Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amanda Aldilla
Abstrak :
Latar belakang. Laktat awalnya dianggap sebagai produk berbahaya dari metabolisme anaerobik, namun bukti terbaru menunjukkan laktat dapat melindungi neuron dan memperbaiki luaran. Dalam studi ini, kami mencari korelasi antara kadar laktat darah dan luaran pascaoperasi pasien dengan cedera otak traumatika (traumatic brain injury, TBI). Metode. Studi kohort prospektif ini mengambil sampel dari pasien dengan TBI terisolasi yang menjalani operasi di Departemen Bedah Saraf RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari April 2020 hingga Juni 2021. TBI dikategorikan menjadi ringan (GCS 13-15), sedang (GCS 9-12), dan berat (GCS 3-8). Kadar laktat darah diambil dari vena perifer sebelum dan pada hari ke-3 pascaoperasi. Luaran klinis dievaluasi berdasarkan perubahan (D) GCS pada hari ke-7 pascaoperasi dengan preoperasi, lalu dibagi menjadi 3 kelompok: membaik, tidak berubah, dan memburuk. Hasil. Dari 72 subjek dalam penelitian ini, ditemukan terdapat korelasi yang signifikan (p = 0,019, r = 0,275) antara kadar laktat preoperatif dengan D GCS, dimana semakin tinggi kadar laktat preoperatif maka D GCS akan semakin positif. Berdasarkan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC) dan Chi-square, ditemukan bahwa subjek dengan kadar laktat >=2,35 mmol/L memiliki kemungkinan 1,64 kali lebih besar untuk mengalami peningkatan GCS pascaoperasi. Kesimpulan. Laktat dapat dijadikan suatu faktor prognostik luaran baik pascaoperasi pasien TBI. ......Background. Lactate was initially thought to be a harmful product of anaerobic metabolism, but recent evidence suggests it can protect neurons and improve outcomes. Therefore, we sought a correlation between blood lactate levels and the postoperative outcome of patients with traumatic brain injury (TBI). Method. This prospective cohort study took samples from patients with isolated TBI who underwent surgery at the Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusumo National Hospital from April 2020 to June 2021. Blood lactate levels were taken from peripheral veins before surgery and on the 3rd postoperative day. The clinical outcome was evaluated based on the change (D) of GCS from before surgery and on the 7th postoperative day, then categorized into 3 groups: improved, unchanged, and worsen. Results. From 72 subjects in this study, significant correlation (p = 0.019, r = 0.275) was found between preoperative lactate levels and D GCS, where the higher preoperative lactate levels, the more positive D GCS would be. Based on the analysis using ROC curve and Chi-square, subjects with lactate levels >=2.35 mmol/L were 1.64 times more likely to experience an increase in postoperative GCS. Conclusion. Lactate can be used as a favorable prognostic factor in TBI patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
K.M.A. Halim Habibi
Abstrak :
LATAR BELAKANG Pembedahan merupakan pengobatan utama tumor spinal pada umumnya. Pembedahan minimal invasif menjadi trend karena menghasilkan cidera jaringan minimal dengan tujuan operasi tetap tercapai. Laminektomi unilateral merupakan salah satu teknik yang memenuhi pilar dasar operasi minimal invasif. Penulis mengevaluasi efektivitas dan efisiensi teknik laminektomi unilateral removal tumor serta perbandingan terhadap teknik konvensional. METODE Disain studi deskriptif analitik dengan data rekam medis periode Januari 2015 – Juni 2020. Skor fungsional (VAS, KPS, Recovery rate/Hirabayashi, Nurick) dihitung saat pra dan pascaoperasi 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan. Efisiensi teknik laminektomi unilateral dievaluasi melalui lama operasi, jumlah perdarahan, lama rawat. Efektivitas dievaluasi melalui resektabiltas intraoperasi dan MRI kontrol tulang belakang pasca operasi HASIL Terdapat 26 pasien, rerata usia (44.17 ± 14.4) tahun, lelaki 12 (46.1%) dan perempuan 14 (53.8%). Skor fungsional pra operasi (Median VAS 4 (0-8), Nurick 4.5 (1-6), JOA servikal 5 (2-10), Torakal 3.5 (2-9), lumbal 19 (14-23) dan KPS 60 (40-80). Follow up 24 bulan pascaoperasi VAS (0) 94%, recovery rate excellent 81%, Nurick (< 3) 87% dan KPS (> 70%) 87%. Median perdarahan intraoperasi 175 (50-1200) ml, lama operasi 180 (120-540) menit dan lama rawat 6.5 (4-42) hari. Gross total resection 76.9%. Terdapat satu komplikasi pseudomeningocele pada follow up 3 bulan pascaoperasi yang menghilang tanpa intervensi pada follow up MRI kontrol 6 bulan pascaoperasi. SIMPULAN Laminektomi unilateral memungkinkan gross total resection dengan recovery rate baik, trauma operasi dan komplikasi lebih kecil terhadap teknik konvensional. ......BACKGROUND Pembedahan merupakan pengobatan utama tumor spinal pada umumnya. Pembedahan minimal invasif menjadi trend karena menghasilkan