Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Solihat
Abstrak :
Disertasi ini membahas tindakan migrasi dan presentasi identitas tiga kelompok Turki yang beraktivitas transnasional, yaitu kelompok Gulen, kelompok Suleymaniyah, dan kelompok Said Nursi. Aktivitas transnasional ketiga kelompok ini menunjukkan fenomena eskalasi dan proliferasi migrasi, namun, tidak diiringi dengan perkembangan teori yang memadai. Teori migrasi masih didominasi oleh perspektif ekonomi dan politik, sehingga menggiring studi migrasi kepada kesimpulan migrasi sebagai problem. Penelitian ini bertujuan menjelaskan bahwa migrasi ketiga kelompok Turki ke Indonesia sebagai suatu proses transformasi sosial yang dipengaruhi oleh struktur dan melibatkan agensi para aktor di dalam mereproduksi kebudayaan. Penelitian ini merupakan studi etnografi yang diperkaya dengan studi sejarah. Data diperoleh observasi terlibat dan wawancara mendalam terhadap di ketiga kelompok Turki yang berada di wilayah sekitar Jakarta, yang berlangsung antara tahun 2013-2015. Selain itu juga data diperoleh melalui studi literatur terkait kondisi kultural historis aktor inspiratornya. Dara dianalisis dengan perspektif transnasionalisme dan konstruktivisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa migrasi tiga kelompok Turki merupakan model migrasi berbasis kultural. Identitas Turki tidak dipresentasikan secara tunggal dan statis. melainkan secara beragam dan dinamis, karena para aktor pada setiap kelompok pemahaman histori dan juga pengalaman berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang berbeda. ...... This dissertation discusses the practices of migration and identity presentation of three Turkish group in Jakarta, namely The Gulen 39 s Group, The Suleymaniyah Group, and The Said Nursi Group. Transnational activities of these groups show the escalation proliferation migration, however, theyare not accommodated with sufficient theories. The Theories of migration are still dominated by economic and political perspectives, leading migration towards a conclusion that migration is a problem. The research aims to explain that their migration to Indonesia is a social transformation process affected by structure, involving agency in reproducing culture. The data was obtained through participant observation and in dept interview with actors within the groups that live around Jakarta, conducted between 2013 2015, as well as through literature on the cultural history condition and actors inspiring the group. The data was analyzed with a perspective of transnationalism and constructivism. The result shows that Turkish migration is a migration model based on culture. The identity of Turkey is not represented as a singel and static, but diverse and dynamic, as a construction thet involves understanding of history and interaction experience with Indonesian societies.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
D2360
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Aris Miyati
Abstrak :
Taruna Akademi Militer di Lembah Tidar sebagai pemuda pilihan dari seluruh Indonesia, dididik selama empat tahun oleh Gadik dan Gapendik menjadi Perwira Letnan Dua Kecabangan TNI-AD dan D4 Pertahanan sebagai pengambil keputusan TNI dan Nasional. Budaya sipil dibentuk menjadi budaya Prajurit Perwira yang memiliki keunggulan fisik trengginas, mental akademik tanggap, sikap kepribadian tanggon, serta toleran terhadap keragaman budaya. Lulusan Akmil adalah model yang menjadi representasi keragaman budaya Bangsa, mereka menjalankan tugas pertahanan Negara ke berbagai wilayah Indonesia beradaptasi dengan budaya lingkungan tugas. Keseharian Taruna menyerap makna, situasi, proses dan konteks pendisiplinan norma Akmil secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut melalui Among Asuh, bekal tugas dalam memandang dunia pengabdian setelah mengalami dinamika kekuasaan di Padepokan Taruna. Pemikiran Michel Foucault tentang kekuasaan dan relasi kekuasaan, terpusat dan menyebar kesetiap tubuh Taruna, Gadik dan Gapendik direkam melalui metode etnografi: pengetahuan, pengelolaan mental, dan wacana yang didukung oleh panoptisisme, pengawasan ketat, modernitas, kongregasi dan kontestasi, dominasi dan resisitensi, bio-power, bio-sosial, dan bio-politik, membentuk sikap patuh, tunduk, taat aturan mengejawantah pada diri Taruna sebagai nilai yang suci, Taruna menjadi Polisi diri sendiri, siap sebagai Prajurit efektif