Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bella Yuliana Lintangsari
"Salah satu penyumbang terbesar sector pajak ialah UMKM. UMKM berhak membayar pajak karena UMKM merupakan bentuk dari badan usaha dan memiliki penghasilan usaha. Akibatnya, pendapatan dari UMKM harus dikenakan pajak. Isu utama yang terjadi terkait dengan adanya peraturan omnibus law dimana semua undang-undang jadi satu, seharusnya Undang-Undang terkait perpajakan merupakan lex specialis. Sehingga dikhawatirkan UU Cipta Kerja akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terutama dalam bidang perpajakan. Metode Penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder yang erat kaitannya dengan pajak, pajak penghasilan, dan pajak UMKM. Dari hasil penelitian menunjukkan, terdapat perbedaan kategori UMKM berdasarkan UU UMKM, PP 7 Tahun 2021 dan dalam hukum pajak. Pengenaan PPh bagi pelaku UMKM harus sesuai dengan kemampuan membayar. Melalui UU Nomor 7 tahun 2021 pemerintah memiliki tujuan untuk mengharmonisasikan lex specialist dari UU Cipta Kerja, kandungan UU Nomor 7 Tahun 2021 membebaskan PPh bagi pengusaha perorangan yang memiliki penghasilan kurang dari Rp. 500 juta.

One of the biggest contributors to the tax sector is micro, small, and medium enterprises. Micro, small, and medium enterprises are entitled to pay taxes because they are forms of business entities and have business income. As a result, income from micro, small, and medium enterprises must be taxed. The main issue that occurs is related to the existence of omnibus law regulations, where all laws become one. Laws related to taxation should be lex specialis. So it is feared that the Job Creation Law will cause multiple interpretations and legal uncertainty, especially in the field of taxation. The research method used is doctrinal, using secondary data sourced from primary and secondary legal materials that are closely related to taxes, income taxes, and taxes on micro, small, and medium enterprises. From the results of the study, there are differences in the categories of micro, small, and medium enterprises based on the law on the category of micro, small, and medium enterprises, PP 7 of 2021, and in tax law. The imposition of income tax on micro, small, and medium enterprises must be in accordance with their ability to pay. Through Law Number 7 of 2021, the government aims to harmonize the lex specialists from the Job Creation Law. The content of Law Number 7 of 2021 exempts income tax for individual entrepreneurs who have an income of less than Rp. 500 million."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Marasoma Sumarsono
"Korupsi merupakan faktor penghalang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan budaya bangsa. Oleh sebab itu korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Korupsi juga melibatkan pihak swasta dan korporasi, bahkan pihak swasta termasuk yang paling banyak berurusan dengan KPK sejak 2004 s.d. 2021. Seiring dengan perkembangan teknologi dan transaksi keuangan yang canggih dan lintas batas, pelaku kejahatan yanag sebenarnya mengontrol, memiliki dana menerima manfaat dari kejahatan (beneficial ownership) melakukan serangkaian skema untuk menyamarkan keberadaannya. Tesis ini membahas bagaimana penerapan prinsip mengenal pemilik manfaat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan bagaimana aturan dan basis data beneficial owner dapat mendukung pemberantasan korupsi. Metode yang dipergunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah aparat penegak hukum di Indonesia telah mengungkap beberapa kasus korupsi yang melibatkan beneficial owner, diantaranya adalah kasus Muhammad Nazarudin (kasus korupsi wisma atlet), Muhammad Yahya Fuad (kasus korupsi Kabupaten Kebumen), dan Eddy Sindhoro (kasus suap panitera). Dari perkara tersebut kita bisa melihat bahwa prinsip mengenal pemilik manfaat telah dikenal dalam rezim undang-undang tindak pidana korupsi, pemidanaan korporasi, dan tindak pidana pencucian uang. Perpres 13 tahun 2018 juga telah mengatur secara spesifik mengenai definisi, kriteria, dan pelaporan pemilik manfaat sebenarnya. Namun, dalam pelaksanaan aturan tersebut masih memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah, pencatatan informasi badan hukum (legal person) yang menyebar di berbagai peraturan, belum ada mekanisme check and balances yang memadai, kurangnya sinergi antar lembaga, dan penggunaan basis data beneficial owner yang belum optimal.

Corruption hinders the nation's economic, social, political, and cultural development. Therefore, corruption is classified as an extraordinary crime. Corruption also involves the private sector and corporations. The private sector has had the most dealings with the Corruption Eradication Commision (KPK) Indonesia since 2004 until 2021. Along with the development of technology and sophisticated and cross-border financial transactions, criminals who control and have funds receiving benefits from crime (beneficial owner) carry out a series of schemes to disguise their existence. This thesis discusses how the implementation of beneficial ownership principle by law enforcement officials in handling cases of corruption and how the beneficial ownership rules and database can support the eradication of corruption. The method used in this thesis is normative juridical. The results of this study are that law enforcement officials in Indonesia have uncovered several corruption cases involving beneficial owner, among them is  Muhammad Nazarudin (wisma atlet corruption case), Muhammad Yahya Fuad (Kabupaten Kebumen corruption case), and Eddy Sindhoro (Secretary supreme court bribery case). From this case, we can see that the beneficial owner principle has been recognized in corruption laws, corporate punishment, and money laundering crimes. Presidential Decree 13 of 2018 has also specifically regulated the definition, criteria, and reporting of beneficial owner. However, the implementation of these regulations still has several obstacles; one of them is the recording of personal legal information that is spread across various regulations, the absence of an adequate check and balances mechanism, the lack of synergy between institutions, and the use of Beneficial owner databases that have not yet been implemented optimally."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library