Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Swatika Wulan Pahlevi
"ABSTRAK
Borderline Intellectual Functioning adalah suatu kondisi taraf kecerdasan
individu dengan skor IQ berkisar antara 71 sampai 84, suatu tingkat yang berada
di bawah rata-rata normal, namun tidak termasuk sebagai keterbelakangan mental
(Sattler, 1987). Anak-anak pada taraf kecerdasan ini seringkali kurang
mendapatkan perhatian di dalam dunia pendidikan. Padahal anak-anak ini
memiliki banyak keterbatasan walaupun biasanya tidak tertampil secara nyata
seperti anak-anak dari golongan kecerdasan lain (retardasi mental). Shaw (2006)
menjelaskan bahwa individu dengan borderline intellectual functioning dapat
dimaksimalkan dengan cara meningkatkan waktu belajar yang lebih lama,
meningkatkan kemampuan self-instruction, pengajaran secara khusus dari guru,
serta pemberian instruksi secara khusus. Selain itu, kebiasaan belajar yang buruk
juga dapat menyebabkan kegagalan atau prestasi yang rendah di sekolah (Schaefer
& Millman, 1987). Oleh karena itu, intervensi harus dilakukan pada anak-anak ini.
Dengan adanya intervensi bagi anak-anak borderline maka diharapkan resiko
kegagalan di sekolah dapat diminimalkan. Salah satu intervensi yang bisa
dilakukan berupa bimbingan untuk mengembangkan kebiasaan belajar (Ninivaggi,
2001).
Perilaku belajar yang buruk bisa terjadi baik pada siswa dengan
kecerdfl-san rata-rata mupun di bawah rata-rata. Namun demikian, memang ada
kecenderungan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (borderline) biasanya kurang dapat melakukan perencanaan. Selain itu, mereka
tidak mengetahui bagaimana caranya belajar (Bocsa, 2003) sehingga pada
akhirnya hal ini akan berimbas pada kemampuan untuk merencanakan kegiatan
belajar dan mengerjakan tugas.
Program intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah modifikasi
perilaku dengan menggunakan positif reinforeement dengan token ekonomi dan
fading untuk membantu subyek memulai belajar.
Subyek penelitian ini duduk di kelas VI sekolah dasar, akan mengikuti
ujian akhir sekolah dan berencana melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Subyek
berjenis kelamin perempuan berusia 12 tahun. Saat ini subyek belum memiliki
kebiasaan belajar yang teratur setiap harinya yang dapat mendukung subyek baik
saat ujian sekolah maupun untuk proses belajar di jenjang selanjutnya. Selain itu,
keluarga subyek juga tidak dapat menyediakan model yang dapat dijadikan
panutan bagi subyek untuk dapat belajar dengan teratur. Subyek belajar hanya jika
akan ulangan atau ada PR.
Berdasarkan intervensi yang dilakukan sebanyak 12 kali, didapatkan
kesimpulan bahwa program intervensi pembiasaan belajar terhadap anak
borderline ini dapat dikatakan berhasil. Subyek mulai terbiasa untuk belajar
dengan teratur dengan durasi waktu tertentu serta pada waktu-waktu tertentu
setiap harinya. Selain itu, durasi belajar subyek juga meningkat selama program
intervensi berlangsung. Sebagai tambahan, subyek mulai menguasai beberapa
materi pelajaran matematika seperti perkalian dan pembagian di bawah angka 10
serta konsep bilangan positif negatif dan pecahan yang sebelumnya belum ia
kuasai. Namun demikian sesuai dengan karakteristik anak borderline, subyek
membutuhkan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat memahami
materi-materi tersebut."
2007
T38136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Nirmala
"Penelitian ini bertujuan untuk melatih kemampuan mengenakan kemeja berkancing pada anak yang mengalami hambatan perkembangan dengan menggunakan terapi behavior modification. Penelitian ini bersifat studi kasus.
