Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Raden Dodo Kusmoro
Abstrak :
Undang-Undang No.5/1999 tidak mengatur secara jelas mengenai hukum acara bagi KPPU sehingga KPPU membuat dan menentukan hukum acaranya sendiri dengan menerbitkan SK KPPU No.05/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang- Undang No.5/1999. Untuk memperjelas hukum acara persaingan usaha, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3/2005 yang mengatur mengenai keberatan atas keputusan KPPU. Kedua pengaturan proses beracara tersebut berbeda dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Selain itu, Undang-Undang No.5/1999 tidak mengatur secara rinci mengenai alat bukti sehingga tidak ada kejelasan dalam proses pembuktian perkara persaingan usaha. Malalui metode penelitian yuridis-normatif, yaitu suatu cara mengumpulkan data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan (library research) yang terkait dengan hukum, dan kualitatif, yaitu suatu metode yang menghasilkan penelitian yang bersifat analitis deskriptif, tulisan ini akan mencoba menjawab beberapa permasalahan, antara lain hukum acara apakah yang digunakan dalam setiap proses penanganan perkara persaingan usaha dan bagaimanakah beban pembuktian, alat bukti dan sistem pembuktian yang digunakan dalam perkara persaingan usaha. Secara implisit, proses di KPPU menggunakan Hukum Acara Pidana yang terlihat pada dasar mengingat angka 1 SK KPPU No.5/2000, sedangkan pada proses keberatan di Pengadilan Negeri dan kasasi di Mahkamah Agung menggunakan Hukum Acara Perdata. Dalam proses pemeriksaan di KPPU menganut beban pembuktian biasa, dimana KPPU wajib untuk membuktikan dugaan terhadap pelanggaran Undang-Undang No.5/1999. KPPU menggunakan alat-alat bukti, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Hukum persaingan usaha menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, dimana Majelis Komisi dapat menjatuhkan putusan, jika paling tidak terdapat 2 (dua) alat bukti dan keyakinan dari Majelis Komisi atas terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No.5/1999. Majelis Komisi memperoleh keyakinan tersebut dengan cara-cara, yakni penjabaran unsur pasal dan pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2006
S22089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Paul Sabar Hamonangan
Abstrak :
Maraknya trend melarikan diri ke luar negeri yang dilakukan oleh para tersangka pelaku kejahatan, termasuk diantaranya Hendra Rahardja tersangka korupsi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang melarikan diri pada tahun 1997, tidak dapat dipungkiri semakin mempersulit aparat penegak hukum untuk melakukan proses penegakan hukum. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia meminta bantuan untuk dilakukan penangkapan terhadap mereka kepada kepolisian negara lain melalui International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol) atau yang lebih dikenal dengan Interpol. Permintaan penangkapan terhadap mereka memerlukan persyaratan agar penangkapan tersebut sah menurut peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka. Hendra Rahardja yang ditangkap oleh Kepolisian negara Federal Australia atas dasar permintaan Kepolisian Republik Indonesia mengajukan gugatan praperadilan bahwa penangkapannya tidak sah dan gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim Praperadilan dalam Putusan No.07/Pid/Prap/2000/PN.JAK.SEL. Keabsahan suatu penangkapan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh kepolisian negara lain atas dasar permintaan Kepolisian Republik Indonesia mensyaratkan adanya Surat Perintah Penangkapan yang sah berdasarkan Pasal 17 KUHAP jo Pasal 18 ayat (1) KUHAP jo Penjelasan Pasal 18 ayat (1) yang menjadi dasar diterbitkannya Interpol Red Notice. Persyaratan ini telah dipenuhi oleh Kepolisian Republik Indonesia sehingga Putusan No.07/Pid/Prap/2000/PN.JAK.SEL. adalah tidak tepat menurut peraturan perundang-undangan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S22075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Girsang, Renita M. A.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22007
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pamela Bianca. L
Abstrak :
