Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
S. Poedjowardojo
Bandung: Ganaco, 1958
899.222 POE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Ngabei Poerbatjaraka
Djakarta: Djambatan, 1957
899.209 POE k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Natsir Abbas
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu analisis sosial dan analisis pertanian.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah . Peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan faktor sosial ekonomi masyarakat, tetapi faktor pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis merupakan faktor yang paling dominan sehingga formulasi hipotesisnya adalah :
Ho : Tingginya tingkat peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis tidak dipengaruhi o1eh tingginya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit schistosomiasis.
Ha : Tingginya tingkat peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistomiasis sangat dipengaruhi oleh tingginya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis, sehingga makin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis makin tinggi pula tingkat peransertamasyarakat dalam penanggulangan penyakit tersebut.
Populasi yang diamati dalam penelitian ini adalah daerah endemik penyakit schistosomiasis di Sulawesi Tengah yaitu penduduk Desa Watumaeta dan Desa Arica, setiap desa diambil sampel sebanyak 30 % dari jumlah Kepala Keluarga yang ada di tiap desa. Sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 55 Kepala Keluarga.
Faktor yang mempengaruhi peranserta masyarakat yang diamati adalah faktor pendidikan formal, faktor pengetahuan mengenai penyakit schistosmiasis dan faktor sosial ekonomi masyarakat.
Peranserta masyarakat diukur dengan melihat perilaku responden yang menunjang penanggulangan penyakit schistosomiasis sedang faktor sosial diukur dengan melihat tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden,dan tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit schistosomiasis yang ditularkan melalui keong Oncomelania hupensis lindoensis masih tetap merupakan masalah lingkungan yang mengancam lebih dari 10.0100 penduduk di pedesaan Sulawesi Tengah, karena adanya habitat alamiah keong tersebut yang sangat sulit diberantas dan jika karena masih kurangnya pengetahuan tentang keterkaitan antara habitat keong dengan makhluk hidup lainnya. Namun demikian dalam mengatasi masalah tersebut telah tampak usaha dan peranserta aktif masyarakat dalam penanggulangan penyakit.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa peranserta masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Di antara ke tiga faktor tersebut maka faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap peranserta masyarakat.
Hasil penelitian dengan pendekatan aspek pertanian (atas bantuan Puslitbang Biologi LIPI) menunjukkan bahwa dengan merubah pola usahatani masyarakat yang terbiasa dengan tanaman sawah (tanaman padi basah) menjadi tanaman hortikultura atau perkebunan akan mengurangi habitat penyebaran keong perantara.
Dalam penelitian ini terlihat pula bahwa upaya pembangunan dan peningkatan kesehatan, bukan hanya suatu masalah biomedikal saja tetapi juga mengandung masalah sosial budaya dalam lingkungan alam dan aspek pertanian sebagai sumber nafkah. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dalam mengatasi masalah ini.

ABSTRACT
This thesis is the result of research pertaining community participation to abate schistosomiasis disease and most of its influencing factors. The two approaches applied are the social andagricultural analysis. Proposed hypotheses in this research are as follows:
How far is community participation in abating schistosomiasis disease influenced by factors, such as education, knowledge, and socio-economic ones? Which factor is the dominant factor with the strongest influence on the abatement of the disease? Is it the knowledge on schistosomiasis itself? These questions lead to the formulation of the hypotheses follows:
Ho: The high level of community participation to abate schistosomiasis disease is not influenced by the level of community knowledge about the schistosomiasis disease.
Ha: The high level of community participation, to abate schistosomiasis disease is most influenced by the level of community knowledge about the schistosomiasis disease. The higher the community knowledge about the disease, the higher also will be result of community participation to abate the disease.
The population observed in this research is the population of the endemic area of the schistosomiasis disease in Central Sulawesi, namely the village of Watumaeta and of Anca. A 30 percentage of the number of families or 55 family heads from each village has been approached in the survey.
The most influencing factor of the community participation was observed in relation to their formal education, knowledge of the schistosomiasis disease and the socio-economic factors of the community.
Community participation was measured by observing the respondent's behavior, which support the abatement of the schistosomiasis disease, whereas social factors were measured by observing the levels of respondent's education and knowledge as well as of the socioeconomic level of the community.