Perwira TNI-AD. Sesanti Tidar: pendisiplinan pesan moral, nilai, dan etika, diinternalisasi melalui ide dan materi dalam proses ajeg (sustained); menjadi (being), model dari (model of), adaptasi linear (linear adaptation), serta Tri Marga Tidar, norma keseharian Taruna, baik dan aman bagi bawahan, rekan sejawat, dan atasan. Sebagai manusia kreatif, dalam situasi dan kondisi tertentu: proses menjadi cair (fluid), becoming dengan model for, adaptasi siklis spiral, mengakibatkan penghukuman menegakkan ciri kemiliteran: patuh, tunduk, taat aturan, disiplin, seragam, menegakkan hierarkhi, loyal, esprit de corps, dan kekhasan TNI: disiplin hidup, hati nurani, meredam diminasi, nilai TNI-45, manunggal TNI-Rakyat, dan perlawanan gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Cadets as selected youth from Indonesia regions are educated in four years by Instructors and Education Supporters resulted Second Lieutenant of Army Branches and Diploma four of Defense as State Sevices. Civil culture is formed becoming the officer soldier culture which poses excellent physical trengginas, mental academic tanggap, personality atitude tanggon, and tolerant to cultural diversity. The Military Academy Graduate could be sensitive as the implication of former local culture sediment, and after graduation they dedicate their duty to defense the State on many Indonesia areas and adapt to duty environment culture. This research provides a picture of Cadets daily life absorb the meaning, situation, process and context Military Academy norms by power relations with Instructors and Education Supporters through Among Asuh of Sesanti Tidar within the world devotion view after experiencing power dynamics in Cadets Padepokan. Power relations which are centered and capillary spread on the body of Cadets, Instructors and Education Supporters, recorded by ethnography method according to Michel Foucault thought which contained of knowledge, govern-mentality, and discourse, supported by panopticism, surveillance, modernity, congregation and contestation, domination and resistance, bio-power, bio-social, bio-politic. Sesanti Tidar as morals, values and ethics disciplined, internalized through idea and material of sustained procees, being, model of, linear adaptation, and Tri Marga Tidar, Cadets daily norms, good and secure for subordinates, peers, and higher positions. As creative human, in special situation and condition: the process becoming fluid, with model for, circles spiral adaptation, punishment effects to obey military identities: regulations, discipline, uniform, hierarchy, loyal, esprit de corps with TNI?s special values of: social relations, economic interest, makes account of conscience: domination neutralized, TNI-45 values, Manunggal TNI-people, experience of anti guerilla warfare of Panglima Besar General Soedirman.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
D1299
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Risma Margaretha
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari marginalisasi ulun Lampung. Sebagai etnik lokal, mereka kurang dihargai oleh pendatang. Di ranah eksternal, ulun Lampung mendapat stigma, karena berbagai tindakannya sering di luar konteks Piil Pesenggiri. Pada dasarnya, Piil Pesenggiri berhubungan dengan makna positif seperti keramahtamahan terhadap tamu, menjunjung martabat dan harga diri, namun sebaliknya yang tampil adalah kekerasan, malas, arogan dan tindakan lainnya yang dalam pandangan pendatang diasosiasikan dengan Piil Pesenggiri. Penelitian ini bertujuan menjelaskan strategi ulun Lampung dalam merevitalisasi nilai Piil Pesenggiri sebagai modal budaya dalam mempertahankan identitasnya dan kesetaraan dengan pendatang. Saat ini, mereka merevitalisasi kembali Piil Pesenggiri menjadi modal dan strategi untuk keluar dari dominasi pendatang dan mengubah stigma yang dilekatkan kepada mereka. Ulun Lampung menguatkan kesadaran kolektif untuk sejajar dengan pendatang melalui revitalisasi dan reartikulasi Piil Pesenggiri sebagai representasi identitas. Penelitian ini juga menemukan, bahwa reproduksi Piil Pesenggiri adalah bentuk resistensi terhadap ketidaksetaraan dengan pendatang, juga upaya ulun Lampung untuk diakui dan dihargai sebagai etnis lokal. Salah satu contoh adalah dengan menggelar begawi adok, yaitu ritual pemberian gelar kehormatan kepada orang luar (pendatang) sebagai tanda hubungan persaudaraan atau sebagai pertukaran.