cidera jaringan minimal dengan tujuan operasi tetap tercapai. Laminektomi unilateral merupakan salah satu teknik yang memenuhi pilar dasar operasi minimal invasif. Penulis mengevaluasi efektivitas dan efisiensi teknik laminektomi unilateral removal tumor serta perbandingan terhadap teknik konvensional. METHOD Design of study is analytic descriptive using medical records period January 2015 – June 2020. Functional Scores (VAS, KPS, Recovery rate/Hirabayashi, Nurick) achieved pre and postoperation 1,3,6,12,and 24 months. Efficiency is observed from operative time, intraoperative bleeding, length of stay. Effectivity is observed from resectability during intraoperative and MRI control post operation. RESULT There are 26 patients, mean age ( 44.17 ± 14.4) years, male 12 (46.1%), female 14 (53.8%). Functional score pre operation (median VAS 4 (0-8), Nurick 4.5 (1-6), JOA cervical 5 (2-10), Thoracal 3.5 (2-9), lumbar 19 (14-23) and KPS 60 (40-80). At Follow up 24 months after operation there are 94% with no pain, 81% excellent recovery rate, 87% Nurick <3 and 87% KPS >70%. Median of estimated blood loss 175 (50-1200) ml, operative time 180 (120-540) min and length of stay 6.5 (4-42) days. Gross total resection are 20 (76.9)% cases. There are one complication pseudomeningocele which detected in MRI control after 3 month surgery, then resolved without surgery by the 6 months control. CONCLUSION Gross total resection maybe achieved by unilateral laminectomy and produces less complication and trauma compare to conventional technique.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Yuliatri
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan Tindakan bedah saraf, diduga dapat mengentikan atau memperlambat cedera otak sekunder, yang berhubungan dengan proses neuroinflamasi. Peneliti bertujuan untuk mengetahui peranan neuroinflamasi (Il-6) terhadap prognosis pasien cedera otak dan untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan kondisi neuroinflamasi.

Metode Penelitian ini bersifat prospektif observasional dengan desain cross sectional. Dari 40 pasien cedera otak yang dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan kadar Il-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi. GCS dinilai saat di UGD (GCS awal) dan sesudah tindakan operasi (GCS hari ke-7). GOS dinilai setelah bulan ke-1 dan bulan ke-3 pasca trauma. Kadar IL-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi dihubungkan dengan nilai GCS awal, GCS hari ke-7, GOS bulan ke-1 dan GOS bulan ke-3 untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan proses neuroinflamasi dan nilai prognostiknya terhadap pasien cedera otak.

GCS awal. GCS hari ke-7 dikelompokkan menjadi GCS <=8 dan GCS >8. GOS bulan ke-1 dan bulan ke-3 dikelompokkan menjadi GOS favorable (>3) dan unfavorable <=3.

Hasil Kadar Il-6 awal berhubungan bermakna dengan GCS awal (p: 0.001) dengan OR 11.4 --> pasien dengan kadar Il-6 >100 pg/ml memiliki peluang 11.4 kali mendapatkan nilai GCS <=8. Terdapat perbedaan nilai median kadar Il-6 pasca operasi dibandingkan dengan pre operasi, dengan kecenderungan kadar Il-6 pasca operasi (median=35.55 pg/ml) lebih rendah daripada kadar Il-6 awal (median=76.74 pg/ml)

Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GCS hari ke-7 (p=0.006), dengan OR 24 --> pasien dengan Il-6 pre op <= 100 pg/ml memiliki peluang 24 kali memperoleh nilai GCS hari ke-7 >8. Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GOS bulan ke-3 (nilai p= 0.016) dengan OR 11.6 --> pasien dengan kadar Il-6 <=100 pg/ml memiliki peluang sebesar 11.6 kali mencapai GOS bulan ke-3 favorable.

Simpulan Proses neuroinflamasi memiliki nilai prognostik pada pasien cedera otak, di mana maikin tinggi kadar Il-6 serum awal, makin buruk GCS awal pasien.Tindakan bedah saraf dapat menurunkan proses neuroinflamasi dan berhubungan dengan outcome GCS hari ke-7 (status kesadaran) pasca operasi dan GOS bulan ke-3 (kualitas hidup) yang lebih baik.
ABSTRACT
Objectives Neurosurgical procedures are performed to stop or slow down the secondary brain injury. This study is aimed to determine the association of neuroinflammation with the prosnosis of brain injury patients and the association of neurosurgical procedure with the neuroinflammation.

Method The study design is a prospective observation of 40 brain injuty patients who were operated. Examination were carried out top measured Il-6 serum level of pre and one day post operation on brain injury patients, and to analize therir association with GCS,GOS and neurosurgical procedures.

Results The Il-6 serum level pre surgery was significantly associated with initial GCS (p value=0.001 and OR 11.4). There was significant median difference of Il-6 post surgery compared with pre surgery, with a downward trend of Il-6 post surgery.

