Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heru Sundaru
"Residu protein pada barang jadi lateks alam (Heuea brasiliensis) yang banyak dipergunakan untuk perlengkapan kedokteran dan rumah tangga (sarung tangan, catether, tensimeter, kondom, karet busa dll) dilaporkan dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe cepat) yang dapat berakibat fatal bagi pemakainya sehingga dikhawatirkan konsumsi lateks alam di pasaran dunia akan menurun dan beralih menggunakan lateks sintetis yang lebih aman. Untuk memberikan jaminan keamanan produk lateks, Food and Drug Administration (FDA), Amerika Serikat dalam websitenya http:/www.fda.gov /cdrh/manual/glovmanl.pdf akan menerapkan labeling rendah protein allergen (hypo allergenic protein) dengan persyaratan yang ketat.
Indonesia sebagai market leader lateks alam setelah Thailand perlu mengantisipasi dampak labeling FDA dan reaksi konsumen internasional melalui serangkaian langkah-langkah nyata. Oleh karena kadarnya sangat rendah dan jenis proteinnya khas, maka teknik deteksi protein allergen yang spesifik dan sensitive. Perangkat imunodiagnostik merupakan teknik yang paling sesuai dari segi kepekaan, kespesifikan dan kemudahan penerapannya di lapang untuk deteksi protein allergen. Perangkat deteksi protein allergen yang spesifik, sensitive, mudah dan mudah belum tersedia di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengikatan protein allergen lateks dengan IgE individu sensitive dan merakit perangkat diagnostik imunologi menggunakan antibody anti protein allergen yang sesuai.
Penelitian Tahun I mencakup kegiatan penelitian lapang (uji reaksi sensitisasi allergen pada kelompok terpajan dan tidak terpajan secara cross sectional dan uji skin prick test) dan laboratorium meliputi koleksi IgE serum manusia peka, penetapan kadar protein berbagai produk lateks, deteksi protein allergen dengan dot blot menggunakan IgG kelinci antilutoid, deteksi protein allergen dengan IgE manusia peka dengan teknik ELISA dan dot blot, identifikasi protein allergen dengan SDS-PAGE dan Western blotting menggunakan IgE manusia peka dan IgG kelinci antilutoid serta elusi protein allergen dari preparative gel SDS-PAGE dengan elektroeluter untuk sumber antigen terpilih untuk perakitan antibody monoclonal yang akan dilakukan pada Penelitian Tahun II.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji prevalensi sensitisasi lateks telah dilakukan pada karyawan industri lateks PT Mitra Rajawali Banjaran (MRB) dan PT Sugih Instrumendo Abadi (SIA) Padalarang Jawa Barat seperti ditunjukkan pada hasil skin prick test positif pada karyawan PT Mitra Rajawali Banjaran yaitu sebesar 1 8 % (n = 24) dan PT SIA sebanyak 25 % (n = 200). Skin prick test positif juga dijumpai pada perawat dan peneliti laboratorium. Hasil skin prick test bervariasi antara positif satu (+) hingga positif tiga (+++) dan dijumpai baik pada karyawan yang langsung berhubungan dengan bahan dan produk lateks maupun yang tidak langsung berhubungan dengan produk (karyawan bagian administrasi, umum, satpam dan pemasaran).
Teknik ELISA sandwich lebih sensitive ibanding ELISA tak-langsung dan ELISA langsung untuk mendeteksi keberadaan protein allergen lateks. Dengan teknik ELISA sandwich dapat diketahui bahwa kandungan protein allergen pada kondom (0,085-0175 OD ELISA) lebih rendah disbanding tensimeter (OD ELISA 0,088-0,693). Tensimeter yang dibuat dengan teknik iradiasi mengandung protein allergen lebih rendah disbanding tanpa iradiasi baik pada bagian bulb maupun lengan. Kandungan protein allergen bulb dan lengan tensimeter iradiasi yaitu 0,088 dan 0,184 dan pada tensimeter tanpa iradiasi yaitu 0,234-0,693 dan 0,264-0,283 OD ELISA. Protein allergen pada fraksi lutoid dan serum-C dalam lateks dapat dideteksi secara kualitatif dengan uji dot blot baik dengan IgE serum manusia peka dan IgG kelinci antilutoid. Dot blot dengan IgG keleinci antilutoid memberikan sinyal yang lebih kuat dibanding IgE serum manusia peka.
