Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mustaqim Prasetya
Abstrak :
[Latar Belakang Gangguan penglihatan adalah gejala kedua yang sering muncul pada tumor otak setelah nyeri kepala. Gejala gangguan penglihatan yang paling sering terjadi pada tumor otak adalah penurunan visus atau tajam penglihatan (low vision sampai kebutaan), sedang tanda yang paling sering dijumpai adalah atrofi n. optikus dan papilledema. Penurunan tajam penglihatan yang dialami penderita tumor otak dapat sangat berat hingga berupa kebutaan. Sampai saat ini belum terdapat data angka kejadian gangguan penglihatan sampai kebutaan pada tumor otak di Indonesia. Metode Sebagai studi potong lintang analitik, dikumpulkanlah data pasien penderita tumor otak di atas usia 6 tahun yang datang berobat ke poliklinik Bedah Saraf FKUIRSCM pasien September 2013 hingga Februari 2014 dari catatan rekam medis. Hasil Jumlah pasien tumor otak yang mengalami buta sebanyak 37 orang (34,6 %) dengan usia rata-rata 45,3 (SD 11,3 tahun). Sebesar 86,5 % penderita berada pada usia produktif 15-54 tahun. Dari 37 pasien tumor otak yang buta terlihat proporsi gejala penyerta terbesar adalah sefalgia (terutama sefalgia kronis), diikuti oleh gangguan oftalmologi lain. Data pemeriksaan funduskopi hanya ditemukan pada kurang dari 50 % penderita, dengan temuan yang terbanyak adalah papil atrofi. Kesimpulan Besar angka kebutaan pada pasien tumor otak menunjukkan bahwa kondisi ini tidak hanya menjadi masalah medis saja tetapi juga masalah sosial yang serius. Banyaknya jumlah pasien tanpa data funduskopi menandakan masih lemahnya standar pemeriksaan neurooftalmologi ataupun pencatatan yang ada saat ini, padahal pemeriksaan funduskopi berperan sangat penting mendeteksi dini kejadian tumor otak pada pasien dengan gangguan penglihatan. ......Background Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia. Method As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014. Result As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy. Conclusion Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment.;Background Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia. Method As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014. Result As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy. Conclusion Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment., Background Vision impairment is the second most common symptom in brain tumor after headache, with decreased visual acuity or low vision as its most common manifestation, and optic nerve atrophy and papilledema as its most common sign. Blindness may be the final outcome of this impairment. Until now, there is no data regarding the prevalence of vision impairment in brain tumor patient in Indonesia. Method As a analytic cross-sectional study, data is collected from the medical record regarding brain tumor patient above the age of 6 years old who were seen in the neurosurgery facility in FKUI-RSCM from September 2013 to February 2014. Result As much as 37 patient (34,6%) brain tumor patient were found to be blind; mean age was 45,3 years old (SD 11,3 years old), with 86,5% patient was in the productive age 15-54 years old. The commonest related symptoms was headache (especially chronic headache), followed by other ophthalmologic symptoms. Funduscopy data was found only in less than 50% patient; the commonest finding was optic nerve atrophy. Conclusion Blindness rate in brain tumor patient is not just a medical issue, but also a social one. Funduscopy usage must be encouraged more to provide early detection for brain tumor patient with vision impairment.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesty Lidya Ningsih
Abstrak :
Latar Belakang: Enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT merupakan suatu DNA-repair enzyme yang dapat menghambat proses kematian sel tumor akibat proses alkilasi oleh zat alkilasi termasuk zat kemoterapi. Enzim ini berhubungan dengan mekanisme pertahanan tumor terhadap zat kemoterapi. Eskpresi dari enzim MGMT ini ditemukan tinggi pada pada berbagai tumor termasuk glioma. Metilasi promoter MGMT mengakibatkan gen dalam sel tumor berhenti menghasilkan MGMT. Adanya metilasi dari promoter MGMT dihubungkan dengan respon yang lebih baik terhadap zat alkilasi termasuk kemoterapi. Status metilasi dari promoter MGMT pada pasien glioma dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas kemoterapi dengan zat alkilasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil enzim O6-methylguanine-DNA methyltransferase MGMT pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah dan karakteristik pasien glioma