Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hashfi Fauzan Raz
Abstrak :
Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK. Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74). Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi ...... Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG. Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG. Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufan Hidayat
Abstrak :
Latar belakang: Penyebab utama morbiditas dan mortalitas serta biaya tinggi dari penyakit ginjal kronis adalah disfungsi akses vaskular untuk hemodialisis, yaitu stenosis fistula arteri-vena (AVF). Oksida nitrit (NO) memiliki peran penting menghambat stenosis dan berperan dalam maturasi fistula. Paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet A (UVA) diketahui dapat meningkatkan kadar NO plasma, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka stenosis AVF. Tujuan penelitian: Menilai efek pajanan UVA terhadap NO plasma dan stenosis AVF. Metode: Penelitian eksperimental dengan randomisasi ini dilakukan di RSUP Persahabatan pada bulan Februari hingga Maret 2022. Pasien PGK stadium 5 yang menjalani hemodialisis melalui akses AVF radiosefalika yang sudah matur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol diberikan sinar tanpa radiasi dan kelompok perlakuan diberikan sinar UVA (9J/cm2) pada area fistula setiap kali hemodialisis (12 kali) dalam 6 minggu. Kadar NO dan derajat stenosis fistula sebelum dan sesudah penyinaran dicatat dan dianalisa menggunakan SPSS 20.0. Hasil: Terdapat 41 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan 4 subjek drop-out akibat COVID-19. Total subjek yang dianalisis adalah 37 dengan 18 pada kelompok kontrol dan 19 pada kelompok perlakuan. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan dalam peningkatan kadar NO maupun derajat stenosis AVF, dengan selisih kadar NO awal dan akhir pada kelompok kontrol dan perlakuan sebesar 6,7±55,5 dan 3,4±39,2 µmol/L, serta selisih derajat NO awal dan akhir pada kelompok kontrol dan perlakuan sebesar 0,6(-6,7 – 51,2)% dan 0,4(-16,0 – 18,1)%. Kesimpulan: Penelitian ini belum dapat membuktikan adanya pengaruh penyinaran UVA terhadap peningkatan kadar NO plasma ataupun penurunan derajat stenosis AVF. Hal ini dapat disebabkan dosis sinar UVA yang rendah, durasi penelitian yang singkat dan jumlah sampel yang sedikit. Perlu dilakukan studi lanjutan dengan dosis sinar UVA bertingkat, durasi penelitian lebih lama dan jumlah sampel yang lebih banyak. ......Background: Arteriovenous fistula (AVF) stenosis is a vascular access dysfunction in hemodialysis (HD) which is the main cause of the high morbidity, mortality, and cost on chronic kidney disease (CKD). Nitric oxide (NO) has an essential role in preventing AVF stenosis and fistula maturation. Ultraviolet-A (UVA) exposure from the sun is known to increase plasma NO levels, and hopefully can decrease the incidence of AVF stenosis. Purpose: To analyze the effect of UVA exposure towards NO and AVF stenosis. Patients and methods: This randomized controlled study was conducted in RSUP Persahabatan from February to March 2022. Patients with grade 5 CKD who underwent hemodialysis via mature radio cephalic AVF that meet the inclusion and exclusion criteria were randomized into control and study groups. Control groups were given regular blue light, while study groups were given UVA light (9J/cm2) at the area of AVF twelve times in six weeks. Plasma NO levels and AVF stenosis degree before and after light exposure was recorded and analyzed using SPSS 20.0. Results: A total of 41 subjects meet the inclusion and exclusion criteria. There were 4 drop-outs due to COVID-19, with 37 remaining subjects; 18 in the control and 19 in the study group. There were no significant difference between the control and treatment groups in increasing NO levels or the degree of AVF stenosis. The difference of NO levels and degree of stenosis between pre- and post-intervention in the control and intervention group was 6,7±55,5 and 3,4±39,2 µmol/L, and 0,6(-6,7 – 51,2)% and 0,4(-16,0 – 18,1)% respectively. Conclusion: This study could not prove the effect of UVA irradiation on increasing plasma NO levels or decreasing the degree of AVF stenosis. Further studies with stratified doses of UVA irradiation, longer duration and larger sample sizes should be done in continuation to this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Agustian