This study begins from the marginalization of ulun Lampung. As a local ethnic group, they areunder-appreciated by outsiders or migrants coming to Lampung. In the external domain, ulun Lampung are stigmatized, because their actions are of ten not in line with Piil Pesenggiri context. Basically, Piil Pesenggiri is associated with positive characteristics such as such hospitality towards guests, keeping the dignity and self-esteem, but ulun Lampung appear to display violence, laziness, arrogance and other attitudes which are viewed by migrants to be associated with Piil Pesenggiri. This study aims to explain the strategy to revitalize PiilPesenggiri values of ulun Lampung as cultural capital in maintaining their identity and equality with the migrants. Currently, they are reviving Piil Pesenggiriinto capital and an exit strategy against the domination of the migrant sand are changing the stigma which has been attached to them. Ulun Lampung streng then their collective consciousness to stand at an equal position as the migrants through revitalization and re-articulation of Piil Pesenggirias the representations of their identity. The study also found that reproduction of Piil Pesenggiriis a form of resistance against inequality with the migrants and the effort of ulun Lampung to be recognized and appreciated as a local ethnic group. One example is they hold begawi adok, aritual of awarding an honorary degreeto outsiders (immigrants) as a sign of brotherhood or as an exchange.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Yvonne Triyoga Hoesodoningsih
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah untuk memahami kekuasaan yang implisit dalam politik ritual di Pondok Ranggon dikonstruksi oleh relasi dualitas pelaku seni pertunjukan dan pelaku ritual hajat bumi dengan struktur masyarakat Jakarta. Untuk dapat memahami kekuasaan itu bekerja, penelitian ini menggunakan metode etnografi yang dielaborasi dengan etnokoreologi Konstruksi kekuasaan pada penelitian ini bermuara pada transformasi dan komodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan transformasi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondelondel serta terdapat transformasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon meliputi ritual awal dan akhir dari Arak-arakan serta transformasi Baritan. Komodifikasi terjadi pada seni pertunjukan Topeng Betawi, seni pertunjukan Wayang Golek, seni pertunjukan Tanjidor, seni pertunjukan Ondel-ondel serta komodifikasi pada proses ritual hajat bumi Pondok Ranggon yang melingkupi Komodifikasi ruang sarana dan prasarana, Komodifikasi Panjat Pinang serta Komodifikasi Paradoks. Temuan penelitian ini memperkaya teori-teori strukturasi Anthony Giddens dengan memaparkan contoh kasus relasi dualitas pelaku dengan struktur, yaitu relasi dualitas pelaku seni pertunjukan serta pelaku ritual hajat bumi Pondok Ranggon dengan kondisi struktur masyarakat Jakarta yang mengkonstruksi kekuasaan. Temuan penelitian ini juga memperkaya pemahaman mengenai batas-batas dualitas, yaitu dengan menunjukkan bahwa relasi dualitas pelaku dengan struktur yang mengkonstruksi kekuasaan hadir dan sekaligus memproduksi transformasi dan komodifikasi.
