Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Golose, Petrus Reinhard
"Disertasi ini merupakan hasil analisis dari penelilian kualitatif dan literatur secara mendalam yang terfokus pada manajemen penyidikan hacking oleh Unit V IT & Cybercrime yang diterapkan pada proses penyidikan kasus hacking website Partai Golkar. Kasus hacking website Partai Golkar merupakan kasus hacking pertama yang telah berkekuatan hukum tetap yang ditangani oleh Unit V IT & Cybercrime. Dalam pelaksanaan penyidikan hacking, Unit V IT & Cybercrime menghadapi permasalahan berkaitan dcngan belum adanya ketentuan hukum materil yang secara tegas mengatur mengenai tindak pidana hacking pada saat itu dan belum adanya ketentuan hukum formil yang mengatur secara khusus mengenai penanganan bukti digital. Permasalahan tersebut berhasil dihadapi penyidik dengan melakukan interpretasi terhedap ketentuan hukum yang ada.
Disertasi ini mengajukan suatu pengertian tindak pidana hacking sebagai setiap kegiatan yang menggunakan komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilalcukan dengan cara mengakses suatu sistem jaringan komputer baik yang terhubung dengan internet atau tidak, baik dengan tujuan maupun tidak, untuk memperoleh, mengubah dengan cara menamhah atau mengurangi, menghilangkan atau merusak informasi dalam sistem komputer dan atau sistem elektronik lainnya dengan melawan hukum. Hacking berbeda dengan kejahatan konvensional.
Hacking dapat dilakukan dari berbagai tempat yang terpisah atau tidak mengenal batas wilayah (borderless) dan transnasional (lintas batas ncgara). Hacking tidak meninggalkan jejak berupa catatan atau dokumen fisik dalam bentuk kertas (paperless) akan tetapi semua jejak hanya tersimpan dalam komputer dan jaringan tersebut dalam bentuk data atau informasi digital berupa log files. Penyidikan tindak pidana hacking juga berbeda dengan penyidikan kejahatan konvensional yaitu sebagian proses penyidikan dilakukan. di cyberspace, adanya masalah yurisdiksi hukum, eksistensi bukti digtal (digital evidence) dun penanganan komputer sebagai tempat kejadian perkara (crime scene) dimana diperlukan dukungan laboratorium komputer forensik untuk menganalisa bukti digital yang telah didapat. Penyidik menerapkan prinsip-prinsip dan fungsi manajemen dalam proses penyidikan. Proses manajemen tersebut diterapkan sebagai suatu siklus yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi. Secara khusus disertasi ini memotret proses manajemen penyidikan hacking sehingga menghasilkan prooses manajemen yang terdiri dari penerimaan laporan (accepting input), penugasan (assigning), perencanaan (planning), pelaksanaan dan penyesuaian (executing and adjusting), pengendalian dan evaluasi (controlling and evaluation), penyerahan hasil (result delivery), bantuan di persidangan (court support) serta dokumentasi hukum (legal documentation).
Dengan manajemen penyidikan tindak pidana hacking tersebut, proses manajemen penyidikan tidak berhenti pada penyerahan berkas perkara ke penuntut umum saja, tetapi terus berlanjut ke tahap pemidangan, dimana penyidik berperan sebagai saksi verbalisan dan membantu penuntut turun dalam menghadirkan saksi dan ahli. Disamping itu terdapat pula dokumentasi hukum, dimana putusan hakim akan didokumentasikan oleh penyidik sehingga dapat digunakan sebagai penimbangan dalam perencanaan penyidikan pada kasus hacking yang terjadi di kemudian hari. Proses manajemen penyidikan tersebut tidak berjalan secara independen melainkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut seperti: budaya organisasi, kepemimpinan dan peranan stakeholders. Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan wawancara berpedoman diketahui bahwa Unit V IT & Cybercrime mempunyai budaya organisasi yang berbeda. Sub budaya organisasi yang ada saat ini di Unit V IT & Cybercrime mendorong anggotanya untuk terus maju (progresif) hal ini didukung dengan penghargaan dari pemimpin dan peer pressure dari anggota unit lainnya sebagai motivasi ekstrinsik. Peranan Kepala Unit sebagai pemimpin menjadi motivator-Unit V IT & Cybercrime tampak dominan terlihat dari ketergantungan Unit V IT & Cybercrime terhadap pemimpinnya dalam hubungannya dengan stakeholders dan dalam melakukan transformasi budaya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
D898
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rycko Amelza Dahniel
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai fenomena implementasi birokrasi di Polres Kota Sukabumi yang berkaitan dengan berbagai aspek struktur dan sosial organisasi, sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu kepolisian dan reforrnasi birokrasi Polri. Berbagai karakteristik organisasi birokratik yang dikembangkan oleh Weber (1917), Robbin (1990), dan Pinchott (1993), dijadikan pola pikir untuk mengungkap praktek-praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi dalam melaksanakan pemolisian. Corak masyarakat yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pemolisian dan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi juga menjadi fokus yang dieksplorasi dalam penelitian ini.
