Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amelia Kresna
"Latar belakang: CT scan merupakan modalitas yang dapat digunakan untuk menilai otot multifidus pada pasien-pasien NPB terutama pasien yang kontraindikasi terhadap MRI. Ketersediaan CT scan lebih merata, waktu pemeriksaan singkat, memiliki akurasi yang tinggi dan dapat menilai rasio infiltrasi lemak secara kuantitatif terutama dalam evaluasi lemak otot mulfidus pasien NPB pasca terapi sehingga hasil terapi terukur. Belum ada penelitian yang menilai kesesuaian rasio tersebut dengan MRI skala Goutallier. Metode: Penelitian dilaksanakan dengan sampel dari data pasien yang melakukan pemeriksaan MRI lumbal atau whole abdomen dan CT scan whole abdomen/abdomen atas/urografi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan interval antara pemeriksaan <12 minggu. Pada awalnya dilakukan penentuan derajat infiltrasi lemak sesuai skala modifikasi Goutallier setinggi level endplate superior L4 kanan kiri pada T2WI aksial, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan infiltrasi lemak pada otot multifidus pada CT scan dengan ketebalan 0,1 cm dan dilanjutkan dengan perhitungan rasio infiltrasi lemak otot multifidus. Sampel yang didapatkan dianalisis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk yang dilanjutkan dengan uji statistik ANOVA pada sebaran data yang normal dan Kruskal Wallis pada sebaran data yang tidak normal. Hasil: Rasio infiltrasi lemak otot multifidus pada kelompok skala modifikasi Goutallier ringan lebih rendah daripada kelompok klasifikasi modifikasi sedang, dan kelompok skala modifikasi sedang lebih rendah daripada kelompok skala modifikasi Goutallier berat.

Background: CT scan is a modality that can be used to assess multifidus muscle in NPB patients, especially patients who are contraindicated with MRI. The availability of CT scans is more evenly distributed, the examination time is short, has high accuracy and can assess the ratio of fat infiltration quantitatively especially in the evaluation of mulfidus muscle fat in low LBP patients post-therapy so that the therapeutic outcome is measurable. There are no studies that assess the suitability of the ratio with the Goutallier scale MRI. Methods: This study was conducted using samples from data from patients who performed a lumbar or whole abdominal MRI examination and CT scan of the entire abdomen / upper abdomen / urography in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital with intervals between examinations <12 weeks. Initially, the degree of fat infiltration is determined according to the Goutallier modification scale at the level of the left and right superior L4 endplate on axial T2WI, then proceed with the calculation of fat infiltration in multifidus muscle on CT with a thickness of 0.1 cm and followed by calculating the multifidus muscle fat infiltration ratio. Samples obtained were analyzed using the Shapiro Wilk statistical test followed by ANOVA statistical tests on normal data distribution and Kruskal Wallis on abnormal data distribution. Results: The fat infiltration ratio of multifidus muscle in the mild Goutallier modification scale group was lower than the moderate modification scale group, and the moderate modification scale group was lower than the severe Goutallier modification scale group. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Puspita Dewi
"

Latar Belakang : Osteoartritis lutut merupakan artritis tersering menyebabkan disabilitas. MagneticResonance Imaging (MRI) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi struktur intraartikular terutama kartilago. Pengukuran nilai waktu relaksasi T2 pada sekuen T2 mapmendeteksi penurunan proteoglikan dan perubahan awal biokimia kartilago pada osteoartritis, namun pemeriksaan ini membutuhkan perangkat lunak. Sistem semi kuantitatif MagneticResonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS) dapat mengevaluasi tujuh aspek lutut pada osteoartritis dengan menggunakan protokol rutin MRI. Terapi sel punca mesenkimal asal tali pusat meregenerasi kartilago dan menghambat proses inflamasi pada osteoartritis lutut.  Tujuan :  Mengetahui korelasi nilai waktu relaksasi T2 dan nilai skor MOAKS pada osteoartritis pra dan pasca terapi implantasi sel punca Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder pada osteoartritis lutut derajat Kellgren Lawrence satu hingga empat. Sampel penelitian adalah 63 lutut pra dan 47 lutut pasca implantasi sel punca. Menganalisis nilai MOAKS dengan sekuens proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated pada 14 subregio lutut Pengukuran nilai relaksasi T2 dengan sekuens T2 map pada 12 subregio lutut.  Hasil : Korelasi sedang antara nilai waktu relaksasi T2 dan nilai MOAKS pra sel punca (Ï? : 0,4, p: 0,001) dan korelasi lemah (Ï?: 0,22, p: 0,142) `pasca terapi sel punca. Korelasi kuat pada derajat osteoartritis Kellgren Lawrence dan nilai MOAKS pada pra (Ï?: 0,68, p: 0,000)  dan pasca terapi sel punca (Ï?: 0,71, p: 0,000).Simpulan: Sistem semi kuantitatifMOAKS dapat digunakan untuk diagnosis osteoartritis tapi tidak untuk evaluasi pasca terapi. Kellgren Lawrence berpotensi memprediksi lesi intraartikular.