This research focus to understand implicit power in ritual politic located in Pondok Ranggon constructed by duality relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society. To conceive how such power works, this research utilizes ethnographic method elaborated with etnochoreology. Power construction in this research results transformation and commodification. Research results show transformation in Topeng Betawi performing art, Wayang Golek performing art, Tanjidor performing art, Ondelondel performing art and also occurred in the Hajat Bumi ritual process including initial and the end of Arak-arakan also Baritan transformation. Commodification can be found in Ondel-ondel performing art along with Hajat Bumi ritual process Pondok Ranggon consist of Facility Room Commmodification, Panjat Pinang Commodification, and also Paradox Commodification. Research product enrich Anthony Giddens? structure theories with explaining an example of duality relation between actor and structure, in this case relation between performing art actor and Hajat Bumi ritual actor with structure of Jakarta society, constructing power. Result of this research enlighten also duality boundaries, specifically showing that duality relation between actor and structure constructing power exist and simultaneously producing transformation and commodification.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D2169
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
Abstrak :
Ontoteologi adalah musuh tradisional dari filsafat modern. Setiap filsafat muncul sebagai respon atasnya. Dalam disertasi ini, pemikiran Quentin Meillassoux yang adalah pelopor aliran realisme spekulatif menjadi obyek studi untuk direfleksikan kapasitasnya dalam menghalau metafisika ontoteologis. Ditunjukkan bahwa dalam seluruh prosedur pemikirannya mdash;postulasi problem, perumusan prinsip ontologis dan formulasi prosedur filsafat mdash;Meillassoux justru melakukan pengulangan ontoteologi ini dalam bentuknya yang disebut di sini sebagai ontoantropologi. Manusia anthropos , dalam filsafat Meillassoux, menjadi jangkar bagi ontologi itu sendiri. Dengan menggunakan psikoanalisis Jacques Lacan, disertasi ini memberikan kritik terhadap ontoantropologi Meillassoux. Pembahasan terbagi dalam tiga bagian besar. Pertama adalah pemaparan kondisi-kondisi institusional, sosial dan historis yang mana filsafat Meillassoux mengambil tempat. Bagian kedua merefleksikan postulasi ranah realitas obyektif, yang keberadaannya absolut dari pikiran manusia. Bagian ketiga mengevaluasi prinsip ontologis yang diformulasikan Meillassoux untuk memikirkan tentang realitas obyektif dan absolut ini. Selain refleksi kritis, penulis juga menawarkan sketsa kemungkinan solusi terhadap setiap manifestasi problem ontoantropologis Meillassoux. Akhirnya, disertasi ini berargumen bahwa problem ontoantropologis hanya bisa dipecahkan saat manusia-filsafat mengafirmasi kemungkinan bahwa kemanusiaannya berpotensi membatasi kapasitas filsafat dalam mengakses yang absolut, ketimbang mengabaikannya begitu saja sebagaimana yang dilakukan Meillassoux. ......Ontotheology is a traditional adversary of modern philosophy. Every brand new philosophy rises up as a response against it. In this dissertation, the thought of Quentin Meillassoux, a pioneer of recent new speculative realist, becomes the object of study to be reflected upon its capacity in overcoming ontotheological metaphysics. It is shown that in every of his thought procedure mdash postulation of problem, formulation of ontological principle, designation of philosophical procedure mdash Meillassoux is precisely repeating ontotheology in the guise of what to be called as ontoanthropology. Human anthropos , in Meillassoux philosophy, becomes the anchor for the ontology itself. By employing Jacques Lacan rsquo s psychoanaysis, this dissertation offers a critique of Meillassoux rsquo s ontoanthropology. The discussion is divided into three. The first describes institutional, social, and historical conditions under which Meillassoux rsquo s philosophy is taking place. The second part reflects on the postulation of the realm of objective reality, whose presence is absolute to human rsquo s mind. The third part evaluates the ontological principle formulated by Meillassoux to think about the objective and absolute reality. Besides a critical reflection, the author also offer a sketch of possibility of solution for every manifestation of Meillassoux rsquo s ontoanthropological problem. Finally, the dissertation argues that the problem of ontoanthropology can only be solved when the man of philosophy affirm the possibility that his humanity has the potential to limit philosophy rsquo s capacity in accessing the absolute, instead of just foreclosing it as Meillassoux does.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2243
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudolf Rahabeath
Abstrak :
