Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Hariyanto
"Pembunuhan pada hakekatnya bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Dan ironisnya minat para pemerhati masalah-masalah sosial di Indonesia untuk mengkaji fenomena pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat nampak masih kurang. Padahal sebagai fenomena sosial, pembunuhan merupakan topik yang sangatlah menarik dan perlu dikaji secara luas dan mendalam. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk rrengangkat permasalahan tersebut sebagai topik dalam tesis.
Telaah teoritis mengacu kepada trend pembunuhan sebagai transaksi yang disengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan gagasan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode, tipe dan pendekatan penelitian yang digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai dengan yang diharapkan, maka digunakan beberapa cara pengumpulan data, antara lain adalah dengan wawancara mendalam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap empat puluh dua pelaku pembunuhan yang saat ini sedang menjaiani masa pidananya di beberapa Lapas yang menjadi lokasi penelitian (yaitu : Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Bogor, Lapas Anak, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita Tangerang) diperoleh gambaran bahwa peristiwa pembunuhan itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban.
Interaksi sosial yang berakhir dengan pembunuhan ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya. Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini.
Tahap pertama, menggambarkan bahwa proses interaksi tersebut umumnya dibuka (diawali) oleh korban dengan cara melakukan : serangan terhadap pelaku atau memprovokasi secara verbal atau isyarat fisik yang benada penghinaan terhadap pelaku.
Menurut data yang terkumpul ditemukan bahwa tindakan korban tersebut di artikan oleh pelaku umumnya ditafsirkan sebagai tindakan yang mengancam dan membahayakan jiwanya, dan seringkali juga dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan keluarga diri pelaku. Kemudian dengan berlandaskan pada hasil interprelusi ini pada pelaku umumnya, lalu menyusun-rencana tindakan balasan (umumnya berupa tindak kekerasan) yang bersifat patensial, belum menerapakan tingkah laku nyata. Rencana tindakan kekerasan oleh pelaku ini umumnya pada akhirnya direalisir dalam bentuk tindak kekerasan nyata pada tahapan interaksi berikutnya saat perilaku korban tidak dapat ditolerirnya. Tahapan ini sering disebut sebagai-tahapan kedua interaksi.
Pada tahap berikutnya, yakni tahap ketiga, pelaku merespon provokasi korban demi menyelamatkan harga diri dan kehormatannya. Respon pelaku unmumnya berupa tanggapan verbal yang menghina korban, dan, terkadang juga daIam bentuk serangan fisik terhadap korban.
Tahap keempat, yang mencerminkan respon korban terhadap reaksi balik pelaku pada tahap sebelumnya, memperlihatkan bahwa korban, umumnya menerima tantangan verbal ataupun serangan fisik pelaku dengan memberikan ekspresi verbal yang menantang balik maupun dengan melakukan serangan fisik berikutnya. Pada tahap ini tampak jelas bahwa audiens yang ada di sekitar tempat kejadian umumnya aktif mendukung matangnya perselisihan antara pelaku-korban hingga berakhir dengan pembunuhan.
Dengan adanya kesepakatan kerja secara implisit ataupun eksplisit antara pelaku dengan korban bahwa kekerasan merupakan cara yang paling tepat untuk rnenyelesaikan konflik di antara mereka dan adanya senjata serta dukungan dari audiens, maka pada tahap kelima ini, keduanya terlibat perkelahian nyata yang kemudian berakhir dengan kematian korban.
Tahap keenam yang merupakan tahap penutup interaksi menggambarkan bahwa setelah korban tewas umumnya pelaku melarikan diri, terlebih bila hubungan antara korban dengan pelaku hanya sebatas kenalan apalagi orang yang tidak dikenalnya. Namun bila korban adalah sanak keluarganya sendiri, umumnya pelaku segera menyerahkan diri kepada polisi. Pada tahap ini audiens pun umumnya segera melaporkan peristiwa pembunuhan yang terjadi kepada polisi.
