Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cicilia Sulastri
Abstrak :
Salah satu tujuan dari penggantian dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peningkatan efektivitas penegakan hukum lingkungan. Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup, sampai saat penelitian ini dilakukan, efektivitas penegakan hukum lingkungan di DKI Jakarta belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut: 1. Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan melalui sarana administratif maupun keperdataan di Propinsi DKI Jakarta kurang didayagunakan sehingga memberikan peluang untuk didayagunakannya instrumen penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan terhadap pelaku pencemaran lingkungan; 2. Penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan kurang didayagunakan. Indikator dari hal ini terlihat dari: a. Dari 32 pengaduan kasus pencemaran lingkungan yang diajukan kepada Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta dan BPLHD Kotamadya Jakarta Barat, Utara, Pusat, Timur selama Tahun 2001 tidak ada satu kasuspun yang ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum pidana (Laporan Program Penegakan Hukum Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Tahun 2002); b. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai digantikannya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai sekarang (21 tahun), hanya 2 kasus pencemaran lingkungan di Propinsi DKI Jakarta yang diproses melalui penegakan hukum pidana; c. Kondisi kualitas lingkungan (misalnya air sungai) di Propinsi DKI Jakarta tidak membaik tetapi makin memburuk, misalnya kualitas sungai di Jakarta pada Tahun 2000 lebih buruk dari pada kualitas air sungai di Jakarta Tahun 1995 (Laporan Prokasih DKI Jakarta Tahun 1995 dan Tahun 2000). Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan timbul dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di propinsi DKI Jakarta berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997; 2. Faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di Propinsi DKI Jakarta. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, maka penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Mengetahui pengertian penegakan hukum lingkungan, pengertian, ruang lingkup dan pelaksana penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan serta teori-teori yang mendukung mengenai indikator efektivitas penegakan hukum pidana dan faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup. 2. Menentukan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang akan diteliti, penentuan lokasi penelitian, menentukan responden penelitian secara purposif, menyusun pedoman wawancara, melakukan penelitian awal, memperbaiki pedoman wawancara, melakukan penelitian lapangan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan responden, membaca data dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya dan UD. Kurnia. Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk menguji pendugaan mengenai perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode analisis komparatif bertahap dan Penjumlahan (Scoring) yang didukung dengan penggunaan simbol (+) dan (-). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: 1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 ( kasus Munjul) lebih efektif dibandingkan dengan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 (kasus PT. Menara Jaya) , yaitu dengan kategori cukup efektif dengan jumlah 5 simbol (+) atau 55,6% dan kategori kurang efektif dengan 3 simbol (+) atau 33,3%. Adapun 4 indikator dari efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup adalah kasus ini adalah: a).Pendayagunaan instrumen penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup; b).Kelancaran proses penegakan hukum pidana; c).Pelaksanaan penegakan hukum pidana dan dampaknya pada peningkatan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; dan d).Dampak pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup. 2. Penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya kurang efektif . Hal ini ditunjukkan dengan indikator: a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan; b). Proses penegakan hukum pidana selesai, tetapi kurang lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup; c). Putusan pengadilan tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran. 3. Penegakan hukum pidana terhadap UD. Kurnia (kasus Munjul) cukup efektif, hal ini ditunjukkan dengan indikator: a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana telah digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan; b). Proses penegakan hukum pidana selesai, cukup lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup; c). Putusan pengadilan sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran. 4. Faktor Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan yang terdiri dari sub-faktor Kapasitas Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Komitmen Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum dan antara Aparat Penegak Hukum dengan Instansi Teksnis Terkait merupakan faktor (sub-sub faktor) signifikan yang mempengaruhi kurang efektivitas penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya (kasus PT. Menara Jaya) dan terhadap UD. Kurnia (Kasus Munjul), yaitu memiliki angka signifikasi terbesar yaitu 88,3% dan 75%. 5. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus PT. Menara Jaya adalah Faktor Peran Kontrol Legislatif dan Masyarakat dan Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi 50%, disusul dengan Faktor Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya yaitu dengan angka signifiknasi 33,3% dan yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%. 6. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus Munjul adalah Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi pengaruh sebesar 50%. Berikutnya secara berurut adalah Faktor Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya serta Faktor Peran Pengawasan Masyarakat dan Legislatif dengan angka signifikasi pengaruh 33,3% dan 25%. Selanjutnya yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%. ......An objective of alteration of Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment by Act Number 23 of 1997 concerning The Management of Living Environment is to improve effectiveness of environmental law enforcement. According to the monitoring of Ministry of Environment, until right now implementation of environmental law enforcement in Province of Jakarta is uneffective. As shown by following indicators: 1. 32 cases environmental complaints to Environmental Management Agency of Province of Jakarta and Environmental Management Agency of West, Central, North, East and south Jakarta in 2001, were not handled by criminal law enforcement; 2. Since of enactment Act No.4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment until changed by Act No23 of 1997 concerning The Management of Living Environment until right now (21 years), only 2 environmental pollution cases which be handled by Criminal Law Enforcement: 3. Environmental condition (air, water dan land) in Province of Jakarta in 2000 more bad than environmental condition of Jakarta in 1995 (Report of Prokasih Programme of 1995 and 2000). According of above condition, the problems that rised in this research are: 1. How are the comparation of effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Province of of Jakarta based on Act Number 4 of 1982 with based on Act Number 23 of 1997; 2. What are significant factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Jakarta Province. To answer the research questions, the research is conducted by following processes: 1. To understand the meaning of environmental law enforcement, definition, scopes and actors of environmental law enforcement by criminal sanction and theories of the effectiveness and significant factors that influences of the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters. 2. To determinate environmental pollution cases that be researched, to determinate of research location, to determinate the purposive repondent, to create the guidelines of interview, act the preliminary research, to improve the guidelines of interview, act the field research by qualitative methodology by dept interview with respondents, read of data and documents linked with the implementation of criminal law enforcement for PT. Manara Jaya and UD. Kurnia. The above actions be done for examine the hypothesis of comparation of the effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment and Act Number 23 of 1997 concerning The Management of The Living Environment. 3. The collected data will be analysed descriptively by The Stage Comparation Analysis Methodology and Scoring that use symbol (+) and (-). According of the result of the data analysis, it can be concluded that: 1. The effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 23 of 1997 (a case study UD.Kurnia) is more effective than the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters based on Act Number 4 of 1982 (a case study PT.Menara Jaya), with sufficiently effective category with 5 symbol (+) or 55,6,3% and lack of effective with 3 symbol (+) or 33,3%. Four (4) of indicators are: a. Use the instrument of crminal law enforcement for environmental polluters; b. The fluent the process of criminal law enforcement; c. Implementation old criminal law enforcement and its impact for the improvement of the compliance of environmental regulation; and d. The impacts of implementation of criminal law enforcement for the improvement of environment quality. 2. Criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are lack of effective. As shown by indicators: a). Responsibility of officials to handle the received public complaints officials is indolent, the instrument of Criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim; b). The process of criminal law enforcement has finished, but lack of fluent, timely as well as environmental technics; c). Court decision are not suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance; d). Implementation of criminal law enforcement has improved environmental quality in the criminal law location. 3. Criminal Law Enforcement for UD. Kurnia (Munjul case) is sufficiently effective. As shown by following indicators: a). Responsibility of officials to handle the received public complaint is indolent, instrument of criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim; b). The Process of criminal law enforcement has finished, sufficiently fluent, timely as well as environmental technics; c). Court decision are suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance; d). Implementation of criminal law enforcement has not improved the environmental quality in the criminal law location. 