Penelitian dengan subjek etnisitas ini hendak menegaskan bahwa isu etnisitas merupakan subjek yang penting dan urgen dalam studi antropologi. Selain fakta merebaknya konflik antar etnis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, namun studi-studi tentang relasi antar etnik mesti keluar dari jebakan romantisme dan atau pesimisme. Saya berargumen bahwa tiap-tiap etnis memiliki kekuatan dan kelemahannya, juga terdapat potensi transformatif dan destruktif dari struktur dan aktor di bidang keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan sosial politik. Relasi dan interaksi antar etnis turut memperkuat rasa keterhubungan sebagai salah satu elemen utama dalam merawat integrasi sosial. Melalui studi ini saya menunjukan bahwa relasi antar etnik yang terjadi di Maluku antar etnis Bugis dan etnis Ambon turut memberi pengayaan terhadap konsep teoretik relasi etnis juga memberi kontribusi signifikan bagi kebijakan sosial budaya dalam konteks masyarakat plural. Guna memperoleh data dan informasi yang valid terkait subjek penelitian ini maka observasi partisipatif, wawancara mendalam serta life history digunakan sebagai metode pengumpulan data. Riset dilakukan di pulau Ambon ditambah penelitian singkat di Bone dan Makasar yang bertujuan mengkonfirmasi data-data dan temuan riset di Ambon. Adapun subjek penelitian mencakup aktor negara, tokoh adat dan agama, pelaku ekonomi, pendidik serta masyarakat awam. Selain itu, riset ini diperkaya pula dengan telaah pustaka, khususnya sumber-sumber sejarah dan historitas etnis Bugis dan Ambon. Penelitian ini menemukan adanya diversitas kekayaan tiap-tiap etnis dalam interaksi dan relasinya pada ruang sosial. Etnis Bugis maupun masyarakat setempat (etnis Ambon) memiliki kemampuan artikulasi dan adaptasi serta strategi untuk menjadikan perjumpaan antar-etnis itu saling menguntungkan, walau bukan berarti tanpa ketegangan dan konflik sama sekali. Penelitian ini juga menemukan fenomena melemahnya pranata budaya lokal seperti Pela, peran negara yang ambigu serta kontribusi masyarakat sipil dalam transformasi sosial. Pada tataran masyarakat bawah (grassroots) terdapat dinamika kreatif yang berperan mentransformasi relasi antar etnis sehingga turut memperkuat kohesi sosial dan rasa keterhubungan antar etnis. Selain itu, studi ini berkontribusi teoretik terhadap konsep kelenturan relasi antar etnis dan menguatnya rasa keterhubungan antar-etnis di ruang pluralitas. ......This research on ethnicity aims to highlight that the issue of ethnicity is an important and urgent subject in anthropological studies. Apart from the fact that inter-ethnic conflicts have spread in various parts of the world, including in Indonesia, studies on inter-ethnic relations need to get out of the trap of romanticism and/or pessimism. I argue that each ethnic group has its strengths and weaknesses, as well as the transformative and destructive potential of structures and actors in the religious, economic, educational, and socio-political areas. Relationships and interactions between ethnic groups also strengthen the sense of connectedness as one of the main elements in maintaining social integration. This study shows that the inter-ethnic relations that occur in Maluku between the Bugis and Ambonese ethnic groups also contribute to the enrichment of the theoretical concept of ethnic relations and also make a significant contribution to socio-cultural policies in the context of a plural society. In order to obtain valid data and information on the subject of this study, participatory observation, in-depth interviews and life history were used as data collection methods. The research was carried out on the Ambon island, as well as a short study in Bone and Makassar aimed at confirming the data and research in Ambon. The research subjects include state actors, traditional and religious leaders, economic actors, educators, and common people. In addition, this research is also enriched with a literature review, especially historical sources and the history of the Bugis and Ambonese ethnic groups. This study finds the diversity of wealth of each ethnic group in their interactions and relationships in social space. Ethnic Bugis and local communities (ethnic Ambon) have articulation, adaptation capabilities, and strategies to benefit inter-ethnic encounters mutually. However, that does not mean without tension and conflict at all. This research also finds the phenomenon of the weakening of local cultural institutions such as Pela, the ambiguous role of the state, and the contribution of civil society in social transformation. At the grassroots level, there are creative dynamics that play a role in transforming inter-ethnic relations to strengthen social cohesion and a sense of inter-ethnic connectedness. Through this study, I show that the interethnic relationships that occur in Maluku between the Bugis and Ambonese ethnic groups have contributed to enriching the theoretical concept of ethnic relationships and contributing significantly to socio-cultural policies in the context of a plural society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Made Budiana Setiawan
