Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Medelina Kusharwanti
"Peraturan perundangan yang mengatur tentang rekrutmen dan seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ternyata belum mampu menjamin penegakan sistem merit dalam pelaksanaan rekrutmen dan seleksi PNS. Akibatnya pelaksanaan rekrutmen dan seleksi sampai saat ini terus menuai kritik karena kurang mengedepankan prinsip netralitas, persamaan, keadilan, dan kompetensi. Padahal pelaksanaan rekrutmen dan seleksi berdasar sistem merit merupakan langkah mendasar untuk memperbaiki kualitas PNS. Pertanyaannya adalah, bagaimana reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi dilaksanakan agar kualitas PNS dapat ditingkatkan.
Disertasi ini berisi paparan tentang analisis kebijakan di bidang rekrutmen dan seleksi PNS. Analisis kebijakan digunakan untuk menemukan akar permasalahan dan penyebab lemahnya penegakan sistem merit. Berdasarkan pemahaman atas permasalahan dan hambatan yang ada, diusulkan reformasi kebijakan di bidang rekrutmen dan seleksi untuk lima belas tahun kedepan. Untuk merancang reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS disertasi ini menggunakan pendekatan scenario planning . Scenario planning dipakai untuk mengetahui lingkungan kebijakan yang mungkin muncul di masa depan karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan politik (driving factors). Dengan menggunakan pendekatan analisis kebijakan dan scenario planning, reformasi kebijakan yang diusulkan tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan rekrutmen dan seleksi PNS yang muncul pada saat ini tetapi juga relevan untuk menjawab tantangan dan kondisi lingkungan kebijakan di masa depan. viii Untuk mencapai tujuan di atas maka penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah mendeskripsikan dan melakukan analisis terhadap proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS yang ada di Indonesia. Tahap kedua adalah membangun skenario. Pada tahap ini dilakukan kelompok diskusi terfokus atau Focus Discussion Group (FGD) dengan para pakar. Tahap ketiga adalah merumuskan langkah-langkah reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS sesuai dengan skenario yang ada.
Hasil penelitian tahap pertama adalah bahwa proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS dihadapkan pada kuatnya campur tangan politik yang memunculkan persoalan rendahnya komitmen elit dalam menegakkan sistem merit, inkonsistensi kebijakan, kekaburan pembagian kewenangan antar lembaga yang terlibat, serta kurangnya sinkronisasi antara kebijakan makro dan mikro.
Hasil penelitian tahap kedua, berdasarkan diskusi para Pakar tentang faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpastian lingkungan kebijakan masa depan, dibangun empat skenario yaitu Meritokrasi, skenario Dalam Tekanan, skenario Tanpa Harapan dan skenario Berpeluang. Dari keempat skenario tersebut, skenario yang dipilih sebagai skenario 2008 ? 2023 adalah skenario Meritokrasi dan skenario Tanpa Harapan.
Pada tahap ketiga, berdasarkan dua skenario yang dipilih maka ditentukan langkah-langkah reformasi proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS. Pada skenario Meritokrasi yang memiliki dukungan politik kuat maka langkah reformasi yang membutuhkan keterbukaan politik seperti peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pengurangan KKN, dan pembangunan netralitas pegawai dapat dilakukan. Gagasan untuk memiliki jajaran pegawai dengan standar kualitas yang tinggi degan menggunakan integrated system juga dapat direalisasikan. Kondisi ekonomi sosial yang baik dalam skenario Meritokrasi juga memungkinkan dilakukannya langkah perbaikan yang memerlukan dukungan keuangan seperti perencanaan pengadaan pegawai untuk lima tahun kedepan dan penggunaan teknologi. Pada skenario Tanpa Harapan, keadaan yang digambarkan sangat buruk akibat dukungan politik yang lemah dan kondisi sosial ekonomi yang tidak berkembang sehingga langkah reformasi bagi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS menjadi sangat terbatas. Reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS harus dimulai dengan membangun kesepakatan elit untuk menegakkan sistem merit dalam rekrutmen dan seleksi PNS, menggalang dukungan politik (political support), di samping mempertegas kemauan politik atau political will dari para elit dan stakeholder. Kondisi ekonomi dan sosial yang terpuruk tidak memungkinkan bagi dilaksanakannya tindakan yang memerlukan biaya tinggi seperti pemanfaatan teknologi. Reformasi yang dilaksanakan hanya dapat diarahkan pada peningkatan effisiensi serta efektivitas kemampuan lembaga pelaksana. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa, reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS yang ada mecakup elemen-elemen yang sangat luas namun cukup rinci. Selanjutnya, karena rekrutmen dan seleksi PNS hanya merupakan sebuah subsistem dalam sistem kepegawaian nasional, maka reformasi ix kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS hanya akan menjadi optimal jika disertai dengan reformasi pada subsistem yang lain. Implikasi teoritis penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan analisis kebijakan dan scenario planning secara bersama-sama menjadi pendekatan yang efektif untuk merancang reformasi kebijakan yang memiliki perspektif jangka panjang dan bersifat strategis.

Government regulations concerning the recruitment and selection of civil servants (Pegawai Negeri Sipil/PNS) have not yet guaranteed the enforcement of a merit-system in the conduct of recruitment and selection of PNS. As a consequence, the recruitment and selection processes have drawn criticism because these processes are lacked in upholding the principles of neutrality, equality, justice, and competency. The conduct of recruitment and selection based on merit-system is a fundamental step to improve the quality of PNS. The question is how the reform of policies on recruitment and selection could be conducted in order to improve the quality of PNS.
This dissertation contains policy analyses on the recruitment and selection of PNS. Policy analysis is utilized to observe the root problems and causes of weak enforcement in a merit-system. Based on the understanding of problems and obstacles, it recommends a policy reform agenda on recruitment and selection for the next fifteen years.