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Penggunaan asam traneksamat intravena pada bedah jantung bertujuan untuk mengurangi komplikasi perdarahan pascabedah. Asam traneksamat secara topikal (intraperikardial) bekerja secara lokal dan meminimalisasi efek samping sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan asam traneksamat topikal lebih efektif terhadap jumlah perdarahan dan kebutuhan transfusi darah pascabedah dibandingkan dengan plasebo pada bedah pintas arteri koroner . Metode: Randomisasi 44 sampel menjadi kelompok asam traneksamat topikal (n = 22) dan kelompok plasebo (n = 22). Variabel dengan sebaran normal menggunakan statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal menggunakan statistik nonparametrik Mann-Whitney test.  Hasil: Perdarahan inisial (asam traneksamat 47,50 (10-105) mL vs plasebo 75 (10-160) mL menunjukkan  p = 0,012), perdarahan 6 jam pascabedah (asam traneksamat 135,50 (80-285) mL vs plasebo 190 (35-480) mL menunjukkan p = 0,021, kebutuhan transfusi trombosit (asam traneksamat 0(0-136) mL vs plasebo 0(0-993) menunjukkan p = 0,027), dan kebutuhan transfusi kriopresipitat (asam traneksamat 0(0-0) mL vs plasebo 0 (0-347) menunjukkan p = 0,034). Simpulan: Asam traneksamat topikal efektif mengurangi perdarahan, dan kebutuhan transfusi darah pascabedah pintas arteri koroner. ......Background and purpose: Administration of intravenous tranexamic acid in cardiac surgery aimed to reduce postoperative bleeding complications. Tranexamic acid topically (intrapericardially) works locally and minimizes systemic side effects. This study aims to determine whether topical tranexamic acid is more effective on the amount of bleeding and the need for postoperative blood transfusion compared with placebo in patients undergoing CABG on-pump surgery. This study aims to determine whether topical tranexamic acid is more effective in reducing postoperative bleeding and decreasing postoperative blood transfusion  compared to placebo in patients underwent on-pump CABG.  Methods: 44 samples are randomized into the tranexamid acid group (n = 22) and the placebo group (n = 22). Variables with normal distribution were carried out with independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics Mann-Whitney test. Result: Postoperative bleeding and transfusion in the tranexamic acid group compared to the placebo group showed differences as follows: initial bleeding (tranexamic acid 47.50 (10-105) mL vs. placebo 75 (10-160) mL, p = 0.012), 6 hours postoperative bleeding (tranexamic acid 135.50 (80-285) mL vs. placebo 190 (35-480) mL, p = 0.021), Postoperative bleeding requiring platelet transfusion (tranexamic acid 0(0-136) mL vs. placebo 0(0-993), p = 0.027), and postoperative bleeding requiring cryoprecipitate transfusion (tranexamic acid 0(0-0) mL vs. placebo 0 (0-347), p = 0.034). Conclusion: Topical tranexamic effectively reduces postoperative bleeding and minimize postoperative blood transfusion in CABG.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haris
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium merupakan salah satu penyumbang kematian terbesar di Dunia. Evaluasi ukuran akhir infark merupakan prediktor kuat untuk menentukan prognosis pada pasien dengan infark miokardium. Saat ini belum ada penelitian infarct model pada hewan coba (babi) yang membandingkan pengukuran area infark miokardium dengan menggunakan metode MRI di Indonesia. Metode : Eksperimental 13 sampel dengan pembuatan infarct model. Pengukuran massa dan ukuran infark miokardium dilakukan setelah 6-8 minggu perlakuan dengan menggunakan metode LGE MRI dan hitung massa dengan timbangan secara manual dissection. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, kemudian ketepatan data dipertajam dengan analisis berulang secara intraclass correlation (ICC). Hasil: Massa area infark menurut MRI 4,62 gr (2,58 gr-14,08 gr) vs massa area infark menurut manual dissection 7,68 gr (2,31 gr -17,99 gr), dengan p = 0,093, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,084). Ukuran area infark menurut MRI 3,20 % (1,68 %-12,01%) vs ukuran area infark menurut manual dissection 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), dengan p = 0,721, dengan nilai korelasi yang rendah pada uji ICC (r value 0,17), tidak ada perbedaan bermakna pada pengukuran MRI dibandingkan dengan manual dissection pada timbangan, akan tetapi memiliki korelasi yang rendah. Simpulan: Pada penelitian ini perhitungan massa infark maupun ukuran infark antara metode MRI dan hitung massa (timbangan) secara manual dissection tidak setara. Metode manual dissection yang dilakukan pada penelitian ini tidak ideal dalam perhitungan massa maupun ukuran infark miokardium. ......Background: Myocardial infarct is one of the most prevalent causes of death worldwide. Evaluation of the resulting infarction area is a strong predictor for the prognosis of patients post myocardial infarction (MI). At the moment, there has not been a study in Indonesia that compares magnetic resonance imaging (MRI) and direct mass weighing in a porcine model. Methods: 13 samples were made using an infarct porcine model. Measurements of MI weight and infarct size were conducted 6 to 8 weeks after coronary artery ligation using both LGE MRI and direct mass weighing