4. Factors of The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus , which consist of sub factors of the The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus capacity and commitment and coordination among the Law Enforcement Apparatus and between The Law Enforcement Apparatus with The Relevanced of Technical Agencies are the significant factors that influences effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya (PT. Menara Jaya case) and UD. Kurnia (Munjul case), that has biggest signification cipher of 88,3% and 75%. 5. The next factors that sufficiently significant influences the effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are Control Role of Public and Legislative and Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 4 of 1982 and The Relevant Regulations Factors and Tools and Facilities Factor with signification chipper 33,3% and 20%. 6. The next factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for UD. Kurnia are Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 23 of 1997 and the Relevant Regulations and Tools and Facilities with signification chipper of 33,3% and 25% and Control Role of Public and Legislative Factor with lowest signification chipper of 20%;
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanty Selviany
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnani
Abstrak :
Ekosistem mangrove dicirikan sebagai daerah yang mempunyai sikius nutrisi yang cepat dan produktifitas yang tinggi, sehingga ekosistem mangrove dianggap sebagai penyedia nutrisi bagi kontinuitas sebagian besar energi yang diperlukan oleh berbagai biota aquatik di ekosistem pantai. Beberapa tahun belakangan inl luasan hutan mangrove di Pulau Muna semakin berkurang, disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan menjadi tambak disamping eksploitasi kayu mangrove untuk berbagai peruntukan. Kekayaan alam yang terkandung di wilayah pesisir telah dimanfaatkan secara intensif memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Karena pada dasarnya tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memelihara dan meningkatkan kondisi sumberdaya alam yang menjadi pendukung kehidupan bagi masyarakat. Tetapi karena sifat sumberdaya ini yang open access, maka eksploitasi sumberdaya lebih banyak memberikan keuntungan kepada individu yang memiliki modal. Masyarakat nelayan di Kabupaten Muna adalah masyarakat nelayan dengan pendapatan yang relatif rendah, yang hidupnya sangat tergantung dari pemanfaatan sumberdaya di sekitamya. Belakangan, pekerjaan nelayan ini tidak lagi memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup mereka secara layak karena dominasi pemodal tersebut. Alih fungsi yang dilakukan secara berlebihan disebabkan karena tidak adanya nilai fungsional yang memadai terhadap sumberdaya, sehingga nilai total sumberdaya menjadi berkurang. Nilai fungsional ini dapat berupa barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh sumberdaya. Selanjutnya, karena nilai-nilai fungsional sumberdaya seperti halnya ekosistem mangrove, tidak mempunyai harga pasar yang dikembangkan maka konsekuensinya nilai total sumberdaya tersebut kurang dihargai. Upaya pengelolaan pesisir yang terpadu memerlukan kerjasama berbagai stakeholder mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi hasil perogram yang didasarkan pada suatu prinsip berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu alat (tool) yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan segenap kebijakan secara tepat dan tidak memerlukan waktu yang lama. Alat yang dimaksud adalah Decision Support System. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dirumuskan permasalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana keadaan ekologi ekosistem mangrove di Pulau Muna Barat Laut? 2. Bagaimana manfaat ekologi, ekonomi dan sosial yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove? 3. Bagaimana mengarahkan pemanfaatan ekosistem mangrove ke arah pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan? Tujuan utama penelitian ini membangun suatu Decision Support System berdasarkan pemanfaatan sumberdaya mangrove yang sekarang berlangsung di Pulau Muna. Selanjutnya diharapkan akan diperoleh suatu model kebijakan yang dapat memanfaatkan sumberdaya mangrove secara berkelanjutan. Penelitian ini bersifat deskriptif, yang menggambarkan pole pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove dan dampaknya terhadap ketersediaan sumberdaya mangrove. Pendekatan yang dilakukan adalah gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian ex post facto dan survey. