. Juga dalam proses penerusan (pewarisan) jenis pekerjaan yang dilakukan orangtuanya kepada anak-anaknya yang mulai meningkat remaja. Jika hal ini berlangsung secara berlanjut terus menerus dari orangtua ke anak-anaknya maka besar kemungkinannya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di Desa Meok akan menjadi suatu gaya hidup atau way of life.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Rochana
Abstrak :
ABSTRAK
Masyarakat nelayan masih termasuk masyarakat yang secara nasional berpendapatan berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini terlihat, dibandingkan dengan ketentuan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) nasional yang besarnya minimal Rp 46.000,- per kapita per tahun, maka KFH masyarakat nelayan rata-rata baru mencapai Rp 35.000,- per kapita per tahun (Biro Pusat Statistik, 1987; lihat juga Rachman, 1983 :12 ). Padahal apabila dilihat potensi kekayaan laut Indonesia sangatlah melimpah, namun potensi tersebut belum bisa dimaitfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, dari luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 km2 dengan potensi lestari 8,8 juta ton per tahun, baru dimanfaatkan sekitar 24% dari potensi lestari yang tersedia.

Masih adanya ketimpangan antara potensi yang tersedia dan tingkat pemanfaatan tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi yang tersedia. Rendahnya tingkat produksi ini disebabkan penyebaran potensi dan penyebaran pemanfaatannya tidak merata. Penyebaran potensi akan terlihat tidak merata, yaitu sebagian terbesar potensi perikanan laut (81,6%) terdapat di perairan Indonesia Timur, Samudra Indonesia, dan Laut Cina Selatan. Sedangkan sebagian kecil potensi perikanan laut (38,4%) terdapat di perairan Selat Malaka, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali. Apabila dilihat penyebaran pemanfaatannya, juga terlihat tidak menyebar merata. Di Perairan Indonesia Timur (kecuali Selatan Sulawesi), Samudra Indonesia, dan Laut Cina Selatan tingkat pemanfaatannya masih rendah. Di lain pihak, di Perairan Selat Malaka, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali tinggkat permanfaatannya sudah mencapai melebihi penangkapkan (overfishing) (Rachman,ibid).

Selain rendahnya tingkat produksi, adanya ketimpangan antara potensi lestari dan tingkat pemanfaatan tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat teknologi yang digunakan masih rendah. Masih rendahnya tingkat teknologi yang digunakan mengakibatkan bahwa kegiatan penangkapan masih terpusat pada perairan pantai. Padahal di daerah pantai yang berpenduduk padat seperti Pantai Timur Sumatera, Laut Jawa bagian Utara, dan Selat Bali kondisi sumber dayanya sudah melebihi penangkapan. Lebihnya penangkapan sumber daya di daerah ini disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tidak seimbang dengan proses pemulihan populasi ikan. Proses pemulihan populasi ikan di daerah ini sangat lamban sebab tempat hidupnya (habitat) semakin rusak dan upaya penangkapan yang tidak terkendali. Menurut hasil survai Ekonomi Perikanan Laut yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Perikanan {1985), bahwa produktivitas para nelayan di daerah ini menurun dari 1,49 ton rata-rata pada tahun 1979, menjadi 1,34 ton rata-rata pada tahun 1983, atau rata-rata 2,6% per tahun (dalam Susilowati, 1987:119).