Berbagai teori organisasi modem dan post modern yang mengaitkan pengaruh Iingkungan terhadap struktur organjsasi, organisasi pembelajar sebagai leverage peningkatan kualitas organisasi terutama menempatkan peran dan kualitas SDM di dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasi, menjadi landasan teoritik dan pola pikir di dalam melihat fenomena birokrasi di Polres Kota Sukabumi. Berbagai paradigma teori organisasi terkini yang mengungkapkan pergeseran paradigma dari organisasi birokratik yang cenderung mekanistik menuju organjsasi organik yang lebih merespons kompleksitas dan adaptif terhadap tuntutan lingkungan organisasi guna meningkatkan kualitas pelayanan, dijadikan kerangka bertikir di dalam menganalisis fenomena clan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi (Senge, 1990; Pinchot, 1993; Osbome & Plastrik, 1997; Choo, 1998; Maycunich, 2000, Pettinger, 2002).
Penelitian ini dilakukan di Polres Kota Sukabumi sebagai unit analisisnya. Pendekatan kualitatif yang lebih berfokus pada kedalaman mengungkap dan mengeksplorasi berbagai fenomena dan praktek birokrasi di Polres Kota Sukabumi menjadi bagian penting di dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, melalui teknik pengamatan terlibat (complete participant observation) dan wawancara mendalam (indepth-interview) kepada informan kunci, dengan mengandalkan peneliti sebagai instrumen penelitian diharapkan mampu mengeksplorasi kedalaman data yang lebih komprehensif. Triangulasi dan pemaknaan (meaning) terhadap fenornena temuan penelitian merupakan pendekatan yang dikedepankan di dalam melakukan analisis.
Pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi Polres Kota Sukabumi lebih mencerminkan praktek organisasi birokrasi yang dicirikan dengan organisasi yang hirarkis mulai dari Mabes Polri pada tingkat tertinggi (strategic apex) dan organisasi Polres sebagai organisasi terdepan atau KOD (operating core) dalam melaksanakan tugas  pemolisian. Dalam implementasinya, organisasi yang hirarkis telah menempatkan Kapolres sebagai pejabat dengan otoritas yang sentral sehingga pengambilan keputusan lebih terpusat pada pimpinan puncak organisasi. Hal ini menimbulkan peran pimpinan tertinggi Polres sangat dominan dalam melakukan pengambilan keputusan sehingga kurangnya ?delegation of authority" yang diberikan kepada anggota organisasi dalarn rangka pengambilan keputusan. Praktek organisasi birokratik yang demikian dapat mematahkan kreativitas, inisiatif dan inovasi anggota organjsasi dalam melakukan tugas-tugas pelayanan masyarakat. Diferensiasi vertikal dalam struktur hirarkis yang menempatkan posisi Polwil diantara Polres dan Polda sebagai pengawas Polres, namun diberi tugas sebagai komando Operasional, telah bertentangan dengan prinsip-prinsip pengorganisasian Polri yang dititikberatkan pada pembagian daerah hukum yang serasi dengan administrasi pemerintahan di daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.