To devise this reform agenda, this dissertation utilizes scenario planning approach. This approach is used to identify policy environment that may arise in the future because of the social, economic, and political changes (driving factors). By using approaches of policy analysis and scenario planning, policy reform agenda proposed in this dissertation will not only solve the current problems with the recruitment and selection of PNS, but will also be relevant to answer challenges and conditions of policy environment in the future. To reach that objective, this study was conducted into three stages. The first stage was to describe and conduct analyses on policy processes of recruitment and selection in Indonesia.
The result from the first stage study revealed that the policy process of recruitment and selection of PNS was confronted with strong political intervention that have caused the emergence of the elite?s low commitment in upholding the merit-system. In addition, there were policies inconsistency, unclear division of authority among relevant institutions, and lacked of synchronization between macro and micro policies.
The result of the second stage study, revealed that based from the discussion with experts, it identified factors that have caused uncertainties on the policy environment in the future, it developed four scenarios: Meritocracy scenario (Meritokrasi), Under Pressure scenario (Dalam Tekanan), Without Hope scenario (Tanpa Harapan), and Possible Success scenario (Berpeluang). From these scenarios, the scenarios that were selected for 2008-2023 are Meritocracy scenario and Without Hope scenario.
On the third stage, based from the two selected scenarios, the steps towards reforming the PNS?s recruitment and selection policy were determined. In the Meritocracy scenario that gains strong political support, some reform agendas that require political openness like improving transparency and accountability, combating KKN (corruption, collusion, and nepotism), and developing civil servants? neutrality can be conducted. The idea to have a rankand-file of the bureaucracy with high quality standard through the implementation of integrated system can be also materialized. Good socio-economic condition in the Meritocracy scenario also make it possible to conduct the improvement of the civil servants? quality that requires financial support, for example through a better planning for the hiring of new civil servants for the next five years and the using of technology. On the Without Hope scenario, a bad condition is depicted as a result from the weak political support and the stagnant socio-economic condition so that the reform agendas on the recruitment and selection policy of PNS were quite limited. Policy reform of the PNS? recruitment and selection policy should start with the development of agreement among elites to uphold the merit-system, the mobilization of political support, and also strengthening the political will of elites and other stakeholders. Declining socio-economic condition will not make it possible for the implementation of the action plans that require high financial cost, like the use of technology. Reforms conducted can only aimed at improving the efficiency and effectiveness of the capacity of the implementing agency. The conclusion from this study is that policy reforms of the recruitment and selection of PNS include a wide range and detailed elements. Furthermore, because the recruitment and selection of PNS is only a subsystem within the national employment system, policy reforms of the recruitment and selection of PNS can only be optimal if they are accompanied with the reforms on other subsystems. Theoretical implication from this study shows that the use of both approaches of policy analysis and scenario planning becomes an effective approach to plan policy reform that has long term and strategic perspectives."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D887
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amsyah
"ABSYTRAK
Masalah pokok disertasi ini adalah mengenai persepsi dosen di wilayah Jakarta terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam 0rganisasi. 0rganisasi terdiri dari tiga kelompok yaitu organisasi kenegaraan, niaga, dan kemasyarakatan. Yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan antara masing-masing elemen internal dan linglcungan ekstemal organisasi dengan perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi.
Perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi (dalam disertasi digunakan juga istilah korupsi) merupakan perilaku karyawan yang bekerja dalam organisasi, karena itu teori dasar yang penulis gunakan adalah teori perilaku keorganisasian Teori yang sesuai antara lain adalah teori perilaku keorganisasian Keith Davis dan John W. Newstrom dalam bukunya Human Behavior at Work: Organizaiional Behavior. Dinyatakan bahwa perilaku keorganisasian adalah studi dan aplikasi
pengetahuan mengenai bagaimana karyawan bertindak dalam organisasi. Perilaku keorganisasian dipengaruhi oleh elemen-elemen internal yaitu manusia (people), struktu (structure), dan teknologi (technology), serta elemen-elcrnen lingkungan eksternal yaitu suprastruktur dan kemasyarakatan. Di dalam penelitian kelima elemen tersebut merupakan variabel-variabell yang berhubungan dengan variabel penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi. Berdasarkan variabel-variabel tersebut penulis tentukan indikator-indikator penelitian yang akan menjadi butir-butir pertanyaan kuesioner.
Populasi penelitian adalah pengajar perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang berjumlah sekilar 8000 orang di wilayah Jakarta. Dengan menggunakan tabel Rea dan Parker, penulis tentukan jumlah sampel sebanyak 360 orang. Secara purposive penulis pilih bidang/jurusan administrasi, hukurn, manajemen, ilmu po1itik, dan psikologi yang ada pada 12 (dua belas) Universitas dan sekolah tinggi yang menjadi kelompok rcsponden Dari 360 lembar kuesioner yang didistribusikan, kucsioner yang kembali sejumlah 329 lembar.
Tcmuan penclitian menunjukkan bahwa terjadi dan meluasnya penyahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi adalah berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan internal dan eksternal organisasi, yailu: kepuasan kerja, disiplin, nilai-nilai, kepemimpinan atasan, penghargaan, golongan kepangkatan, budaya organisasi, karir, karakteristik pekerjaan, tertib administrasi, teknologi informasi jaringan, sistcm infomasi keuangan, kepemimpinan presiden, pengawasan fungsional, pengawasan dan hukum, birokrasi publik, pengawasan eksternal, pengawasan internal, kesenjangan ekonomi, pencucian uang, dwifunngsi, dan feodalisme.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah bahwa korupsi atau penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi adalah tcrmasuk bidang perilaku keorganisasian yang dapat dikembangkan melalui penelitian-penelirian bidang lain. Permaslahan korupsi memang merupakan permasalahan yang luas dan rumit, karena itu sesuai dengan pendekatan bidang perilaku keorganisasian yang merupakan kombinasi antardisiplin yaitu: Psikologi (Psikologi Keorganisasian), Sosiologi (Sosiologi Keorganisasian), Antropologi (Budaya Organisasi), llmu Politik (Kekuasaan), Sojarah (Sejarah Organisasi dan Manajemen), dan Ekonomi (Teori Keputusan).
