Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khaula Latifah Ramadhani Sahidah
Abstrak :
Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala. Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322. Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala. Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00 . Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV. Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP. Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB. ...... Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions. Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects. Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Siska Virgayanti
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang. Rekomendasi Global Alliance dalam penanganan AVS meliput antibiotik, asam retinoat, dengan atau tanpa BPO. Resistensi obat menjadi perhatian utama pada penggunaan antibiotik jangka panjang dalam terapi akne vulgaris sedang. Kombinasi antibiotik dan BPO direkomendasikan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada tipe kulit IV-V hiperpigmentasi pasca akne merupakan masalah yang sering dikeluhkan. Tujuan. Membandingkan efektivitas, efek samping dan kejadian hiperpigmentasi pasca inflamasi penggunaan BPO sebagai paduan terapi lini pertama AVS pada tipe kulit IV-V Fitzpatrick. Metode. Penelitian analitik dengan desaain uji klinis acak tersamar ganda membandingkan dua sisi wajah. Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah perlakuan diberikan gel BPO 2,5% sedangkan kelompok kontrol gel plasebo. Hasil. Pada minggu ke-2,4,6,8 didapatkan penurunan persentase total lesi sebesar 51,47%, 71%, 75%, 82,84% pada kelompok BPO dan 30%, 53,75%, 62,28, 71% pada kelompok plasebo (p<0,001 .) Efek samping dan kejadian HPI pada minggu ke 2,4,6 dan 8 tidak berbeda bermakna. Kesimpulan. Penggunaan BPO sebagai bagian dari paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, tidak meningkatkan efek samping ataupun kejadian HPI. Kata kunci. akne vulgaris, gel BPO 2,5%,
ABSTRACT
Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo. , Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo. ]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Lendl Prayogo
Abstrak :
Latar belakang: Neisseria gonorrhoeae (NG) telah mengalami resistensi terhadap berbagai antibiotik. Setidaknya sepuluh negara telah melaporkan kegagalan pengobatan gonore dengan extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Pengawasan berkelanjutan penting untuk menentukan pedoman pengobatan lokal. Tujuan: Mengetahui prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta serta mengidentifikasi berbagai faktor yang berhubungan. Metode: Sebuah penelitian dengan desain potong lintang dilakukan di Jakarta pada September hingga November 2018. Terdapat 98 laki-laki dan perempuan berisiko tinggi yang memenuhi kriteria penelitian. Sediaan duh tubuh diambil dari uretra atau serviks, disimpan di media transport, kemudian diantarkan ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI untuk biakan dan identifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode difusi cakram sesuai rekomendasi Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI). Hasil: Dari seluruh spesimen yang dibiakkan, 35 di antaranya menunjukkan pertumbuhan isolat NG. Prevalensi NG yang resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin, sefiksim, dan seftriakson pada kelompok risiko tinggi di Jakarta adalah 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Usia, orientasi seksual, riwayat konsumsi antibiotik, berhubungan seksual secara komersial, dan berhubungan dengan pasangan seksual dari luar kota tidak berhubungan dengan NG yang resisten terhadap levofloksasin. Kesimpulan: Tidak ditemukan isolat NG yang resisten terhadap sefiksim dan seftriakson. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sefiksim dan seftriakson efektif mengobati gonore di Jakarta. Tidak ada faktor yang berhubungan dengan resistensi pada penelitian ini. ......Background: Neisseria gonorrhoeae (NG) has developed resistance to various antimicrobials. At least ten countries have reported treatment failures with extended-spectrum cephalosporins (ESCs). Continuous surveillance is important to determine local treatment guideline. Objectives: To determine the resistance rates of NG to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, ceftriaxone among the high-risk population in Jakarta, and identify the associated factors. Methods: A cross-sectional study was conducted in Jakarta, Indonesia from September to November 2018. A total of 98 