Protein allergen pada lutoid dan serum-C lateks dapat diidentifikasi dengan Western blotting. Protein allergen yang teridentifikasi dalam lutoid yaitu memiliki BM 10, 14,5 21, 23, 32, dan 36 kDa. Protein allergen dalam serum C memiliki BM 17 kDa seta beberapa pita minor pada BM antara 25 kDa - 50 kDa. Sedangkan hasil Westen blotting dengan serum IgG kelinci anti lutoid diperoleh protein alergen yang relatif identik dengan serum IgE hanya intensitasnya lebih kuat. Protein alergen yang terdeteksi dengan IgG kelinci anti lutoid yaitu protein dari yang paling dominan yaitu BM 36, 50, 20, 60, 66 dan 16 kDa dari lutoid Berta BM 20 dan 16 kDa dari serum C. Protein dengan BM 21, 23, 32, dan 36 kD dalam lutoid lateks telah dielusi dari gel SDS-PAGE preparative dan akan digunakan untuk sumber antigen untuk pembuatan antibody pol iklonal dan monoclonal pada Tahun II. Selain pengembangan perangkat deteksi, juga telah dilakukan usaha deproteinasi protein allergen dengan protease basa dari isolat bakteri P6a asal lateks. Protein terlarut pada sarung tangan yang semula kadamya 1836 .iglg dengan penambahan enzim protease kasar 10% yang diaplikasikan bersama surfaktan 1% menurunkan sebesar 73% (500 Rig).
Hasil penelitian yang diperoleh pada Tahun I sangat prospektif dan memilki peluang keberhasilan yang cukup besar untuk dapat merakit perangkat imunodiagnostik yang bemilai komersil pada akhir Tahun II karena (1) jenis-jenis protein asal lateks yang diduga kuat bersifat allergen telah diisolasi dan dimurnikan dari preparative gel SDS-PAGE, (2) determinasi individu yang positif terhadap allergen lateks, (3) Vasil pendahuluan kemampuan enzim protease yang diproduksi sendiri untuk penurunan kadar protein sarong tangan, (4) optimasi berbagai teknik immunoassay seperti ELISA, Dot blot dan Western blot. Antibodi poliklonal dan monoclonal spesfik terhadap protein allergen dan teknik deteksinya akan didaftarkan untuk paten sederhana."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Samsuridjal Djauzi
"HIV exposure among health workers is still quite rare, including in Indonesia. Nevertheless, with the increase in new HIV cases due to intravenous drug abuse, there should be more health workers caring for HIV cases. To avoid exposure, universal precaution has to be implemented. If exposure occurs, the HIV stale of the patient, as the source of body fluid should be determined, while the exposed health care worker needs to undergo counseling. Anti retroviral agents should be administered prior to 36 hours following exposure. Sero-conversion monitoring must be performed during exposure, also 3 months, 6 months, and 12 months following exposure- There have been 9 cases of HIV exposure due to accidents among health workers reported to the Working Group on AIDS (Kelompok Studi Khusus - Pokdiksus AIDS) Faculty of Medicine of the University of Indonesia - Cipto Mangunkusumo General Central National Hospital. Six of them received AZT prophylactic treatment, while the remaining 3 chose not to use any prophylactic treatment. After six months following exposure, all anti HIV test were negative
The number of HIV cases in the last two years has shown a tremendous increase. AT the end of February 2002, the Department of Health recorded 2/50 cases of HIV/AIDS in Indonesia.1 As new cases increase among intravenous drug abuse, the number of HIV cases is estimated to increase further in the future, bearing in mind that experts have estimated that number of drug abusers in Indonesia have reached 2 million people. Those infected with HIV, especially those already in the AIDS stage, often require hospitalization for treatment of opportunistic infections. Thus, health workers have to prepare themselves to face the increasing problem of HIV infection.
To avoid contagion of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C thai may reside in the patient's body fluids to another person, the Center for Disease Control (CDC> recommends universal precaution. This guideline from C DC should be continuously distributed to allow health workers to continue to work with a feeling of security.
Nevertheless, there is still the possbility of accidents among health workers at work in the form of needle prick or direct exposure to body fluids from an HIV-infected individual.
"
2002
AMIN-XXXIV-1-JanMar2002-33
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Nasarudin
"Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB dan TB merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi masalah utama pengobatan TB pada pasien HIV yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB-HIV.
Tujuan: Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode: Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN-CM selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin, riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstraparu tidak berhubungan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. Jumlah CD4<100 memiliki hubungan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), namun secara statistik tidak bermakna. Riwayat pengobatan TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Simpulan: Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN-CM sebesar 13,8%. Riwayat TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library