Dalam hal implikasi kebijakan, hasil penelitian dapat digunakan untuk keperluan penyusunan kebijakan agar dapat dilakukan pcngelolaan organisasi yang baik (goodgovernance) pada organisasi kenegaraan, niaga, maupun kcmasyarakatan."
2002
D505
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilfridus B. Ellu
"Penelitian ini dilakukan untuk memahami peranan kuasa-pengetahuan dalam pengembangan atau transformasi menjadi learning organization (LO). Penelitian dilakukan dengan menganalisis peranan wacana birokrasi versus konsep LO dalam pengembangan ?governing ideas? (misi, nilai-nilai inti, visi), strategi, struktur dan budaya organisasi bisnis mikro BRI pada periode 1984 ? 2006, serta penerapan kedua wacana yang terimplikasikan pada subsistem orang-orang dalam proses tersebut. Penelitian kualitatif ini dirancang dengan menggunakan paradigma posmodernisme dan pendekatan berpikir sistem posmoderen. Penelitian dilakukan terhadap peristiwaperistiwa yang menunjukkan adanya kontradiksi atau ketegangan di antara wacana birokrasi dan wacana LO pada pengembangan keempat aspek dari organisasi bisnis mikro BRI, yaitu visi, strategi, struktur, dan budaya organisasi, serta pengembangan subsistem orang-orang sehubungan dengan proses pengorganisasian yang dilaksanakan. Analisis dilakukan dengan metode dekonstruksi. Hasil analisis menunjukkan adanya penerapan yang luas dari wacana pengetahuan lokal pada awal transformasi BRI Unit menjadi BRI Unit komersial atau perbankan pedesaan komersial. Dibandingkan dengan pengorganisasian sistem BRI dalam program BIMAS, pengorganisasian BRI Unit komersial mencerminkan kondisi LO sejati, yang ditandai dengan penerapan ?paradigma bisnis baru dan cara-cara kerja baru.? Meskipun begitu, beberapa cara kerja baru dipinjam atau diambil-alih dari konsep birokrasi, dan diterapkan dalam perancangan struktur organisasi dan proses pengembangan visi, strategi, dan budaya organisasi. Kohabitasi dari dua paradigma yang bertentangan ini pada akhirnya menghasilkan suatau organisasi bisnis mikro yang dapat dikategorikan sebagai ?organisasi memfrustrasikan.? Hal ini terjadi karena praktek-praktek sistem BRI Unit komersial yang berhasil kemudian dipatenkan. Bersamaan dengan itu, birokratisasi dalam pengorganisasian bisnis mikro, baik dari dalam BRI sendiri mupun karena tekanan regulasi perbankan yang mengacu standar-standar universal, mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Dominasi wacana birokrasi dan pemapanan keberhasilan masa lalu membuat kualitas pembelajaran organisasi dalam pengorganisasian bisnis mikro mengalami kemunduran, yaitu bergeser ke posisi organisasi memfrutrasikan. Lebih dari itu, organisasi bisnis mikro dan Bank BRI pada umumnya tidak berhasil mendekonstrtuksi paradigma perbankan pedesaan komersialnya ketika harus memasuki siklus perbankan mikro dalam pengertian baru. Dengan kata lain, akumulasi pengetahuan yang dimiliki tidak memungkinkan untuk dilakukan transformasi sosial dan organisasional yang diperlukan dalam era keuangan mikro. Meskipun begitu, praktek pengorganisasian bisnis mikro BRI, khususnya dalam kondisi krisis, mendemonstrasikan suatu tipe pembelajaran organisasi yang lebih maju dari tipe triple-loop learning, dan dapat disebut sebagi quatro-loop learning. Dalam tipe pembelajaran ini, kapabilitas kebijaksanaan merupakan tataran yang mendorong pengelolaan perbedaan-perbedaan paradigmatik melalui manajemen keberagaman (diversity management). Dengan demikian, penelitian ini menawarkan suatu model organisasi alternatif dari LO, yaitu model yang menempatkan kebijaksanaan atau kearifan?pengetahuan yang paling tinggi?sebagai pusat dan penggerak dari berbagai sub-sistem dan aspek LO. Dalam kerangka pengembangan dan pendayagunaan kebijaksanaan secara maksimal untuk mendukung pembelajaran organisasi dan pengembangan fungsi transformatif dari bisnis perbankan mikro BRI, disarankan agar Pimpinan BRI memberikan otonomi pengorganisasian yang lebih tinggi kepada organisasi bisnis mikro BRI. Dengan begitu, organisasi bisnis mikro dapat dengan lebih leluasa memajukan kapabilitas pembelajaran dan penciptaan pengetahuannya yang diperlukan bagi transformasi kemasyarakatan dalam kerangka perbaikan kehidupan bagi semakin banyak kalangan dari masyarakat melalui perwujudan misi dan visinya di bidang perbankan mikro. Dengan begitu, organisasi bisnis mikro dapat dengan lebih mudah meningkatkan kapabilitas dan otoritasnya dalam mendekonstruksi paradigma perbankan mikro secara terus-menerus sehingga mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, bahkan menjadi agen pembangunan atau transformasi masyarakat kebanyakan. Akhirnya, BRI mampu mempertahankan reputasinya di bidang perbankan mikro dengan bertumpu pada keunggulan kompetitifnya dalam pengembangan dan pendayagunaan pengetahuan lokal. Peningkatan otonomi organisasi bisnis mikro BRI dapat ditempuh melalui penyerahan semakin banyak wewenang kepada bisnis mikro, atau spin-off bisnis mikro dan pembentukan perusahaan induk (holding company) pada Bank BRI dimana bisnis mikro merupakan salah satu unitnya yang otonom. Dengan demikian, Bank BRI dapat mempertahankan keunggulan kompetitif dalam pelayanan perbankan mikro dan berkontribusi secara maksimal dalam memajukan perekonomian rakyat dan mendukung daya saing bangsa dalam masyarakat pengetahuan-global dengan berakar pada akar sejarah dan pengetahuan lokal.