following manual dissections. Data were tested using Wilcoxon test, and further analyzed using intraclass correlation (ICC). Results: Infarct area weight calculation using MRI averaged 4,62 gr (2,58 gr -14,08 gr) while infarct area weight calculation using mass weighing averaged 7,68 gr (2,31 gr-17,99 gr), with p = 0,093, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,084). Infarct size area calculation using MRI averaged 3,20 % (1,68 %-12,01%) while infarct size calculation using mass weighing averaged 4,48 % (1,23 % - 9,19 %), with p = 0,721, with a very low correlation score from ICC test (r value 0,17) Conclusion: The results between infarct area weight and infarct size using MRI with mass weighing after manual dissection was not comparable. Manual dissection method that has been used in this study was not ideal to calculate myocardial infarct area weight and myocardial infarct size.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Rynaldo
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Infark miokardium akut merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan membutuhkan diagnosis yang tepat untuk menentukan rencana tatalaksana. Modalitas diagnostik yang sering digunakan untuk menilai adanya infark adalah ekokardiografi dan MRI. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian hasil pengukuran dari ekokardiografi dan MRI dalam evaluasi infark miokardium, serta menilai perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri pascainfark. Metode : Dilakukan ligasi LCx pada 13 jantung babi untuk mengkondisikan infark miokardium. Setelah ligasi LCx dilakukan penilaian regional wall motion abnormality dan ketebalan dinding ventrikel kiri pada pemeriksaan ekokardiografi, dan penilaian area infark serta ketebalan dinding ventrikel kiri dari pemeriksaan MRI. Temuan regional wall motion abnormality diuji kesesuaiannya dengan temuan area infark di MRI menggunakan uji Kappa. Ketebalan dinding posterior ventrikel kiri dari ekokardiografi diuji kesesuaiannya dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri yang didapatkan dari pemeriksaan MRI menggunakan uji interclass correlation. Untuk perubahan ketebalan dinding ventrikel kiri diuji dengan ANOVA. Hasil: Perubahan LVPWd praligasi dengan pascaligasi memberikan hasil p = 0,703 yang menunjukkan tidak ada perubahan bermakna. Uji kesesuaian antara area regional wall motion abnormality dengan area infark memberikan hasil κ = 0,14 – 0,27 yang menunjukkan kesesuaian antara ekokardiografi dengan MRI masih kurang. Uji korelasi ketebalan dinding ventrikel kiri dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri memberikan hasil r = 0,573 dengan p = 0,029 yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ekokardiografi memberikan hasil yang sama dengan MRI. Simpulan: Terdapat penurunan nilai ketebalan dinding ventrikel kiri setelah 6-8 minggu pascaligasi LCx. Penggunaan ekokardiografi terbukti dapat memberikan keyakinan bahwa akan menunjukkan hasil yang sama dengan MRI dalam menilai ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Namun, dalam evaluasi area infark, hasil pemeriksaan ekokardiografi memiliki reliabilitas yang rendah dibandingkan dengan MRI. ......Background: In Indonesia, myocardial infarction accounts for most deaths, and require immediate diagnosis to determine the treatment. The diagnostic modalities used to evaluate myocardial infarction is echocardiography and MRI. The aim of this study is to evaluate the compability between echocardiography and MRI in evaluating myocardial infarction, and to evaluate the changes of left ventricular posterior wall thickness post infarction. Method : A total of 13 pig heart had their LCx ligated to make the infarct heart model. Echocardiography and MRI were performed after the ligation of LCx. The compability between regional wall motion abnormality found in echocardiography compared to infarct area found in MRI was tested using Kappa test. The compability between left ventricular posterior wall thickness obtained from the echocardiography and MRI was tested using interclass correlation. The changes of left ventricular posterior wall thickness was tested using ANOVA. Result: The changes of left ventricular posterior wall thickness value showed p value = 0,703 which means that there is no significant changes in left ventricular posterior wall thickness post infarction. The compability test using Kappa in comparing the regional wall motion abnormality with infarct area showed κ = 0,14 – 0,27, which means that the level of compability is low. The correlation test between left ventricular posterior wall thickness with the left ventricular posterior wall thickness showed r = 0,573 with p value = 0,029 which means that the echocardiography gave the same result with MRI. Conclusion: There is a decline in left ventricular posterior wall thickness value after 6-8 weeks post ligation. The use of echocardiography in evaluating myocardial infarction showed that the echocardiography gave the same result with MRI in the measurement of the left ventricular posterior wall thickness. However, echocardiography was not reliable compared to MRI in evaluating the infarct area.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aflah Dhea Bariz Yasta