Namun tetap harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus pembunuhan berikut ini : pembunuhan karena kekerasan kolektif primitif; pembunuhan yang bermotif politik; pembunuhan karena motif bayaran (yang dilakukan oleh pembunuh bayaran); dan pembunuhan dimana pelakunya mengidap kelainan jiwa, misalnya paranoid."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T2586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin Sudirman
"Tesis ini mengungkapkan permasalahan sejauh mana sikap narapidana/tahanan terhadap perilaku seksualnya. Seperti diketahui bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara (Lapas/Rutan) setiap narapidana/tahanan mengalami perlakuan berupa pembatasan kebebasan bergeraknya. Sedangkan kebutuhan seksual adalah merupakan kebutuhan primer manusia yang selalu menuntut pemenuhannya. Oleh karena itu diperkirakan akan terdapat penyimpangan perilaku bagi mereka yang sementara waktu "terpaksa" harus menghuni Lapas/Rutan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan populasi target 6 (enam) institusi yakni Lapas Kelas I Cipinang, Lapas Kelas I Tangerang, Lapas Kelas I Cirebon, Lapas Kelas IIA Soekarno-Hatta Bandung, Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat dan Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung. Sedangkan populasi survei sebanyak 5.487 (lima ribu empat ratus delapan puluh tujuh) orang dengan sampel sebanyak 192 (seratus sembilan puluh dua) responden. Penarikan sampel ditetapkan dengan tehnik "probability sampling" dan tehnik pengumpulan data digunakan melalui kuesioner dan wawancara.
Penelitian ini menggunakan paradigma "fakta sosial" dari E. Durkheim dengan pendekatan positivisme dan teori yang digunakan adalah teori fungsionalisme struktural yang meliputi teori system dari Talcot Parson, teori anomie dari Robert K. Merton dan teori pertukaran sosial dari M. Blau, yang pada dasarnya berpendapat bahwa struktur sosial sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa "pemenjaraan" (pemasukan orang-orang ke dalam Lapas/Rutan) membawa dampak terhadap cara mereka memenuhi kebutuhan seksualnya yang meliputi perbuatan masturbasi (celana besukan), homoseksual, bestiality dan lain-lain serta berdampak terhadap cara mereka memperoleh obyek seksualnya yang normal. Hal yang terakhir berkaitan dengan proses "akomodasi" yang dilakukan dengan para petugas Lapas/Rutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7031
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novian Pranata
"Fenomena penyalahgunaan narkoba saat ini menjadi pembicaraan semua pihak dan semua orang. Peredaran dan pemakaian narkoba yang semakin meluas ini tentunya mengancam kelangsungan hidup bangsa. Kenyataannya, penyalahgunaan narkoba saat ini tidak terbatas dilakukan oleh remaja melainkan telah menyebar ke seluruh lapisan usia, profesi dan pekerjaan. Dari anggota DPRD sampai dengan oknum aparat lainnya termasuk personel Polri.
Penyalahgunaan narkoba di lingkungan personel Polri merupakan suatu bentuk pelanggaran berat. Personel Polri sama seperti anggota masyarakat lainnya yang tidak luput untuk menerima perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perubahan tersebut juga terjadi dalam aktivitas ekonomi, hubungan interpersonal sebagai akibat dari mudahnya budaya asing masuk ke Indonesia.
Penelitian ini berupaya untuk menemukan profil dan faktor-faktor penyalahgunaan narkoba di kalangan personal Polri. Metode penelitiannya bersifat desikriptif yaitu untuk mendapatkan gambaran penyebaran dari data kuantitatif yang diperoleh dan didistribusikan berdasarkan golongan kepangkatan, klasifikasi keterlibatan, proses penyelesaian kasus dan daerah tugas. Data kuantitatif ini menggunakan data yang ada di Dinas Provoost Polri. Data kualitatif berupa wawancara hanya dilakukan terhadap satu subyek dan subyek lain hanya menggunakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Oleh sebab itu penelitian ini mempunyai kelemahan yaitu tidak melakukan trianggulasi (pemeriksaan ulang) terhadap subyek yang lain tersebut Selain itu masih adanya pengaruh subyektif dal peneliti yang notabene adalah personal Polri juga.
Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa keterlibatan personel polri dalam penyalahgunaan narkoba nyata adanya. Keterlibatan ini dapat dikatakan mencakup semua golongan kepangkatan, semua satuan kerja dan hampir di semua Polda dengan bentuk penyalahgunaan dominan sebagai pengguna. Golongan pangkat Bintara merupakan golongan pangkat yang paling dominan dan rentan dalam penyalahgunaan narkoba. Proses penyelesaian kasusnya lebih banyak diselesaikan oleh Atasan yang berhak menghukum (ankum).
Kesimpulan lain menggambarkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba di kalangan personel Polri. Dari beberapa faktor tersebut digolongkan menjadi dua faktor besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kuatnya rasa setia kawan dan lemahnya inner containment serta keinginan yang besar untuk memperoleh hiburan. Faktor eksternal berupa faktor teman sebaya, terjadinya belajar sosial, sosiokultural dari narkoba, lemahnya outer containment dan faktor abuse of power.
Penelitian lanjutan diharapkan dilakukan dengan subyek yang lebih spesifik dari golongan kepangkatan dan satuan kerjanya. Perlu juga dilakukan penelitian perilaku menyimpang lainnya yang ada di Polri sehingga penyelesaian masalahnya dapat lebih terpadu dan terencana. Pola pengadministrasian terhadap kasus-kasus perilaku penyimpangan personal Polri perlu diperbaiki agar dari data tersebut dapat dengan mudah dikaji dan dievaiuasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T5656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Supriyatna
"Kekerasan massa yang terjadi di daerah di Indonesia dalam waktu relatif singkat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Media massa, baik itu cetak maupun elektronik sering memberitakan kekerasan massa semacam itu. Banyak ragam kekerasan massa, ada masyarakat yang memukuli pelaku kejahatan. Ada pula yang menggilas. Ada pula yang membakar pelaku kejahatan. Masyarakat Desa Cikupa melakukan kekerasan massa dengan cara membakar hidup-hidup pelaku kejahatan. Fenomena ini menarik bagi penulis untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa seperti itu.
Penelitian tentang Kekerasan Massa Terhadap Pelaku Kejahatan (Studi Kasus di Desa Cikupa) menggunakan penelitian kasus, tujuannya meneliti obyek penelitian secara intensif hanya pada kasus di Desa Cikupa. Data yang penulis gunakan adalah data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview). Wawancara ini dilakukan terhadap warga Desa Cikupa meliputi wawancara terhadap aparat desa, tokoh masyarakat, warga yang melakukan kekerasan massa dan warga yang menyaksikan kekerasan massa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa, yaitu: 1. Anomi, yaitu kondisi masyarakat yang tidak menggunakan cara legal. 2. Peniruan dari Wilayah lain, yakni masyarakat melakukan kekerasan massa disebabkan karena mengikuti apa yang terjadi di desa lain. 3. Dendam masyarakat, yakni seringnya terjadi kejahatan membuat warga frustrasi dan akhirnya dendam pada pelaku kejahatan. 4. Media massa, yaitu media massa memberikan andil dalam mempengaruhi aksi kekerasan massa di Desa Cikupa. 6. Spontanitas, yaitu kekerasan massa merupakan tindakan warga yang tidak pernah direncanakan sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumaryono
"Tesis ini berangkat dari adanya kejahatan kekerasan yakni penganiayaan berat yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Penganiayaan berat sebenarnya dilarang dalam norma hukum maupun norma agama, tetapi hal ini masih saja sering terjadi. Akibat dari penganiayaan berat adalah luka berat bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia.
