Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Yinski Pistari Gondosari
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk mendapatkan nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi full field dan mencari perbandingan nilai tersebut berikut tingkat kenyamanan pasien menggunakan elektroda DTL, Dencott, dan ERG jet pada populasi orang Indonesia dewasa di RSUPNCM.Metode:Melalui metode convenient sampling dari 58 subjek orang Indonesia berusia 19-49 tahun dengan kedua mata normal, dilakukan pengukuran amplitudo dan waktu implisit gelombang berdasarkan rekomendasi ISCEV. Pengukuran meliputi scotopic 0.01 ERG, scotopic 3.0 ERG, scotopic 3.0 OP ERG, dan photopic 3.0 flicker. Di akhir pemeriksaan subjek mengisi kuesioner tingkat kenyamanan yang mengadopsi dari visual analog scale.Hasil:Terdapat perbedaan signifikan nilai standar normal pemeriksaan elektroretinografi full field pada populasi orang Indonesia dewasa secara statistik antara elektroda dengan amplitudo gelombang lebih tinggi dan waktu implisit lebih panjang pada elektroda Dencott dan ERG jet dibandingkan dengan DTL. Elektroda DTL dan ERG jet dirasakan lebih nyaman daripada elektroda Dencott bagi orang Indonesia dewasa normal untuk pemeriksaan elektroretinografi full field.Simpulan:Elektroda DTL memberikan amplitudo gelombang yang paling rendah, waktu implisit yang paling pendek, dan tingkat kenyamanan yang paling tinggi dibandingkan dengan elektroda Dencott dan ERG jet dalam pemeriksaan elektroretinografi full field pada orang Indonesia dewasa normal.Kata Kunci:Elektroretinografi full field, elektroda Dencott, Dawson-Trick-Litzkow DTL, Jet, kenyamanan, Indonesia dewasa normal

ABSTRACT
Purpose To establish normal values of standard full field electroretinography ERG and to compare the values and the comfort levels using DTL, Dencott and ERG jet electrodes in Indonesian adults.Methods Through convenient sampling 58 normal Indonesian subjects between 19 and 49 years old were selected. ERG amplitudes and implicit time values were measured according to recommendations by the International Society for Clinical Electrophysiology of Vision ISCEV . Evaluations consisted of scotopic 0.01 ERG, scotopic 3.0 ERG, scotopic 3.0 OP ERG and photopic 3.0 flicker. After the examination, all subjects filled in a questionnaire about comfort levels, adopted from the visual analog scale.Results We observed a statistically significant difference in ERG normal values between electrodes with higher wave amplitudes and longer implicit times in Dencott and jet electrodes, compared to DTL electrodes. Jet and DTL electrodes are more comfortable than Dencott electrode for Indonesian adults in standard full field electroretinography.Conclusions DTL electrodes give the lowest wave amplitudes and the shortest implicit times and are the most comfortable electrodes compared to Dencott and ERG jet electrodes, in standard full field electroretinography in Indonesian adults.Keywords Standard full field electroretinography, Dencott, Dawson Trick Litzkow DTL, ERG Jet electrode, comfort level, normal Indonesian adult"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valenchia
"Tujuan mengetahui pengaruh sitikolin 1000 mg per hari selama 60 hari terhadap hasil pattern electroretinography, ketebalan sel ganglion dan lapang pandang pasien NAION non-arteritic anterior ischemic optic neuropathy fase kronik. Metode Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dilakukan pada 38 subyek penelitian. Randomisasi membagi subyek menjadi 2 kelompok yaitu 18 subyek kelompok sitikolin S-NAION dan 20 subyek plasebo P-NAION. Analisis dilakukan pada 17 subyek penelitian di tiap kelompok.
Hasil Terjadi peningkatan ? amplitudo P50 30 hari di kelompok S-NAION 0,775 2,6 V , namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,182. Terjadi perbaikan ? amplitudo N95 60 hari di kelompok S-NAION -0,356 2,992 V, namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,779. Pemberian sitikolin tidak menunjukkan perubahan ketebalan sel ganglion retina. Terjadi peningkatan ? mean deviation 60 hari di kelompok S-NAION 3,13 6,467 dB, namun tidak bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan kelompok P-NAION p = 0,344. Kesimpulan Sitikolin cenderung meningkatkan ? amplitudo P50 dan N95 serta ? mean deviation pada NAION fase kronik.

