Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rikarni
Abstrak :
Latar Belakang: Sindrom antifosfolipid (antiphospholipid syndrome = APS) merupakan penyakit autoimun dengan gejala trombosis vena atau arteri, kematian janin berulang, dan peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang persisten. Sindrom antifosfolipid merupakan faktor risiko didapat yang paling sering dihubungkan dengan trombosis. Sampai saat ini efek antibodi anti-?2GP1 pada sistem koagulasi, antikoagulan alamiah dan sistem fibrinolisis masih belum jelas. Tujuan: Menganalisis efek imunoglobulin (Ig)G dan IgM anti-beta-2 glikoprotein-1(?2GP1) terhadap ekspresi messenger RNA (mRNA) tissue factor (TF), mRNA trombomodulin (TM), dan mRNA plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) pada endotel. Metode: Studi eksperimental dengan memajankan antibodi anti-?2GP1 pada human umbilical vein endothelial cells (HUVEC). Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel adalah IgG anti-?2GP1 dan IgM anti-?2GP1 dipurifikasi dari 6 pasien sindrom antifosfolipid. Kontrol adalah IgG dan IgM yang dipurifikasi dari orang sehat. HUVEC dipajan dengan IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG orang sehat, IgM orang sehat selama 4 jam. Pengukuran ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 dilakukan sebelum dan sesudah pemajanan dengan metode real time reverse transcription polymerase chain reaction. Hasil: Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan dengan IgG anti-?2GP1 adalah (3,14 ± 0,93)-, (0,31 ± 0,13)-, (5,33 ± 2,75)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan dengan IgG orang sehat. Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan IgM anti-?2GP1 adalah (4,33 ± 1,98)-, (0,33 ± 0,22)-, (5,47 ± 2.64)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan IgM orang sehat. Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgG anti-?2GP1, memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,09 ± 0,76 berbanding 3,14 ± 0,93, p = 0,003), mRNA TM (0,91 ± 0,11 berbanding 0,31 ± 0,13, p = 0,001), dan mRNA PAI-1 (0,93 ± 0,13 berbanding 5,33 ± 2,75, p = 0,013). Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgM anti-?2GP1 memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,03 ± 0,11 berbanding 4,33 ± 1,98, p = 0,008), mRNA TM (0,93 ± 0,08 berbanding 0,33 ± 0,22, p = 0,003), dan mRNA PAI-1 (1,02 ± 0,10 berbanding 5,47 ± 2,64, p = 0,01). Kesimpulan: Pada penelitian ini terbukti bahwa IgG anti-?2GP1 dan IgM anti- ?2GP1 mempunyai efek protrombotik pada sel endotel dengan meningkatkan mRNA TF dan mRNA PAI-1, serta menurunkan mRNA trombomodulin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme trombosis pada APS dapat terjadi melalui peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan aktivitas fibrinolisis dan penurunan aktivitas antikoagulan. ......Background: Antiphospholipid syndrome (APS) is an autoimmune disorder characterized by venous or arterial thrombosis, recurrent pregnancy morbidity and the presence of persistent antiphospholipid antibodies. The antiphospholipid syndrome is the most common acquired risk factor of thrombosis. Until now, the effect of anti-?2GP1 antibodies on coagulation system, natural anticoagulant and fibrinolytic`system has not been completely understood. Objectives: To analyse the effects of IgG and IgM anti-beta-2 glycoprotein-1 (anti-?2GP1) on the expression of tissue factor (TF), thrombomodulin (TM), and plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) of endothelial cells in the messenger RNA level. Methods: Experimental study in human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) was done at Cipto Mangunkusumo Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Samples are purified immunoglobulin(Ig)G anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 from six APS patients serum. For controls, purified IgG and IgM from normal human serum (IgG-NHS and IgM-NHS) were used. HUVEC were treated with purified IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG-NHS, IgM-NHS for four hours of incubation. We measured TF, TM, and PAI-1 of HUVEC in mRNA relative expression levels (before and after treatment) by real time reverse transcription polymerase chain reaction. Results: The mean value of TF, TM, and PAI-1 mRNA levels in HUVEC after treated with IgG anti-?2GP1 compared to Ig-NHS were (3.14 ± 0.93)-, (0.31 ± 0.13)-, (5.33 ± 2.75)-fold respectively. On the other hand, after treated with IgM anti-?2GP1 compared to IgM-NHS, mRNA levels of TF, TM, and PAI-1 were (4.33 ± 1.98)-, (0.33 ± 0.22)-, (5.47 ± 2.64)-fold respectively. Before and after treatment with IgG anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.09 ± 0.76 versus 3.14 ± 0.93, p = 0.003), TM mRNA levels (0.91 ± 0.11 versus 0.31 ± 0.13, p = 0.001), and PAI-1 mRNA levels (0.93 ± 0.13 versus 5.33 ± 2.75, p = 0.013). Before and after treatment with IgM anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.03 ± 0.11 versus 4.33 ± 1.98, p = 0.008), TM mRNA levels (0.93 ± 0.08 versus 0.33 ± 0.22, p = 0.003), and PAI-1 mRNA levels (1.02 ± 0.10 versus 5.47 ± 2.64, p = 0.01). Conclusion: This study has proven that IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 increase TF and PAI-1 mRNA levels in endothelial cells. However, IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 decrease TM mRNA levels in endothelial cells. It has shown that the mechanism of thrombosis in APS occurs through coagulation activation, reduction of fibrinolysis activity, and reduction of anticoagulant activity
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Intan Atthahirah
Abstrak :
Latar Belakang. Kadar antibodi antikardiolipin (ACA) yang tinggi pada penderita thalassemia dewasa telah dijumpai di Jakarta. Hal ini belum pernah dilaporkan di Indonesia. Publikasi ilmiah internasional mengenai hal inipun sangat sedikit. Bahkan, belum ada tulisan ilmiah yang mengupas mekanisme fenomena ini. Di samping itu, telah dijumpai berbagai kejadian trombosis pada penderita thalassemia dewasa dengan kadar ACA yang tinggi. Namun, sampai saat ini belum ada satupun tulisan yang menghubungkan gangguan hemostasis pada thalassemia dengan kadar ACA yang tinggi. Thalassemia dan Sindrom Antifosfolipid (APS) masuk dalam kondisi hiperkoagulabilitas. Pertanyaannya adalah: Selain ACA, apakah LA dan anti-|32GPl juga tinggi? Mengapa ACA tinggi? Bagaimana gambaran klinis dan laboratoris gangguan hernostasis yang terjadi? Apakah sama dengan yang ditemukan pada thalassemia dan APS, pada umumnya? Apakah ada hubungan antara gangguan hemostasis, baik klinis maupm laboratoris, dengan ACA yang tinggi? Metodologi. Dilakukan Studi potong lintang yang bersifat eksploratif dan analitik pada 41 penderita thalassemia B dewasa, di beberapa rumah sakit dan klinik di Jakarta, dalam kurun waktu 2 tahun 8 bulan, mulai Maret 2002 sampai dengan Oktober 2004. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di beberapa laboratorium di Jakarta dan di Bangkok, mencakup ACA IgG dan IgM, anti-|32GP1 IgG dan IgM, LA, annexin V (ekspresi fosfatidilserin eritrosit), mikrovesikel eritrosit, VCAM-1 (disfungsi endotel), bilirubin indirk, LDH, feritin serum, untuk menentukan mengapa ACA tinggi, dan TAT komplel-zs, F1+2, D-dimer, agregasi trombosit, AT Ill, protein C,protein S, PAI-1 untuk menentukan adakah hubungan antara ACA yang tinggi dengan gangguan hemostasis. Hasil Penelitian. Penderita thalassemia B dewasa menunjukkan: (a) proporsi yang lebih besar secara bermakna dalam hal kadar ACA IgG dan ACA IgM yang tinggi, namun proporsinya tidak berbeda bermakna dalam hal anti-|32GPl IgG dan IgM yang tinggi serla LA yang posilif, (b) annexin V, mikrovesikel, bilirubin indirek, LDH, feritln serum, dan VCAM-1 yang tinggi (c) ACA IgG yang tinggi secara klinis memiliki hubungan dengan VCAM-l, bilirubin indirek dan LDI-I yang tinggi; VCAM-1 merupakan variabel paling baik untuk mcmprediksi ACA yang tinggi, (cl) VCAM-I yang tinggi memiliki hubungan bermakna dengan feritin serum yang tinggi, (e) annexin V yang tinggi memiliki hubungan dengan mikrovesikel eritrosit dan LDH yang tinggi; LDH yang tinggi merupakan variabel paling bermakna dalam memprudiksi annexin V yang tinggi, (f) episiaksis, gusi berdarah, dan purpura memiliki hubungan bermakna dengan ACA IgG yang tinggi; ACA IgG IgG secara klinis meningkatkan risiko keluhan di mata dan telinga; ACA IgM yang tinggi seoara klinis meningkalkan keluhan di kepala, tungkai, dada, serta mata dan telinga, (g) ACA IgG yang tinggi memiliki hubungan bermakna dengan aktifitas protein S dan AT III yang rendah; secara klinis meningkatkan risiko untuk tenjadinya D-dimer yang tinggi, dan (h) kelainan hemostasis pada penderita thalassemia dengan ACA yang tinggi banyak kesamaannya dengan thalasssemia dan APS pada umumnya, kecuali pada subyek penelitian dijumpai adanya hiporeaktif agregasi trombosit dan PAI-1 yang tidak tinggi. Simpulan. Desain penelitian yang bersifat studi potong lintang ini menghasilkan konsep yang didasarkan atas hubungan dua variabel, sehingga hasil penelitian ini harus ditindak Ianjuti dengan studi lanjutan, mencakup konsep: pada penderita thalassemia [3 dewasa (a) muatan besi berlebih menimbulkan kerusakan endotel vaskular, sehingga fosfolipid anionik terpajan ke luar, kemudian merangsang pembentukan ACA IgG, (b) hemolisis menyebabkan pajanan berlebih fosfolipid anionik pada lapisan luar eritrosit, yang kemudian merangsang pembentukan ACA IgG.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D707