Abstrak :
Latar belakang: Basis data bagian Bedah Jantung Anak RSPJNHK menunjukkan terdapat 133 pasien TGA IVS yang dilakukan ASO primer. Terdapat mortalitas tinggi yaitu 9% dibandingkan dengan mortalitas yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu 5%. Telah banyak penelitian yang memperlihatkan faktor risiko yang memengaruhi keluaran ASO primer pada TGA IVS late presenter, tetapi belum terdapat penelitian yang melaporkan keluaran prosedur tersebut di Indonesia. Jumlah kasus yang banyak di Indonesia dan tingkat mortalitas operasi yang masih tinggi menjadi alasan untuk mencari faktor risiko yang memengaruhi keluaran tersebut. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien TGA-IVS late presenter yang menjalani ASO primer pada tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK). Variabel yang dinilai meliputi faktor praoperasi seperti usia, indeks massa ventrikel kiri, diameter dinding posterior ventrikel kiri serta faktor intraoperasi seperti lama penggunaan CPB dan klem silang aorta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai hubungan faktor risiko tersebut dengan kejadian mortalitas dini. adjusted Odds Ratio (aOR) dinilai untuk mengidentifikasi seberapa besar pengaruh faktor risiko tersebut apabila faktor lain disamakan (adjusted) Hasil: Terdapat 88 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Median usia subjek adalah 7,2 (4-365) minggu. Kejadian morbiditas dini dialami oleh 11,7% subjek. Indeks massa ventrikel kiri merupakan faktor risiko independen yang memengaruhi keluaran mortalitas dini pasien TGA IVS late presenter yang menjalani ASO primer dengan nilai p = 0,003 serta aOR 14,02 (2,4-83,8). Lama penggunaan klem silang aorta dan mesin CPB memengaruhi keluaran mortalitas dini dengan nilai p 0,035 dan 0,011. Usia dan diameter dinding posterior ventrikel kiri tidak memengaruhi keluaran mortalitas dini pasien TGA IVS late presenter yang menjalani ASO primer. Kesimpulan: Indeks massa ventrikel kiri merupakan faktor independen yang memengaruhi mortalitas dini pada pasien TGA-IVS late presenter yang dilakukan ASO primer. Sedangkan lama penggunaan klem silang aorta dan lama penggunaan mesin CPB menjadi faktor risiko yang memengaruhi mortalitas dini untuk ASO primer pada Transposition Great Arteries–Intact Ventricular Septum late presenter. ......Background: The Pediatric Cardiac Surgery database of RSPJNHK showed that there were 133 TGA-IVS patients who underwent primary ASO. There was a high mortality rate of 9% compared to the previously reported mortality rate of 5%. There have been many studies showing risk factors affecting the outcome of primary ASO in TGA IVS late presenters, but there are no studies reporting the outcomes of the procedure in Indonesia. The large number of cases in Indonesia and the high operative mortality rate are the reasons to search for risk factors affecting the outcomes. Methods: This study was a retrospective cohort study involving the Primary Arterial Switch Operation for Late Presentation of Transposition of the Great Arteries With Intact Ventricular Septum between 2015 and 2022 at Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK). The variables assessed included preoperative factors such as age, left ventricular mass index, and left ventricular posterior wall diameter, and intraoperative factors like the duration of CPB use and aortic cross-clamp time. Bivariate and multivariate analyses were conducted to evaluate the association of these risk factors with the incidence of early mortality. The adjusted Odds Ratio (aOR) was calculated to determine the extent of influence these risk factors had when other variables were controlled for. Results: A total of 88 subjects were included in this study. The median age of the subjects was 7.2 (4-365) weeks. Early morbidity events were experienced by 11.7% of subjects. Left ventricular mass index was an independent risk factor affecting early mortality outcomes of late presenter TGA IVS patients undergoing primary ASO with a p value = 0.003 and aOR 14.02 (2.4-83.8). Length of use of aortic cross clamp and CPB machine influenced early mortality outcomes with p values of 0.035 and 0.011. Age and left ventricular posterior wall diameter did not affect early mortality outcomes of late presenter TGA IVS patients undergoing primary ASO. Conclusion: Left ventricular mass index, is an independent risk factor that affect early mortality of patient with TGA-IVS late presenter underwent primary ASO. While duration of aortic cross clamp use, and duration of CPB machine use are risk factors that affect early mortality of the Primary Arterial Switch Operation for Late Presentation of Transposition of the Great Arteries With Intact Ventricular Septum.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chaisari Maria M. Turnip
