Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nismaya Sari Dewi
Abstrak :
Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Disain : Uji klinis acak tersamar ganda Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi. Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.
Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5% Design : Double blind, randomized clinical study. Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS. Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression. Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
Abstrak :
Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia. Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Dwi Pantja Wibowo
Abstrak :
Telah dilakukan penyusunan sistim skoring APACHE II dan SAPS II, serta pengujian terhadap kedua sistim skoring tersebut pada pasien-pasien di UPI RSCM pada periode November 2004 sampai dengan Oktober 2005. Penelitian dilakukan secara kohort prospektif terhadap 524 pasien yang masuk UPI RSCM. Pasien berumur kurang dari 18 tahun, dengan infark miokard akut, dan pasien luka bakar ditolak sebagai sampel, sedangkan pasien yang masuk berulang ke UPI, perawatan lebih dari 28 hari di UPI, pasien pulang paksa, pasien titipan (tanpa indikasi), dan pasien dengan data untuk APACHE II atau SAPS II yang tidak Iengkap dikeluarkan dari populasi penelitian. Secara acak populasi dibagi menjadi dua kelompok yaitu populasi penyusunan APACHE II (296 pasien) dan SAPS II (295 pasien), serta populasi untuk uji kesahihan APACHE II (160 pasien) dan SAPS II (159 pasien). Data yang diperlukan untuk penyusunan sistim skoring APACHE Il dan SAPS II dicatat dari rekam medis pasien pada 24 jam pertama pasien masuk UPI selanjutnya kondisi pasien setelah 28 hari di RS didata. Persamaan regresi logistik dengan niiai koefisien yang baru telah didapatkan setelah melakukan analisis secara univariat, bivariat, dan multivariat. Evaluasi terhadap uji kesahihan APACHE II dan SAPS II dilakukan dengan mengukur kemampuan kedua sistim skoring ini dalam membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal, dengan menghitung iuas daerah di bawah ROC, serta perbedaan antara estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan kedua sistim skoring tersebut dengan mortalitas aktual yang dilakukan dengan uji goodness offit oleh Hosmer dan Lemeshow. APACHE II memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal pada pasien uji kesahihan di UPI RSCM (Was daerah di bawah kurva ROC 0,993). Estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan APACHE II juga tidak berbeda bermakna dengan mortalitas aktualnya (uji goodness of fit, p = 0,702) . SAPS II memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien mana yang akan bertahan hidup dan pasien mana yang akan meninggal pada pasien uji kesahihan di UPI RSCM (luas daerah di bawah kurva ROC 0,988). Estimasi probabilitas mortalitas berdasarkan SAPS II juga tidak berbeda bermakna dengan mortalitas aktualnya (uji goodness offit, p = 0,299). APACHE II dan SAPS II cukup sahib dalam memprediksi mortalitas pasie di UPI RSCM.
We had developed customized version of Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) and Simplified Acute Physiology Score II (SAPS II), and validated it in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM)'s Intensive Care Unit, Jakarta during November 2004 until October 2005 period. This study was prospective cohort study involving 524 patients in ICU of RSCM. We exclude patients who were under 18 years old, with miokard infark, burn, and readmission, more than 28 days in ICU, reject to treat, with no indication to enter ICU, and who data was not complete for APACHE II and SAPS II. From all the population, we randomized into two sub-groups, the population to developed APACHE II (296 patients) and SAPS II (295 patients), and the validation population subgroup for APACHE II (160 patients) and SAPS II (159 patients). Data which was necessary for the calculation of APACHE II and SAPS II were recorded from patient's medical record on the first 24 hour in ICU and we followed up until 28 days for the mortality outcome. A new multiple logistic regression equation with customized estimation coefficient had been developed with univariate, bivariate, and multivariate statistical analysis from the development sub-group of each scoring systems. Validation for bath models was performed by measuring the ability of both models to distinguish patients who die from patients who live based on the estimates probabilities of mortality (the area under receiver operating curve/ROC) and the degree of correspondence between