Kedua, penelitian menemukan bahwa spesialisasi tugas ke dalam fungsi-fungsi organisasi baik yang bersifat ?vertical differentiation? dan ?horizontal differentiation? sebagai karakteristik organisasi birokratik cenderung menimbulkan ego fungsional antar unit organisasi sehingga sulit terciptanya ?teamwork?sebagai bentuk paradigma baru dalam organisasi untuk mendukung efektifitas pelaksanaan tugas pemolisian.
Ketiga, dominasi lcepemimpinan sebagai akibat dari struktur organisasi hirarkis telah membentuk budaya organisasi yang lebih merefleksikan budaya militeristik, sehingga perilaku anggota sangat patuh dan menunggu perintah atasan, berorientasi kepada senioritas, lebih reaktif dan terbentuk untuk melaksanakan tugas secara rutin dan statis. Padahal, paradigma pemolisian menuntut perilaku anggota menyesuaikan dengan perubahan rnasyarakat dan perkernbangan lingkungan organisasi yang dinamis.
Keempat, salah satu karakteristik organisasi birokrasi yang impersonal menjadi kurang sesuai dan cocok di dalam melaksanakan tugas pmolisian khususnya didalam menciptakan keteraturan sosial dalam masyarakat Sukabumi. Dengan demikian paradigma organisasi yang mengedepankan kpentingan masyarakat dalam pemolisian melalui kemitraan, kolaborasi, bimbingan dan fasilitator dalam menyelesaikan masalah sosial, merupakan esensi menciptakan organisasi pembelajar (learning organization) di lingkungan Polres Kota Sukabumi.
Kelima, penerapan manajemen SDM berbasis kompetensi sebagai praktek birokrasi di Polres Sukaburni masih belum tercermin secara nyata sebagai ?core value? organisasi sehingga perilaku anggota di lingkungan Polres Sukabumi kurang berorientasi kepada kinerja anggota tetapi lebih berorientasi kepada tugas-tugas rutin yang didasari atas hubungan patron-klien di dalarn organisasi.
Keenam, konteks dan lokalitas masyarakat Sukabumi dan kebudayaannya, mempengaruhi corak birokrasi di Polres Kota Sukabumi. Model birokrasi rasional oleh Weber yang impersonal dan otoritas yang legal tidak dapat sepenuhnya diimplementasikan, khususnya pada masyarakat Sukabumi dalam menciptakan keteraturan sosial dalam masyarakat. Secara khusus, masyarakat Sukabumi memiliki kebudayaan dominan dan hukum yang hidup untuk memecahkan masalah sosial. Sehingga strategi pemolisian yang mengedepankan fungsi pre-eratif melalui bimbingan, kemitraan dan menjadi fasilitator dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, lebih sesuai dan efektif dalam menciptakan keteraturan sosial pada masyarakat Sukabumi.
This study is aimed to explore the various phenomena in bureaucratic implementation in Sukabumi City Police station related to various structural and social organizational aspects, to be beneficial for the development of police science and INP bureaucracy reformation. Various characteristics of bureaucratic organization developed by Weber (1917) and Pinchott (1993) is used as the framework to reveal bureaucratic practices in Sukabumi city police station in conducting policing duties. The variety of society influencing the implementation of policing duties and bureaucratic practices in Sukabumi city police station also becomes the focus to be explored in this research.
Various modern and post modern organization pattern relating environmental influence on organization structure, learning organization as the leverage to increase organization quality, mainly by putting the roles and quality of Human Resources in the implementation of organizational tasks, have become the theoretical and thinking pattem in seeing the bureaucratic phenomena in Sukabumi city police station. Various updated organizational theory paradigm which reveals the shifting of paradigm from bureaucratic organization that tends to be mechanistic to a more organic organization that responds better towards the complexity and adaptive towards the demand of organizational environs to increase service quality, is made into thinking pattem in analyzing phenomenon and bureaucratic practices in Sukabumi city police station (Senge, 1990; Pinchot, 1993; Osbome & Plastrik, 1997; Choo, 1998; Maycunich, 2000, Pettinger, 2002).