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengenai konversi yang pada umumnya terjadi dari penganut agama-agama lokal ke agama-agama Samawi, karena mendapatkan legalitas dari negara. Namun pada komunitas Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung terjadi sebaliknya, berkonversi dari agama-agama Samawi ke ajaran Budaya Tirta. Meskipun demikian, ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu agama resmi menyebabkan komunitas ini memilih Hindu sebagai agama resminya. Sebagian lagi beradhesi, tidak mengubah identitas agamanya, namun tetap menjalankan ajaran dan praktik-praktik peribadatan dari ajaran Budaya Tirta. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, gejala sosial apakah yang dapat diketahui dari komunitas ini? Kedua, mengapa komunitas ini menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu. Ketiga, bagaimana ajaran Budaya Tirta dan agama Hindu saling terkait dalam memberikan fungsi psikologis bagi komunitas paguyuban ini? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ethos (etos) dan world view (pandangan hidup) dari Clifford Geertz, tahap-tahap konversi dari Lewis R. Rambo dan Charles E. Farhadian, dan rekacipta tradisi dari E.J. Hobsbawn dan Terrence O Ranger. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode participation observation (pengamatan terlibat), in-depth interview (wawancara mendalam), dan studi pustaka. Penelitian ini juga merupakan suatu bentuk ottoetnografi karena memakai pengalaman pribadi untuk menjelaskan kasus yang dipelajari oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas ini meskipun memeluk agama-agama Samawi, namun etos dan pandangan hidup dari agama lokal sebelumnya tidak hilang, yang “tersimpan” melalui kearifan lokal dan tradisi-tradisi Kejawen yang masih dilaksanakan oleh mereka. Komunitas ini juga menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu karena konsep etos dan pandangan hidupnya sejalan dengan ajaran Hindu. Dalam kaitannya dengan konsep pandangan hidup, pemahaman tentang Tuhan dalam agama Hindu bersifat pantheistik. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai etos merujuk pada sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia yang banyak menyerap unsur-unsur kepercayaan dan tradisi lokal Nusantara. Keterkaitan dengan sejarah perkembangan agama Hindu menyebabkan komunitas ini melakukan rekacipta tradisi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Hindu. ......This study starts from questions of conversion, that generally occurs from adherents of local religions to Samawi religions, which is supported by legality of government. But there is an opposite occurs for the community of Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung, which converting from Samawi religions to the teaching of Budaya Tirta. Nevertheless, the government's regulation that requires every citizen to embrace one of the official religions lead this community chose Hinduism as their official religion. Apart of them chose to adhesion, do not change their religious identity, but practice the teaching of Budaya Tirta worship. This statements raises several questions. First, what social phenomenons that can be seen from this community? Second, why does the community interprets the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism? Third, how the teaching of Budaya Tirta and Hinduism are intertwined in providing psychological function for this community? Theories that are used in this research, i.e.: ethos and world view of Clifford Geertz, conversion phases of Lewis R. Rambo and Charles E. Farhadian, and invented tradition of E .J. Hobsbawm and Terence O. Ranger. This study is a qualitative research. Techniques for data collection through method of observation participation, in-depth interviews, and literature study. This research is an ottoetnography too, because using personal experience of the researcher for explain the cases that studied. The result of this study shows that even the community embraced Samawi religions, but their ethos and worldview of the local religion had not previously lost, but "saved" through local wisdom and Kejawen traditions which are carried out by them. The community also interpret the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism because ethos and worldview of the teaching of Budaya Tirta in line with Hinduism. The linkage to the worldview is understanding of God in Hinduism is pantheistic. The linkage the ethos is refer to the historical of development of Hinduism in Indonesia, which absorb elements of local beliefs and traditions of the archipelago. The linkage to the historical of development of Hinduism lead this community doing invented tradition of religious that in accordance with Hinduism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Celerina Dewi Hartati
Abstrak :