di Departemen Bedah Saraf RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Peneliti mengumpulkan data profil MGMT yang diperiksa menggunakan methylation-specific polymerase chain reaction pada pasien glioma derajat tinggi dan glioma derajat rendah yang menjalani pembedahan di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam periode 1 tahun. Data berupa usia, jenis kelamin, Karnofsky Performance Scale KPS, and derajat serta jenis histopatologi tumor dikumpulkan. Hasil: Dalam periode 1 tahun terdapat 17 pasien dengan hasil histopatologi glioma derajat tinggi dan derajat rendah yang masuk kriteria inklusi. Promoter MGMT termetilasi ditemukan pada 11 pasien 64,7 dan tidak termetilasi pada 6 pasien 35,3. Promoter MGMT termetilasi methylated MGMT lebih banyak didapatkan pada pasien berusia ge; 40 tahun dibandingkan pasien yang berusia < 40 tahun 85,7 vs 50 dan pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan 77,7 vs 50. Sedangkan berdasarkan KPS, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada pasien dengan KPS > 70 dibandingkan dengan KPS le; 70 70 vs 57,1. Berdasarkan derajat keganasan, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak ditemukan pada glioma derajat rendah WHO grade II dibandingkan pada glioma derajat tinggi WHO grade III dan IV 85,7 vs 50. Pada glioma derajat tinggi, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada astrositoma/oligoastrositoma anaplastik WHO grade III dibandingkan glioblastoma WHO grade IV 66,6 vs 42,8. Pada glioma derajat rendah, promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada oligoastrositoma dibandingkan astrositoma difus 100 vs 75. Kesimpulan: Promoter MGMT termetilasi lebih sedikit ditemukan pada derajat tumor yang lebih tinggi WHO grade IV, KPS yang rendah, usia lebih muda saat diagnosis dan pasien wanita, meskipun perbedaannya belum dibuktikan signifikan secara statistik. Promoter MGMT termetilasi ditemukan lebih banyak pada tumor dengan komponen oligodendroglioma. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menentukan apakah metilasi promoter MGMT memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor tersebut. ...... Background: O6 methylguanine DNA methyltransferase MGMT is a DNA repair enzyme that correlates with resistance mechanism of tumors to chemotherapy. MGMT inhibits the killing process of tumor cells by alkylating agents including chemotherapy MGMT expression has been noted higher in several tumors including glioma.. Methylation of MGMT promoter inhibits the cells to produce MGMT. Methylation status of the MGMT promoter in gliomas is useful to predict the effectiveness of chemotherapy with alkylating agents. Objective: The purpose of this study was to evaluate profile of MGMT enzyme and characteristic of low grade and high grade glioma patients in Neurosurgery Department of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Methods: We evaluated data of MGMT promoter methylation status from methylation specific polymerase chain reaction result in low grade and high glioma patients who underwent surgical resection in Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusomo Hospital Jakarta. Demographic characteristic and clinical data of glioma patiens including age, sex, Karnofsky Performance Scale KPS, and grading of tumor were collected. Results: In one year period, there are 17 patients with pathological finding of low grade and high grade gliomas met criteria of inclusion. Methylated MGMT promoter was found in 11 patients 64.7 and unmethylated in 6 patients 35.3. MGMT promoter methylation was observed more often in patients diagnosed in age more than 40 years old than in patient less than 40 years old 85,7 vs 50, and men than women 77,7 vs 50. In patients with KPS more than 70 and KPS 70 or less, methylation of MGMT promoter was observed in 70 and 57,1, respectively. Base on tumors grading, MGMT promoter methylation was observed more often in low grade gliomas WHO grade II than high grade gliomas WHO grade II and IV 85,7 vs 50. In high grade glioma, methylation was observed more often in grade III tumors anaplastic astrocytomas oligoastrocytomas than grade IV tumors glioblastomas 66,6 vs 42,8. In low grade gliomas, methylation was observed more in oligoastrocytomas than difus astrocytomas 100 vs 75. Conclusions. MGMT promoter methylation was observed less in higher grade of tumors grade IV, lower KPS, younger age at time of diagnosis and female patients, although the differences were not statistically significant. MGMT promoter methylation was observed more often in gliomas with oligodendroglioma component. Further and larger scale of research is needed to determine whether MGMT promoter methylation significantly correlates with these factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyo Budi Premiaji Widodo