Telaah teoritis mengacu kepada teori pembunuhan dan penganiayaan berat sebagai transaksi yang di sengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode penelitian yang digunakan untuk memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai yang diharapkan maka digunakan beberapa cara, antara lain dengan wawancara mendalam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap sepuluh kasus pasangan korban dan pelaku penganiayaan berat yang sedang menjalani rumah tahanan negara di Polres Metro Jakarta Utara, diperoleh gambaran bahwa peristiwa penganiayaan berat itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban. Interaksi sosial yang berakhir dengan penganiayaan berat ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya. Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini.
Namun harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus penganiayaan karena kekerasan kolektif primitif, penganiayaan yang bermotif politik, penganiayaan karena motif bayaran dan penganiayaan karena pelakunya mengidap kelainan jiwa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Walukow, Devy Stany
"Fenomena bakupiara adalah suatu bentuk keluarga tidak sah yang telah diterapkan oleh sebagian masyarakat tidak mampu pada komunitas orang Tontemboan. Oleh kelompok komunitas masyarakat lain, bentuk bakupiara di lihat sebagai realitas dari kehidupan suatu masyarakat yang sangat bebas. Bahkan ada penulis seperti J. Prins melihat bakupiara sebagai bentuk perkawinan adat. Sebaliknya bagi komunitas orang Tontemboan menganggap bakupiara sebagai suatu yang tidak bermoral, tidak bersusila dan tidak mengikuti norma.
Bentuk orang Tontemboan yang tidak mengenal sistem kerajaan merupakan dasar dari kebebasan dan demokrasi berinteraksi. Akan tetapi komunitas orang Tontemboan mempunyai nilai adat-istiadat sebagai norma yang harus dipatuhi. Wujud dan norma berdasarkan tradisi bagi suatu perkawinan adalah adat-istiadat perkawinan. Sesuai adat; perkawinan sah apabila suami-isteri telah mengikuti perkawinan adat yang disahkan oleh Walian dan Tonaas. Dewasa ini kedudukan Walian diganti oleh Guru Jemaat atau Pendeta, dan kedudukan Tonaas diganti oleh Hukum tua sebagai Kepala desa.
Bakupiara tidak mengikuti proses perkawinan adat. Dengan demikian bentuk bakupiara merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang. Bakupiara terjadi karena suatu struktur dalam masyarakat itu sendiri seperti pendapat Robert K. Merton. Jadi peran masyarakat terhadap munculnya bakupiara sangat besar.
Sebagai bentuk menyimpang; bakupiara perlu mendapat reaksi masyarakat. Sanksi menjadi sarana yang dapat digunakan untuk mencegah pelaku bakupiara bertindak lebih jauh keluar dari hukum negara dan norma masyarakat. Akan tetapi pemberian sanksi harus disesuaikan dengan bentuk kesalahan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Robert K. Merton dan Rossi. Sejauh jenis prilaku menyimpang belum meresahkan masyarakat umum, sanksi yang diberikan harus bersifat ringan yaitu bentuk peringatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntor Gaffar
"Tesis ini merupakan upaya untuk mengkaji Kebijakan Penugasan Personel Polri di Luar Organisasi Polri sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Kep/0211/2001, Tentang Ketentuan Penugasan Anggota Polri di Luar Jabatan Struktural/Fungsional Organisasi Polri.
Hasil pengkajian ini mengungkapkan bahwa Kebijakan Penugasan Personel Polri di Luar Organisasi Polri, ternyata belum berjalan secara efektif. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, mengapa kebijakan tersebut tidak berjalan seperti yang telah ditetapkan, antara lain sebagai berikut.
Pertama, ketentuan pada pasal 2 ayat (a) dalam Keputusan Kapolri di atas yang menetapkan bahwa penugasan anggota Polri di luar jabatan struktural/fungsional organisasi Polri dengan keharusan beralih status menjadi PNS atau pensiun, serta ketentuan yang "meniadakan keharusan beralih status atau pensiun tersebut" sebagaimana terdapat pada ketentuan pasal 2 ayat (b); ternyata tidak selalu sinkron dengan ketentuan-ketentuan dalam beberapa peraturan hukum dan perundangan-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia.