Disertasi ini merupakan kritikan terhadap teori Emile Durkheim mengenai konsep sakral dan profan. Emile Durkheim melihat religi sebagai suatu bentuk dikotomi antara sakral dan profan dalam dimensi ruang dan waktu. Diskusi sakral dan profan selama ini senantiasa memperlakukan ruang dan waktu dalam analisis yang coextensive atau menyatu. Padahal dalam beberapa kebudayaan, pemisahan kedua hal tersebut yaitu antara ruang dan waktu sangat dibutuhkan dalam memahami konsepsi sakral, dan profan itu sendiri. Dalam kebudayaan Cina perlu adanya pemisahan ruang dan waktu dalam memperlihatkan yang sakral. Disertasi ini menunjukkan ruang sakral menjadi tidak sakral ketika tidak ada upacara dan dimensi waktu menentukan konsepsi sakral. Melalui dimensi waktulah, proses transformasi terjadi dengan mengubah yang profan menjadi sakral demikian juga sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian metode etnografi yang dilakukan di kelenteng Hok Lay Kiong, Bekasi. Teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pengamatan terlibat, dan pengamatan terhadap upacara-upacara seperti sembahyang ceit capgo, rangkaian upacara Imlek mulai dari upacara mengantar dewa dapur, upacara memandikan patung dewa, sampai dengan upacara Imlek, upacara Capgomeh, dan upacara ulang tahun dewa Hian Thian Siang Tee, yang merupakan dewa utama kelenteng. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap orang-orang kelenteng yang eliputi pengurus yayasan, pengurus kelenteng, medium, penjaga kelenteng, dan umat kelenteng. Dengan menganalisis upacara-upacara tersebut terlihat bagaimana konsepsi sakral terwujud dalam sebuah upacara dan dimensi waktu yang mengubah profan menjadi sakral. ......This dissertation is a form of criticism of Emile Durkheim’s theory of the concepts of the sacred and profane. Emile Durkheim perceives religion as dichotomy between the sacred and profane in the dimensions of space and time. The discussion related to the sacred and profane has always treated space and time in coextensive or unified analysis. Whereas in some cultures, the separation between space and time is needed to understand the concepts of the sacred and profane. In Chinese culture, it is necessary to separate space and time in showing the sacred. This dissertation presents that the sacred space is not sacred when there is no ceremony, and the time dimension determines the conception of the sacred. Through the time dimension, the process of transformation occurs by changing the profane into the sacred, and vice versa. This study uses ethnographic method conducted at Hok Lay Kiong Temple, Bekasi. The main data collection techniques used are involved-observation, and ceremonies observation such as the Ceit Capgo, Chinese New Year ceremonies ranging from accompanying the Kitchen God, bathing ceremony to god statues, to Chinese New Year ceremonies, Capgomeh ceremony, and the celebration of Hian Thian Siang Tee birthday. Indepth interviews were also conducted with the temple’s people including the foundation’s management, the temple administrator, the medium, the temple guards, and the temple community. By analyzing the ceremonies, it can be seen how the conception of the sacred occured, and the time dimension changes the profane into a sacred.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limbeng, Julianus
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang strategi bertahan seni pertunjukan Jaipong, yaitu Lingkung Seni Sinar Budaya di Bekasi. Jaipong sebagai sebagai sebuah seni pertunjukan Sunda yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki berbagai tantangan dalam kesinambungannya, khususnya di kota Bekasi, sehingga ada beberapa kelompok seni pertunjukan Jaipong yang mati. Namun ada juga yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun telah terjadi perubahan-perubahan disana. Lingkung Seni Sinar Budaya adalah salah satu kelompok seni pertunjukan Jaipong yang tetap hidup. Dari sisi historis, Jaipong memang telah memiliki pergeseran fungsi, baik dari sisi pertunjukannya sendiri maupun masyarakat pendukungnya. Sebuah kesenian yang lahir dan erat kaitannya dengan ritus pertanian (sakral), dimana sistem mata pencaharian masyarakat pada masa itu memang didominasi masyarakat agraris, menjadi kesenian yang erat hubungannya dengan fungsi hiburan (sekuler) dengan pendukungnya yang lebih spesifik yang disebut dengan Bajidor. Dari fungsi penghormatan kepada Dewi Sri (yang dianggap sebagai Dewi Kesuburan) hingga penghormatan terhadap nilai-nilai ekonomi atau fungsi-fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi dilihat sebagai faktor yang sangat penting dalam keberlangsungan seni pertunjukan Jaipong. Jika dilihat kaitannya seni pertunjukan tersebut dengan lingkungannya, maka faktor ekonomi dapat dilihat sebagai sebuah nilai baru yang kemudian dijadikan sebagai dasar seluruh aktivitas pelaku seni pertunjukan Jaipong. Faktor ekonomi ini pulalah yang kemudian mempengaruhi bentuk seni pertunjukan tersebut. Ketika seni pertunjukan tersebut dapat memberikan nilai ekonomi bagi para pelakunya, maka seni pertunjukan tersebut tetap dapat bertahan. Ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan tradisional pun sebenarnya telah masuk dalam ranah pasar. Ia dipandang sebagai sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif menangani masalah ekonomi rumah tangga. Namun dalam konteks Lingkung Seni Sinar Budaya, strategi bertahannya tidak hanya dilihat dari sisi perubahan seni pertunjukannya saja, tetapi juga dilihat bagaimana hubungan mutualisme simboiosis yang dilakukan dengan berbagai struktur sosial yang ada, dengan memanfaatkan faktor kelebihan dan kekurangan masing-masing.