Background : Knee osteoarthritis is the leading cause of dysability.  MRI is the modality of choice for evaluating intra- articular structure, specifically cartilage in osteoarthritis. T2 Relaxation time of T2 maps sequence can detect decrease of proteoglycan and early biochemical changes in osteoarthritic cartilage, but it needs special software. Magnetic Resonance Imaging Osteoartritis Knee Score (MOAKS), a semiquantitative system can evaluate seven aspects of osteoarthritic knee with routine protocol sequence. Mesenchymal stem cell from umbilical cord can  regenerate cartilage and inhibit inflammation process. Objective : ToDetermine the correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before and  after implantation of stem cell . Methods : This study used cross sectional design with secondary data on knee osteoartrthritis classified as Kellgren Lawrence grade one to four.  The study included 63 knees before and 47 knees after implantation of stem cell. MOAKS was analized  with proton density (PD), T2 fat saturated, T1W dan T1 fat saturated sequence on 14 sub-region and T2 relaxation time was calculated with T2 map sequens on 12 sub-region. Result : We foundModerate correlation between MOAKS and T2 relaxation time of knee osteoarthritis before implantation (Ï? :0,4, p :0,001). and weak corellation after implantation of stem cell (Ï?: 0,22, p: 0,142). We also found strong corellation between  Kellgren Lawrence grading of osteoarthritis and MOAKS before (Ï?: 0,68, p: 0,000)  and after implantation of stem cell (Ï?: 0,71, p: 0,000). Conclusion :MOAKS, asemiquantitative system can be used  to diaognose osteoarthritis but not reliable for post treatment evalution. Kellgren Lawrence grading has potential to predict intra articular lesion. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Rifki
"Latar belakang: Penentuan derajat degenerasi diskus intervertebralis (DDI) dan pemantauan progresivitasnya sangat penting untuk menentukan tatalaksana dan memantau efektivitas terapi. Penilaian T2 map menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi derajat DDI secara kuantitatif namun dengan hasil yang bervariasi, tergantung pada mesin, coil, protokol, dan perangkat lunak MRI yang digunakan.
Metode: MRI sekuens T2 – weighted image potongan sagital digunakan untuk menilai dan mengelompokkan derajat DDI lumbal berdasarkan skala Modifikasi Pfirrmann. Derajat DDI lumbal yang termasuk dalam kriteria penelitian adalah derajat 2 – 4. Pasien yang tidak memiliki diskus normal (derajat 1) dieksklusi. MRI sekuens T2 mapping potongan mid – sagital digunakan untuk memperoleh rerata nilai T2 map dengan meletakkan Regio of Interest (ROI) di seluruh penampang diskus normal dan diskus yang berdegenerasi. Rerata nilai T2 map diskus yang berdegenerasi dibandingkan dengan diskus normal pada pasien yang sama, sehingga didapatkan nilai rasio (T2 map index).
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata nilai T2 map index pada tiap derajat skala Modifikasi Pfirrmann (p < 0,001), dimana semakin berat derajat DDI lumbal, maka rerata nilai T2 map index semakin rendah (derajat 1: 0,97 ± 0,05 ms; derajat 2: 0,93 ± 0,07 ms; derajat 3: 0,60 ± 0,11 ms; derajat 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Kesimpulan: Penghitungan nilai T2 map index dapat digunakan untuk mengevaluasi progresivitas DDI lumbal secara kuantitatif dan dapat mengeliminasi variabilitas nilai T2 map.