Purpose to determine the effect of 1000 mg citicoline each day given for 60 days on pattern electroretinography, retinal ganglion cell thickness and visual field in chronic phase NAION non arteritic anterior ischemic optic neuropathy patients. Methods Double masked randomized clinical trial were performed in 38 patients. Randomization divided the patients into 2 groups of 18 subjects in the citicoline group C NAION and 20 subjects in the placebo group P NAION . The analysis was performed on 17 subjects in each group.
Results There were increament of amplitude P50 30 days in C NAION group 0,775 2,6 V, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,182. There were also improvement of amplitude N95 60 days in C NAION group 0,356 2,992 V, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,779. Citicoline supplementation did not show any changes in retinal ganglion cell thickness. There were improvement of mean deviation 60 days in C NAION group 3,13 6,467 dB, but statistically insignificant compared to P NAION p 0,344. Conclusions Citicoline tends to increase the amplitude of P50 and N95 and mean deviation in chronic phase NAION.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rommel Aleddin
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui perubahan nilai latensi dan amplitudo VEP pada berbagai tingkat tajam penglihatan subjektif. Metode: Dilakukan pengukuran nilai latensi dan amplitudo menggunaan pattern reversal visual evoked potential berdasarkan tajam penglihatan normal dan tajam penglihatan yang dilakukan induksi defocus sehingga menghasilkan visus 6/18, 6/30, dan 6/60 menggunakan checkerboard berukuran kecil dan besar. Hasil Terdapat pemanjangan nilai latensi dan penurunan nilai amplitudo pada kelompok pria dan wanita seiring dengan perburukan visus. Penggunaan checkerboard 18 min arc dan 48 min arc memberikan hasil yang paling mendekati nilai rujukan. Simpulan: Perbedaan nilai VEP berdasarkan jenis kelamin didapatkan pada nilai amplitudo, namun tidak pada nilai latensi.

ABSTRACT
Purpose To study changes in VEP latency and amplitude value according to various subjective visual acuity levels. Methods Latency and amplitude values were measured with pattern reversal visual evoked potential. Measurement was performed on normal visual acuity and defocus induced visual acuity to the value of 6 18, 6 30, and 6 60, using small and large sized checkerboard stimuli. Results Prolonged latency and decreased amplitude were found on both male and female subject groups, which corresponded with decreasing visual acuity levels. Usage of 18 min arc and 48 min arc sized checkerboards gave results approximating to reference value. Conclusions Difference in VEP value according to subjects 39 gender was found in amplitude, but not on latency."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rosyidan Rohman
"Latar Belakang
Parese nervus abdusen (CN VI) merupakan kondisi kelemahan saraf motorik yang menginervasi musculus rectus lateralis yang berperan dalam mengontrol gerakan abduksi bola mata. Kelainan ini memiliki beragam etiologi dan manifestasi klinis pada sistem penglihatan sedangkan pemberian tata laksana sangat bergantung pada ketepatan seorang klinisi dalam menentukan diagnosis pada pasien. Akibat adanya keterbatasan dalam penelitian sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis dan demografis pasien dengan parese CN VI terisolasi secara lebih objektif.
Metode
Desain penelitian ini adalah deskriptif cross sectional dengan menggunakan data retrospektif dari penelusuran rekam medis pada periode 1 Januari 2022 - 31 Desember 2023.
Hasil
Terdapat 83 subjek pasien dengan parese CN VI yang terinklusi dalam penelitian ini. Rerata usia pasien adalah 43,2 tahun dengan pola kelainan terbanyak bersifat unilateral pada 69,8% pasien. Sebanyak 43,4% pasien datang dengan keluhan utama penglihatan ganda. Karakteristik klinis terbanyak yang ditemukan adalah hambatan gerak bola mata (92,6%), diplopia (79,5%), dan defek lapang pandang (38,9%). Etiologi parese CN VI yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah vaskulopati (n=29, 34,9%), idiopatik (n=26, 31,3%), neoplasma (n=21, 25,3%), trauma (n=4, 4,8%), dan infeksi/inflamasi (n=3, 3,6%).
Kesimpulan
Rerata usia pasien dengan CN VI terisolasi adalah 43,2 tahun dengan lateralitas terbanyak bersifat unilateral. Karakteristik klinis terbanyak yang ditemukan adalah hambatan gerak bola mata, diplopia, dan defek lapang pandang, sedangkan penurunan tajam penglihatan, abnormalitas fundus, dan proptosis cukup jarang ditemui. Vaskulopati menjadi faktor etiologi parese CN VI yang tersering.