a model's estimated probabilities of mortality and the actual mortality experience of patients (goodness of fit by Hosmer and Lemeshow). APACHE II had a good ability to distinguish patients who die from patients who live based on its estimated probabilities of mortality (area under the ROC was 0,993). APACHE II estimated probabilities of mortality was not significantly different with the actual mortality (goodness of fit test with p= 0,702). SAPS also had a good ability to distinguish patients who die from patients who live based on its estimated probabilities of mortality (area under the ROC was 0,988). SAPS II estimated probabilities of mortality was not significantly different with the actual mortality (goodness of fit test with p=0,299). APACHE II and SAPS II scoring system has a good validation in ICU of RSCM, Jakarta.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Syauqi
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan penambahan morfin 0.05 mg intratekal dan morfin 0.1 mg intratekal dalam hal kekerapan pruritus yang ditimbulkan oleh efek samping morfin intratekal dengan efek analgesia pasca bedah-nya tetap sama pada kasus bedah sesar dengan tehnik analgesia spinal. Disain : uji klinis acak tersamar ganda. Metode : 84 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 42 orang mendapat 0.05 mg morfin dan kelompok B sebanyak 42 orang mendapat 0.1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0.5% 10 mg intratekal. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan skor VAS, tekanan darah, laju nadi dan laju nafas pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi. Selama pemantauan juga diamati kekerapan dan derajat pruritus. Penilaian pruritus dengan menggunakan skor VAS. Hasil : Pada kelompok A memberikan efek analgesia paska bedah yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok B dalam 24 jam (p X0.05 ). Sedangkan kekerapan pruritus pada kelompok A dan kelompok B masing-masing 16.7% dan 40.5% (p<0.05). Derajat pnuitus ringan dan sedang pada kelompok A didapat 7% dan 0%. Sedangkan pada kelompok B pruritus ringan 35,7 % dan pruritus sedang 4.8 %. Dan kedua kelompok tidak ada yang mengalami pruritus berat. Kesimpulan : morfin 0.05 mg intratekal lebih efektif menurunkan kekerapan pruritus dibanding morfin 0.1 mg intratekal tetapi menghasilkan efek analgesia pasca bedah yang sama pada bedah sesar dengan analgesia spinal.
This study compared the quality of analgesia and the incidence and degree of pruritus of 0.1 mg morphine intrathecally to 0.05 mg intrathecal morphine in patients undergoing Caesarean section. Design: randomized and double-blinded study Method: 84 patients who underwent Caesarean section were divided randomly into two groups. 42 patients in group A received intrathecal morphine 0.05 mg and group 13, 42 patients, received 0.1 mg morphine intrathecally in addition to a standard intrathecal dose of 10 mg bupivacaine 0.5% heavy. The quality of analgesia was assessed using Visual Analogue Score ( VAS) and the incidence and degree of pruritus were recorded during the first-24 hour postoperatively. Result: there was no statistically significant difference in the quality of analgesia between the two groups (p > 0.05 ). The incidence of pruritus in group A and group B was 16.7% and 40.5% respectively (p<0.05 ). The degree of pruritus in group A were mild : 7% and moderate : 0% while in group B mild : 35.7% and moderate 4.8%. There was no severe pruritus in the two groups. Conclusion : 0.05 mg intrathecal morphine significantly reduced the incidence of pruritus compared to 0A mg intrathecal morphine while there was no significant difference statistically in the quality of analgesia in the two groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Deni Hamdani
Abstrak :
Latar Belakang: Ansietas sering terjadi pada anak terutama dalam masa prabedah dan merupakan suatu kondisi dan komplikasi yang sering terabaikan oleh dokter anestesi dalam pelayanan rutin. Tujuan: Menelaah efek sedasi dan anti ansietas dari premedikasi midazolam oral dan ketamin oral dalam memfasilitasi pemisahan dari orang tua pada pasien pediatrik, Metode: 96 orang anak secara acak dibagi dalam 2 kelompok sama banyak. Kelompok pertama mendapat midazolam 0,25 mg/kg BB peroral dan kelompok kedua mendapat ketamin 5 mg/kg BB peroral. Hasil: Anak-anak yang mendapatkan premedikasi midazolam oral efektif tersedasi sebesar 81% sedangkan anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 32% (p<0,05) dengan 1K (0,32 ; 0,66). Sebagai anti ansietas anak-anak yang mendapat premedikasi midazolam oral efektif sebesar 89% sedangkan