Metode behavior modification yang digunakan adalah forward chaining. Untuk membantu anak selama pelatihan, akan diberikan prompt, yaitu verbal, gestural, modeling, dan fisik, serta extra-stimulus prompt. Selain itu juga diberikan reinforcement (social, token dan backup reinforcement, serta manipulative) untuk menguatkan perilaku yang dilatihkan.
Baseline dilakukan selama 5 sesi untuk mengetahui sejauhmana anak dapat mengenakan kemeja. Hasil baseline menunjukkan bahwa secara konsisten anak belum dapat mengenakan kemeja berkancing tanpa bantuan. Pada saat baseline, anak hanya dapat memegang kemeja berkancing yang telah terbuka berhadapan dengannya, memasukkan lengan kanan ke lubang lengan kanan kemeja, dan menarik kerah kemeja kanan ke arah bahu. Pelatihan dilakukan selama 12 hari yang terdiri dari 21 sesi. Setelah pelatihan dilakukan, anak sudah dapat mengenakan kemeja dengan memasukkan tangan ke dalam lubang lengan pada kemeja, namun belum dapat memasukkan kancing ke lubang kancing.
Berdasarkan hasil pelatihan, disimpulkan bahwa hingga akhir pelatihan anak belum dapat mengenakan kemeja berkancing sendiri. Hambatan yang dialami oleh anak adalah keterbatasan motorik halus sehingga kesulitan untuk memasukkan kancing ke dalam lubang kancing. Meskipun demikian anak tetap menunjukkan kemajuan, yaitu sudah dapat mengenakan kemeja dengan memasukkan tangan ke dalam lubang lengan pada kemeja tanpa bantuan.
This research is a study case about a 5 year old child with developmental disability. The aim of this research is to train the ability of wearing and buttoning a shirt using behavior modification therapy.
The behavior modification method used in this research is forward chaining. Prompts (verbal, gestural, modeling, physical, and extra-stimulus prompt) are given throughout the training process to help the child when needed. Reinforcements (social, manipulative, token and backfup reinforcement) are also given to strengthen the behaviors that are being trained.
Baseline was done in 5 sessions to see how far the child could wear and button a shirt. It could be seen that the child could not wear and button a shirt without help from others. He could only hold the shirt facing it, put his hand in the right sleeve, and pull it to his right shoulder. This training was done in 12 days, with a total of 21 sessions. After the training ended, the child could put both his hands in both sleeves, although he still could not button the shirt.
It could be concluded that until the end of the training session, the child could not wear and button his shirt on his own. He could not hold and put in the buttons because of fine motor skill deficits, which was an important aspect of buttoning. Nevertheless improvements could still be seen. By the end of the training program, he could wear the shirt by putting both his hands in the sleeve without help."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T38271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Th. Ratih Sawitridjati
2007
T38300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca F. Sidjaja
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T37967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Yuniarti Pratiwi, Author
"ABSTRAK
Intervensi yang dilakukan menggunakan teknik Cognitive Behaviour Therapy (intervensi kognitif dan perilaku) untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh remaja perempuan berusia tiga belas tahun. Tujuan intervensi adalah untuk mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif anak tentang perasaan tidak mampu (incompeten) dan menimbulkan kecemasan sehingga anak diharapkan mampu menemukan cara untuk menghilangkan kecemasan yang muncul pada situasi tertentu. Intervensi dilakukan sebanyak 8 sesi yang berlangsung dalam jangka waku dua bulan. Sesi terbagi atas dua bagian, yaitu sesi intervensi kognitif untuk mengubah distorsi kognitif pada anak serta sesi perilaku dimana anak diajak untuk mempraktekkan langsung dan mengaplikasikan materi yang didapatkan pada sesi kognitif.
Setelah delapan sesi intervensi selesai dilakukan, terlihat bahwa anak dapat menemukan dan memahami distorsi pikirannya tentang perasaan tidak mampu yang selama ini dirasakan ketika berhadapan dengan beberapa situasi (seperti situasi ujian) sehingga akhirnya anak mampu berpikir secara lebih seimbang. Kondisi tersebut akhirnya berpengaruh terhadap perilakunya, yaitu anak kembali berusaha untuk menumbuhkan semangat belajar dan simptom-simptom kecemasan yang muncul akibat perasaan tidak mampu tersebut juga sudah mulai berkurang seperti ketika ada dalam situasi ujian, anak tidak lagi sakit perut dan berkeringat ketika berhadapan dengan soal ujian.