The post operative Il-6 level was significantly associated with GCS 7 days post surgery (p=0.006), with OR 24, meaning that patients with post surgery level of Il-6 <= 100 pg/ml had 24 times chance of getting GCS 7 days post trauma >8. The post operative Il-6 serum was significantly associated with GCA 3 months post trauma (p value= 0.016) with OR 11.6, meaning that the patients with post operative Il-6 level <= 100 pg/ml has 11.6 times as much chance of reaching the 3 months post trauma GOS favorable.

Conclusion Neuroinflammation may have prognostic values in brain injured patients. Neurosurgical procedures can decrease the neuroinflammation process and was associated with better conciousness state (GCS) and neurological outcome (GOS).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Di berbagai literatur, tumor meningioma sphenoid wing memiliki dua nama, yaitu meningioma en-plaque sphenoid wing dan meningioma spheno-orbita. Meningioma di regio sphenoorbita itu adalah tumor kompleks meliputi sphenoid wing, orbita, sinus cavernosus yang merupakan penyulit terhadap reseksi total. Presentasi klinis adalah klasik trias yaitu proptosis, gangguan visual, paresis okuler. Meningioma sphenoid wing ditemukan tersering adalah jenis en-plaque. Meningioma en-plaque adalah suatu subkelompok morfologis yang didefinisikan sebagai lesi tipis, menyebar luas, menyerupai karpet atau lembaran, yang menginfiltrasi dura dan terkadang menginvasi tulang dan tumbuh didalamnya sebagai tumor intraosseus sehingga menyebabkan hiperostosis. Meningioma juga memproduksi enzim yang mana diketahui secara tidak langsung menghasilkan proses penulangan. Berdasarkan literatur, dari seluruh tumor meningioma terdapat 15-20% yang ditemukan di sphenoid wing disertai hiperostosis pada regio frontotemporal-lateral orbita. Antara Januari 2010 dan Januari 2012, sebanyak 60 pasien meningioma di sphenoid wing atau sekitar 46,1% dari jumlah keseluruhan temuan meningioma intrakranial (130 pasien) menjalani operasi reseksi di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hiperostosis merupakan perubahan pada tulang cranium yang paling banyak ditemukan yang berhubungan dengan meningioma khususnya di regio sphenoid wing. Beberapa teori mengemukakan bahwa hiperostosis ini merupakan kejadian sekunder dari proses pembentukan tumor dan timbulnya dengan atau tanpa invasi tumor ke tulang. Banyaknya kasus pasien yang dikonsulkan oleh departemen Mata dengan keluhan proptosis yang datang ke departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo menjadikan hal tersebut menarik uuntuk diperhatikan dan untuk diketahui lebih jauh deskripsi datanya. Obyektif Studi ini bertujuan melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai meningioma sphenoid wing yang disertai hiperostosis mengenai data demografisnya. Studi ini ingin melihat tentang hubungan antara banyaknya insiden dengan sebaran usia, jenis kelamin dan keterkaitan dugaan penyebabnya, jenis tumor. Selain itu, studi ini ingin mengevaluasi hubungannya dengan pemakaian kontrasepsi khususnya KB suntik, hasil operasi serta komplikasi dan angka rekurensinya.Metode Studi ini adalah studi retrospektif dilakukan berdasarkan status rekam medis berupa data riwayat penyakit pasien, manifestasi klinis yang ada, tanda-tanda neurooradiologis dan teknik operasi, pada 60 pasien yang menjalani pembedahan secara kraniotomi dan lateral orbitotomi dari Januari 2010 sampai Januari 2012. Populasi sampel diambil dari pasien di departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang didiagnosa dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis periode Januari 2010 - Januari 2012. Kriteria ekslusi adalah tumor meningioma di luar regio sphenoid wing dan meningioma sphenoid wing tanpa adanya hiperostosis. Hasil Pada studi ini terdapat rentang usia pasien: 31-60 tahun dengan rerata usia 44 tahun, jenis kelamin diantaranya 2 (3%) laki-laki dan 58 (96,7%) perempuan. Keluhan utama adalah proptosis yang progresif, penurunan tajam penglihatan disertai hiperostosis. Seluruh pasien dilakukan pembedahan melalui lateral orbitotomi dan kraniotomi fronto-temporal disertai dekompresi orbita. Pemantauan dilakukan terhadap derajat luas reseksi tumor dan komplikasi postoperatif. Semua pasien dengan meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis pada lateral orbita telah menjalani pembedahan dengan reseksi subtotal atau parsial. Pemeriksaan patologi menunjukkan sebanyak 33 (55%) pasien adalah meningioma meningoteliomatosa. Setelah pembedahan, proptosis dilaporkan membaik secara klinis pada 54 (90%) pasien, tajam pengihatan meningkat secara klinis pada 18 (30%) pasien, perihal paresis okuler sulit didapatkan datanya. Lama follow-up adalah 3 bulan sampai 1 tahun, didapatkan rekurensi tumor pada 4 (6,6%) pasien dan 2 (3,3%) pasien menjalani pembedahan kedua. Sebanyak 2 (3,3%) pasien tidak terpantau. Ditemukan 51 (85%) pasien dengan riwayat penggunaan kontrasepsi KB yang menahun, non pengguna 4 (6,6%), tidak diketahui 4 (6,6%) pasien. Dari jumlah 51 (85%) pasien pengguna KB, diantaranya 46 (90,2%) pasien menggunakan kontrasepsi suntik, 4 (7,8%) pasien dengan pil, 1 (1,9%) pasien dengan susuk. Sebanyak 41 (89,1%) pasien menggunakan kontrasepsi KB suntik selama lebih dari 10 tahun dan 5 (10,8%) pasien kurang dari 10 tahun. Meningioma pada sphenoid wing kebanyakan berjenis meningioma meningotelial dan neoplasma jenis ini cenderung menyebabkan hiperostosis setempat serta memiliki gambaran radiologi yang khas. Semua hiperostosis yang ditemukan pada sphenoid wing harus diangkat untuk mencegah rekurensi. Pengangkatan tumor secara luas disertai dekompresi tulang sphenoid wing memberi hasil fungsional dan kosmetik yang memadai. Tidak ada hubungan bermakna dari data meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis dengan usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan bermakna antara KB dengan jenis meningioma yaitu meningoteliomatosa. Kerjasama yang baik antara dokter bedah saraf dan dokter mata adalah penting untuk kelainan ini. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi KB suntik banyak didapat pada pasien meningioma sphenoid wing disertai hiperostosis.