This research is made with Sukabumi city police station as the analysis unit. The qualitative approach which more focused in the in-depth revelation and exploration of various phenomenon and bureaucratic practices in Sukabumi city police station becomes the important point of this research. Therefore, through complete participant observation and in-depth interview to key informant, by relying on the researcher as research instrument, it is expected that the research can explore the depth of data more comprehensively. Triangulation and meaning on research Ending phenomenon in the approach promoted in conducting the analysis.
First, this research shows that the Sukabumi city police station organization reflect more on the a bureaucratic organization practice characterized by hierarchical organization, starting with Police Headquarter as the highest level (strategic apex) and city police station as the frontline organization or operating core in conducting policing duties.
In its implementation, this hierarchical organization has placed the head of city police as an oliicer with cen1;ralistic authority, so that the decision making is more centralized on the highest leader of the organization. This created a very dominant highest leader of city police in making decision, so that there was a lack of ?delegation of authority? delegated to organizational members in decision making. This kind of bureaucratic organization practice can break creativity, initiative and innovation of organizational members in conducting public services duties. Vertical differentiation in hierarchical structure which placed the position of area police between city police and regional police as the overseer of city police, but with duties as operational command has been contradictory to the INP organizing principles which emphasizes on division of legal jurisdiction in line with regional govemment administration in the region and integrated criminal justice system apparatus.
Second the research found that task specialization into organizational functions, both those with ?vertical differentiation? and ?horizontal differentiation? in nature as characteristic of bureaucratic organization tend to create functional ego among organization units so it is difficult to create a ?teamwork? as form of new organizational paradigm to support effectiveness of policing duties implementation.
Third the domination of leadership as a result of hierarchical organizational structure has fomied organizational culture that reflect more on militaristic culture, so that the behavior of the members are obedient and subservient to the boss, oriented to seniority, more reactive and formed to conduct routine and static duties. Whereas the policing paradigm demands a behavior of members that are adaptive to the changes of society and development ofa more dynamic organization environs.
Fourth, one of the impersonal characteristics of bureaucratic organization becomes not suitable and relevant in conducting policing duties, especially in creating social order in Sukabumi society. Thus, organizational paradigm that promotes community interest in policing through partnership, collaboration, assistance and facilitation in solving social problems, is the essence in creating learning organization in the environments of Sukabumi city police station.
Fifth, the competence based Human Resource management system as bureaucratic practice in the Sukabumi city police station is not really reflected as the core value of organization so that the behavior of members in the Sukabumi city police station oriented less to the performance of members but it oriented more on the routine tasks based on patron-client relationship in the organization.
Sixth, the context and locality of Sukabumi people and their culture influence the bureaucratic pattem in Sukabumi city police station. The rational bureaucratic model by Weber, that is impersonal and with legal authority cannot be fully implemented, especially to the Sukabumi people in creating social order in the community. Specifically, Sukabumi people have dominant culture and living law to solve social problem. Thus, policing strategy to promote pre-emptive function through assistance, partnership and facilitating in solving social problems, is more suitable and effective in creating social order in Sukabumi community.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
D899
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Ahmad Yani
"Kebijakan pemberian bailout atau dana talangan dengan penamaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century, sejak digulirkan tahun 2008, hingga saat ini, telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kontroversi itu, karena adanya pandangan bahwa kebijakan tersebut dinilai sebagai tidak layak dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara karena hanya menguntungkan salah satu pihak/kelompok tertentu saja.
Dalam tinjauan kriminologi, kebijakan tersebut dapat dipandang sebagai kejahatan yang berada dalam ruang lingkup White Collar Crime (WCC), dilakukan oleh korporasi birokrasi negara. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan penelitiannya adalah:
1. Mengapa di dalam mensikapi kasus Bank Century, di antara berbagai alternatif pemecahan masalah, kebijakan yang diambil oleh KSSK adalah bailout yang ternyata dikemudian hari disalah gunakan oleh Bank Century.