The research indicated that the schistosomiasis disease, which is spread by Oncomelania hupensis lindoensis, is still an important environment problem, which is a threat for more than 10.000 of villagers, in, Central Sulawesi. The ecology of the snails and the lack of the population knowledge about the disease make its control difficult. In solving the problems, efforts were made to activate community participation to abate the disease.
It was also observed that several factors influencing community participation are education, knowledge and the socio-economic level of the community. The level of knowledge, however, is the most influential factor among the three factors to raise community participation.
The results indicated the need to shift the community cultivation pattern from wet-paddy-planting, to horticulture or plantation, thus indirectly decreasing the distribution of the host snails.
This research also indicated that the development and increasing health efforts by the government should not merely be-biomedical but should also involve a sociocultural approach, stressing the role of Interdisciplinary integrated approach in problem solving.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Susilo
"ABSTRAK
Dalam usaha "World Health Organization" (WHO) untuk mencapai "Health for all by the year 2000" telah ditempuh banyak usaha dalam semua bidang untuk menaikkan taraf hidup manusia di seluruh dunia sehingga dapat hidup lebih baik dan produktif.
Pemerintah dan masyarakat dunia telah menyambut tantangan ini dan telah dibentuk garis haluan dan proyek-proyek yang dapat diberlakukan untuk mencapai tujuan tersebut, dengan mempertimbangkan problema kesehatan yang dihadapi dan dana yang tersedia. Untuk mencapai tujuan yang telah digariskan WHO, perlu diperhatikan dan dilaksanakan 8 azas "Primary Health Care" tersebut, yaitu :
1. Peningkatan persediaan dan mutu makanan
2. Penyediaan air bersih dan sanitasi.
3. Imunisasi anak terhadap penyakit infeksi.
4. Penyediaan obat esensial.
5. Pendidikan.
6. Kesehatan ibu dan anak.
7. Pencegahan dan penanggulangan penyakit endemik.
8. Pengobatan yang sesuai untuk penyakit umum dan luka.
Butir pertama, kedua dan keempat tidak berhubungan dengan penyakit jamur, butir ketiga yaitu dalam bidang imunisasi masih dalam tahap penelitian.
Masalah mikosis dapat dikaitkan dengan lima dari delapan azas
"Primary Health Care" tersebut, yaitu :
a. Pendidikan
Penyuluhan pendidikan kesehatan mengenai masalah yang berhubungan dengan timbulnya penyakit jamur dan cara pencegahannya dapat diberikan secara sederhana kepada masyarakat.
b. Kesehatan ibu dan anak
Penyakit jamur yang berupa keputihan dapat menimbulkan banyak masalah sejak seorang ibu hamil dan bila tidak ditangani dengan tuntas dapat ditularkan pada bayi yang akan dilahirkan dan menimbulkan berbagai masalah berupa "oral thrush", yaitu bercak putih pada selaput lendir inulut yang menyerupai sisa susu. Infeksi ini kemudian dapat menimbulkan gangguan saluran cerna berupa diare yang dapat disertai "diaper rash" yaitu kemerahan kulit sebatas popok.
c. Pencegahan dan penanggulangan penyakit endemik setempat. Penyakit jamur dapat merupakan salah satu penyakit endemik setempat misalnya tinea imbrikata dan histopiasmosis; juga dapat sebagai penyulit penyakit endemik lain misalnya aspergilosis dan kandidiasis pada tuberkulosis.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan :
1. kebersihan pribadi untuk mencegah terutama mikosis superfisialis
2. kebersihan lingkungan untuk menghilangkan sumber infeksi, misalnya membersihkan kotoran burung dan ayam yang mudah ditumbuhi Cryptococcus neoformans dan Histoplasma capsulatum."
1992
D351
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Suarsini
"ASBTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Di Indonesia kasus infeksi oleh cacing Echinostoma spp. belum banyak dilaporkan, tetapi di beberapa tempat tertentu ditemukan secara endemi. Infeksi pada manusia terjadi secara kebetulan, yaitu bila manusia makan keong air yang mengandung metaserkaria dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mengetahui keadaan infeksi cacing Echinostoma spp. pada keong Bellamya javanica (Vivi para javanica) yang merupakan sumber infeksi bagi manusia di Indonesia. Sejumlah 2500 keong telah dikumpulkan, dan secara acak dipilih 500 ekor untuk dilakukan pembedahan dan pemeriksaan metaserkaria.