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najirman
Abstrak :
Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun sistemik yang menghasilkan berbagai autoantibodi yang ditujukan terhadap komponen sel, seperti inti sel, sitoplasma dan membran sel. Salah satu autoantibodi tersebut yaitu antibodi anti ?2GP-1 dihubungkan dengan kejadian aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular yang timbul lebih dini pada pasien SLE. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antibodi anti ?2GP-1 dengan disfungsi endotel dan aterosklerosis pada pasien SLE dan disfungsi endotel pada HUVEC. Penelitian potong lintang pada pasien SLE yang memenuhi kriteria inklusi menurut ACR 1997 di poliklinik khusus Reumatologi, Alergi Imunologi RSCM dan poliklinik khusus Reumatologi RSUP Dr. M. Djamil dari Maret 2016 sampai dengan Juli 2017. Subjek secara acak dibagi atas 2 kelompok berdasarkan nilai CIMT. Dilakukan pemeriksaan antibodi anti ?2GP-1, ox-LDL, ADMA, ICAM-1, VCAM-1, ET-1. Dilakukan pemajanan antibodi anti ?2GP-1 yang berasal dari kelompok aterosklerosis positif dan kontrol pada HUVEC. Enam puluh enam orang subjek direkrut pada penelitian ini, terdiri atas 33 orang aterosklerosis positif dan 33 orang aterosklerosis negatif dan 6 orang kontrol dengan rentang umur 20-45 tahun. Ditemukan korelasi positif antara antibodi anti ?2GP-1 dengan CIMT,ADMA, ICAM-1, VCAM-1 dan ET-1 dengan nilai r = 0,409, 0,89, 0,36, 0,43, 0,37 dan dengan p < 0,05. Tidak ditemukan korelasi antibodi anti ?2GP-1 dengan ox-LDL dengan r = 0,025 dan p > 0,05. Ditemukan perbedaan bermakna kadar antibodi anti ?2GP-1, ADMA, ICAM-1, VCAM-1 dan ET-1 pada kelompok aterosklerosis positif dengan kelompok aterosklerosis negatif dengan nilai p < 0,05, sedangkan kadar ox-LDL tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok tersebut dengan nilai p > 0,05. Hasil pemajanan antibodi anti ?2GP-1 pada HUVEC mendapatkan perbedaan bermakna peningkatan kadar ICAM-1, VCAM-1 dan ET-1 pada kelompok SLE aterosklerosis positif dari kontrol dengan nilai p < 0,05. Antibodi anti ?2GP-1 menimbulkan disfungsi endotel pada pasien SLE. ...... Systemic lupus erythematosus SLE is a multi systemic disease characterized by a wide variety of autoantibodies directed to several self molecules found in the nucleus, cytoplasm and cell membrane. One of variety autoantibodies is Antibody anti 2GP 1 which associated with atherosclerosis and premature cardiovascular disease in SLE patients. The purpose of the study is to know the association of antibody anti 2GP 1 with endothelial dysfunction and atherosclerosis in SLE and endothelial dysfunction in HUVEC. Cross sectional study was performed in SLE patients fulfill inclussion criteria according ACR 1997 out patients in Rheumatology and Alergy Immunology polyclinic of Cipto Mangunkusomo Hospital and Dr. M. Djamil Hospital from March 2016 to July 2017. Patients were divided in 2 groups based on CIMT. Examination of antibody anti 2GP 1, ox LDL, ADMA, ICAM 1, VCAM 1 and ET 1 were performed. Purified antibody anti 2GP 1 from positive atherosclerosis and controls groups were exposed to HUVEC. Sixty six patients were enrolled, consists of 33 patients with positive atherosclerosis, 33 patients with negative atherosclerosis and 6 as healthy control with range of age 20 40 year. In this study we found positive correlation between antibody anti 2GP 1 with CIMT, ADMA, ICAM 1, VCAM 1 and ET 1 with r 0.409, 0.89, 0.36, 0.43, 0.43 respectively and p value 0.05. There was no correlation between antibody anti 2GP 1 with ox LDL, r 0.025 and p 0.05. There were significantly different levels of antibody anti 2GP 1, ADMA, ICAM 1, VCAM 1 and ET 1 in positive atherosclerosis compared to negative atherosclerosis group with p 0.05. Level of ox LDL was not different between the two groups with p 0.05. There were significantly different increase of ICAM 1, VCAM 1 and ET 1 levels in HUVEC which was exposed with purified antibody anti 2GP 1 from positive atherosclerosis compared to control with p 0.05. Antibody anti 2GP 1 cause endothelial dysfunction in SLE patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library