This research aims at better understanding of the role of knowledge-power in organizational development or transformation into a learning organization (LO). The analysis puts concern on the role of the bureaucracy paradigm versus the learning organization concept in the development of the ?governing ideas? (mission, core values, and vision), strategy, organizational structure and culture in the period of 1984?2006, and the implied role of the two competing paradigms on the people subsystem in that processes. The research design assumes the postmodernism standpoint of view and applies the postmodern systems approach and qualitative style of research. The study investigates the role of the two competing paradigms in directing the organizing policies by scrutinizing the interplays and contradictions of the two paradigms in the organizational aspects and subsystems studied. The deconstruction or critical text analysis is applied as the main method of analysis. The research reveals that local knowledge as usually practiced in learning organizations was adopted in designing the governing ideas and the content of the organizational strategy and culture of BRI?s Micro Banking Business at the beginning of the transformation into a commercial rural banking in 1984. Compared to the organizing of BIMAS program, the organizing of BRI?s commercial Unit System at its early phase demonstrated the character of a genuine LO, in the sense of performing ?new thinking and new way of doing? commercial rural banking. Meanwhile, the role of bureaucracy paradigm was dominantly held in designing the organizational structure and also in the processes of developing the organizational vision, strategy, and culture. This co-habitation of the two contradictory paradigms eventually results in a retreat to a ?frustrating organization.? This tendency has been contributed by the fixation of the past successful practices along with the increase of bureaucratization in organizing BRI?s micro banking business that was caused by internally and externally imposed regulations. BRI?s micro banking system suffers learning disabilities that inhibits its ability to grow better in the new landscape of micro banking world. It fails in deconstructing its own paradigm on commercial rural banking and also in inventing the new ways in organizing micro banking business in the new context of micro banking. But in the major crises, some senior leaders of BRI practiced a higher type of organizational learning that can be typified as quatro-loop learning. In this type of organizational learning, the fourth loop is the deployment of wisdom in facing the diversity of paradigms. Based on this finding, the research comes out with an alternative model of organization of LO in which the virtue or the wisdom capability is deployed as the center and driver of all subsystems and aspects of organization and/or in organizing. In order to support the development and utilization of wisdom as the topmost level of knowledge in organizing BRI?s micro banking business, it is suggested that the BRI?s Micro Banking Business should be given more autonomy, either through providing greater decentralization or by splitting it up from BRI?s other businesses and positioning it as an autonomous unit along with other businesses of BRI?s holding company. By so doing, BRI can maintain its reputation and contribution in eradicating the poverty in the country and help the nation in building her competitive advantage in the global-knowledge society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D00738
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ningky Sasanti Tjahyati Susatyo-Munir
"ABSTRACT
Inspired by the fast development of knowledge-based competitiveness theories, in the beginning of 2000, Christine Soo and Timothy Devinney of Australian Graduate School of Management, University of New South Wales in Australia worked together with David Midgley of a leading business school INSEAD in Fontainebleau, France to conduct an exploratory study to identify variables that affect knowledge creation process in a company. The study identified there are 11 significant variables that play significant roles in the knowledge creation process of a company. The said eleven variables are: (1) formal collaboration activity, (2) formal interaction activity, (3) information acquisition activity, (4) knowledge acquisition activity, (5) creativity in problem solving and decision making activity, (6) completeness in problem solving and decision making activity, (7) consensus in problem solving and decision making activity, (8) new knowledge creation, (9) innovation, (10) individual absorption, and (11) organizational absorption.
With the use of the said eleven variables, a study is conducted in 43 fully-fledged companies that develop, produce and sell their proprietary - not licensed - cosmetics. The objective of this study is to identify, analyze and elucidate the structure of knowledge creation model in national private, large scale cosmetics companies in Indonesia.
Some statistical techniques were used to analyze data with the help of LISREL (Linear Structural Relation) software of 8.53 versions. Different from the research conducted by Soo, Midgley and Devinney (2000, 2002), Structural Equation Modeling (SEM) instead of Partial Least Square (PLS) was used to investigate into the model presented in this research.
The research revealed that the structure of knowledge creation model of large-scale national private cosmetics companies in Indonesia is not identical to the structure of knowledge creation model developed by Soo, Midgley and Devinney (2000). The differences in the model are attributable to five factors, all of which resulting from the differences in data source, data gathering method and analysis tool."
2004
D578
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basseng
"Penelitian ini membahas kreasi pengetahuan kontekstual pada organisasi publik dengan memilih Badan Diklat Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai lokus penelitian. Pengetahuan kontekstual adalah pengetahuan yang dikreasi dari konteks sehingga lebih efektif memecahkan permasalahan kontekstual yang dihadapi oleh suatu organisasi publik. Sistem kreasi pengetahuan kontekstual pada organisasi publik khsusunya bidang pendidikan dan pelatihan dan penugasan belajat merupakan suatu realitas yang bersifat kompleks dan ill-structured. Faktor budaya dan manusia membawa kesulitan tersendiri dalam memahami sistemnya sehingga membawa tantangan ketika akan direkayasa untuk ditingkatkan kinerjanya.