Metaserkaria yang dikumpulkan diinfeksikan terhadap mencit putih. Telah diinfeksi 30 ekor mencit- putih, masing-masing dengan 150 ekor metaser karia. Untuk keperluan identifikasi, cacing dewasa yang tumbuh dalam usus mencit dikumpulkan, kemudian dipulas dengan teknik pulasan 'trichrome' yang dimodifikasi.
Hasil dan Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan angka infeksi metaserkaria Echinostoma, spp. setinggoi 100 % pada keong B. javanica. Rata-rata tiap keong mengandung 802 ekor metaserkaria. Infektivitas metaserkaria pada mencit cukup Tinggi, yaitu dari 30 ekor mencit terdapat 27 ekor {90%) positif, sedangkan jumlah produksi seluruhnya 133 ekor cacing. Jadi tiap mencit rata-rata mengandung 9 ekor cacing.
Hasil identifikasi spesies diperoleh 75 ekor (56,4%) E. recurvatum, 24 ekor (18,0%) E. ilocanum, dan 10 ekor (7,6%) E. revolutum; lainnya 24 ekor (18,0%) tidak dapat diidentifikasi. Dengan demikian dapat dikimpulkan bahwa keong B. javanica merupakan hospes perantara II cacing Echinostoma spp. yang sesuai dan berperan sebagai sumber infeksi potensial bagi manusia.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Cases of echinostomiasis are rarely reported in Indonesia, but in some places endemic foci have been found and are considered as of . public health importance. Human infections occurred accidentally, and man got the infection by way of consuming raw or half cooked snails which contained metacercariae. The general objective of this study is to know whether Echinostoma spp. larvae found in B. javanica (Vivipara javanica) snails are the potential source of infection for man in Indonesia. In this study 2500 snails were collected, and 500 snails were randomly selected for dissecting and searching for metacercariae. Experimental infection of 30 white mice were then carried out with 150 metacercariae for each mouse. For species identification, adult worms were stained by a modified trachoma staining technique.
Findings and Conclusions: The infection rate of Echinostoma in B. javanica was found to be 100 %, with a mean number of 802 metacercariae for each snail. The infectivity of metacercariae for white mice is quite high: of 30 mice infected, 27 (90%) were positive. A total of 133 adult worms were found; the worms found in each mouse varied from 1 - 27, with a mean of 5 worms per mouse. Identification results: 75 (56.5%) were identified as E. recurvatum, 24 (18.2%) E. ilocanum, 10 (7.6%) E. revolutum, and 24 (18.2%) could not be identified. Thus, based on this evidence, the snail B. javanica could be considered as a potential host for Echinostoma spp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Aspergillus merupakan jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu di antaranya adalah alergi, yang mempunyai manifestasi klinik asma bronkial. Di Indonesia peran Aspergillus dalam menimbulkan serangan asma bronkial belum diketahui. Untuk itu dilakukan pemeriksaan sputum terhadap adanya Aspergillus pada 75 orang penderita asma dan 62 orang sehat. Pengambilan sputum dilakukan pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya. Sputum dibatukkan ke dalam cawan Petri steril; dilakukan pemeriksaan langsung dan biakan. Biakan dianggap positif bila tumbuh jamur Aspergillus satu koloni atau lebih. Hasil pemeriksaan kelompok penderita asma pada saat serangan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan satu minggu sesudah serangan. Juga dibandingkan antara kelompok asma dan kelompok sehat. Selain itu dilakukan pemeriksaan tes imunodifusi dengan antigen Aspergillus untuk mencari zat anti terhadap Aspergillus.