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk pemecahan masalah digunakan pendekatan secara deskriptif berdasarkan output simulasi model. Pendekatan analisis ini dilakukan untuk melihat kecenderungan pola pemanfaatan sumberdaya mangrove yang ada di lokasi penelitian serta memprediksi trend yang dapat dihasilkan selama tahun simulasi yaitu 50 tahun (1997-2047). DSS pada dasarnya adalah alat yang membantu pengambil keputusan dalam menetapkan keputusan, dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan yang terdapat pada daerah pesisir. Sistem ini menggunakan komputer sebagai motor penggeraknya dan memiliki sifat interaktif. DSS terdiri atas tiga bagian, yaitu subsistem data, model, dan dialog. Subsistem data memuat data yang diperoleh, balk data primer maupun data sekunder. Subsistem model, memodelkan data yang berasal dari subsistem data. Pendekatan model dilakukan untuk melihat interdependensi antara ekonomi, ekologi dan sosial pada suatu bentuk pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove. Permodelan ini menggunakan software Powersim, untuk merancang hubungan causal loop antar komponen dalam sistem yang ditelaah. Berdasarkan kondisi eksisting wilayah penelitian, maka dibuat hubungan sebab akibat variabelvariabel penyusun sistem. Selanjutnya adalah subsistem dialog adalah user interface yang memungkinkan pengguna dapat memanfaatkan informasi dari sistem yang dibangun. Berdasarkan simulasi model pemanfaatan sumberdaya mangrove, ditetapkan kebijakan dengan skenario: Menambah luasan mangrove dengan penanaman kembali lahan terbuka dan pengurangan sebagian tambak maupun penurunan tingkat pengambilan kayu mangrove. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Keadaan ekologi ekosistem mangrove di Pulau Muna Barat Laut masih baik. 2. Manfaat ekologi dari pemanfaatan ekosistem mangrove dapat diketahui berdasarkan hasil simulasi, jika pola pemanfaatan dipertahankan seperti saat ini, maka nilai ekologi akan menurun dengan berjalannya waktu. Manfaat sosial ekonomi yang diperoleh dengan pola pemanfaatan yang dijalankan saat ini, nilai ekonomi yang diperoleh sangat dominan namun ada tahun dimana manfaat ekonomi yang diperoleh adalah negatif. Untuk mengarahkan pemanfaatan ekosistem mangrove ke arah pengelolaan pantai yang berkelanjutan dapat diakomodir dengan membangun suatu Decision Support System dalam pengelolaan sumberdaya mangrove. DSS yang dibangun berdasarkan model simulasi dapat memberikan arahan kebijakan yang memungkinkan dilakukannya pemanfaatan yang berkelanjutan dan dapat membawa manfaat ekologi, ekonomi, dan social untuk jangka panjang.
Mangrove ecosystem is characterized as a region having fast nutrition cycles and high productivity. Mangrove ecosystem is considered as nutrition source for continuities of energy that much aquatic biota need. In the recent years, the width of mangrove forest in Muna Island was decreased, because of mangrove conversion to be fishpond, besides woods exploitation for many kinds of allocation. Natural resources abundant in coastal area, which have been used intensively, contribute to the community prosperity. Basically, the aim of coastal resources management is to increase community prosperity and protect natural resources, which support human living. Because of its characteristics as open access resources, the exploitation of natural resources is only beneficial for individual having capital. Fisherman in Muna Island is community with relatively low income, their life depends on resources around them. Lately, their income as fisherman doesn't guarantee their living any more because the domination of capitalist. Conservation which is done excessively due to improper functional value added to natural resources, cause total value of natural resources decreases. This functional value may be in the form of goods and environmental services. Furthermore, because functional values of resources as well as mangrove ecosystem do not have market price, the consequence is total values of resources become worth less. An integrated effort of coastal management needs cooperation with many stakeholders from the process of planning, implementation, and evaluation program, which is based on sustainable principle. There for, It needs a tool to help decision makers to determine brief and concise policy. This tool is Decision Support System. According to explanation above, the problem or research are formulated as follows: 1. How is the condition of mangrove ecological ecosystem in North West of Muna Island? 2. How is the benefit of ecological, social, and economics acquired resources of mangrove ecosystem? 3. How to direct utilization of mangrove ecosystem toward sustainable resources management? The aim of this research is to build the Decision Support System based on utilization mangrove resource existing in Muna Island. Furthermore the result is expected to find policy model that can utilize mangrove resource in sustainable way. This is descriptive research, which describes utilization mangrove ecosystem resources pattern and its impact on stock resources. This research also uses combination between qualitative and quantitative approach. Ex post facto and survey method are used in this research. The data is primer and secondary data. The analysis approach to solve the problem is descriptive approach, based on the output of simulation model. This analysis is done to get to know the tendency the mangrove resources utilization pattern in the location of research and predict resulted trend for 50 years simulation (1997-2047). Basically, DSS is a tool to help decision maker to determine decision in connection with the problems in coastal zone. This system uses computer as a main power, which has interactive character. It consists of three parts: data subsystem, model subsystem and dialog subsystem. Data subsystem accommodates primer and secondary data. Model subsystem models from data subsystem. Model approach is made to know interdependency among economic, ecologic and social on mangrove ecosystem resources management forms. This case we use Powersim software, to design causal loop among components on this system. Based on location of existing research are make variable system arrangement that build the system. The step is next, dialog subsystem which is user interface to use information from the system. Based on mangrove resources simulation model, policy is determined as follow: Adding the width of mangrove area by replanting or rehabilitating open area and decreasing part of fishpond and also declining exploitation of mangrove woods. The results of this research are: 1. Ecology of mangrove ecosystem in North West Muna is still in good condition. 