ABSTRACT
Sphenoid wing meningioma has two names, such as meningioma en plaque sphenoid wing and spheno-orbital meningiomas. Meningiomas in the sphenoorbita has its complex, includes sphenoid wing, orbit, cavernous sinus, which could complicate the total resection. Clinical presentation is the classic triad of proptosis, visual disturbance, and occular paresis. The most common sphenoid wing meningioma is en-plaque meningioma. En-plaque meningioma is a morphological subgroup defined as thin lession, widely spread, like carpet or sheet, which infiltrated dura and sometimes invading bone and grows inside the tumor intraosseus thus causing hyperostosis. Meningiomas are also produce enzymes, which indirectly cause calcification. Fifteen to twenty percent of meningiomas are found in sphenoid wing with hyperostosis in frontotemporal-lateral orbital region. Fourty six percents from all of intracranial meningioma patient cases were sphenoid wing meningioma with hyperostotic during Period January 2010 to January 2012. Hyperostotic is a change in the skull bones are most commonly found associated with meningioma especially in the region of the sphenoid wing. Some theories suggest this event is secondary to the process of tumor formation and could occur with or without tumor invasion to bone. Many cases of patients with proptosis who are consulted by ophtalmologists that come into the department of Neurological Surgery School of Medicine-Cipto Mangunkusumo, makes it interesting to be observed and explored further. Objective This study is performed to conduct further evaluation of the sphenoid wing meningioma with hyperostosis, regarding the demographic data. The study wanted to see the relationship between the number of incidents with the distribution of age, sex, causes, and the type of tumor. In addition, this study evaluated the relationship between the usage of injectable contraceptives in particular family planning, operating results, and the rate of complications and recurrence. Methods This study was a retrospective study conducted by collecting medical records of patients’ medical history, clinical manifestations, the neurooradiological sign, and engineering operations, in 60 patients who underwent surgery for a craniotomy and lateral orbitotomi from January 2010 until January 2012. Population samples were taken from patients in the department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo. Inclusion criteria were all patients diagnosed with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in the periods of January 2010 - January 2012. Exclusion criteria were meningioma tumor in the sphenoid wing and the outer region of the sphenoid wing meningioma without hyperostosis. In this study there were patients with age range from 31-60 years with the average age of 44 years old.There were 2 (3%) men and 58 (96.7%) female. The chief complaint is progressive proptosis and visual impairment. All of the patient undergo surgery through lateral orbitotomi and fronto-temporal craniotomy accompanied by orbital decompression. Monitoring on a wide degree of tumor resection and postoperative complications is performed. All patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis in lateral orbita have operated with subtotal or partial resection. Pathological examination showed 33 (55%) patients are meningothelial meningioma. After surgery, proptosis reduced in 54 (90%) patients, and increasing visus in 18 (30%) patients. Three months to one year follow-up found the tumorrecurred in 4 (6.6%) patients and 2 (3.3%) patients, who underwent a second surgery. Two (3.3%) patients were not monitored. No history of chronic use of contraception. A total of 42 (89.36%) patients using injectable contraception for more than 10 years and 5 (10.6%) patients less than 10 years. Reported contraceptive device users in52 patients (86%) patients, non-users in 4 (6.6%), and unknown in 4 (6.6%) patients. From a total of 52 (86%) patients with contraceptive users, 47 of them (90.38%) used injectable contraception, 4 (7.69%) consumed oral contraceptive pill, dan 1 (1.92%) patient with the implant contraception. Conclusion The most common type of sphenoid wing meningioma were menignothelial meningioma. This tumor is the most diversified and is tend to cause local hyperostosis and has a picture of a typical radiology. All hyperostosis found on the sphenoid wing must be removed to prevent recurrence. Wide removal of the tumor with decompression sphenoid wing bones gives the adequate functional and cosmetic results. There is no significant correlation of the data sphenoid wing meningioma with hyperostosis with age and sex. However, there was a significant relationship between the meningothelial meningioma with injecting contraception. Good cooperation between neurosurgeons and ophthalmologists is important for this disorder. History of the use of injectable contraception is obtained in patients with sphenoid wing meningioma with hyperostosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Amelia