Abstrak :
Pendahuluan: Lem fibrin telah secara rutin digunakan dalam prosedur bedah saraf. Substansi ini dapat diperoleh dengan beberapa metode, dua yang paling populer adalah lem fibrin komersial (LK) yang siap pakai dan lem fibrin sintesis mandiri (SM). Studi ini membantu dokter bedah memilih lem yang sesuai dengan kebutuhan mereka, berdasarkan perbandingan sifat lekat mereka dalam pengukuran yang terstandar. Metode: lem fibrin komersial yang siap pakai dan lem fibrin sintesis mandiri diuji dengan uji tromboelastograf. Kenormalan distribusi data diuji dengan Shapiro-Wilk. Uji perbandingan dilakukan menggunakan uji Mann Whitney. Hasil: SM memiliki waktu reaksi (R) yang lebih lama daripada LK, dengan median 17,4 (12,3-20,1) menit dibandingkan dengan 0,2 menit, nilai p <0,001. SM memiliki nilai K (K) yang lebih lama daripada LK, dengan median 2,2 (2,0-2,8) menit dibandingkan dengan 0,8 menit, nilai p <0,001. SM memiliki amplitudo maksimum kekuatan (MA) yang lebih rendah daripada LK, dengan median 67,4 (63,9-69,4)% dibandingkan dengan 87,4 (80,9-92,5)%, nilai p <0,001. Secara kualitatif, LK memiliki trombus yang lebih pejal sedangkan trombus SM terikat pada cangkir TEG sampai akhir uji. Kesimpulan: Penulis menyarankan menggunakan SM untuk menutup perdarahan atau kebocoran yang tidak memiliki tekanan tinggi karena memiliki MA yang lebih rendah. Teknik premixed dapat digunakan untuk mengatasi R dan K yang lebih lama. ......Introduction: Fibrin glues have been used routinely in Neurosurgery procedures. This substance can be obtainad by several method, two most popular are ready-to–use two-component fibrin glue and cryoprecipitate glue. However, the popularity between two products are not equal. This study help surgeon choose better glue suitable to their need, based on comparison of their adhesive properties in standarized measurement. Methods: cryoprecipitate glue (CG) and two-component fibrin glue (TG) was tested by thromboelastograph assay analyzer. The data’s normality of distribution was tested by Shapiro-Wilk. The comparison test was done using Mann Whitney test. Results: CG has longer reaction time (R) than TG, with a median of 17.4 (12.3-20.1) minutes compared to 0.2 minutes, p value <0.001. CG has longer K value (K) than TG, with a median of 2.2 (2.0-2.8) minutes compared to 0.8 minutes, p value <0.001. CG has lower maximum amplitude of strength (MA) than TG, with a median of 67.4(63.9-69.4)% compared to 87.4(80.9-92.5)%, p value <0.001. Qualitatively, TG had more solid clot and CG’s clot attached to the TEG cup until the end of the test. Conclusion: Authors recommend using CG to seal bleeding or leakage without high tension due to its lower MA. Premixed technique is more suitable to overcome longer R and K.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Aulia
Abstrak :
Latar Belakang. Epidermal Growth Factor Receptor mengatur beberapa proses selular penting. Overekspresi EGFR merupakan penanda negatif prognosis pada glioma. Metode. Tujuh belas pasien astrositoma dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengevaluasi overekspresi EGFR. Seluruh pasien dievaluasi Karnofsky Performance Score 1 tahun pasca operasi. Hasil. Sembilan pasien high-grade glioma, 67 memiliki overekspresi EGFR yang positif dan hanya 1 pasien yang hidup dengan KPS 70. Empat pasien low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif, memiliki KPS 0. Kesimpulan. Low-grade glioma dengan overekspresi EGFR yang positif memiliki KPS yang rendah pada 1 tahun pasca operasi. ...... Background. Epidermal Growth Factor Receptor regulate several important cellular process. EGFR overexpression is one of negative prognostic marker in glioma. Method. Seventeen patients with astrocytoma were performed immunohistochemistry to evaluate EGFR overexpression. All of this patient evaluate for Karnofsky Performance Score at 1 year after surgery. Hasil. Nine patients with high grade glioma, 67 have positive EGFR overexpression, and only 1 patient still alive with KPS 70. Four patient in low grade glioma with positive EGFR overexpression have KPS 0. Conclusion. Low grade glioma with positive EGFR overexpression have a poor KPS at 1 year after surgery.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reki Setiawan
Abstrak :