Background: Severity and progression of intervertebral disc degeneration in early stages should be evaluated not only for an adequate treatment planning, but also for monitoring the effectiveness of therapies. Obtaining T2 map value using MR T2 mapping was beneficial for the assessment of disc degeneration albeit different MR machine, coil, software, and protocol used could affect its value.
Methods: Sagittal T2 – weighted image were used to evaluate lumbal disc degeneration by Modified Pfirrmann grading system. Grade 2 – 4 were included, while patients without grade 1 disc (normal disc) were excluded. Using mid – sagittal MR T2 mapping, range of interest (ROI) were placed in whole disc. Mean T2 map value in degenerated disc was compared to mean T2 map value in normal disc with resultant of a ratio (T2 map index).
Results: Mean T2 map index value between each Modified Pfirrmann grading differed significantly (p < 0,001). Higher Modified Pfirrmann grade correlates with lower mean T2 map index value (grade 1: 0,97 ± 0,05 ms; grade 2: 0,93 ± 0,07 ms; grade 3: 0,60 ± 0,11 ms; grade 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Conclusion: T2 map index is reliable in evaluating the progressivity of lumbal disc degeneration quantitatively and in eliminating T2 map value variabilities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Deborah Anasthasia
"Latar belakang: Subepidermal low echogenic band (SLEB) adalah gambaran USG berupa area hipoekhoik pada lapisan dermis, tepatnya subepidermal, yang merupakan suatu proses elastosis sebagai penanda dari photoaging.
Tujuan: Menilai perbedaan rasio ketebalan SLEB dengan dermis antara kelompok perempuan pra dan pascamenopause dengan menggunakan USG general purpose frekuensi 18 MHz.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang komparatif menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengukuran langsung di pipi kanan dan kiri dengan menggunakan USG general purpose frekuensi 18 MHz. Data sekunder diperoleh dari penelitian sebelumnya.
Hasil: Rerata usia subjek pramenopause sebesar 29,6 tahun dan rerata usia subjek pascamenopause sebesar 55,7 tahun. Rerata tebal dermis dan rerata tebal SLEB didapatkan lebih tebal pada kelompok pramenopause dibandingkan kelompok pascamenopause. Rasio SLEB – dermis pada kelompok pramenopause didapatkan lebih tebal dibandingkan kelompok pascamenopause.
Kesimpulan: Rasio tebal SLEB terhadap tebal dermis pada kelompok pramenopause didapatkan lebih tebal dibandingkan pada kelompok pascamenopause. USG general purpose dapat digunakan dalam menilai tebal dermis dan tebal SLEB, namun diperlukan studi lebih lanjut dalam menilai faktor – faktor lain yang mempengaruhi rasio tebal SLEB terhadap tebal dermis.

Background: Subepidermal low echogenic band (SLEB) is an ultrasound image in the form of a hypoechoic area in the dermis layer – subepidermal, to be precise, which is an 2 elastotic process as a marker of photoaging. Objective: Assessing difference in ratio of SLEB to dermis thickness between the premenopausal and postmenopausal groups using the 18 MHz general-purpose ultrasound frequency.
Method: This research is a comparative cross-sectional stuy using primary data and secondary data. Primary data were obtained through direct measurements on the right and left cheeks using general purpose ultrasound with a frequency of 18 MHz. Secondary data was obtained from previous studies.
Result: The mean age of premenopausal subjects was 29.6 years and the average age of postmenopausal subjects was 55.7 years. The mean dermis thickness and mean SLEB thickness were found to be thicker in the premenopausal group than the postmenopausal group. The SLEB – dermis ratio in the premenopausal group was found to be thicker than the postmenopausal group.
Conclusion: The ratio of SLEB thickness to dermis thickness in the premenopausal group was found to be thicker than in the postmenopausal group. General purpose ultrasound can be used in assessing dermis thickness and SLEB thickness, but further studies are needed in assessing other factors that affect the ratio of SLEB thickness to dermal thickness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Oktaviani
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronik sendiri dapat menjadi faktor risiko penyakit serebrovaskular karena ginjal dan parenkim otak memiliki kemiripan pembuluh distal (pada nefron dan arteriole di otak). Pembuktian korelasi antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD dapat dilakukan melalui evaluasi penurunan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) dan evaluasi temuan MRI kepala.
Metode: Studi ini merupakan studi korelasi potong lintang dengan evaluasi MRI kepala dan penilaian sesuai acuan STRIVE, kemudian ditentukan korelasi terhadap rerata nilai estimasi laju filtrasi glomerulus penderita.
Hasil: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD (r = - 0,39 dan p = 0,029). Nilai median total skor CSVD adalah 2,5 dengan rerata nilai estimasi LFG pada penelitian ini 40 ml/menit per 1,73 m2.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel lebih besar untuk menentukan nilai estimasi LFG yang menjadi cut-off point bagi pasien untuk menjalani MRI kepala, serta untuk mengetahui kaitan total skor CSVD dengan faktor risiko lainnya.