ABSTRACT
Cognitive Behavior Therapy technique is known as a method to reduce anxiety that thirteen years old girls had. With working on this method, we want to identify and try to manipulate children cognitive distortion especially incompetent feeling that end up with anxiety, so whenever this feeling happen they will find a way to handle it. The intervention took two month of work divided into eight sessions. Intervention consists of two parts. First we took cognitive intervention session, in order to manipulate cognitive distortion whenever its occurred to the children and the second part is behavioral where the children is expected to apply what they have learned before.
At the end of the eighth session, we found out that the children can figured out some of mind distortion that they had so they will be able to neutralize their mind whenever the situation occurs. This condition allowed them to boost their spirit higher especially in study and to handle several anxiety symptoms for example sweating or stomach ache that they used to have in class."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T38569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sarwendah Indrarani
"Di Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita pada waktu yang sama (Radjab, 2003). Poligami memang diperbolehkan dalam agama Islam, meski dengan berbagai kontroversi. Berdasarkan kontroversi poligami, peneliti tertarik mengetahui kesejahteraan psikologis pada pria yang berpoligami sesuai teori yang dikemukakan Ryff (1989) yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Peneliti mempergunakan metode kualitatif, yaitu metode wawancara dan observasi untuk menganalisis hasil. Selain itu, peneliti juga mempergunakan alat ukur untuk memperkaya analisis. Penelitian ini dilakukan terhadap dua pria yang berpoligami sebagai subjek utama beserta kedua istri sebagai subjek pendukung. Berdasarkan penelitian, pria yang berpoligami menampilkan perbedaan dalam kesejahteraan psikologis mereka. Gambaran kesejahteraan psikologis tersebut sangat bergantung pada kualitas keenam dimensi kesejahteraan psikologis subjek penelitian. Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis kedua subjek adalah faktor religiusitas dan usia.

In Indonesia, polygamy is defined as a matrimonial system between a man and more than one woman at the same time (Radjab, 2003). Polygamy is indeed allowed in Islam, even though it is controversial. Because of the controversy in polygamy, the researcher was interested in psychological well-being on polygamous men according to Ryff?s theory (1989) which consists of selfacceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life and personal growth, and also to understand the factors which influence psychological well-being. The researcher used qualitative method which consist of interview and observation method. More over, the researcher also used assessment technique to enrich the analysis. The subjects of the research are two polygamous men as main subjects and their co-wives as supporting subjects. The research showed that these polygamous men are different in their psychological well-being. Psychological well-being is very dependent on the quality of main subject?s six psychological well-being dimensions. Then, the factors that influence psychological well-being are religiosity and age."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Yentri Marchelino
"Penelitian yang mengungkap hubungan antara kecerdasan emosi dan kematangan karir sangat jarang ditemukan dalam literatur. Selain itu, perbedaan kelompok berdasarkan jenis kelamin dan program pendidikan pada kedua variabel ini masih menunjukkan hasil yang inkongruen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisi kesenjangan dalam literatur tersebut. Peneliti mengharapkan akan ada hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosi dan kematangan karir. Diharapkan juga bahwa jenis kelamin sena program pendidikan akan mernpunyai efek utama terhadap kedua variabel dependen tersebut.
Tiga puluh satu orang siswa akselerasi (M = 15.03/SD = 0.60) dan tujuh puluh satu siswa reguler (M = 16.23/SD = 0.59) dari dua sekolah menengah atas di Jakarta berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini mengungkap hubungan yang positif dan bermakna antara kematangan karir dan kecerdasan emosi (r = 0.657,p < 0.01). Ditemukan bahwa skor kematangan karir laki-laki lebih tinggi secara signifikan (F= 9.11, p < 0.01) daripada perempuan dan kematangan karir siswa akselerasi lebih tinggi secara signifikan dari siswa reguler (F = 15.52,p < 0.01). Sedangkan pada kecerdasan emosi, tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan.