Berdasarkan pengalaman Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), pasien datang berobat dengan durasi keluhan yang beragam untuk suatu diagnosis adenoma hipofisis. Sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional, semua pasien adenoma hipofisis yang datang ke institusi kami merupakan pasien rujukan dari dokter spesialis mata, spesialis saraf, maupun dokter spesialis bedah saraf dari institusi lain. Adenoma hipofisis dapat menyebabkan keluhan visus, lapang pandang, dan keluhan-keluhan lain yang diakibatkan oleh gangguan hormonal. Beberapa penelitian telah menyatakan hubungan antara durasi keluhan dengan luaran klinis dengan hasil yang signifikan. Pada penelitian ini akan dicari hubungan antara durasi, yang dihitung mulai dari awal keluhan sampai dilakukan tindakan operasi, dengan luaran visus dan lapang pandang pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid. Penelitian ini merupakan penelitian restrospektif pada pasien adenoma hipofisis yang dilakukan tindakan operasi dengan pendekatan transnasal transfenoid antara tahun 2015-2017. Seluruh operasi dilakukan oleh spesialis bedah saraf di RSCM. Semua pasien pada penelitian ini mengalami penurunan visus dan penyempitan lapang pandang. Durasi antara onset sampai dengan dilakukan tindakan operasi dihitung dalam satuan bulan. Dilakukan pemeriksaan visus dan lapang pandang 1 hari sebelum operasi dan dalam 1 sampai 2 bulan pasca operasi. Penelitian ini juga menghitung volume tumor, presentase tumor yang diambil, dan perluasan tumor, tetapi tidak dapat dilakukan uji statistik karena dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak. Tujuh puluh satu pasien dengan keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang dengan median usia 42 tahun (20-77 tahun). Terdapat 36 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 35 pasien perempuan. Median durasi mulai dari onset sampai dilakukan tindakan operasi untuk keluhan penurunan visus dan penyempitan lapang pandang adalah sama yaitu 12 bulan (1-108 bulan). Tedapat perbaikan visus pasca operasi pada 50 pasien (40,5%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi adalah 11 bulan (p=0,58). Pada pasien keluhan penyempitan lapang pandang didapatkan perbaikan klinis pada 48 pasien (67.6%), dengan median durasi onset sampai dilakukan tindakan adalah 12 bulan (p=0.01). Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi dengan luaran klinis lapang pandang. Perbaikan lapang pandang didapatkan pada pasien yang memiliki durasi onset sampai dilakukan tindakan operasi sampai dengan 12 bulan. ......Based on the experience of the Department of Neurosurgery, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital (FMUI-Cipto Mangunkusumo Hospital), patients came seeking treatment with varying duration of complaints for a diagnosis of pituitary adenoma. As a national referral center hospital, all pituitary adenoma patients who came to our institution were referred from ophthalmologists, neurologists, and neurosurgeons from other institutions. Pituitary adenomas can cause decrease of visual acuity (VA), narrowing visual field (VF), and other complaints caused by hormonal disorders.1 Several studies have showed that the duration of complaints were related significantly with clinical outcomes.2,3,4,5,6 In this study, we investigated the relationship between duration, which is calculated from the time of symptoms first appeared to the time of surgery, and outcome (visual field and visual acuity) in pituitary adenoma patients who underwent surgery via transnasal-transsphenoidal approach. This study used retrospective design on pituitary adenoma patients who was performed surgery via transnasal-transsphenoidal approach between 2015-2017. All surgeries were performed by neurosurgeons at RSCM. All patients in this study experienced decreased VA and narrowing of the VF. The duration between symptoms’ onset and surgery was calculated in months. VA and VF examinations were performed 1 day before surgery and within 1 to 2 months postoperatively. This study also calculated the volume of tumor, the percentage of tumor removal, and the extent of tumor, but statistical tests cannot be carried out on these parameters because more samples are needed. There were 71 patients with decreased visual acuity and narrowed visual field, consisted of 36 male and 35 female patients, with a median age of 42 years (20-77 years). The median length of duration of onset for both symptoms is the same, which was 12 months (1-108 months). Fifty patients (40.5%) had improved VA postoperatively, with median duration of onset was 11 months (p = 0.58). Clinical improvement in VF was experienced in 48 patients (67.6%), in which the median duration of onset was 12 months (p = 0.01) There was a statistically significant relationship between the duration of onset and the VF outcomes. Improvements in the VF were found in patients who underwent surgery up to 12 months after the time of onset.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovanka Naryai Manuhutu