ABSTRACT
This dissertation describe survival strategic performing arts of Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya Bekasi. Jaipong, who know Sundanese performing arts has been many challenges in his continuity, in case in Bekasi. Within the las ten years, several Jaipong group. However the Lingkung Seni Sinar Budaya could stay afloat with many changes. From the historical side, Jaipong have change of function, both from the side of his own (performing), as well as from the community supporters. Jaipong was born and intimately connected with the rite of agriculture, a rite that is considered sacred in peasant community, but now turned into common art, with supporters of a more specific who called Bajidor. The function of the veneration of the goddess, Dewi Sri, who is considered as the goddess of fertility, and now Jaipong respect for the value of economic value or economic function. Economy function is seen as a very important factor in the existence of the Jaipong, then the economic factors can be seen as new value, the value that affects the action of perpetrators. Economic factor that are the basis of managing the Jaipong as a performing arts. When the perfoming arts can provide economic impact for the its actor, the Jaipong can stay afloat. This shows that the traditional performing arts has entered the realm of the market. Jaipong viewed as a commodity of value economic, which can be used as an alternative to deal with the problem of household economy. In the Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya context, its survival strategy not only as seen from changes caused by economic factors only, but also how to relationship mutualisme symbiosis conducted with various social structures that exist in their environment. By leveraging the advantage and disadvantage of each to live in its environtment.
Depok: 2012
D1330
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Fajarini
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini menelaah mengenai ketaatan dan Coping Mechanism terhadap pembatasan gerak perempuan di rumah tangga. Para perempuan tersebut tergabung dalam Majelis Taklim Jam?iyyat al Nisa (MTJN). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan para perempuan ke MTJN untuk menghindar dari kehidupan rumah tangga yang menekan, bertemu dengan banyak teman yang senasib, dapat sharing, serta melakukan aktivitas yang ?menyenangkan? seperti ikut kampanye-kampanye parpol atau pilkada, mendapat baju muslim, piknik gratis serta bergosip yang terkadang menjatuhkan nama baik suami. Pergi ke MTJN tidak menyelesaikan masalah rumah tangga mereka, dan merekapun tidak ingin menggugat cerai, karena kondisi menjadi ?janda? mendapat stigma buruk atau cemoohan sosial di masyarakat Tangerang yang berbudaya patriarki. Sebagian besar jemaah menggunakan majelis taklim secara absah sebagai coping mechanism, pelepas penat dan stres yang diakibatkan oleh kehidupan rumah tangga budaya patriarki ? khususnya dalam hal hubungan suami-istri yang menekan.
ABSTRACT
This dissertation analyzes the obedience and coping mechanism under the restriction of women?s role in domestic sphere. These women are members of Jam?iyyat al-Nisa Assembly of Muslim (Majelis Taklim Jam?iyyat al-Nisa ? MTJN). This research is conducted using qualitative method, namely direct observation and in-depth interview. The result of the research shows that these women join MTJN to get away from their repressing domestic life, to meet friends with the same experience, to share their stories, and to do ?fun? activities like joining the campaign of political parties or local elections, getting Islamic clothing and free picnic, as well as gossiping which some times could lead to the embarrassment of their husband. Going to MTJN does not solve their problems, but they are not going to file for a divorce for afraid of the negative ?stigma? of becoming a widow or the social mockery which is common in the Tangerang patriarchal society. Most of Jam?iyyat al-Nisa members use the assembly of Muslim as their legitimate coping mechanism and stress release particularly in the subordinate husband-wife relationship.
Depok: 2012
D1342
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>