Abstrak :
Pendahuluan: Perdarahan Intraventrikel Intraventricular Hemorrhage / IVH merupakan perdarahan spontan yang terjadi di dalam sistem ventrikel, 30-45 sering berhubungan dengan Intracerebral Hemorrhage ICH . Evaluasi aktifitas sehari-hari yang akurat dan tepat pada pasien pasca stroke sangat penting untuk kualitas perawatan dan pengukuran luaran pasca perawatan stroke. Modified Rankin Scale mRS merupakan skala pengukuran disabilitas yang dipakai secara global untuk evaluasi pemulihan dari stroke. Tujuan: Menelaah data luaran penderita perdarahan intraventrikel yang dilakukan operasi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo berdasarkan mRS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan desain potong lintang cross sectional . Adapun variabel independent yaitu lokasi lesi perdarahan intraserebral, IVH-skor, GCS awal, dan variabel dependent yaitu luaran berdasarkan skoring mRS. Subjek penelitian adalah semua pasien penderita perdarahan intraventrikel yang dikelola Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2010 sampai dengan Agustus 2016. Jumlah sampel pada penelitian ini didapatkan 23 sampel. Data penelitian diperoleh melalui catatan rekam medis, subjek dihubungi via telepon, kemudian subjek atau keluarga diwawancara untuk menilai status fungsionalnya dengan mRS. Data diolah dengan menggunakan program SPSS 21. Hasil: Luaran 6 bulan IVH dengan menggunakan mRS secara keseluruhan didapatkan independent 11 pasien 47,8 dependent 4 pasien 17,3 dan 8 pasien meninggal 34,9 . IVH sebagian besar berusia di bawah 60 tahun 60,8 dan 39,2 yang berusia diatas 60 tahun, dari penelitian didapatkan IVH skor terbanyak adalah >15 sebanyak 15 pasien 65,2 . GCS rata-rata 7,6 2,14 . MAP terbanyak adalah >100 dengan jumlah 20 pasien 87 , dan faktor resiko yang mengalami hipertensi sebanyak 19 pasien 82,6. Diskusi: mRS dapat digunakan sebagai standar penilaian luaran IVH. ...... Introduction: Intraventricular hemorrhage IVH is a spontaneous hemorrhage occurring within the ventricular system, 30 40 often associated with Intracerebral hemorrhage ICH, Accurate and precise daily evaluating activity in post stroke patients is critical for the quality of care and measurement of post stroke outcomes. Modified Rankin Scale mRS is a global disability measurement scale used for the evaluation of stroke recovery. Aims: Configuring outcome data of patient with intraventricle hemorrhage operated at neurosurgery departmen of cm hospital based on mRS. Methods This was an observational study with cross sectional design. The independent variables are location of intracerebral hemorrhage lesion, IVH score, initial GCS, and dependent variable is outcome based on mRS scores. Subjects of research were all patients with intraventricular hemorrhage administered by Department of Neurosurgery Cipto Mangunkusumo Hospital during January 2010 until August 2016 period. The number of samples in this study were obtained 23 samples. Research data was obtained through medical record and transferred into data entry format, patients was contacted by telephone, then patients or family were interviewed to assess their functional status with Modified Rankin Scale. Data is processed by using SPSS 21 program. Results: 6 months IVH overall outcomes are 11 independent patients 47.8 4 dependent patients 17.3 and 8 patients died 34.9. IVH were mostly under 60 years old 60,8 and 39,2 were aged over 60 years, from the study obtained IVH most scores were 15 as many as 15 patients 65.2. GCS averages 7.6 2.14 . Most MAPs were 100 with 20 patients 87, and hypertension risk factors were 19 patients 82.6. Discussion: mRS can be used as standard outcome assessment of IVH.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovanka Naryai Manuhutu
Abstrak :
PENDAHULUAN : Cedera kepala menjadi penyebab kematian paling umum pada usia kurang dari 40 tahun di negara maju dan berkembang, luaran setelah cedera kepala masih menjadi masalah dan sulit diprediksi. GCS telah ditetapkan sebagai prediktor luaran cedera kepala akibat trauma maupun non-trauma, namun prediktor luaran cedera kepala lain saat ini telah banyak dipakai salah satu adalah biomarker neuroinflamasi yaitu Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) yang masih jarang diteliti. METODE : Penelitian prospektif ini didasarkan pada kasus cedera kepala sedang dan berat yang dilakukan operasi kraniotomi di multisenter rumah sakit pada November 2019-November 2020. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), gejala klinis serta hubungan RNL dan GCS sebagai prediktor luaran pada penelitian ini. Dilakukan analisis ROC untuk mendapatkan cut off RNL. HASIL : Dari 54 pasien cedera kepala sedang dan berat (GCS 7-13) pada November 2019-November 2020 didapatkan dominasi laki-laki 41 (75,9%) pasien dan perempuan 13 (24,1) pasien, usia (mean±SD) 27,6±15,3, GCS preoperasi (median; min-maks) 13 (7-13), gejala klinis pupil anisokor 33 (61,1), kejang 5(9,3), hemiparesis 1 (1,86), GCS pascaoperasi hari kelima dan ketujuh (median; min-maks) 14 (6-15). RNL Preoperasi 7,4 (1,9-26,2) dan untuk nilai cut off RNL 9,8 dengan spesisfisitas dan sensitifitas 87% yang signifikan dengan nilai p=<0,001. KESIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik RNL dan GCS preoperasi. Dimana dimana dengan nilai RNL yang rendah memiliki luaran fungsional yang baik sebaliknya pada pasien dengan RNL yang tinggi dengan luaran fungsional yang buruk. ......INTRODUCTION: Traumatic brain injury (TBI) is the most common cause of death on population less than 40 years old in developed and developing countries. The clinical outcome after TBI is still an issue and difficult to predict. GCS has been used to predict outcome after either traumatic or non-traumatic brain injury. But several other outcome factors also can predict outcome after TBI, such as neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) as one of neuroinflammation biomarkers. METHOD : This prospective study included moderate and severe TBI patients were performed craniotomy in a multicenter hospital, from November 2019 to November 2020. Chi-square analytic test was used to determine the relationship between demographics (age and sex), clinical symptoms, RNL and GCS as a predictors outcome of moderate and severe TBI. RESULT : 54 patients moderate and severe TBI (GCS 7-13) consist of 41 (75.9%) male and 13 (24.1%) female patients, age (mean±SD) 27.6±15.3, preoperative GCS (median; min-max) 13 (7-13), with asymmetric pupil 33 (61.1%), seizures 5 (9.3%), hemiparesis 1 (1.86%), and GCS postoperative on the fifth and seventh day (median; min-max) 14 (6 - 15). Preoperative NLR was 7.4 (1.9-26.2) and the cut off for NLR as a predictor for improved GCS was at 9.8 with a specificity and sensitivity of 87% with signification of p=<0.001. CONCLUSSION : There was a statistically significant relationship between preoperative RNL and GCS. Whereas with a low RNL value has a good functional outcome in contrast to patients with high RNL with poor functional outcome.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhudy Marseno
Abstrak :
Latar Belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang lazim dijumpai sebagai tumor jinak karena pertumbuhannya yang lambat, memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi, dan memiliki peluang besar untuk dilakukan pembedahan secara lengkap.1,2 Namun, komplikasi dan disabilitas jangka panjang sering terjadi yang dapat menurunkan kualitas hidup.2 Penelitian ini meneliti luaran jangka panjang status neurologis pasca pembedahan dan bagaimana hubungan antara tingkat ekstensi pembedahan terhadap status neurologis pasca pembedahan meningioma di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Metode: Penelitian kohort historis terhadap 142 pasien dengan menggunakan rekam medis dan data registrasi onkologi dari Departemen Bedah Saraf RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2014 hingga Desember 2021. Tingkat ekstensi pembedahan dikategorikan menjadi (1)Tingkat reseksi tinggi dan (2)Tingkat reseksi rendah. Fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik dikategorikan menjadi (1) Defisit tambahan atau persisten dan (2)Tidak ada defisit atau perbaikan. Penelitian ini menggunakan data yang diolah secara deskriptif dan analitik. Hasil: Sebagian besar responden yang menjalani pembedahan memperoleh tingkat reseksi tinggi (62%). Berdasarkan follow up 2 tahun pasca pembedahan, sebagian besar responden tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kranialis (67,6%), fungsi motorik (95,1%), dan fungsi sensorik (99,3%) dibandingkan sebelum pembedahan. Analisis bivariat menunjukkan bahwa proporsi kejadiannya tetap tidak terdapat defisit atau mengalami perbaikan fungsi nervus kraniaisl (p = 0,114) dan fungsi motorik (p = 0,295) pasca pembedahan pada responden dengan angka reseksi tinggi. Kesimpulan: Terdapat peningkatan status neurologis, yaitu fungsi nervus kranialis, motorik dan sensorik, yang lebih baik diperoleh pada tingkat ekstensi pembedahan tinggi (Simpson grade I-II) daripada tingkat ekstensi pembedahan rendah (Simpson grade III- V), meskipun secara statistik perbedaannya tidak signifikan. ......Background: Meningioma, is an intracranial tumor that is commonly found as a benign tumor because of its slow growth, has a fairly high survival rate, and has a great chance for complete removal.1,2 However, complications and long-term disabilities often occur which can reduce the quality of life.2 This study examines the long-term outcome of postoperative neurological status and how the relationship between the degree of surgical extension and the postoperative neurologic status of meningioma at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital as a National Referral Hospital in Indonesia. Methods: Historical cohort of 142 patients using medical records and oncology registration data from the Department of Neurosurgery Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 to December 2021. The degree of Surgical extension was categorized into (1) High resection rates and (2) Low resection rates. Cranial nerve, motor, and sensory functions were categorized into (1) Additional or persistent deficit and (2) No deficit or had improved. The study used data that was processed descriptively and analytically. Results: Most of the respondents underwent surgery obtained a high resection rate (62%). Based on the 2-year follow-up after surgery, respondents still had no deficit or had improved cranial nerve function (67.6%), motor function (95.1%), and sensory function (99.3%) compared with before surgery. Bivariate analysis showed that the proportion of the occurrence was still no deficit or had improved cranial nerve function (p = 0.114) and motor function (p = 0.295) after surgery in respondents with a high resection rate. Conclusion: There was an improvement in neurological status, namely cranial nerve function, motor and sensory, which was better obtained at a high level of surgical extension (Simpson grade I-II) than at a low level of surgical extension (Simpson grade III-V), although statistically, the difference was not significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Rizqy Afriyanti
Abstrak :
Latar Belakang: Waktu penanganan sejak penentuan tatalaksana operasi hingga ruang operasi bisa diukur dan digunakan untuk melihat efektivitas dari proses pelayanan kesehatan,  Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan antara waktu tersebut dengan Glasgow Coma Scale awal pasien dan diagnosis kerja pasien.  Metode: Desain penelitian adalah retrospective cross sectional. Pengambilan sampel dari rekam medis pasien, menggunakan metode consecutive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 90 sampel. Hasil: Hubungan antara waktu door-to-operating room dengan Glasgow Coma Scale awal pasien tidak signifikan (OR, 1,763; CI 0,18-16,5; P 0,579) dan hubungan antara waktu door-to-operating room dengan diagnosis kerja pasien tidak signifikan (P > 0,999).  Kesimpulan: Tidak ada hubungan signifikan antara waktu door-to-operating room dengan Glasgow Coma Scale awal pasien dan diagnosis kerja pasien. ......Introduction: The time from determining surgical management to the operating room can be measured and used to see the effectiveness of the health service process. The research aims to see the relationship between this time and the patient's initial Glasgow Coma Scale and the patient's working diagnosis.  Methods: The research design is retrospective cross sectional. Sampling was taken from patient medical records, using the consecutive sampling method, with a total sample of 90 samples. Results The relationship between door-to-operating room time and the patient's initial Glasgow Coma Scale was not significant (OR, 1.763; CI 0.18-16.5; P 0.579) and the relationship between door-to-operating room time and the patient's working diagnosis was not significant (P > 0.999).  Conclusion: There was no significant relationship between door-to-operating room time and the patient's initial Glasgow Coma Scale and the patient's working diagnosis, indicated by a p-value > 0.05.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakean Ahmad Kiansantang
Abstrak :
Latar Belakang Cedera otak traumatis atau traumatic brain injury (TBI) merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang umum terjadi pada anak-anak, orang dewasa hingga umur 24 tahun, dan lansia dengan umur >75 tahun.1–3 Di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta kasus pasien cedera otak traumatis, dimana 2,5 juta pasien masuk ke Instalasi Gawat Darurat, termasuk lebih dari 812.000 pasien anak-anak. Di Indonesia sendiri, menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9%.2 Pada penelitian ini, akan dilakukan pengumpulan serta pengolahan data terkait profil diagnosis cedera kepala yang dioperasi. Data yang terkumpul dapat digunakan oleh pihak terkait untuk menilai resiko, prevalensi, diagnosis, dan tatalaksana operatif cedera kepala. Metode Metode penelitian melibatkan data retrospektif terhadap pasien yang menjalani tatalaksana operatif akibat cedera kepala di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2016 hingga 2020. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional dengan metode consecutive sampling. Hasil Populasi yang masuk dalam kriteri studi berjumlah 219 pasien. Terdiri dari, 176 pria (80,37%) dan 43 wanita (19,63%) dengan rata-rata umur 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur remaja akhir (17-25 tahun) (Tabel 1 & 2). Diagnosis tersering yang ditemukan adalah epidural hematoma sebesar 54,34% (n = 119). Jenis tatalaksana tersering adalah kraniotomi (54,74%; n = 120). Dari 219 mengenai GCS dan penyebab trauma tersedia untuk 80 pasien. GCS 14-15 atau mild TBI adalah pasien terbanyak (43,59%; n = 34), dengan penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (63,75%; n = 51) Kesimpulan Pasien cedera kepala yang dioperasi di RSCM pada tahun 2016-2020, umumnya mengalami mild TBI (GCS 14-15). Peneybab tersering adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Jumlah pasien laki-laki dibandingkan perempuan adalah 4 : 1. Rata-rata umur pasien adalah 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur 17-25 tahun. Epidural hematoma adalah diagnosis yang tersering yang ditemukan pada populasi studi. Kemudian jenis tatalaksana yang tersering adalah kraniotomi. ......Background Traumatic brain injury (TBI) is a common cause of death and disability in children, adults up to 24 years of age, and elderly people aged >75 years. 