2. Kebijakan baru apa yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus Bank Century. Dengan pendekatan metode kualitatif, sifat kejahatan dari kebijakan FPJP Bank Century, ternyata tidak bisa hanya dilihat dari aspek pengambilan kebijakannya saja. Tetapi, perlu dilihat dari seluruh rangkaian kegiatan yang menunjukkan terjadinya kejahatan baik di Unit Operasional Bank Century, unit pengambilan kebijakan (KSSK-BI-LPS), dan unit pelaksana kebijakan (LPS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Peristiwa atau bentuk kejahatan di Unit Operasional Bank Century dan LPS selaku pelaksana kebijakan FPJP Bank Century, merupakan peristiwa/bentuk kejahatan yang menghimpit (beririsan) atau bersinggungan satu sama lain. Menyebabkan pengambilan kebijakan FPJP Bank Century oleh otoritas berwenang, memiliki kandungan/ sifat-sifat jahat (kriminogenik), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh birokrasi Negara/kejahatan negara.
2. Peristiwa atau bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Operasional Bank Century merupakan “penyebab” mengapa pengambilan kebijakan FPJP mengandung gen atau sifat-sifat kriminal. Sedangkan peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Pelaksana Kebijakan, yakni LPS, adalah sebagai “akibat” yang membentuk FPJP Bank Century menjadi kejahatan Negara yang dapat dilihat secara nyata.
3. Memisahkan satu sama lain dari peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi pada masingmasing Unit Operasional tersebut di atas, mengakibatkan bentuk dan sifat kejahatan negara dalam pengambilan kebijakan FPJP Bank Century tidak terlihat secara sempurna/tidak kasat mata/tersamar karena peristiwa atau bentuk kejahatannya menyebar (diffusion) sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing.
4. Hal itulah yang menyebabkan pembuat kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century terisolasi dari pandangan bahwa kebijakan yang salah dan merugikan adalah kejahatan.
5. Untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, direkomendasikan perlu ada mekanisme kontrol sosial yang melibatkan peran serta masyarakat yang lebih luas, misal optimalisasi peran DPR-RI melalui pemberian izin prinsip sebelum kebijakan digulirkan.

The policy of providing bailouts with the naming of the Short Term Funding Facility (STFF) to the Century Bank, since it was rolled out in 2008, until now, has caused controversy among the people. The controversy was due to the view that the policy was considered inappropriate and caused losses to the state finances because it was seen to only benefit one particular party/group.
In a criminological review, the controversy can be seen (assumed) as a crime within the scope of the White Collar Crime (WCC), committed by the state bureaucratic corporation. Based on this, the research questions are:
1. Why is responding to the Century Bank case, among the various alternative solutions to the problem, the policy taken by the KSSK was a bailout that was later misused by Century Bank?
2. What new policies are needed to prevent a repeat of the Century Bank case? With a qualitative method approach, the nature of crime from Century Bank's STFF needs to be seen from the whole series of activities that show the occurrence of crime both in the Century Bank Operational Unit, the policy making unit (KSSK-BI-LPS), and the policy implementation unit (LPS).
The research showed that:
1. Phenomenon or forms of crime in Century Bank Operational Units and LPS as implementing Century Bank STFF policies are events/forms of crime which coincide or intersect with each other. Causing the decision making of Century Bank's STFF policy by the competent authority, containing evil / criminogenic properties, such as a crime committed by the State bureaucracy/state crime.
2. Events or forms of crime that occurred in Century Bank Operational Units are the 'causes' why STFF policymaking contains genes or criminal traits. While the events/forms of crime that occurred in the Policy Implementation Unit, namely LPS, are as a 'result' that formed the Century Bank STFF into a state crime that can be seen clearly.
3. Separating each other from the events/forms of crime that occurred in each of the Operational Units mentioned above, resulting in the form and nature of state crime in making Century Bank STFF policies not seen perfectly / invisible / disguised because events or forms of crime spread ( diffusion) according to the main tasks, functions and respective authorities.
4. These factors have caused policymakers to provide STFF to Bank Century with isolation from the view that wrong and harmful policies are crimes.