Selain terbatasnya daerah penangkapan, kurangnya pemanfaatan teknologi penangkapan juga mengakibatkan bahwa aktivitas penangkapan mempunyai resiko relatif besar. Salah satu indikasi dari resiko yang relatif besar ini dapat dilihat dari jumlah hari kerja nelayan. Dari Survai Sosial Ekonomi Perikanan Laut di Pantai Utara Laut Jawa yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1985), bahwa rata-rata jumlah hari kerja yang digunakan nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya 151 hari per tahun. Sedikitnya hari kerja per tahun ini disebabkan adanya naik turun atau fluktuasi hari kerja penangkapan pada musim panen ikan (bulan September - Nopember) dan musim tidak ada ikan (bulan floret - Agustus). Dengan demikian, meskipun laut menyediakan sumber ekonomi yang potensial bagi kelangsungan hidup manusia namun pekerjaan untuk memperolehnya beriangsung dalam suatu lingkungan berbahaya dan penuh ketidakmenentuan. Bahaya dan ketidakmenentuan ini tidak hanya disebabkan oleh kondisi-kondisi alam dan biotik laut serta terjadinya perubahan-perubahan lingkungan fisik tersebut, juga oleh kondisi-kondisi lingkungan sosial ekonomi dimana aktivitas penangkapan berlangsung (lihat Aeheson,1981:276).
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darsono Prawironegoro
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Doloressa
Abstrak :
Industri fosfat di Indonesia menggunakan batuan fosfat dari Jordania, Maroko, Mesir dan Cina yang merupakan hasil tambang yang mengandung TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Materials) yang umumnya terdiri atas 238U, 232Th, 228Th, 226Ra, 228Ra, 40K, 210Pb, 210Po, 222Rn dan 220Rn, yang mempunyai waktu paro sangat panjang. TENORM tersebut dapat memberikan kontribusi pajanan radiasi eksterna maupun interna kepada pekerja yang terlibat langsung dalam industri fosfat secara terus menerus. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pengawasan terhadap TENORM pada industri fosfat. Penelitian menggunakan desain studi eksplorasi yang merupakan suatu penelitian dengan melakukan analisis kualitatif terhadap data yang dikumpulkan melalui wawancara maupun kajian literatur. Analisis data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu melakukan perhitungan dengan menggunakan program RESRAD dan melakukan analisis literatur terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan TENORM, baik peraturan yang ada di Indonesia maupun di negara lain. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa konsentrasi aktivitas radionuklida yang terkandung di dalam TENORM pada umumnya melebihi 1 Bq/g, dan perkiraan nilai total dosis efektif yang diterima pekerja di daerah kerja pada umumnya melebihi 1 mSv per tahun. Untuk itu, kebijakan pengawasan TENORM pada industri fosfat dapat diterapkan melalui koordinasi yang efektif dalam melindungi pekerja di industri fosfat antara BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), selaku lembaga pengawas pemanfaatan tenaga nuklir, dengan badan pengawas terkait lainnya, seperti DEPPERIN, DEPNAKERTRANS, KLH, ESDM, PEMDA. Selain itu, kebijakan tersebut juga dapat diterapkan melalui pelaksanaan intervensi dengan tindakan remedial atau perizinan, yang baru dapat diterapkan setelah melaksanakan pengkajian dan analisis lebih lanjut.
The phosphate ores used in the phosphate industry in Indonesia are imported from Jordan, Marocco, Egypt, and China; ores that contain TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Materials) generally consisting of 238U, 232Th, 228Th, 226Ra, 228Ra, 40K, 210Pb, 210Po, 222Rn and 220Rn, whose half lives are very long. The TENORM can contribute to the internal and external radiation exposures to the workers directly and continuously involved in the phosphate industry. The objective of the study is to provide recommendations on the regulatory policy of TENORM in the phosphate industry. The exploration study design is used in the study and is conducted by qualitatively analyzing the data gathered from interviews and references. Data analysis is carried out by using RESRAD software for the calculation and by studying relevant regulations concerning TENORM in Indonesia and in other countries. The results show that the activity concentrations of the radionuclides contained in the TENORM generally exceed 1 Bq/kg and the total estimated effective dose received by the workers in the working environment in general surpass 1 mSv/yr. Therefore, the regulatory policy of TENORM in the phosphate industry can be implemented through an effective coordination between BAPETEN (Nuclear Energy Regulatory Agency), as the competent regulatory authority in the utilization of nuclear energy, and other regulatory authorities, such as DEPPERIN (Department of Industry), DEPNAKERTRANS (Department of Labor and Transmigration), KLH (Ministry of Environment), ESDM (Department of Energy and Mineral Resources), and PEMDA (Provincial Government) with the aim to protect the workers in the phosphate industry. In addition, the policy can also be implemented through intervention by remedial action or through licensing, which can only be executed after further analysis and assessment.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T41270
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library