Metode penelitian Soft Systems Methodology (SSM) dipilih sebagai metode penelitian untuk mengungkapkan realitas dan aktualitas kreasi pengetahuan kontekstual pada lokus penelitian. Dalam penelitian ini, SSM diarahkan untuk mengonstruksi dua sistem. Pertama adalah sistem untuk meningkatkan kinerja kreasi pengetahuan kontekstual pada Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta sebagai problem solving interest dan kedua adalah untuk menemukan karakteristik aplikasi model kreasi pegetahuan SECI pada organisasi research interest.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari perspektif problem solving interest, kinerja kreasi pengetahuan kontekstual pada Badan Diklat provinsi DKI Jakarta yang berisi sembilan kegiatan atau relevant purposeful activities masih perlu ditingkatkan karena belum memiliki sub sistem monitoring dan kontrol, dan masih adanya masalah komitmen, keberanian berinovasi, perilaku informal, dan pemberdayaan. Sementra itu, dari perspektif research interest ditemukan bahwa kreasi pengetahuan kontekstual pada organisasi publik di bidang kediklatan dan penugasan belajar mengonfirmasi model kreasi pengetahuan SECI yang dikembangkan oleh Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Tekuchi. Namun, Model SECI ini perlu dipasangkan dengan dimensi soft systems yang meliputi komitmen, keberanian berinovasi, perilaku informal, dan pemberdayaan.
Berdasarkan temuan di atas, penelitian ini merekomendasikan agar Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta membentuk Tim Pengkreasi Pengetahuan. Begitupula pemerintah pusat, supaya menerbitkan peraturan perundangan yang mendorong organisasi publik bidang pendidikan pelatihan dan penugasan belajar memiliki sistem kreasi pengetahuan kontekstual yang efektif.

This research examines the practice of contextual knowledge creation in public organization, choosing the Daerah Khusus Ibukota Jakarta Province Training Institution as the locus of research. Contextual knowledge is the knowledge created from context so it is effective in solving contextual problems. As a social entity that contains problematical situations, contextual knowledge creating system in public organization is full of complexity and ill-structured. The changing social, cultural and political in his human activity systems brings about difficulty in unpacking its systems, and therefore provides challenges when the system is reingenered for improving its performance.
Soft Systems Methodology (SSM) is chosen as an appropriate research method to reveal both reality and actuality of the system. In this research, SSM is geared to construct two systems: firstly, a system to improve the performance of contextual knowledge creation in the Daerah Khusus Ibukota Jakarta Province Training Institution, answering the problem solving interest; and secondly, a system to explore the use of SECI Model as knowledge creating tool, answering research interest.
The result of the research reveals that from problem solving interest perspective, the performance of contextual knowldge creating in the Daerah Khusus Ibukota Jakarta Province Training Institution still needs improvement. There is no monitoring and controlling in the system. Besides, the collaborative culture is not condusive for knowledge creating culture due to lack of commitment, motivation, empowerment, and group cohessiveness. From research interest perspective, the research confirms that in creating contextual knowledge, administrators in the Daerah Khusus Ibukota Jakarta Province Training Institution utilize the essence of SECI Model invented by Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi to create contextual knowledge. However, the model should be equiped with soft systems.
Based on these finding, this research recommends Badan Diklat provinsi DKI Jakarta to form a knowlege creating team, and suggests the central government to issue regulations for promoting contextual knowledge creation within government training institutions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1433
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soebagijo Soemodihardjo
"ABSTRAK
Persaingan tiga perusahaan telepon bergerak seluler (PTBS) yang memiliki jangkauan pelayanan nasional dan masa operasi yang hampir lama yang merupakan "tiga besar" di Indonesia yaitu Telkomsel, Satelindo dan Excelcomindo pada periode 1996 -2002 sangat keras. Hal ini nampak dalam memperebutkan jumlah pelanggan yang semula dikuasai oleh Satelindo kemudian diambil alih oleh Telkomsel. Satelindo terus menurun, sementara itu Excelcomindo terus meningkat secara cepat walaupun pada tahun 2001 menunjukan gejala menurun. Penelitian membagai kurun waktu tersebut menjadi tiga yaitu kurun waktu 1997-1998, 1999-2000, dan 2001-2002.
Penelitian bertujuan untuk: pertam a, mengidentifikasi faktor-faktor pengembang KOD pada PTBS; kedua, menganalisis hubungan dinamik dari faktor-faktor pengembang tersebut; dan ketiga, menganalisis bagaimana strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen untuk melakukan pengembangan tersebut di masa depan.
Penelitian yang menggunakan berbagai pendekatan antara lain strategic management dan system thinking ini mengkaji pengembangan kapabilitas organisasional yang dinamik (KOD), yaitu kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, merekonfigurasi, memperoleh dan melepaskan sumber daya guna menyiasati dan bahkan menciptakan perubahan pasar. Pengembangan KOD dilihat terutama dari sudut capability lifecycle yaitu melihat faktor-faktor pengembang yang dominan bagi masing-masing PTBS dalam tiga kurun waktu tersebut untuk kemudian dianalisis guna memprediksi perkembangan di masa depan.
Metode penelitian menggunakan pendekatan pemodelan system dynamics, yaitu suatu pendekatan yang mendasarkan pada asumsi adanya ciri kompleksitas, dinamis dan non-linearitas dalam suatu masalah yang diteliti. Dicirikan kompleks karena bisnis dan industri telepon bergerak seluler terkait dengan berbagai aspek yang saling mempengaruhi, ciri dinamis karena perubahan keterkaitan tersebut berbeda intensitasnya dari waktu ke waktu, dan ciri non-linear karena dalam perubahan tersebut terjadi aksi penundaan (delay) dari hubungan sebab akibat yang saling mempengaruhi tersebut.
Analisis dan sintesis terhadap model masing-masing dari tiga PTBS dan gabungan ketiganya dilakukan pada kurun waktu masa lalu (ex post), tahun 1997-2002, dan masa depan (ex Gate), tahun 2003 -2008. Teknik statistik yang digunakan untuk menguji validitas output model adalah absolute mean error (ANNE) dan absolute varian error (AVE) dengan ketentuan nilai AME dan AVE di bawah 5% dianggap valid.