Kasus Buloggate II bukanlah kasus yang istimewa, namun dalam kenyataannya mampu menyedot perhatian publik secara luas, sehinga publik pers/media massa cetak maupun elektronika turut meliputnya secara meluas pula. Hal ini disebabkan karena kasus ini melibatkan salah seorang terdakwa sebagai publik figur, yaitu Ir. Akbar Tandjung selaku Terdakwa I. Permasalahan kasus Buloggate II ini sebenarnya bermasalah hanya pada pelaksanaannya. Pihak yang paling bersalah dalam kasus ini sesungguhnya adalah Wimfred Simatupang, Dadang Sukandar dan orang yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap penyaluran sembako ini, yaitu Mensesneg Akbar Tandjung. Hal ini disebabkan pada mereka tersebut orang yang dipercaya namun tidak menjalankan tugasnya. Masalahnya juga, ini sangat sulit sebab Mensesneg Akbar Tandjung sebelum proses pembagian sembako ini selesai beliau sudah diganti dengan Muladi. Namun Muladi pun tidak tahu karena beliau mengatakan tidak pernah menerima laporan. Problem ini sebenarnya Akbar Tandjung tidak bersalah, bersalah dalam kapasitas dia tidak melakukan pengawasan secara administratif dia bersalah tetapi secara pidana dia tidak bersalah, tidak bisa dikatakan atau didakwa melakukan tindak pidana korupsi karena tidak menikmati keuntungan dan tidak mempunyai niat menguntungkan diri sendiri. Skripsi ini mencoba melakukan pembahasan mengenai kasus Akbar Tandjung ini dengan memberikan paparan mengenai bebasnya Akbar Tandjung dari segi hukum pidana dan mencoba untuk melakukan penelaahan terhadap sejumlah persoalan hukum yang muncul dalam kaitannya dengan hukum acara pidana di Indonesia. Untuk menganalisis data yang diperoleh, dipergunakan pendekatan kualitatif. Dengan demikian hasil penelitian ini berbentuk Evaluatif-Preskriptif-Analitis.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Frans Palti H.
Depok: Universitas Indonesia, 1992
S21933
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sandi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S21908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ruben Jeffry M.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Permata Sari
Abstrak :
Salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi. Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi tersebut baru bernilai sebagai alat bukti bila dinyatakan di depan sidang pengadilan. Saat ini terdapat teknologi teleconference yang digunakan sebagai sarana dalam memberikan keterangan saksi. Teleconference ini bukan hanya diterapkan di Indonesia namun juga telah diterapkan di negara common law sytem. Namun pada kenyataannya banyak pihak yang menggap kesaksian melalui teleconference tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya bernilai sebagai keterangan biasa saja. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Oleh karena itu terdapat permasalahan, yaitu dapatkah media teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia? Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law? Bagaimanakah upaya pembentuk undang-undang mengakomodir penggunaan teleconference di dalam beberapa peraturan perundang-undangan? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia, mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law serta mengetahui upaya pembentuk undang-undang dalam mengakomodir penggunaan teleconference di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipologi penelitian bersifat deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, teleconference dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan. Sementara itu kekuatan pembuktiannya sama-sama bernilai bebas baik menurut KUHAP maupun sistem common law dan pembentuk undang-undang telah berupaya mengakomodir penggunaan teleconference di dalam pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kamaratih
Abstrak :
Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan salah satu dari jenis upaya hukum luar biasa. Permohonan Peninjauan Kembali dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah terpidana dan ahli warisnya. Namun belakangan ini yang terjadi adalah Penuntut Umum yang merupakan pihak-pihak di luar yang disebutkan dalam KUHAP diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Dalam tulisan ini perkara yang akan diangkat adalah Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah pihak-pihak manakah yang mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, bagaimanakah putusan Mahkamah Agung selama ini menanggapi permintaan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Penuntut Umu, dan apa yang menjadi legitimasi yuridis dari Mahkamah Agung dalam menerima permohonan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang bersifat normatif, sumber data sekunder dengan bahan hukum primer dan sekunder yang berupa peraturan perundang-undanganm yurisprudensi, dan buku. Analisa datanya bersifat deskriptif analitis. Pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali bersifat limitatif menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP, sehingga dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung yang menerima Peninjauan Kembali terhadap Pollycarpus dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir merupakan awal dari ketidakpastian hukum apalagi beberapa bulan sebelum diterimanya permohonan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung menolak pengajuan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum dalam putusan No.84/PK/PID/2006. Mahkamah Agung harus menentukan ketentuan mana dan penafsiran seperti apa yang harus digunakan dalam memberikan hak pada pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>