2. Ecological benefit from using mangrove ecosystem resources can be seen from simulation model result. If exploitation pattern remains constant, ecological value will be decreasing over time. Social and economic benefit, acquired through this kind of exploitation pattern, makes the economical is value dominant, but there are years where economic benefit is negative. 3. To direct utilization of mangrove ecosystem toward sustainable coastal-zoned management, can use DSS on mangrove resources management. DSS is build based on simulation model that can direct policy to the possibility of sustainable exploitation, and also give added value ecologically, socially and economically for long term.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diarmila Tri Lestari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S25745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Redi
Abstrak :
Pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu kegiatan usaha yang menguras sumber daya alam yang begitu masif dan memiliki dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan yang tinggi. Sebagai upaya untuk mendorong akan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dapat dikendalikan agar terselenggaranya fungsi pelestarian lingkungan hidup maka dikenalkanlah kebijakan hukum instrumen ekonomi lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam undang-undang tersebut belumlah dianggap ideal bagi kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang berkelanjutan, sehingga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) diaturlah berbagai instrumen ekonomi lingkungan di sektor pertambangan mineral dan batubara, yaitu pengenaan royalti 0% (nol persen) bagi pelaku usaha pertambangan yang mengembangan dan memanfaatkan batubara, seperti untuk Dimethyl Ether (DME) dan Synthetic Natural Gas (SNG). Selain itu, diatur pula mengenai pengenaan pertambangan batubara sebagai barang kena pajak penghasilan (PPN) 10% (sepuluh persen). Penelitian ini melakukan kajian terdapat pelaksanaan kebijakan instrumen ekonomi lingkungan setelah ditetapkan UU CK dengan studi kasus di PT Bukit Asam Tbk. Tujuan penelitian ini ialah untuk menguji efektifitas kebijakan instrumen ekonomi lingkungan. Metode penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan analisis data deksriptif-analitis. Hasil penelitian ini pengenaan royalti 0% (nol persen) bagi pelaku usaha pertambangan yang mengembangan dan memanfaatkan batubara dan pengenaan pertambangan batubara sebagai barang kena pajak penghasilan (PPN) 10% (sepuluh persen) belum efektif, serta PT Bukit Asam hanya menerapkan sebagian instrumen ekonomi lingkungan model perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan, dan insentif/disinsentif. ......Mineral and coal mining is one of the business activities that drains natural resources so massively and has a high impact on environmental damage and pollution. In an effort to encourage mining and coal business activities to be controlled so that the function of environmental conservation can be implemented, a policy on environmental economic law instruments was introduced in Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management. However, the environmental economic instruments in the law are not yet considered ideal for sustainable mineral and coal mining business activities, so Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UU CK) regulates various environmental economic instruments in the mineral and coal mining, namely the imposition of a 0% (zero percent) royalty for mining business actors who develop and utilize coal, such as for Dimethyl Ether (DME) and Synthetic Natural Gas (SNG). In addition, it also regulates the imposition of coal mining as income taxable goods (VAT) 10% (ten percent). This study examines the implementation of the environmental economic instrument policy after the CK Law was enacted with a case study at PT Bukit Asam Tbk. The purpose of this study was to examine the effectiveness of the environmental economic policy instrument. This research method is a qualitative method with descriptive-analytical analysis of the data. The results of this study are the imposition of 0% (zero percent) royalties for mining business actors who develop and utilize coal and the imposition of coal mining as income taxable goods (VAT) 10% (ten percent) has not been effective, and PT Bukit Asam only applies some economic instruments. environmental development planning model and economic activity, environment, and incentives/disincentives.