Analisis dan sintesis ex post bertujuan untuk mendapatkan bangunan model dinamika KOD PTBS Indonesia, yaitu untuk tujuan pertama dan kedua penelitian ini. Sedangkan analisis dan sintesis ex ante bertujuan melakukan foresight (memprediksi bagaimana sistem berperilaku di masa depan dalam suatu kondisi yang diasumsikan) atau policy design (mendisain pengambilan keputusan strategis dan mengevaluasi efek-efeknya terhadap perilaku sistem), yaitu untuk tujuan ketiga penelitian ini.
Hasil penelitian menemukan ada empat faktor pengembang KOD perusahaan telepon seluler di Indonesia yaitu: pertama, Networking Capabilities; kedua, Financing Capabilities; ketiga, Product-Marketing Capabilities; dan keempat, Customer Relations Capabilities. Masing-masing faktor pengembang tersebut dirinci ke dalam unsur-unsur yang dominan dalam pengembangan faktor tersebut.
Dinamika KOD PTBS yang ditandai dari pola kecenderungan pertumbuhan subscriber berbentuk S-Shape, atau pola meningkat di awal dan menjadi pola stagnant kemudian. Pola ini disebabkan oleh pengaruh dinamis dari kompetisi, yang melahirkan pola kecenderungan customer value proposition, yang mencakup coverage, quality, dan price. Pola customer value proposition ini berbeda setiap periodenya, yaitu: pertama, tahun 1997-1998 dicirikan dengan intensi pasar terhadap coverage paling tingi; kedua, tahun 1999-2000 dicirikan dengan intensi pasar terhadap aspek quality tertinggi dibandingkan kedua aspek lain; dan ketiga, tahun 2001-2002 dicirikan dengan intensi price yang tertinggi dibandingkan kedua aspek lain.
Hasil uji sensitivitas, sebagai pra skenario strategi, menyimpulkan bahwa pengembangan KOD mempunyai capability lifecycles yang berbeda pada tiga kurun waktu tersebut di atas. Faktor pengembang yang mempunyai leverage terbesar dalam perusahaan telepon bergerak seluler di Indonesia adalah Networking Capabilities dan Financing Capabilities.
Analisis strategi enam tahun ke depan menyimpulkan bahwa pengembangan KOD cenderung akan lebih tepat jika diarahkan pada customer care capabilities. Di samping itu perlu diintroduksikan partnering capabilities, yaitu kapabilitas yang menyangkut content provider.
Akhirnya di samping dari sudut capabilty lifecycle yang menemukan adanya empar faktor pengembang KOD, dari sudut teori dengan menggunakan dynamic thinking, ditemukan adanya hubungan langsung antara KOD dengan firm performance.

ABSTRACT
There is very tight competition among cellular mobile telephone company (CMTC) in Indonesia in 1996-2002. The said companies are Telkomsel, Satelindo and Excelcomindo had the same characteristic: the scope of operation is the national territory and the period of operation in cellular mobile telephones relatively the same (around seven years). The very tight competition appears in the tough fight for getting subscriber. In the 1996 Satelindo was the market leader, but since 1997 Telkomsel take over that position; the gap between the two companies are bigger and bigger. In the mean time Excelcomindo are growing very fast, and then in 2001 the total subscriber begun decline. The research divided the time into three periods: 1997-1998, 1999-2000, and 2001-2002.
The objective of the research are: first, to identifies the developing factors of dynamic organizational capabilities in CMTC; second, to analyses the dynamic relationship among the said developing factors, and three, to analyses the possible strategy for the future.
The term dynamic organizational capabilities in this disertation mean the firm's ability to integrate, build, and reconfigure internal and external competences to address rapidly changing environment, to match and even create market change. About developing factors, research mainly focus to the capability lifecycle.
To meet with the objective of the research, there is several approach to analyses the problem among others: strategic management and system thinking. Systems dynamic used as the research method.
Finally, it is concluded that there are four developing factors of dynamic organizational capabilities in CMTC: (1) networking capabilities; (2) financing capabilities, (3) product marketing capabilities; and (4) customer relation?s capabilities. The most important leverage of dynamic organizational capacities are networking capabilities and financing capabilities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D595
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sangkala
"Dunia bisnis dewasa ini tengah berada di dalam suatu kondisi, di mana tingkat persaingan sedemikian tinggi intensitasnya. Dalam kondisi demikian, perusahaan harus mampu menemukan berbagai terobosan-terobosan cerdas, agar tetap adaptif dengan tuntutan perubahan Iingkungan. Kondisi ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan industri periklanan. Alasannya, selama lima tahun terakhir ini (1999-2004) jumlah perusahaan periklanan yang ikut bersaing memperebutkan belanja iklan di DKI Jakarta semakin banyak. Buktinya pada tahun 1999 jumlah perusahan periklanan yang ada di DKI Jakarta hanya sebanyak 109 buah. tetapi pada tahun 2004 sudah mencapai 188 buah. Sementara belanja iklan lima tahun lalu (1998) hanya berkisar Rp. 3.7, nemun pada tahun 2004 sudah mencapai angka Rp. 23.6 trilyun.
Modal intelektual (intelectual capital) pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu modal manusia (human capital) dan modal struktural (structural capital). Namun dalam berbagai literatur ditemukan pula, bahwa pengelolaan modal intelektual memerlukan peran jalur penciptaan nilai (value creation path) dan manaiemen pengetahuan (knowledge management). Studi tentang pengelolaan modal intetektual dikelompokkan ke dalam dua bidang yaitu Value Creation dan Value Extraction. Dalam studi ini difokuskan kepada Value Creation, yaitu aktivitas menciplakan pengetahuan, di mana pengetahuan yang tercipta tersebut selanjutnya diubah ke dalam bentuk inovasi-inovasi yang bemilai komersil (intellectual assets). Sedangkan inovasi-lnovasi yang bernilai komersil (intellectual assets) yang ingin dilihat sebagai iuaran dan sekaligus menjadi aspek yang dipengaruhi oleh pengelolaan komponen modal intelektual, jalur penciptaan nilai dan manajemen pengetahuan pada perusahan periklanan di DKI Jakarta adalah materi iklan. Berangkat dart latar belakang pemikiran tersebut selanjutnya dirumuskan pokok permasalahan penelitian ini, yaitu bagaimana struktur hubungan antara modal manusia, modal struktural, jalur penciptaan nilai, dan manajemen pengetahuan dengan materi iklan (aset intelektual) dalam konteks perusahaan periklanan yang ada di DKI Jakarta? Untuk dapat menjawab pokok pemasalahan tersebut, maka tipe penelitian yang dipergunakan adalah eksplanatif dengan teknik anelisis Structural Equation Modelling (SEM). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi.