1–3 In the United States there are approximately 2, 87 million cases of traumatic brain injury patients, of which 2.5 million patients were admitted to the Emergency Department, including more than 812,000 pediatric patients. In Indonesia itself, according to Riskesdas 2018, the prevalence of head injuries in Indonesia is 11.9%.2 In this research, data will be collected and processed regarding the diagnosis profile of head injuries that are operated on. The collected data can be used by related parties to assess the risk, prevalence, diagnosis and operative management of head injuries. Methods The research method involved retrospective data on patients who underwent operative treatment for head injuries at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 to 2020. This research design used an observational descriptive design with a consecutive sampling method. Results The population included in the study criteria was 219 patients. Consisting of 176 men (80.37%) and 43 women (19.63%) with an average age of 28.66. The largest age group is the late teenage age group (17-25 years) (Table 1 & 2). The most common diagnosis found was epidural hematoma at 54.34% (n = 119). The most common type of treatment was craniotomy (54.74%; n = 120). Of the 219 questions regarding GCS and causes of trauma were available for 80 patients. GCS 14-15 or mild TBI was the most common patient (43.59%; n = 34), with the most common cause being traffic accidents (63.75%; n = 51). Conclusion Head injury patients operated on at RSCM in 2016-2020 generally experienced mild TBI (GCS 14-15). The most common cause is a traffic accident. The number of male patients compared to female is 4: 1. The average age of patients is 28.66. The largest age group is the 17-25 year age group. Epidural hematoma was the most common diagnosis encountered in the study population. Then the most common type of treatment is craniotomy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Rafiqah Aulia
Abstrak :
Trauma kepala merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis gangguan traumatis yang berdampak pada fungsionalitas otak. Trauma kepala dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, gangguan fisik, gangguan fungsi kognitif, dan gangguan psikososial secara temporer ataupun permanen. Trauma kepala merupakan salah satu masalah global karena menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Penelitian ini telah memberikan gambaran secara faktual, sistematis, dan terbaru mengenai insidensi kasus trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) beserta karakteristik demografi yang diselidiki. Penelitian observasional dengan metode deskriptif dan analitik ini menggunakan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM selama periode tahun 2016–2020 dengan besar sampel sebanyak 90 subjek yang pada data rekam medis didiagnosis mengalami trauma kepala dan diintervensi melalui prosedur bedah. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Dari 90 subjek penelitian, didapatkan bahwa mayoritas pasien berasal dari kelompok usia <21 tahun (31,1%), laki-laki (84,4%), pengguna JKN (88,9%), kecelakaan sebagai etiologi (65,6%), bukan rujukan (48,9%), rujukan dari Jawa (45,6%), antrean non-cito (55,6%), dan domisili Jabodetabek (61,1%). Hipotesis nol diterima pada analisis bivariat. Karakteristik demografi dari pasien trauma kepala dengan riwayat prosedur bedah di RSCM mayoritas berusia <21 tahun, laki-laki, pengguna JKN, korban kecelakaan, pasien bukan rujukan, pasien rujukan terbanyak dari Jawa, antrean non-cito, dan berdomisili di Jabodetabek. Tidak ada perbedaan penggunaan jaminan kesehatan dan etiologi antara berbagai golongan usia pasien. Selain itu, tidak ada perbedaan etiologi trauma kepala antara pasien laki-laki dan perempuan. ......Head trauma is a traumatic disorder that impacts brain functionality. Head trauma can cause temporary or permanent neurological, physical, cognitive, and psychosocial dysfunction. Head trauma is a global problem because it is one of the leading causes of death and disability throughout the world. This research has provided a factual, systematic, and up-to-date description along with demographic characteristics of head trauma cases that underwent surgical procedures at RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). This observational research with descriptive and analytical methods uses a cross-sectional design. The study population was head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM during 2016–2020 with a sample size of 90 subjects who were diagnosed with head trauma in medical record and were intervened through surgical procedures. Sampling used purposive sampling technique. Of the 90 subjects, the characteristics were majorly <21 years (31.1%), men (84.4%), JKN users (88.9%), accidents as the etiology (65.6% ), non-referral (48.9%), referral from Java (45.6%), non-cito queue (55.6%), and Jabodetabek domicile (61.1%). The null hypothesis was accepted in the bivariate analysis. The demographic characteristics of head trauma patients with a history of surgical procedures at RSCM were majorly <21 years old, male, JKN users, accident victims, non-referral patients, most referral patients were from Java, non-cito queues, and lived in Jabodetabek. There were no differences in the use of health insurance and etiology between various patient age groups. In addition, there was no difference in the etiology of head trauma between male and female patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>