Abducens nerve palsy is a condition involving weakness of the motor nerve that innervates the lateral rectus muscle, which has the function of controlling the abduction of eye movement. This disorder has a range of etiologies and clinical manifestations within the visual function, while the treatment provided really depends on the clinician's accuracy in diagnosing the patient. Due to limitations in previous research, this study aims to objectively identify the clinical features and demographic of patients with isolated abducens nerve palsy.
Method
The design of this study is descriptive cross-sectional, using retrospective data from medical records from the period of January 1, 2022, to December 31, 2023.
Results
A total of 83 patients were included in this study. The mean age of patients was 43.2 years, with the majority of cases were unilateral (69.8%). A main complaint of diplopia was reported by 43.4% of the patients. The most common clinical features found were restricted eye movement (92.6%), diplopia (79.5%), and visual field defects (38.9%). The identified etiologies of CN VI palsy in this study were vasculopathy (n=29, 34.9%), idiopathic (n=26, 31.3%), neoplasm (n=21, 25.3%), trauma (n=4, 4.8%), and infection/inflammation (n=3, 3.6%).
Conclusion
The mean age of patients with isolated CN VI palsy was 43.2 years, with the majority of cases were unilateral. The most common clinical features observed were restricted eye movement, diplopia, and visual field defects, while reduced visual acuity, fundus abnormalities, and proptosis were relatively rare. Vasculopathy was the most frequent etiological factor for CN VI palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rosyidan Rohman
"Latar Belakang
Parese nervus abdusen (CN VI) merupakan kondisi kelemahan saraf motorik yang menginervasi musculus rectus lateralis yang berperan dalam mengontrol gerakan abduksi bola mata. Kelainan ini memiliki beragam etiologi dan manifestasi klinis pada sistem penglihatan sedangkan pemberian tata laksana sangat bergantung pada ketepatan seorang klinisi dalam menentukan diagnosis pada pasien. Akibat adanya keterbatasan dalam penelitian sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis dan demografis pasien dengan parese CN VI terisolasi secara lebih objektif.
Metode
Desain penelitian ini adalah deskriptif cross sectional dengan menggunakan data retrospektif dari penelusuran rekam medis pada periode 1 Januari 2022 - 31 Desember 2023.
Hasil
Terdapat 83 subjek pasien dengan parese CN VI yang terinklusi dalam penelitian ini. Rerata usia pasien adalah 43,2 tahun dengan pola kelainan terbanyak bersifat unilateral pada 69,8% pasien. Sebanyak 43,4% pasien datang dengan keluhan utama penglihatan ganda. Karakteristik klinis terbanyak yang ditemukan adalah hambatan gerak bola mata (92,6%), diplopia (79,5%), dan defek lapang pandang (38,9%). Etiologi parese CN VI yang berhasil ditemukan dalam penelitian ini adalah vaskulopati (n=29, 34,9%), idiopatik (n=26, 31,3%), neoplasma (n=21, 25,3%), trauma (n=4, 4,8%), dan infeksi/inflamasi (n=3, 3,6%).
Kesimpulan
Rerata usia pasien dengan CN VI terisolasi adalah 43,2 tahun dengan lateralitas terbanyak bersifat unilateral. Karakteristik klinis terbanyak yang ditemukan adalah hambatan gerak bola mata, diplopia, dan defek lapang pandang, sedangkan penurunan tajam penglihatan, abnormalitas fundus, dan proptosis cukup jarang ditemui. Vaskulopati menjadi faktor etiologi parese CN VI yang tersering.