Abstrak :
Latar belakang: Anomali Ebstein membutuhkan tindakan pembedahan sebagai tata laksana definitif. Pilihan tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular (1 1⁄2 ventrikel dan univentrikular). Saat ini belum didapatkan algoritma dan faktor prediktor pemilihan tindakan pembedahan yang mencakup seluruh usia. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien yang menjadi faktor prediktor dalam pemilihan tindakan pembedahan pada penderita anomali Ebstein dan keluarannya. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan data yang diambil secara total sampling dari pasien anomali Ebstein yang menjalani operasi di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sejak Januari 2010–Desember 2023. Variabel bebas yang diteliti adalah usia, aritmia, fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, cardiothoracic ratio, jarak pergeseran daun katup septal trikuspid, dan skor GOSE, yang distratifikasi berdasarkan tindakan pembedahan yang dilakukan berupa perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular terhadap variabel dependen berupa mortalitas. Hasil: Sebanyak 83 subjek dalam penelitian ini, 43 (51,8%) subjek menjalani perbaikan biventrikular dan 40 (48,2%) subjek menjalani perbaikan nonbiventrikular. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian mortalitas di kedua kelompok perbaikan (p = 0,127). Pada kelompok yang menjalani perbaikan biventrikular, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada subjek yang mengalami disfungsi ventrikel kanan (p = 0,045, RR 5,1, IK 95%: 1,29-20,45), skor GOSE tinggi (p = 0,042, RR 5,17, IK 95%: 1,08-24,61), dan rerata jarak pergeseran daun katup trikuspid lebih tinggi (p = 0,014) dengan kejadian mortalitas. Pada kelompok yang menjalani perbaikan nonbiventrikular, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada seluruh variabel yang diteliti terhadap kejadian mortalitas. Nilai titik potong jarak pergeseran daun katup trikuspid untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular adalah 43,5 mm/m2, dengan sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 94,6%. Simpulan: Jarak pergeseran daun katup septal trikuspid berhubungan dengan risiko kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular dan didapatkan nilai titik potong yang baik untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular. ......Background: Ebstein anomaly require surgical intervention as definitive treatment. The option for surgical intervention are biventricular repair and non-biventricular repair (one and half ventricle and univentricular). Currently, there is no algorithm and predictors in choosing surgical intervention that could be applicable in all range of age. Purpose: To identify patient characteristics that can be used as predictors in choosing surgical intervention in Ebstein anomaly and its outcome. Methods: Retrospective cohort study with total sampling of patients with Ebstein anomaly undergoing surgical intervention at National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 2010 until Desember 2023. Independent variables studied were age, arrythmia, right ventricle function, tricuspid regurgitation, cardiothoracic ration, tricuspid septal leaflet displacement, and GOSE score, which were stratified based on the surgical intervention of biventricular or non-biventricular repair, and the dependent variable was mortality. Result: Out of 83 subjects included in this study, 43 (51.8%) subjects underwent biventricular repair and 40 (48.2%) subject underwent non-biventricular repair. No statistically significant difference were found associated with mortality in both surgical repair group (p = 0.127). In biventricular repair group, subjects with right ventricle dysfunction (p = 0.045, RR 5.1, 95% CI: 1,29-20,45), high GOSE score (p = 0.042, RR 5.17, 95% CI: 1,08-24,61), and higher mean of tricuspid septal leaflet displacement (p = 0,014) has statistically significant association with incidence of mortality. In non- biventricular repair group, all variables have no statistically significant association with incidence of mortality. Tricuspid septal leaflet displacement cut-off point value of 43.5 mm/m2 is best to predict the occurrence of mortality in biventricular repair, with 83.3% sensitivity and 94.6% specificity. Conclusion: Tricuspid septal leaflet displacement was associated with the occurrence of mortality in biventricular repair and good cut-off point value was obtained to predict mortality in biventricular repair.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library