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabukke, Monang
Abstrak :
Hutan Lindung Gunung sepang terancam punah, penebangan liar untuk penambangan liar dipandang sebagai penyebab proses kerusakan hutan. Dampak ekologi yang ditimbulkan dari penambangan timah ilegal dikawasan hutan lindung adalah terjadinya longsor, erosi, banjir, dan berkurangnya serta tercemarnya air tanah. Penelitian terhadap kerusakan hutan lindung ini adalah desa-desa di kecamatan Badau yang berdekatan langsung dengan Hutan Lindung Gunung Sepang serta Pemerintah daerah Kabupaten Belitung. Metode observasi secara langsung dan wawancara digunakan sebagai pendekatan dalam pengambilan data. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur terhadap komponen masyarakat setempat, aparat dinas kehutanan serta aparat pemerintah daerah serta kepolisian. Hasil penelitian dianalisa secara deskriptif kualitatif menggunakan rancangan alur pikir masalah. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat terjadinya pengrusakan hutan untuk penambangan liar yaitu: belum adanya kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, Masyarakat belum memiliki kesadaran hukum serta adanya keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi Pemerintah daerah telah melakukan himbauan, operasi pengamanan dan penjagaan, pengembangan ekonomi masyarakat melalui diversifikasi usaha, serta menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan. Permasalahan kerusakan lingkungan Hutan Lindung Gunung Sepang tidak bisa dibebankan hanya pada pemerintah, penyelesaian masalah tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab komponen masyarakat keseluruhan. Pihak yang peduli terhadap kondisi kawasan hutan lebih memusatkan pada tindakan yang bersifat edukatif dan persuasif kepada masyarakat sekitar. Hal ini tampak ditunjukkan oleh mereka dengan adanya program bina lingkungan. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah bertujuan untuk menguatkan kesadaran lingkungan masyarakat disertai kemandirian dalam mengatasi kebutuhan hidup. Evaluasi dan analisis dengan Pendekatan perencanaan pengelolaan lingkungan kawasan hutan memerlukan peranserta Pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Pemerintah daerah sebagai "pemberi contoh" diharapkan memiliki peran serta dalam penanganan dan pengembangan aspek perbaikan kondisi hutan, aspek perlindungan dan pengamanan, serta aspek pembinaan kesadaran lingkungan masyarakat. Seluruh peran serta harus bersifat koordinatif dan partisipatif dengan melibatkan semua pihak. Upaya penanggulangan dan pencegahan adalah dengan mengembalikan kawasan hutan lindung yang telah menjadi lahan tambang ke fungsi semula yaitu dengan cara penghijauan kembali bekerjasama dengan penduduk lingkungan sekitar dan instansi terkait antara lain perhutani, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. ......Hutan Lindung Gunung Sepang is in endangered, illegal logging for illegal mining is seen as a cause of forest destruction process. Ecological impacts arising from illegal mining area of protected forest is the occurrence of landslides, erosion, flooding, and reduced soil and water contamination. Research on the damage these protected forests are villages in the district Badau directly adjacent to Hutan Lindung Gunung Sepang in Bangka Belitung Province. Method of direct observation and interviews are used as an approach to data retrieval. Conducted unstructured interviews to the components of local communities, forest service officials and local government officials and police. The results were analyzed in a descriptive qualitative study using a design mindset problem. There are at least three factors that make the destruction of forests to illegal mining, namely: lack of awareness to preserve the environment, local people do not have the legal awareness and the desire to earn higher incomes. The local government has made an appeal, security operations and maintenance, community economic development through business diversification, as well as set policy in the form of regulation. Problems of environmental degradation Sepang Mountain Forest Preserve can not be charged only on the government, solving the problem is the duty and responsibility of the whole society components. Parties concerned with the condition of forests is more focused on action that is instructive and persuasive to the surrounding community. This seems indicated by their environment with the development program. The approach taken by the local government aims to strengthen environmental awareness with community self-reliance in addressing the needs of life. Evaluation and analysis of the environmental approach to forest management planning requires the participation of regional governments and local communities. Local government as 'giver example' is expected to have participation in management and development aspects of the improvement of forest conditions, protection and security aspects, as well as fostering awareness of environmental aspects of society. The entire participation must be coordinated and participatory by involving all parties. Mitigation and prevention efforts is to restore a protected forest which has been a land mine to the original function is by way of reforestation cooperates with the surrounding environment and related agencies, among others perhutani, local governments, and local communities.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T30244
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library