Abducens nerve palsy is a condition involving weakness of the motor nerve that innervates the lateral rectus muscle, which has the function of controlling the abduction of eye movement. This disorder has a range of etiologies and clinical manifestations within the visual function, while the treatment provided really depends on the clinician's accuracy in diagnosing the patient. Due to limitations in previous research, this study aims to objectively identify the clinical features and demographic of patients with isolated abducens nerve palsy.
Method
The design of this study is descriptive cross-sectional, using retrospective data from medical records from the period of January 1, 2022, to December 31, 2023.
Results
A total of 83 patients were included in this study. The mean age of patients was 43.2 years, with the majority of cases were unilateral (69.8%). A main complaint of diplopia was reported by 43.4% of the patients. The most common clinical features found were restricted eye movement (92.6%), diplopia (79.5%), and visual field defects (38.9%). The identified etiologies of CN VI palsy in this study were vasculopathy (n=29, 34.9%), idiopathic (n=26, 31.3%), neoplasm (n=21, 25.3%), trauma (n=4, 4.8%), and infection/inflammation (n=3, 3.6%).
Conclusion
The mean age of patients with isolated CN VI palsy was 43.2 years, with the majority of cases were unilateral. The most common clinical features observed were restricted eye movement, diplopia, and visual field defects, while reduced visual acuity, fundus abnormalities, and proptosis were relatively rare. Vasculopathy was the most frequent etiological factor for CN VI palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denie Kartono
"Latar Belakang: CT scan orbita merupakan modalitas radiologi yang mudah dan efisien untuk menilai adanya penebalan otot ekstraokular pada penderita oftalmopati Graves. Penebalan otot ekstraokular memiliki korelasi dengan masing-masing derajat oftalmopati Graves. Di Indonesia, belum ada korelasi antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves menurut klasifikasi NOSPECS.
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 89 orbita yang berasal dari 50 pasien penderita oftalmopati Graves yang telah menjalani pemeriksaan CT scan orbita di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2012 hingga Desember 2016. Penelitian dilakukan sejak Februari hingga Maret 2017. Pengukuran ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dilakukan setelah meninjau ulang derajat oftalmopati Graves melalui hasil pemeriksaan oftalmologi.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna di antara rerata ketebalan otot ekstraokular menurut derajat oftalmopati Graves (p<0,05). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi yang bermakna dan nilai r yang bervariasi di antara ketebalan otot ekstraokular dengan derajat oftalmopati Graves. Nilai r=0,43 untuk rektus medial, r=0,37 untuk rektus lateral, r=0,49 untuk rektus superior, r=0,45 untuk rektus inferior dan r=0,57 untuk ketebalan total ekstraokular.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara ketebalan otot ekstraokular pada CT scan orbita dengan derajat oftalmopati Graves.