Abstrak :
PENDAHULUAN : Cedera kepala menjadi penyebab kematian paling umum pada usia kurang dari 40 tahun di negara maju dan berkembang, luaran setelah cedera kepala masih menjadi masalah dan sulit diprediksi. GCS telah ditetapkan sebagai prediktor luaran cedera kepala akibat trauma maupun non-trauma, namun prediktor luaran cedera kepala lain saat ini telah banyak dipakai salah satu adalah biomarker neuroinflamasi yaitu Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) yang masih jarang diteliti. METODE : Penelitian prospektif ini didasarkan pada kasus cedera kepala sedang dan berat yang dilakukan operasi kraniotomi di multisenter rumah sakit pada November 2019-November 2020. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), gejala klinis serta hubungan RNL dan GCS sebagai prediktor luaran pada penelitian ini. Dilakukan analisis ROC untuk mendapatkan cut off RNL. HASIL : Dari 54 pasien cedera kepala sedang dan berat (GCS 7-13) pada November 2019-November 2020 didapatkan dominasi laki-laki 41 (75,9%) pasien dan perempuan 13 (24,1) pasien, usia (mean±SD) 27,6±15,3, GCS preoperasi (median; min-maks) 13 (7-13), gejala klinis pupil anisokor 33 (61,1), kejang 5(9,3), hemiparesis 1 (1,86), GCS pascaoperasi hari kelima dan ketujuh (median; min-maks) 14 (6-15). RNL Preoperasi 7,4 (1,9-26,2) dan untuk nilai cut off RNL 9,8 dengan spesisfisitas dan sensitifitas 87% yang signifikan dengan nilai p=<0,001. KESIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik RNL dan GCS preoperasi. Dimana dimana dengan nilai RNL yang rendah memiliki luaran fungsional yang baik sebaliknya pada pasien dengan RNL yang tinggi dengan luaran fungsional yang buruk. ......INTRODUCTION: Traumatic brain injury (TBI) is the most common cause of death on population less than 40 years old in developed and developing countries. The clinical outcome after TBI is still an issue and difficult to predict. GCS has been used to predict outcome after either traumatic or non-traumatic brain injury. But several other outcome factors also can predict outcome after TBI, such as neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) as one of neuroinflammation biomarkers. METHOD : This prospective study included moderate and severe TBI patients were performed craniotomy in a multicenter hospital, from November 2019 to November 2020. Chi-square analytic test was used to determine the relationship between demographics (age and sex), clinical symptoms, RNL and GCS as a predictors outcome of moderate and severe TBI. RESULT : 54 patients moderate and severe TBI (GCS 7-13) consist of 41 (75.9%) male and 13 (24.1%) female patients, age (mean±SD) 27.6±15.3, preoperative GCS (median; min-max) 13 (7-13), with asymmetric pupil 33 (61.1%), seizures 5 (9.3%), hemiparesis 1 (1.86%), and GCS postoperative on the fifth and seventh day (median; min-max) 14 (6 - 15). Preoperative NLR was 7.4 (1.9-26.2) and the cut off for NLR as a predictor for improved GCS was at 9.8 with a specificity and sensitivity of 87% with signification of p=<0.001. CONCLUSSION : There was a statistically significant relationship between preoperative RNL and GCS. Whereas with a low RNL value has a good functional outcome in contrast to patients with high RNL with poor functional outcome.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi. Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi. Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial. Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471) Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey. Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan. Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471) Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sayyid Abdil Hakam Perkasa
Abstrak :