Motivasi menjadi pembahasan penting dalarn diskusi, juga berkembangan karir perempuan, tenitama pada kelompok siswa berbakat.

The relationship between emotional intelligence and career maturity has not been much revealed. Furthermore, mean differences due to gender and educational program still showed incongruency in the results. The aim of this study was to fill that literature gap. It was expected that emotional intelligence and career maturity would have a significant relationship. The main effects caused by gender and educational program on career maturity and emotional intelligence was hypothesized too.
Thirty one students in accelerated program (14 = 15.03/SD — 0.60) and seventy one students in regular program (NI ---- 16.23/SD = 0.59) from two high schools in Jakarta participated in this study. This study revealed the significant and positive correlation between career maturity and emotional intelligence (r 0.657, p < 0.01). It was found that career maturity of male students was significantly higher than female (F 9.11, p < 0.01) and career maturity of accelerated students was significant)/ higher than regular ones (F = 15.52, p < 0.01). No significant group differences found in emotional intelligence.
Motivation came out as one of topics in discussion, and the career development of female students, especially those who are gifted.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T33912
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Kusumandari
"ABSTRAK
Penelitian ini menguji pengaruh kontrol-diri (K-D), persepsi ketersediaan
uang (PKU), jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi (SES), dan tingkat usia terhadap
perilaku pembelian impulsif (PPI) pada remaja. Responden adalah 243 laki-laki dan
perempuan, berusia 12-17 tahun, masih bersekolah, menerima uang saku dari
orangtua, tidak bekeija untuk mendapatkan uang, dan berasal dari tingkat sosial
ekonomi tinggi atau rendah. Alat pengumpul data berupa alat ukur kontrol-diri hasil
adaptasi dan modifikasi dari Self-Control Scale, alat ukur perilaku pembelian
impulsif dan alat ukur persepsi ketersediaan uang yang dibuat dalam rangka
penelitian ini. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa kontrol-diri,
persepsi ketersediaan uang, dan jenis kelamin secara bersama-sama berpengaruh
terhadap perilaku pembelian impulsif pada remaja. Hasil t-test menunjukkan: (1)
Remaja perempuan memiliki K-D yang secara signifikan lebih tinggi dari pada
remaja laki-laki. (2) Ada perbedaan PPI, K-D, dan PKU yang signifikan antara SES
yang berbeda, Remaja SES tinggi memiliki PPI dan PKU yang lebih tinggi dari pada
SES rendah, tetapi memiliki K-D yang lebih rendah. (3) Remaja awal memiliki PPI
dan PKU yang lebih rendah secara signifikan dari pada remaja pertengahan, tetapi
memiliki K-D yang lebih tinggi. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah metode
pengumpulan data dianjurkan untuk tidak hanya self-report, dan remaja akhir
disertakan sebagai responden sehingga bisa mewakili remaja secara keseluruhan.

ABSTRACT
This research test influence of self-control, perceived money availability,
sex, social economic status (SES), range of age to impulsive buying behavior on
adolescence. Respondent are 243, consisting of boys and girls, from 12 to 17 years
old, students, received pocket money from parent, didn’t work to salary, and came
from high or low social economic status. Self-Control Scale, perceived money
availability scale, impulsive buying behavior scale used to collect data. The result of
multiple regression statistical analysis shows that self-control, perceive money
availability, and sex have significant influence to impulsive buying behavior on
adolescence. T- test shows: (1) Adolescence girls have self-control higher than
adolescence boys, significantly. (2) Adolescence from high SES have impulsive
buying behavior and perceive money availability higher than adolescence from low
SES, significantly, but have lower self-control. (3) Early adolescence have impulsive
buying behavior and perceive money availability lower than middle adolescence,
significantly, but have higher self-control."
2008
T37651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>