Background: Cerebral Small Vessel Disease (CSVD) and chronic kidney disease (CKD) have similar and overlapping risk factors. CKD itself can be a risk factor for cerebrovascular diseases because of the similarities between small vessels in the brain and kidneys (nephrons). Correlation between CKD and CSVD can be proven by evaluating estimated GFR values and head MRI quantitatively.
Method: This study was a cross sectional study to determine the correlation between mean estimated GFR values in CKD and quantitative head MRI evaluation of CSVD. Result: There was a weak negative correlation between mean estimated GFR values with CSVD. Median of total score CSVD from all subjects were 2,5 with mean estimated GFR values was 40 ml/minutes per 1,73 m2 (range 4,6 – 59 ml/minutes per 1,73 m2). Conclusion: There was negative correlation between CKD and CSVD. Further studies are needed with larger sample to determine cut off point for estimated GFR values to perform head MRI in CSVD, also to determine relationship of CSVD total score with other risk factors.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021.
Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19.
Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Budi Irawati
"Latar Belakang : Kanker ovarium adalah kanker ketiga terbanyak yang ditemukan pada perempuan di Indonesia. Pada saat diagnosis ditegakkan, sebagian besar pasien mencapai stadium III atau IV dengan penyebaran tumor ke rongga peritoneum dan organ-organnya. Perluasan peritoneal karsinomatosis dapat dinilai melalui Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). Perluasan peritoneal karsinomatosis pada lokasi kritikal seperti mesenterium usus halus atau lapisan serosa usus halus dapat menjadi faktor penyebab pasien mendapatkan tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking. Sehingga, nilai PCI dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi resektabilitas tumor. MRI sebagai modalitas non- invasif dapat menjadi alternatif dalam menentukan tatalaksana debulking.
Tujuan : meningkatkan peranan MRI dalam menilai perbedaan antara nilai PCI, nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis pasien kanker ovarium dengan asites untuk memprediksi tatalaksana optimal maupun suboptimal debulking.
Metode : Penelitian dilaksanakan dengan desain penelitian perbandingan potong lintang. Didapatkan 23 sampel MRI abdomen dalam rentang waktu bulan September 2020 hingga Juni 2023.
Hasil : Pada uji Mann Whitney didapatkan nilai P 0,688 pada hubungan antara nilai ADC tumor dengan tatalaksana debulking, sementara pada hubungan antara nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking didapatkan nilai P 0,450. Didapatkan nilai P 0,000 pada analisisi hubungan antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, dengan titik potong nilai PCI yang optimal sebesar 9 dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 100% untuk menentukan luaran tatalaksana suboptimal debulking.
Kesimpulan : Didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai PCI dengan tatalaksana debulking, namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC tumor dan nilai ADC peritoneal karsinomatosis dengan tatalaksana debulking.