Kedua, adanya kendala hukum dan perundang-undangan di atas, pada gilirannya juga berdampak pada ketidaksinkronan dalam kebijakan tentang ketentuan alih status menjadi PNS atau pensiun di antara yang berlaku di lingkungan organisasi polri dengan yang berlaku pada instansiinstansi di luar organisasi Polri, sehingga pelaksanaan ketentuan tersebut tidak dapat diproses dengan mudah.
Ketiga, dalam berbagai kasus yang terungkap melalui penelitian ini, kondisi tersebut cenderung merugikan bagi anggota Polri yang bertugas di instansi lain di luar organisasi Polri, sehingga mereka bersikap hati-hati dan menungggu perkembangan pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan tersebut, dan tidak terburu-buru untuk mengajukan permohonan alih status menjadi PNS atau permohonan pensiun dari dinas Polri.
KEPUSTAKAAN: 35 (1961-2002)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Sudwijanto
"Pemberitaan kejahatan akhir-akhir ini marak disiarkan di beberapa media massa balk cetak maupun elektronik, dalam pemberitaan kejahatan ini tidak dapat dilepaskan dari peran polisi dan pers. Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan pola hubungan yang dilakukan oleh polisi dengan pers dalam pemberitaan kejahatan. Metode penelitian kualitatif dipilih dalam penelitian ini untuk mempermudah dilakukannya pengumpulan data dengan tehnik pengamatan terlibat. Penelitian dilakukan pada Bidang Humas Polda Metro Jaya, pengamatan terlibat difokuskan pada kegiatan hubungan polisi dengan pers yang terkait dengan pemberitaan kejahatan. Pengamatan terhadap kegiatan polisi dan pers yang berada di Bidang Humas Polda Metro Jaya adalah untuk menemukan pola hubungan antara polisi dengan pers dalam pencarian, pengumpulan, penyiaran berita kejahatan. Informan kunci ditentukan berdasarkan gejala bukan karena kedekatan dengan peneliti.
Hasil penelitian dalam tesis ini memperlihatkan bahwa hubungan kerjasama antara polisi dengan pers merupakan sarana dapat terlaksananya pencarian, pengumpulan dan pemberitaan kejahatan sehingga kelangsungan atas pemberitaan di media massa ini ditentukan oleh hubungan kerjasama tersebut. Hubungan kerjasama ini terjadi didasari adanya dua kepentingan yang sama baik polisi maupun pihak pers, dengan munculnya kepentingan ini terdapat beberapa aturan yang dilanggar. terkait dengan dilanggarnya asas praduga tidak bersalah dan menimbulkan efek imitasi (imitation crime model) pada masyarakat dan efek labelling terhadap tersangka atau keluarganya yang diberitakan secara terbuka melalui media massa.
Kepustakaan : 19 buku + 8 dokumen + koran"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10887
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
D.T.P. Kusumawardhani
"Secara umum kita telah mengetahui bahwa penggunaan internet sebagai sarana informasi, bila tidak terkendali, bisa membahayakan bagi anak-anak di bawah umur, karena jaringan itu memuat segala macam informasi, termasuk bahan-bahan pornografis. Penelitian ini mencoba melihat secara nyata kondisi konsumsi pornografi melalui internet pada anak-anak, baik visual (websites) maupun obrolan tertulis (chatting) serta kondisi keterpengaruhan dari informasi pornografi yang dikonsumsi tersebut pada anak-anak pengguna internet tersebut, baik secara aktual maupun perseptual.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian, di dua Warnet di Daerah Pertokoan yang berbeda di Pamulang, Tangerang, Propinsi Banten dengan sampel , yang terdiri dari 50 responden laki-laki dan 50 responden perempuan, ini adalah pendekatan kuantitatif.
Beberapa temuan penelitian yang dapat dikemukakan pada bagian ini dapat dikatakan sesuai dengan "hipotesa kerja" yang penulis ajukan, yakni :
(1) Jika anak mengkonsumsi pornografi secara intensif maka mereka cenderung melakukan Penyimpangan seksual
(2) Jika anak mengkonsumsi pornografi dan mereka juga permisif terhadap pelanggaran hukum atau norma sosial maka mereka cenderung melakukan penyimpangan seksual.