Pengantar Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) diyakini berperan dalam infiltrasi meningioma ke tulang yang mengakibatkan hiperostosis. Studi prospektif ini diharapkan dapat mempelajari biomarker tersebut dan hubungannya dengan sifat infiltratif meningioma. Metode Penelitian ini bersifat prospektif dengan melakukan pengambilan sampel tumor bersama dengan tulang yang berdekatan melalui operasi. Pewarnaan hematoxylin dan eosin dilakukan untuk mengidentifikasi infiltrasi tumor ke calvaria dari spesimen tulang yang berdekatan. Uji imunohistokimia (IHK) sampel tumor dilakukan untuk menentukan intensitas MMP-9, yang diklasifikasikan menjadi empat kategori: negatif, lemah, sedang, dan kuat. Hasil Tiga puluh kasus meningioma menjalani kraniotomi pengangkatan tumor. Terdapat 18 (60%) sampel dengan hiperostosis, dan 17 (94,4%) diantaranya menginfiltrasi tengkorak. Tidak ada sampel dengan pewarnaan IHK negatif. Enam belas (59,26%) sampel tumor memiliki intensitas ekspresi MMP-9 sedang, ekspresi lemah ditemukan pada tiga sampel (11,11%), sedangkan intensitas kuat ditemukan pada delapan kasus (29,63%). Hasil kami menunjukkan hubungan yang signifikan antara infiltrasi tumor ke tulang dengan hiperostosis, tetapi intensitas MMP-9 tidak berkorelasi signifikan dengan hiperostosis dan infiltrasi tumor. Kesimpulan Sebagai salah satu enzim proteolitik, kami menemukan bahwa MMP-9 bukanlah faktor yang signifikan untuk infiltrasi meningioma ke tulang. ......Introduction Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) is believed to play a role in meningioma infiltration to the bone that results in hyperostosis. This prospective study is expected to learn about the biomarker and its relationship with the infiltrative nature of meningiomas Method A prospective analysis was conducted to retrieve meningioma samples along with adjacent bone through surgery. Hematoxylin and eosin staining was performed to identify tumoral infiltration to the calvaria from adjacent bone specimens. Immunohistochemical (IHC) tests of tumor samples were conducted to determine MMP-9 intensity, classified into four categories: negative, weak, moderate, and strong Results Thirty meningioma cases underwent craniotomy tumor removal. There were 18 (60%) samples with hyperostosis, and 17 (94.4%) of them infiltrated the skull. There was no sample with negative IHC staining. Sixteen (59.26%) tumor samples had moderate intensity expression of MMP-9, weak expression was found in three (11.11%) samples, while strong intensity was found in eight (29.63%) cases. Our result showed a significant relationship between tumor infiltration to the adjacent bone with hyperostosis, but the intensity of MMP-9 was not significantly correlated with hyperostosis and tumor infiltration. Conclusion As one of the proteolytic enzymes, we found that MMP-9 was not a significant factor for meningioma infiltration to the adjacent bone.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyun Miftahul Rahma
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Efek penurunan kadar hematokrit oleh manitol memberi manfaat lebih pada tata laksana cedera kepala. Kadar hematokrit 30-35% merupakan kadar hematokrit efektif untuk mendapatkan keluaran yang baik pasca cedera kepala. Meski dosis awal rekomendasi pemberian manitol memiliki rentang yang cukup besar antara dosis rendah dengan dosis tingginya, kedua dosis ini memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan Tekanan Intrakranial (TIK). Diduga kedua dosis ini juga memiliki efek yang sama terhadap penurunan kadar hematokrit. Metode. Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis dengan randomized controlled trial tersamarkan. Subjek penelitian adalah pasien cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) dengan gejala dan tanda klinis peningkatan TIK yang terindikasi mendapat terapi manitol yang datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan bersedia mengikuti penelitian. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik umum dan neurologis serta pemeriksaan kadar hematokrit. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0. Hasil. Diperoleh 30 subjek pasien cedera kepala sedang dan berat yang mendapat terapi manitol, masing-masing 15 orang untuk kelompok manitol dosis 0.5g / kgBB dan 1g/ kgBB. Terjadi penurunan kadar hematokrit sebesar 5% pada kelompok dosis 0.5g/ kgBB dan sebesar 6% pada kelompok manitol dosis 1g/ kgBB pasca 10 menit pemberian manitol. Kadar tersebut meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian. Didapatkan kecendrungan penurunan ratarata Mean Arterial Blood Pressure (MABP) dan frekuensi nadi pasca 10 menit pemberian manitol, yang kemudian mengalami peningkatan nilai saat dilakukan pengukuran 6 pasca jam pemberian. Didapatkan kecendrungan peningkatan GCS dan perbaikan reaktivitas pupil pada kedua kelompok dosis manitol di dua waktu pengukuran. Kesimpulan. Terdapat kecenderungan penurunan kadar hematokrit pasca 10 menit pemberian manitol, yang meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian pada kedua dosis manitol yang diteliti. Pada penelitian ini juga didapatkan kecendrungan perbaikan kondisi klinis pasien yang tidak berbeda pada kedua dosis manitol pasca 10 menit dan 6 jam pemberian.