Background: Ovarian cancer is the third most common cancer found in women in Indonesia. At the time of diagnosis, most patients reach stage III or IV with the spread of tumors to the peritoneal cavity and its organs. The extent of peritoneal carcinomatosis can be assessed using the Peritoneal Carcinomatosis Index (PCI). The expansion of peritoneal carcinomatosis in critical locations such as the mesentery of the small intestine or the serosal layer of the small intestine can be a factor in predicting debulking management. Therefore, PCI value can be one of the factors influencing tumor resectability. MRI, as a non-invasive modality, can be an alternative in determining debulking management.
Objective: To enhance the role of MRI in assessing the differences between PCI values, tumor ADC values, and peritoneal carcinomatosis ADC values in ovarian cancer patients with ascites to predict optimal or suboptimal debulking management.
Method: The study was conducted using a cross-sectional comparative research design. A total of 23 abdominal MRI samples were obtained between September 2020 and June 2023.
Results: The Mann-Whitney test showed a P value of 0.000 was obtained in the analysis of the relationship between the PCI value and debulking management, with an optimal PCI cutoff value of 9, showing 100% sensitivity and 100% specificity in determining the outcome of suboptimal debulking management.
Conclusion: There is a significant relationship found between PCI value and debulking management. However, no significant relationship was found between the tumor ADC value and the peritoneal carcinomatosis ADC value with debulking management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Mahardhika
"Tujuan: Meningkatkan peranan ultrasonografi sebagai alternatif Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) dalam menilai persentase lemak tubuh total secara akurat.
Metode: Dari April hingga September 2020, terdapat 28 pasien dewasa (14 laki-laki, 14 perempuan) yang menjalankan pemeriksaan DXA untuk menilai persentase lemak tubuh total (%LT total) dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur tebal lemak subkutis (TLS) pada beberapa lokasi tubuh. Dilakukan uji korelasi antara TLS pada beberapa lokasi tubuh menggunakan ultrasonografi serta data antropometri (IMT, lingkar pinggang, lingkar paha tengah) dengan %LT total berdasarkan DXA pada kedua jenis kelamin. Selanjutnya, variabel yang memiliki korelasi kuat dipilih untuk dimasukkan dalam analisis regresi multipel untuk mendapatkan formula regresi untuk memprediksi %LT total pada masing-masing jenis kelamin.
Hasil: Formula prediksi terbaik untuk menentukan %LT total pada laki-laki adalah %LT total = 13,7 + 5,5(TLS triceps) + 10,0(TLS paha depan); R2 0,91, sedangkan pada perempuan adalah %LT total = - 1,73 + 1,07(IMT) + 10,30(TLS paha depan); R2 0,88
Kesimpulan: Pemeriksaan TLS menggunakan ultrasonografi dikombinasikan dengan pengukuran antropometri dapat direkomendasikan untuk memperkirakan %LT total secara akurat dengan formula yang berbeda pada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan.

Objective: To improve the use of ultrasonography as an alternative way to Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) in assesing total body fat percentage (%BF) accurately.
Methods: From April to September 2020, there were 28 adult patients (14 male, 14 female) underwent DXA examination to assess %BF and ultrasonography examination to measure subcutaneous fat thickness (SFT) at multiple sites. Correlation test was conducted between SFT sites using ultrasonography and anthropometric data (BMI, waist circumference, mid-thigh circumference) with %BF based on DXA in both genders. Furthermore, variables that had strong correlation were selected to be included in the multiple regression analysis in order to obtain a regression formula to predict the %BF for each gender.
Results: The best predictive formula to determine %BF for male is %BF = 13,7 + 5,5(SFT triceps) + 10,0(SFT quads); R2 0,91, while for female is %BF = - 1,73 + 1,07(BMI) + 10,30(SFT quads); R2 0,88. Conclusions: SFT examination using ultrasonography that is combined with anthropometric measurements can be recommended to estimate %BF accurately with different formulas in the male and female group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Relanfa Farando
"Latar belakang: Low back pain (LBP) dengan atau tanpa kelainan radikulopati merupakan penyebab utama disabilitas tertinggi ke 6 di dunia. LBP dapat disebabkan oleh stenosis foramen intervertebralis (SFI) lumbal yang disebabkan oleh proses degenerasi vertebra lumbal. Penilaian derajat SFI lumbal saat ini masih menggunakan potongan sagital, namun belum terdapat penilaian derajat SFI lumbal menggunakan potongan aksial Metode: Penelitian observasional analitik potong lintang menggunakan data sekunder; Sebanyak 54 pasien memenuhi kriteria penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan MRI lumbal selama Januari 2023 hingga Desember 2023. Analisis kesesuaian antar 2 variabel kategorik disajikan dalam plot Kappa Cohen (R). Hasil: Kesesuaian pengukuran berdasarkan potongan axial dengan potongan sagital mempunyai nilai R sebesar 0,801; p <0,001) menunjukan kesesuaian diagnostik yang hampir sempurna dalam menilai SFI lumbal antara potongan aksial dengan sagital dan hasil uji nonparametrik menggunakan McNemar menunjukan tidak terdapat perbedaan kemampuan diagnosis derajat SFI lumbal mengunakan potongan aksial maupun sagital dengan nilai p 0,209 (p = < 0,5). Kesimpulan: Terdapat kesesuaian yang sangat baik antara potongan aksial dengan potongan sagital dalam menilai derajat SFI lumbal L4-5.