Setelah melalui uji statistik ditemukan, bahwa pengaruh modal manusia dan modal struktural terhadap materi iklan ternyata tidak langsung, tetapi dimediasi oleh peran komponen jalur penciptaan nilai dan manajemen pengetahuan. Artinya, efektivitas peran modal manusia dan modal struktural dalam penciptaan materi iklan tergantung kepada seberapa besar peran jalur penciptaan nilai dan manajemen pengetahuan dalam memediasi kedua komponen modal intelektual.

Business world these days is residing in an condition, whereabout the high intensity of competion. In a sucb condition, company have to find various smart breakthrough, so that remain adaptif with the environmental change. This condition of course do not far diffe from the advertising industry. Its reason, during the last five years (1999- 2004) amount of advertising agencies which involed in competing for the advertisement s expenses in DKI Jakarta more and more. In fact if in 1999 amount of advertising agencies in DKI Jakarta only as much as 109 companies, but in the year 20 the figure have reached 188 companies. While the advertisement expenses in the year 1 98 only about Rp 3.7 trilion then in the year 2004 have reached the number Rp 2 ,6 trilion.
Intellectual capital can be grouped into two arm that is human capital and structural capital. However, in some other literature founded, the management of intellectual capital needs the role of value creation path and knowledge management. Study about intellectual capital management grouped into two area that is Value Creation and Value Extraction. However this study is focused on value creation that is activity of knowledge creation its self, whereabout knowledge created is hereinafter altered into commercial valuable innovations form (intellectual assets). What wish seen as output as well become the aspect influenced by intellectual capital component management, value creation path, knowledge management with the intellectual assets in context of advertising agencies in DKI Jakarta? To reply the research problem formulated, hence research approach used id explanative and the Structural Equation Modelling (SEM) as a technique analyst. The analyze leel unit for this research is organization.
After passing statistical test, it founded, that influence of human capital and structural capital to advertising materials in fact is indirectly, but its mediator by the component of role value creation path and knowledge management. Its means, effectiveness of the role human capital and structural capital in creation of advertising materials depended on how big the role of value creation path and knowledge management in facilited or mediator form both intellectual capital components.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D826
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mujibur Rahman Khairul Muluk
"Implementasi kebijakan desentralisasi untuk meningkalkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah tidak segera mencapai tujuannya karena menghadapi berbagaj persoalan kompleks. Kompleksitas persoalan ini terajut dari adanya dominasi elit lokal, lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menjamin partisipasi, belum lcuamya organisasi lokal, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi. Unluk mencapai pemerintahan daerah yang partisipatif diperlukan upaya yang serius untuk menyusun altematif kebijakan yang tepat. Upaya ini seyogyanya dilandaskan pada kajian akademis yang memadai dan komprehensif. Penelitian tentang panisipasi masyarakar lelah banyalc dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Namun penelitian mengenai partigipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah yang berada dalam koridor disiplin administrasi publik masih tergolong langka apalagi penclitian mengglmakan pendckatan berpikir sistem. Dengan mempenimbangkan latar belakang tersebut maka penelitian ini diawali dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana gambaran aktual partisipasi masyarakat dalam pemcrlntahan daerah dewasa ini? Bagaimanakah derajat efektivitas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah? Bagaimanakah model berbasis berpikir sistem bagi panisipasi masyarakat dalam pemerimahan daerah ? Bagaimanakah altematif percepatan partisipasi yang dapar dilakukan ?
Pendekatan berpikir sislem digunakan dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, adanya kesadaran bahwa partjsipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah berada dalam situasi kompleksilas dinamis. Kedua, penelitian ini berupaya memahami akar permasalahan yang mendera partisipasi masyamkat melalui deteksi atas stmktur sistem daripada sekedar melihat kejadian-kejadian yang kasat mam Ketiga, adanya kehendak mendorong tindakan antisipatif Serta mencari solusi 3135 persoalan kegagalan pencapaian partisipasi masyarakat dalam pemedmahan daerah. Metode sistem dinamis dengan pendekatan lima tahap dari Coyle dipilih dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, sistcm dinamis merupakan bagigm dari hard system yang Iebih tepat digunakan dalam suatu aktivilas yang berupaya untuk mencapai tujuan tertentu. Kedua, analisis ini lebih tepat jika digunakan untuk mencari rekomendasi alas solusi dari sualu masalah. Ketiga, analisis ini mampu mengembangkan sistem berdasarkan komhinasi data kualitatif dan kuantitatif.
Partisipasi masyarakak dalam pemedmahan daerah mengalami peningkatan berpola Kurva S di em reformasi. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah juga telah berkembang. Mekanisme partisipasi dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama adalah mekanisme partisipasi yang disediakan berdasarkan ketentuan daerah yang ada. Mekanisme ini mencakup Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Masa Reses DPRD, Rapat Terbuka DPRD, Rukun Tetangga &. Rukun Warga (RT & RW), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Keluraban (LPMK), Kontak Publik via Situs Intemet Pemkot Malang, Kunjungan Kezja Anggota DPRD, dan Konsultasi Publik. Kedua adalah mekanisme yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tidak diatur sebagai mekanisme resmi panisipasi masyarakat. Mekanisme ini terdiri dari suara publik yang disalurkan lewal media massa baik cetak maupun elektrondcdan unjuk rasa.