ABSTRACT
Background: The decreasing effect of hematocrit due to mannitol gives additional benefit in management of traumatic brain injury (TBI). Hematocrit level of 30 - 35% is the effective level to obtain good outcome after TBI. Even though initial recommended dosage of mannitol has a relatively wide range between low and high dosage, both dosages have similar effectivity in reducing intracranial pressure (ICP). It is assumed that both dosages also have similar effect on decreasing hematocrit level. Methods: This was a clinical experimental study with double-blind randomized controlled trial. The study subjects were patients with moderate and severe TBI with signs and symptoms of increased ICP who have indications to be given mannitol and were hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta and agree to participate in the study. All subjects were interviewed, underwent general and neurological physical examination, as well as level of hematocrit. Data analysis were done by using SPSS 17.0. Results: There were 30 patients with moderate and severe TBI who received mannitol. They were divided into two groups, each consists of 15 patients. The first group received mannitol 0.5g/kgBW and the second group received 1g/ kgBW. Hematocrit level was decreased by 5% in the first group, and 6% in the second group after 10 minutes administration of mannitol. The hematocrit level was observed to increase to its normal value after 6 hours administration of mannitol. There was a tendency of decreasing Mean Arterial Blood Pressure (MABP) and heart rate after 10 minutes administration of mannitol, which then would increased after 6 hours after administration. In addition, there were also tendencies of increasing GCS and better pupillary reactivity in both groups on both measurement. Conclusions: The hematocrit level was found to decrease after 10 minutes administration of mannitol, and increase back to its normal value after 6 hours administration on both dosages. This study also found that moderate and severe TBI patients receiving mannitol tend to show clinical improvement which were similar on both dosages both after 10 minutes and 6 hours of adminstration.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Susanto
Abstrak :
ABSTRAK
Trauma merupakan penyebab kematian tertinggi pada populasi manusia berusia kurang dari 40 tahun. Adapun cedera kepala merupakan penyumbang kematian yang cukup besar, yaitu mencakup 30% di mana apabila disertai dengan kelainan koagulasi/koagulopati maka mortalitas pada cedera kepala dapat lebih tinggi lagi. Koagulopati dapat menyebabkan lesi perdarahan baru atau penambahan lesi perdarahan yang sudah ada (pada kasus hipokoagulopati) ataupun iskemia/thrombosis intravaskular (pada kasus hiperkoagulopati). Studi mengenai koagulopati pada cedera kepala telah banyak dilakukan tapi sampai saat ini belum dapat dengan jelas dipaparkan.

Evaluasi status koagulasi secara konvensional dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan trombosit, PT. dan APTT. Namun saat ini, terdapat pemeriksaan yang menilai koagulasi secara menyeluruh dengan melihat viskoelastisitas bekuan darah, yaitu thromboelastografi (TEG).

Penelitian ini merupakan studi pilot pertama yang bersifat prospektif untuk mengevaluasi adanya gangguan koagulasi pada pasien cedera kepala sedang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan TEG dan pemeriksaan hemostasis konvensional dan hubungannya dengan luaran klinis pasien berupa lama rawat inap dan mortalitas.