Background: Low back pain (LBP) with or without radiculopathy is the 6th leading cause of disability in the world. LBP can be caused by lumbar intervertebral foramen stenosis caused by the process of lumbar vertebral degeneration. Current assessment of lumbar intervertebral foramen stenosis degrees still uses sagittal planes, but there is no assessment of lumbar SFI degrees using axial planes Methods: Cross-sectional analytical observational study using secondary data; A total of 54 patients met the criteria for a lumbar MRI examination between January 2023 and December 2023. The conformity analysis among 2 categorical variables is presented in Cohen's Kappa plot (R). Results: The suitability of measurements based on axial planes to sagittal planes has an R value of 0.801; p <0.001) showed a near-perfect diagnostic fit in assessing lumbar SFI between axial and sagittal pieces and nonparametric test results using McNemar showed no difference in the ability to diagnose lumbar SFI degrees using axial and sagittal planes with a p value of 0.209 (p = < 0.5) Conclusion: There is an excellent fit between axial and sagittal planes in assessing grade of lumbar lumbar intervertebral foramen stenosis L4-5."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arkan Arij
"

Latar Belakang: Klasifikasi Lodwick sudah sering digunakan untuk memprediksi derajat keganasan pada suatu tumor tulang. Terdapat klasifikasi terbaru yakni modified Lodwick-Madewell, yang yang diharapkan meningkatkan tingkat akurasi, namun belum terdapat laporan mengenai tingkat akurasi dan kesesuaian klasifikasi yang terbaru. Tujuan: Menilai kesesuaian kemampuan klasifikasi modified Lodwick-Madewell dengan klasifikasi Lodwick dalam membedakan klasifikasi keganasan tumor tulang berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi. Metode: Sebanyak 102 pasien memenuhi kriteria penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan radiografi dan patologi anatomi. Analisis hubungan untuk membandingkan temuan klasifikasi modified Lodwick-Madewell maupun klasifikasi Lodwick dengan temuan pemeriksaan patologi anatomi dilakukan menggunakan uji modified Mc Nemar-Bowker dengan analisis kesesuaian dinilai dengan uji Kappa Cohen. Hasil: Nilai diagnostik antara klasifikasi Lodwick dan modified Lodwick-Madewell dengan nilai p masing-masing 0,265 dan 0,064 secara berurutan. Nilai Kappa Cohen untuk penggunaan klasifikasi Lodwick dan modified Lodwick-Madewell dengan nilai R sebesar 0,596 dan 0,557 secara berurutan. Hasil rasio konkordans pada klasifikasi Lodwick juga menunjukkan hasil yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi modified Lodwick-Madewell, dengan rasio konkordans masing-masing secara berurutan 73,5% dan 70,6 %. Kesimpulan: Tingkat kesesuaian klasifikasi modified Lodwick-Madewell sama dengan klasifikasi Lodwick dalam menentukan klasifikasi keganasan tumor tulang berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi. Meskipun demikian, tingkat konkordansi modified Lodwick-Madewell lebih rendah dibandingkan dengan klasifikasi Lodwick dalam menentukan klasifikasi keganasan tumor tulang berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.


Background: The Lodwick classification has often been used to predict the degree of malignancy of a bone tumor. There is a new classification, namely modified Lodwick-Madewell, which is expected to increase the level of accuracy, however there has been no report regarding the level of accuracy and suitability of the latest classification. Objective: Assessing the suitability of the modified Lodwick-Madewell classification with the Lodwick classification in differentiating the classification of malignant bone tumors based on the results of anatomical pathology examination.  Method: A total of 102 patients met the research criteria who had radiographic and anatomical pathology examinations. Correlation analysis to compare the findings of the modified Lodwick-Madewell classification and the Lodwick classification with the findings of anatomical pathology examination was carried out using the modified Mc Nemar-Bowker test with suitability analysis assessed using the Cohen's Kappa test. Results: The diagnostic value between the Lodwick and modified Lodwick-Madewell classifications with p values of 0.265 and 0.064 respectively. Cohen's Kappa value for using the Lodwick and modified Lodwick-Madewell classifications with an R value of 0.596 and 0.557 respectively. The concordance ratio results in the Lodwick classification also show slightly higher results compared to the modified Lodwick-Madewell classification, with concordance ratios of 73.5% and 70.6% respectively.  Conclusion: The level of suitability of the modified Lodwick-Madewell classification is the same as the Lodwick classification in determining the malignancy classification of bone tumors based on the results of anatomical pathology examination. However, the modified Lodwick-Madewell concordance level is lower than the Lodwick classification in determining the malignancy classification of bone tumors based on the results of anatomical pathology examination.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>