(3) Jika anak mengkonsumsi pornografi dan mereka juga berpengalaman dalam aktivitas seksual maka mereka cenderung anak melakukan penyimpangan seksual.
(4) Jika anak mengkonsumsi pornografi dan tingkat sosialisasi mereka dalam keluarga rendah maka anak tersebut cenderung melakukan penyimpangan seksual."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Aldrin M. P.
"Penelitian ini mengenai penyidikan tindak pidana anak di Polres Metro Jakarta Barat yang bertujuan untuk menggambarkan tindakan dan perilaku penyidik anak dalam melakukan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Polres Metro Jakarta Barat.
Adapun permasalahan yang diteliti adalah pengorganisasian penyidikan tindak pidana anak yang difokuskan pada tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak dalam proses penyidikan tindak pidana anak di Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat.
Penyidikan suatu tindak pidana diawali dari diterimanya laporan dari masyarakat ataupun ditangkapnya pelaku tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan yang kemudian dituangkan di dalam suatu bentuk yang disebut laporan polisi. Berdasarkan laporan polisi tersebut dilakukanlah upaya untuk menemukan tersangka dan barang bukti melalui tahapan-tahapan penyidikan berupa penyelidikan, pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan hingga penyerahan berkas perkara dan penyerahan tersangka serta barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum. Hal ini dimaksudkan agar tersangka dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah dilakukannya.
Penyidikan tindak pidana anak terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Poles Metro Jakarta Barat diorganisasi dalam tingkatan-tingkatan penyidik pembantu, penyidik dan atasan penyidik, yaitu mulai dari Kepala Unit, Kepala Satuan Reserse Kriminal hingga kepada Kapolres Metro Jakarta Barat yang masing-masing telah diatur tugas dan tanggung jawabnya di dalam penyidikan tindak pidana yang terjadi.
Dalam penyidikan anak sebagai pelaku tindak pidana telah terjadi interaksi antara penyidik/penyidik pembantu anak dengan anak sebagai tersangka, orang tua anak, penasihat hukumnya dan pembimbing kemasyarakatan baik yang bersifat positif maupun negatif yang dari sini dapat dilihat tindakan dan perilaku penyidik di dalam proses penyidikan ataupun di luar proses penyidikan.
Timbulnya tindakan dan perilaku menyimpang dari penyidik/penyidik pembantu anak pada saat dilakukannya penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana anak maupun ketika di luar proses penyidikan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana/fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
Di dalam tesis ini digambarkan bahwa tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai tersangka anak di mana telah ditemukan adanya beberapa tindakan dan perilaku menyimpang dari penyidik/penyidik pembantu anak. Tindakan dan perbuatan menyimpang tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum dan melanggar hak anak sebagaimana yang diatur dalam hukum acara pidana anak dan KUHAP. Hal tersebut dapat ditemukan pada tahap pemeriksaan terhadap tersangka anak perempuan dalam kasus narkotika yang tidak didampingi penasihat hukumnya dan dilakukan pada subuh hari yang dimulai dari jam 02.15 hingga jam 04.30 wib yang sebenarnya waktu itu adalah jam tidur/istirahat seorang anak. Selanjutnya, penahanan terhadap tersangka anak ditahan dalam satu sel tahanan dengan tahanan orang dewasa/residivis. Pada saat penggeledahan badan terhadap tersangka anak perempuan yang seharusnya dilakukan oleh polisi wanita atau PNS wanita, akan tetapi pada waktu itu dilakukan oleh polisi pria. Begitu juga dalam tahap penangkapan terhadap tersangka anak Hatta dilakukan pemukulan sebanyak dua kali pada bagian kepalanya. Sehingga perbuatan-perbuatan tersebut sangat merugikan tersangka anak dan dapat mempengaruhi jiwa anak sebagai penerus cita-city perjuangan bangsa yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras dan seimbang."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>