5. To prevent the recurrence of similar actions, it is recommended that there is a need for social control mechanisms that involve broader community participation, for example optimizing the role of the house of representatives (DPR-RI) through granting principle permission before the policy is rolled out.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Zuraida
"Dalam disertasi ini penulis meneliti tentang tawuran antar pelajar SLTA di Jakarta yang dari tahun ke tahun terus menerus terjadi. Sudah banyak upaya penanggulangannya, namun mengapa masih banyak tawuran antar pelajar? Penulis tidak ingin meneliti ?mengapa terjadi tawuran?, karena sudah banyak penelitian tentang masalah itu. Di Jakarta Selatan, terdapat beberapa pelajar SLTA tertentu yang hampir setiap tahun terlibat dalam tawuran antar pelajar, namun ada pula suatu sekolah yang tadinya sering terlibat tawuran, dalam kurun waktu tertentu menjadi tidak tawuran lagi. Akan tetapi di sisi lain, ada sekolah yang awalnya tidak pernah tawuran, menjadi terlibat tawuran antar pelajar pada beberapa tahun terakhir. Hal tersebut ditengarai adanya permusuhan kolektif yang berbentuk laten berubah menjadi permusuhan yang sifatnya aktual, sehingga timbul tawuran antar pelajar.
Salah satu sekolah yang tingkat keterlibatan siswanya dalam tawuran adalah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri T (SMK N T) Jakarta Selatan, namun keadaan menjadi berubah pada tahun 2006, disebabkan banyaknya kegiatan sekolah yang membanggakan berakibat waktu luang berkurang dan melupakan tawuran. Sebaliknya pada Sekolah Menengah Atas Negeri C (SMA N C) Jakarta Selatan yang siswanya semula tidak tawuran, sejak tahun 2007 terlibat tawuran. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas disebabkan menurunnya aktifitas patroli oleh para guru, sehingga waktu luang bertambah dan timbul tawuran.
Analisis dan Pengujian yang telah dilakukan pada aspek Pengalaman Tawuran, kelompok pelajar SMK Negeri T mempunyai musuh yang jumlahnya lebih kecil dibanding kelompok pelajar SMA Negeri C. Dari hasil analisis pada aspek Tindakan Sekolah, kelompok SMK Negeri T membiasakan konsisten dalam penerapan tata tertib dan sanksi, sehingga para guru mempercayai siswanya untuk menghindar dari tawuran. Sedangkan pihak Sekolah kelompok SMA Negeri C mengetahui siswanya yang melakukan tawuran, maka dalam mengatasinya diperbanyak kegiatan sekolah seperti kesenian dan olahraga. Dari penjelasan tersebut, ada hubungan antara kegiatan sekolah dan guru sebagai bentuk pengendalian sosial siswa dengan keterlibatan siswa dalam tawuran antar pelajar.

In this dissertation the author examines the brawl between high school students in Jakarta that continually occur. There have been many efforts to overcome, but why is still a lot of fighting between students? The author does not want to investigate "why does brawl happen? because it has a lot of research on the matter. In South Jakarta, there are some specific high school students almost every year are involved in the brawl between students, but there is also a school which was often involved brawl, within a certain time becomes no longer brawl. But on the other hand, there are schools that initially was never brawl, became involved fighting between students in recent years. It is considered the collective hostility in the form of latent hostility turned into an actual character, so that the resulting brawl between students.
One of the schools that the level of involvement of students in the brawl is T Vocational High School (SMK NT) South Jakarta, but the situation changed in 2006, because of too many school activities that boast result in reduced free time and forgets the brawl. On the other hand C Senior High School (SMA NC) South Jakarta that students initially did not brawl, since 2007 involved in brawl. According to Deputy Head of the School of Public Relations patrols due to decreased activity by the teachers, so that their leisure times increases and the resulting brawl.
Analysis and Testing that has been done on this aspect Fighting Experience, a group of students SMK T has an enemy whose numbers are smaller than the group of high school students of State C. From the result of analysis on aspects of school actions, group SMK T familiarize consistent in the application of rules and sanctions, so that the teachers believe their students to avoid the clash. Meanwhile, the SMA Group C schools know their students who do brawl, then the reproduced overcome school activities such as arts and sports. From these explanations, there is a link between the activities of schools and teachers as a form of social control students with student involvement in the brawl between students.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D2515
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library