Background: CT scan is an easy and efficient radiological modality to measure extraocular enlargement in the patient with Graves' ophthalmopathy disease. Extraocular muscles enlargements were had correlated with each grade of Graves' ophthalmopathy. In Indonesia, there is not yet a study about correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity based on NOCPECS classification.
Purpose: To obtain the correlation values between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity.
Method: This study used a cross sectional design. Eighty nine samples from fifty patients with Graves' opthalmopathy were chosen using consecutive sampling from patients that underwent orbital CT scan at the Radiology Departement of the Indonesia University's Faculty of Medicine' Cipto Mangunkusumo Hospital from time periode January 2012 until December 2016. This study was done from February until March 2017. The measurement of extraocular muscles diameter in orbital CT scan was performed after had reviewed Graves' ophthalmopathy severity from ophthalmology examination on medical record.
Results: There are significantly differences between extraocular muscles diameter mean with Graves' ophthalmopathy severity (p<0,05). Spearman correlation test between extraocular muscles diameter with Graves' ophthalmopathy grading shows significant correlation with varied r values, r=0,43 for rectus medial, r=0,37 for rectus lateral, r=0,49 for rektus superior, r=0,45 for rectus inferior and r=0,57 for total diameters of extraocular muscles.
Conclusion: There is a moderate positive correlation between extraocular muscles diameter in orbital CT scan with Graves' ophthalmopathy severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Hertanto
"ABSTRAK
Edema makula diabetik EMD adalah salah satu penyebab kebutaan utama pada pasien diabetes. Pemberian terapi injeksi anti VEGF selain dapat mencegah perburukan EMD juga mampu memperbaiki tajam penglihatan. Penelitian ini bertujuan mengamati perubahan ketebalan makula sentral CMT , elektroretinogram ERG makula, dan tajam penglihatan setelah pemberian injeksi Aflibercept intravitreal. Penelitian ini adalah penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan EMD diberikan satu kali injeksi Aflibercept intravitreal. Nilai CMT, ERG makula, dan tajam penglihatan diukur sebelum, satu minggu, dan satu bulan setelah injeksi. Sebanyak 36 dan 35 subjek diamati pada 1 minggu dan 1 bulan pasca injeksi. Rerata usia, lama menderita diabetes, dan kadar HbA1C subjek adalah 56,33 6,39 tahun, 96 12-240 bulan, dan 7,33 1,41 . Perbandingan nilai sebelum, 1 minggu setelah injeksi, dan 1 bulan setelah injeksi dari CMT adalah [408 264 ndash;1025 vs 329,5 208 ndash;629 vs 303 213 ndash;567 , ABSTRACT
Diabetic macular edema DME is a major cause of blindness in diabetic patients. Anti VEGF injections had been shown not only able to slow the worsening of DME, but can also improve visual acuity VA . The aim of this study is to observe changes in central macular thickness CMT , macular electroretinogram ERG and VA after single intravitreal Aflibercept injection IAI . This is a single arm, pre post intervention clinical study. Subjects with DME were given single, unilateral IAI. Changes in CMT , multifocal ERG, and VA were observed one week and one month after IAI was given. We included 36 and 35 eyes in this study for one week and one month follow up. Subjects 39; mean age, duration of diabetes, HbA1C level were 56.33 6.39 years, 96 12-240 months, and 7.33 1.41 respectively. Comparing across follow up periods [pre, one week, one month post IAI] there were statistically significant differences of CMT [408 264 ndash;1025 vs 329.5 208 ndash;629 vs 303 213 ndash;567 , p="
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Puspita Anjani
"Latar Belakang: Pasien dengan CCF direk sebagian besar muncul dengan keluhan bruit orbital (80%). Diagnosis CCF direk dan indirek ditegakkan secara primer berdasarkan temuan pada angiografi konvensional. Namun, DSA merupakan tindakan invasif dengan ketersediaan yang masih terbatas di unit-unit kesehatan Indonesia. Dipikirkan apakah ada atau tidaknya bruit orbita dan gambaran dari modalitas imaging non-invasif seperti CT dan MRI dapat membantu diagnosis dan menentukan tipe CCF.

Tujuan: Menganalisa temuan CCF pada ada atau tidaknya bruit orbita pada pemeriksaan fisik dan modalitas imaging multiplanar berupa CT/CTA kepala kontras atau MRI kontras/MRA kepala, serta membandingkan temuan pada DSA.

Metode: Sebanyak 52 pasien memenuhi kriteria penelitian studi potong lintang dengan data sekunder retrospektif CT/CTA kepala kontras atau MRI kontras/MRA kepala selama tahun 2019 hingga 2023. Analisis bivariat kesesuaian antara temuan bruit orbita, CT/CTA kepala kontras, atau MRI kontras/MRA kepala pada kasus CCF dilakukan dengan uji kappa cohen.

Hasil: Terdapat 38 (73,1%) subjek dengan bruit orbita (κ:0,60; p <0,01). Terdapat tingkat kesesuaian yang baik antara pemeriksaan multiplanar dengan DSA (κ:0,80; p <0,01) dan antara CTA kepala kontras dengan DSA (κ: 0,84; p <0,01).

Kesimpulan: Terdapat tingkat kesesuaian yang kuat pada temuan radiologis pada seluruh modalitas multiplanar dibandingkan dengan temuan pada DSA dalam menentukan tipe CCF direk dan indirek. CTA merupakan modalitas terbaik dalam menentukan tipe CCF.