Hasil dan Kesimpulan: Hasil pemeriksaan sputum pada 53 orang (yang kembali) penderita asma pada saat serangan dan satu minggu sesudahnya memberi hasil 27 orang positif pada saat serangan dan negatif sesudahnya. Pengujian statistik menunjukkan adanya ketergantungan antara Aspeuillus dan serangan asma (p<0,01). Tujuh puluh lima orang penderita asma diperiksa pada saat serangan dengan cara langsung, 22 orang positif (23%) dan dengan biakan 45 orang positif (60%). Pada orang sehat dengan cara yang sama didapatkan 6 orang (9,6%) dan 9 orang (14,5%) positif. Uji statistik menunjukkan adanya hubungan antara serangan asma dan Aspergillus (p<0,01). Odds ratio 8,8 menunjukkan Aspergillus memang mampu menyebabkan penyakit. Perbandingan hasil pemeriksaan sputum satu minggu sesudah serangan dan orang sehat menunjukkan adanya perbedaan bermakna, hal ini berarti bahwa satu minggu sesudah serangan belum menggambarkan keadaan normal. Hasil pemeriksaan tes imunodifusi menunjukkan bahwa sebagian besar tidak ada invasi Aspergillus ke dalam jarigan."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Dharma K. Liman
"Ruang lingkup dan cara penelitian Toxocara canis dan T. cati merupakan penyebab utama visceral larva migrans. Penyakit ini dikaitkan dengan adanya hubungan erat antara manusia dengan peliharaannya yaitu anjing dan kucing. Banyak kasus visceral larva migrans dilaporkan di luar negeri sedangkan di Indonesia sampai sekarang belum ada laporan mengenai penyakit tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi Toxocara pada anjing dan kucing yang merupakan sumber infeksi bagi manusia dan melakukan studi deskriptif mengenai morfologi Toxocara yang ditemukan di Indonesia. Pengumpulan sampel dilakukan secara selektif dan pemeriksaan tinja anjing dan kucing dilakukan dengan teknik langsung dan cara sedimentasi. Anjing dan kucing yang tinjanya positif dengan telur Toxocara diberi obat pirantel pamoat untuk memperoleh cacing dewasa. Kemudian dilakukan pemeriksaan telur dan cacing dewasa guna mempelajari morfologinya.
Hasil dan Kesimpulan: Telah diperiksa 60 ekor anjing dan 100 ekor kucing. Prevalensi T. canis pada anjing 38,3% dan T. cati pada kucing 26,0%. Tidak ditemukan infeksi campur antara kedua jenis cacing balk pada anjing maupun pada kucing. Ukuran telur T. canis 90,25 + 5,95 u x 78,8 + 5,4 u dan telur T. cati 77,39 + 4,6u x 65,57 + 8,07 U. Telur T. canis lebih besar daripada telur T. cati. Hasil pemeriksaan morfologi cacing dewasa: panjang tubuh T. canis jantan lebih panjang daripada panjang tubuh T. cati jantan; alae T. cati lebih lebar daripada alae T. canis; esofagus, ventrikel dan spikula T. cati lebih panjang. Kesimpulannya ialah prevalensi T. canis 38,3% dan T.'cati 26,0%; tidak terdapat infeksi campur; morfologi telur dan cacing dewasa T. canis dan T. cati berbeda.

Scope and Method of Study: Toxocara canis and Toxocara cati are the principal etiology of visceral larva migrans. This disease in man is due to the existence of a close relationship between man and domestic animals, namely dogs and cats. In the literature many cases of visceral larva migrans have been reported, but up to now, there is no report of this disease in Indonesia.
The aim of this study is: to determine the pre-valence rate of Toxocara infection in dogs and cats which are the source of human, to carry out a descriptive study and to compare the morphology of the eggs and the adult worm of Toxocara found in this study. Sampling were done selectively. Faecal specimens from each animal were examined by direct and sedimentation methods. Those dogs and cats whose faeces showed positive Toxocara eggs were given pyrantel pamoate to obtain the adult worms. The morphology of the eggs and adult worms of Toxocara canis and Toxocara cati were studied.
Findings and Conclusions: In this study faecal specimens from 60 dogs and 100 cats have been examined. The prevalence rate of T. canis in dogs was 38,3% and that of T. cati was 26,0.- No mixed infection could be found. T. canis eggs measured: 90,25 + 5,97 u by 78,8 + 5,40 u, while T. cati were 77,39 + 8,07 u. Thus the T. canis eggs were larger than the eggs of T. cati. the results of the morphological study of the adult worms were as follows: the body length of males T. canis was longer than the males of T. cati, T. cati alae were broader than those of T. canis, while the length of the esophagus of T. cati was longer than that of T. canis. It was concluded in this study that the prevalence rate of T. canis and T. cati was respectively 38,3% and 26,0%. No mixed infection of T. canis and T. cati could be found in dogs as well as in cats. The result of the morphological study of T. canis eggs and adult worms differed from that of T. cati.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Sutanto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D1775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library