Dua puluh pasien dengan cedera kepala sedang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hemostasis konvensional rutin dan dari sampel darah tersebut, diambil sebanyak 0,3 mL untuk pemeriksaan dengan TEG. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa terdapat 60% pasien dengan status koagulasi yang tidak normal dari pemeriksaan TEG, sedangkan dari pemeriksaan hemostasis konvensional hanya didapatkan 5% pasien yang sama dengan status koagulasi yang tidak normal. Selain itu dari hasil TEG, diketahui bahwa mayoritas koagulopati yang terjadi adalah hiperkoagulopati. Lalu dari sisi luaran yang dinilai dari lama rawat inap (LOS) dan mortalitas, didapatkan tidak adanya mortalitas dalam studi ini. Lalu didapatkan perbedaan antara pasien dengan status TEG yang tidak normal dengan yang normal (7 hari berbanding dengan 5,5 hari). Namun setelah dilakukan uji statistik dari masing-masing variabel yang ada, tidak didapatkan kemaknaan secara statistik. Dalam prosesnya, didapatkan data sekunder berupa hasil CT scan kepala yang setelah dilakukan analisa dengan komponen TEG, ternyata didapatkan parameter R time dan alpha angle memiliki kemaknaan statistik dengan temuan CT scan (p<0,001 dan p=0,028).

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hiperkoagulopati merupakan kelainan status koagulasi tersering yang didapatkan pada cedera kepala sedang. Adapun terdapat perbedaan hasil pemeriksaan status koagulasi dengan TEG dan pemeriksaan konvensional serta perbedaan LOS antara pasien dengan status TEG yang normal dan tidak normal, meksipun tidak didapatkan adanya kemaknaan secara statistik. Hal ini dapat dianalisa dengan lebih baik nantinya dengan menambahkan jumlah sampel yang lebih banyak. Selain itu, dapat dipertimbangkan penggunaan data CT scan sebagai salah satu variabel penelitian yang ikut diteliti.
ABSTRACT
Trauma is the leading cause of death in population with age less than 40 year old. Traumatic brain injury (TBI) contribute to 30% in overall mortality that is caused by traumatic event. Traumatic brain injury that is accompanied by coagulopathy is known to have higher mortality rate. Coagulopathy in TBI could cause rebleeding or new bleeding lesion in hypocoagulopathy cases or could cause ischemia or intravascular thrombosis in hypercoagulopathy cases. Many studies have been done regarding coagulopathy in TBI but up until now it is still now clear enough. Platelet count, PT. and APTT test are usually used in the evaluation of coagulation status, but currently, it can be done with viscoelastisity test using thromboelastography (TEG).

This is the first prospective pilot study that try to evaluate coagulation status in moderate TBI and it's outcome (length of stay and mortality) in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using TEG and conventional hemostasis test using platelet count, PT. and APTT.

Twenty patients with moderate TBI that is enrolled in this study has passed the inclusion and exclusion criteria. We collect 0,3 mL of their blood sample that is being used initially for conventional hemostasis test. We found that 60% patient with abnormal coagulation status from TEG, but from the same patient using conventional test, we only got 5% with abnormal result. Majority of abnormal coagulation status are hypercoagulopathy. From the outcome that is measured by LOS and mortality, we found zero mortality and that there is difference in LOS between patient with normal and abnormal TEG test (7 days compare with 5,5 days). From the statistical analysis we got the result that are not statistically significant. We also got secondary data, which is CT scan of the patient and after we tried to do the statistical analysis we found that there are 2 parameters of TEG (R time and alpha angle) that is highly significant with abnormality on CT scan (p<0,001 dan p=0,028).

From this study, we can conclude that hypercoagulopathy is the most common coagulopathy that can be found in moderate TBI. We also found that there is a difference result between TEG test and conventional hemostasis test. From the outcome's perspective, we also found a difference between LOS of the patient that has abnormal TEG and normal TEG results. Higher sample in future study might be helpful in the analysis of the statistical test's result in this study and CT scan could also be a better additional variable to be studied.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>