Dengan membandingkan mekanisme partisipasi masyarakat tersebut dengan teori ladder of citizen ernpowermem dari Burns, Hambleton, & Hogget maka disimpulkan bahwa mekanisme partisipasi yang ada telah mencapai demjat partisipasi warga namun belum mencapai derajat ideal, yakni citizen control. Dalam derajat partisipasi warga berarli masyarakat Kota Malang telah dapat memasukkan berbagai aspirasi dan kepenlingannya sepanjang tidak mengubah pakem kebijakan yang telah disusun oleh penyeienggara pemerintahan daerah. Kondisi ini telah dianggap efektif oleh Pejabat Pemerinlah Daerah dan Anggota DPRD namun dianggap tidak efektif oleh anggota masyarakal dan pegiat organisasi Iokal. Kesesuaian antara mekanisme panisipasi yang tersedia dengan pencapaian subslansi pemberdayaan pada derajat partisipasi menunjukkan adanya pembuktian atas teori ladder of citizen empowerment dari Bums, Hambleton, & Hogget. Adanya harapan sebagian slakehofder pemerintahan daerah terhadap mekanisme dan derajat partisipasi yang lebih tinggi juga membuktikan saran preskziptifdari teori di atas.
Analisis sistem dinamis rnenunjukkan bahwa pengungkit dalam sistem partisipasi masyarakat dalam pemerinrahan daerah adalah peran clit lokal. Sebagai pengungkit (leverage) bennakna bahwa peran elit Iokal mempakan variabel paling sensitif bagi kinerja sislem partisipasi masyarakat. Dengan melakukan penyederhanaan terhadap sistem partisipasi yang tergambar dalam diagram simpal kausal maka diperoleh pola dasar sistem, yakni batas-batas pertumbuhan. Melalui pola dasar ini dapat dipahami bahwa dukungan pemerintah pusat mempakan limiting faktor bagi sistem ini.
Melalui pemahaman alas pola dasar batas pertumbuhan maka dapat dipastikan bahwa solusi atas peningkatan kinerja sistem partisipasi dapal diiakukan melalui dua alternatifi Pertama, pcmbebasan faktor pembatas, yakni dengan meningkatkan dukungan pemerintah pusat terhadap panisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Dukungan ini dapat dilakukan dengan menyediakan pemturan pemndang-undangan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpanisipasi pada derajat panisipasi yang tertinggi. Dukungan tersebut juga dapat dilakukan dengan melakukan supervisi terhadap kualitas partisipasi dari kebijakan daerah. Kedua, intervensi melalui pengungkit yakni dengan mengurangi pengamh clit lokal dalam proses kebijakan daerah sehinggn dukungan penyelenggara daerah terhadap partisipasi masyarakat akan meningkat. Mengurangi pengamh elit lokal dapat dilakukan dengan menjamin adanya pmses partisipasi dan transparansi dalam pembualan dan implementasi kebijakan daerah.

The purpose of decentralization to promote public participation in local govemment is failed because of complex problems. These are the dominance of local elite, the lack of govemmenfs political will to support public participation, the lack of local organization's capacity, and lack of the public awareness to participate. Realizing participatory local government needs robust policy based on comprehensive research. Many scholars in many disciplinm had conducted the research of public participation. but there is scarcity of public participation's research in local govemment especially using system thinking approach. According to that reason, the research problem statements are: what is the description of public participation in local govemment ? how effective is the degree of public participation? what is the system thinking based model for public participation in local govemment? how are the policy altematives for promoting public participation in local government?
The using of system thinking in this research based on several reasons. First, public participation in local government is under dynamic complexity situation. Second, this research would understand root of the problem by systemic structure rather than event. Third, this research tries to anticipate the lirture problem by fomiulating the robust policy. The analysis of system dynamic of Coyle is selected for this research based on several researches. First, system dynamic is part of hard system, which prefer to attain delined goal. Second, this analysis produces model and recommendation in order to provide solution of the complex problem. Third, Coyle's Analysis of system dynamic describing the system through both qualitative and quantitative data.
The progress of public participation in local govemment in era of refonn is in S-curve type. There are extended mechanism of public participation, which are divided into two types, i-e. regulated and altemative mechanisms. Local govemment Regulated mechanisms comprise of development planning meeting (musyawarah perencanaan pembangiman), sitting in council meeting, neighborhood association Rukun Tetangga & Rukun Warga) public consultation, community empowerment Institution (Lembaga Pemberdayaan masyarakat Kelurahan), public contact via intemet. Alternative mechanisms initiated by community themselves and are not regulated by local government. These mechanisms comprise of public voices channeled by mass media and demonstration.
Effectiveness of public participation mechanisms is in citizen participation level according to Bums, Hambleton, & Hogget's ladder of empowerment. This level is under the top of the ladder, i.e citizen control level. In this level, citizen could influence both in policy making and implementing but do not have decision power in the policy process- This level perceived as effective by local authorities but as not effective by citizens and local organization's activists. This research proves that participation mechanisms match with the degree of participation level in ladder of empowerment theory. Citizen's hope for better degree of participation in the top ladder proves that prescriptive suggestion in the ladder of empowerment comes true.
System dynamic analysis indicated that the leverage of public participation in local government is local elite's role. It means that local elite's role is the most sensitive parameter in the system. Simplification of the influence diagram of public participation system shows that archetype ofthe system is limits to growth Through this archetype, it could be concluded that limiting factor for the system is central govemment support. According to system thinking approach, the altemative solutions for improving public participation are releasing the limiting factor or pushing the leverage. Releasing the limiting factor means that central government increases it's support for public participation in local govemment. Central govemment suppon could be operated through providing regulation increasing the level of public participation in local govemment. This support includes central govemment supervision for quality of participatory local government. Pushing the leverage means that local elite's role in public policy process is limited so that local govemment support for public participation increases. Limitation could be operated by providing regulation for public participation and providing regulation for transparency in public policy process.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D829
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library