pada anak-anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral hanya 54% (p<0,05) dengan IK (0,18 ; 0,52).Hipersalivasi terjadi pada 25% anak yang mendapatkan premedikasi ketamin oral (p Background: Anxiety often accompanied children during preoperative. This is a condition and complication often overlooked by anesthesiologists in routine practices. Aim: To asses sedation and anti anxiety effect of midazolam and ketamine as premedication given orally in order to facilitate separation from the parents. Method: Ninety six pediatric patients, in a randomized, double blind manner divided in two groups equally, received orally midazolam 0.25mg/kg or ketamine 5 mg/kg. Result: Children who received midazolam were sedated 81%, while children with ketamine only 32% (CI: 4.32;0.66). As for antianxiety effect, patients who received midazolam were effective 89%, those who received ketamine only 54% (p<0.05) with CI (0.18:0.52). Hypersalivation was found in 25% patients with premedication oral ketamine (p<0.05) Conclusion: Oral midazolam 0.25mglkg gives better sedation and antianxiety effect compared to oral ketamine 5 mg/kg.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan pemakaian infiltrasi antara lidokain 1% dengan campuran lidokain 1% dan klonidin untuk mencegah nyeri pasca apendektomi di instalasi bedah gawat darurat dan instalasi bedah elektif Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusurao Jakarta. Penderita yang diteliti berjumlah 40 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang. Kelompok A : mendapatkan infiltrasi 5 cc lidokain 1% (100 mg) disekeliling luka insisi apendektomi yang panj ang insisi antara 5 6 cm. Kelompok B : mendapatkan infiltrasi campuran 5 cc lidokain 1% dan klonidin 1 cc ( 150 ugr ) di sekeliling luka apendektomi yang panjang insisi antara 5 6 cm. Penelitian dilakukan secara acak tersamar, dan penilaian statistik mempergunakan uji student t test dan chi square P< 0,05 adalah perbedaan bermakna secara statistik. Penelit ian bertujuan untuk membandingkan infiltrasi lidokain 1% dengan campuran lidokain 1% dan klonidin, menilai keefektifan klonidin dalam hal memperpanjang efek analgesia lidokain dan. pengaruh campuran ini terhadap sistem kard iovaskular dan respirasi. Hasil penelitian menunjukkan kelompok yang mendapat campuran lidokain 1% dan klonidin dapat memperpanj ang efek analgesia lidokain 1% minimal sampai 8 jam, sedangkan kelompok lidokain 1% efek analgesianya hanya 4 jam. Efek campuran lidokain 1% dan klonidin terhadap kardiovaskular dan respirasi minimal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T58798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gloria Gandasari S.
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui efek penambahan premedikasi dexmedetomidin intravena dengan dosis rendah 0,3 μg/kg dibandingkan dengan lidokain intravena 1,5 mg/kg terhadap tanggapan kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi orotrakea. Metode : Uji klinik tersamar ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada bulan Desember 2004 sampai dengan Pebruari 2005, pada 90 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum dan fasilitasi intubasi orotrakea. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok; 45 pasien mendapat penambahan premedikasi dexmedetomidine intravena 0,3 µg/kg 10 menit sebelum intubasi dan 45 pasien lainnya mendapat penambahan premedikasi lidokain intravena 1,5 mg/kg 2 menit sebelum intubasi. Parameter kardiovaskular yang diukur yaitu tekanan darah sistolik - diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung. Analisa statistik melihat perbedaan pada dua data kategori digunakan uji chi-square. Perubahan kardiovaskular pada tiap kelompok dipakai uji wilcoxon, dan melihat perbedaan kardiovaskular antara kedua kelompok dipakai uji Mann-Whitney. HasiI : Saat intubasi pada kedua kelompok terjadi peningkatan tanggapan kardiovaskular bermakna secara statistik dibandingkan dengan nilai sesaat sebelum intubasi. Tanggapan kardiovaskular pada kelompok dexmedetomidin lebih rendah bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok lidokain. Ini membuktikan bahwa baik dexmedetomidin maupun lidokain belum dapat mencegah tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi orotrakea, tetapi dexmedetomidin mempunyai efek yang lebih balk bennakna secara statistik dibandingkan dengan lidokain dalam hal mengurangi tanggapan kardiovaskular akibat laringoskopi dan intubasi. Ada 2 sampel yang dikeluarkan, masing-masing 1 sampel dari kelompok dexmedetomidin dan lidokain.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library