Background: Most patients with direct CCF present with complaints of orbital bruits (80%). The diagnosis of direct and indirect CCF is made primarily based on findings on conventional angiography. However, DSA is an invasive procedure with limited availability in Indonesian health units. Consideration of whether or not an orbital bruit is present and images from non-invasive imaging modalities such as CT and MRI can help diagnose and determine the type of CCF.

Objective: To analyze CCF findings on the presence or absence of orbital bruits on physical examination and multiplanar imaging modalities in the form of contrast head CT/CTA or contrast head MRI/MRA, and compare the findings on DSA.

Method: A total of 52 patients met the criteria for a cross-sectional study with retrospective secondary data of contrast head CT/CTA or contrast head MRI/MRA during 2019 to 2023. Bivariate analysis of concordance between orbital bruit findings, contrast head CT/CTA, or contrast MRI/ Head MRA in CCF cases was performed using Cohen's kappa test.

Results: There were 38 (73.1%) subjects with orbital bruits (κ: 0.60; p <0.01). There was a good level of agreement between multiplanar examination and DSA (κ: 0.80; p < 0.01) and between contrast head CTA and DSA (κ: 0.84; p < 0.01).

Conclusion: There is a strong level of concordance in radiological findings in all multiplanar modalities compared with findings in DSA in determining the type of direct and indirect CCF. CTA is the best modality in determining the type of CCF."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecilia Anggraini
"Latar belakang: Perubahan okular pasien oftalmopati Graves (OG) tidak pernah mengalami remisi sempurna pasca tatalaksana berdampak negatif pada psikososial pasien. Kuesioner Graves Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) versi Bahasa Indonesia belum tervalidasi sehingga belum bisa mengevaluasi kualitas hidup pasien yang menjadi indikator dalam tatalaksana pasien OG.
Tujuan: Menyajikan kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dan mengetahui hubungan kualitas hidup pasien dengan aktivitas klinis dan derajat keparahan OG.
Metode: Proses validasi melalui adaptasi transkultural dengan desain potong lintang. Validitas dinilai dengan content validity index (CVI) dan reliabilitas dinilai dengan Cronbach's alpha.
Hasil: Kuesioner GO-QoL versi Bahasa Indonesia memiliki content validity index (CVI) mencapai 1,00. Nilai Cronbach’s alpha  subskala fungsi penglihatan 0,971; subskala tampilan 0,993; total 0,986. Kualitas hidup pasien OG di subskala tampilan dan keseluruhan  memiliki hubungan bermakna dengan clinical activity score (p<0,05) dan derajat keparahan (p<0,001).
Kesimpulan: GO-QoL versi Bahasa Indonesia validitas dan reliabilitas sangat baik. Aktivitas klinis OG yang aktif dan semakin tinggi derajat keparahan memperburuk kualitas hidup pasien pada subskala tampilan dan keseluruhan.

Background: Graves' ophthalmopathy (GO) ocular abnormalities persisted even after treatment, negatively impacting the patient's psychological and social health. The Indonesian Graves' Ophthalmopathy Quality of Life (GO-QoL) Questionnaire has not been validated, hence it cannot measure patient quality of life, which is crucial to GO treatment.
Objective: Providing a reliable Indonesian GO-QoL questionnaire and identifying an association between patient quality of life and clinical activity and severity of GO.
Method: The process of questionnaire validation involves transcultural adaptation and cross-sectional design. The content validity index (CVI) and Cronbach's alpha assessed validity and reliability, respectively.
Result: Content validity index (CVI) was 1.00 for the Indonesian GO-QoL questionnaire. Cronbach's alpha visual function subscale value was 0.971, while the appearance subscale value was 0.993, and the total score was 0.986. The appearance subscale and total score of OG patients' quality of life had a significant association with the clinical activity score (p<0.05) and disease severity (p<0.001).
Conclusion: The Indonesian version of GO-QoL has good validity and reliability. Both the active clinical activity of OG and the severity of the disease decreased the patient's appearance and general quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>