high-risk men and women fulfilled the studies’ criteria. The specimens were collected from urethral or endocervical swabs, put into Amies transport media, and then transported to the Laboratory of Clinical Microbiology Universitas Indonesia for culture and identification. Proven gonococcal isolates were examined for susceptibility to various antibiotics using the disk diffusion method according to Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) recommendation. Results: Among 98 specimens, 35 were confirmed to be NG. The NG resistance rates to penicillin, tetracycline, levofloxacin, cefixime, and ceftriaxone among high-risk population were 97,1%; 97,1%; 34,3%; 0%; 0%. Age, sexual orientation, history of antibiotic consumption, commercial sexual activities, and sexual activities with partners from other regions were not associated with the resistance to levofloxacin. Conclusion: No resistance to cefixime and ceftriaxone was reported. This finding indicates that they are still effective to treat gonorrhea in Jakarta. There were no associated factors identified in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59174
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Bianti
Abstrak :
Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik. Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7. Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman. Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7. ......Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity. Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7. Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis. Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024. Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricsia
Abstrak :
Latar belakang: Proporsi lansia diperkirakan akan terus meningkat. Salah satu masalah utama pada kesehatan kulit lansia adalah xerosis cutis atau kekeringan kulit. Tata laksana xerosis cutis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi dan menurunkan kualitas hidup lansia. Pelembap merupakan tata laksana utama xerosis cutis. Jarak waktu pemakaian ulang yang tepat berbagai jenis pelembap perlu diketahui dasar ilmiahnya. Tujuan: Mengetahui status hidrasi dan sawar kulit setelah aplikasi tunggal vaselin album, lanolin 7,5% dalam vaselin album, krim urea 10%, dan krim pelembap yang mengandung seramid pada lansia dengan xerosis cutis. Metode: Sebuah penelitian dengan pre dan post-experimental design, tersamar ganda pada lansia dengan xerosis cutis. Jumlah SP adalah 15 orang dan pemilihan SP dilakukan secara berurutan (consecutive sampling). Satu SP mendapat empat perlakuan, dua pelembap dioleskan di tungkai bawah kanan dan dua pelembap di tungkai bawah kiri. Penentuan lokasi pengolesan pelembap menggunakan metode randomisasi sederhana. Penilaian status hidrasi dan sawar kulit dinilai menggunakan skor SRRC sebelum dan 12 jam setelah pengolesan pelembap, sedangkan nilai SCap dan TEWL diperiksa setiap 3 jam selama 12 jam. Hasil: Terdapat penurunan skor SRRC yang bermakna 12 jam setelah pengolesan keempat jenis pelembap (p<0,001). Peningkatan tertinggi nilai SCap pada 3 jam setelah pengolesan vaselin album sebesar 12 AU (p<0,001) dan lanolin 7,5% dalam vaselin album sebesar 13,96 AU (p<0,001). Peningkatan tertinggi nilai SCap pada 6 jam setelah pengolesan krim urea 10% sebesar 14,43 AU (p<0,001) dan krim yang mengandung seramid sebesar 7,57 AU (p=0,002). Terdapat peningkatan nilai SCap yang bermakna sejak pada 3-12 jam pada seluruh kelompok pelembap. Penurunan bermakna nilai TEWL hanya pada 3 jam setelah pengolesan krim urea 10% sebesar 1,44 g/h/m2 (p=0,006). Kesimpulan: Terdapat perbaikan skor SRRC yang bermakna pada seluruh kelompok pelembap. Terdapat perbaikan nilai SCap yang bermakna sejak 3-12 jam setelah pengolesan keempat jenis pelembap. Penurunan bermakna nilai TEWL hanya terdapat pada 3 jam setelah pengolesan krim urea 10%. Berdasarkan hasil penelitian ini, jarak waktu ideal pemakaian ulang vaselin album dan lanolin 7,5% dalam vaselin album adalah setiap 3 jam, sedangkan jarak waktu ideal pemakaian ulang krim urea 10% dan krim yang mengandung seramid adalah setiap 6 jam. Dengan mempertimbangkan biaya dan efektivitas pelembap dalam meningkatkan hidrasi kulit, pengulangan pemakaian pelembap masih dapat dilakukan setiap 12 jam. ......Background: The proportion of elderly is expected to increase continuously. One of the main problems in elderly skin health is xerosis cutis. Inadequate management of xerosis cutis in the elderly can cause complications and reduce the quality of life. Moisturizers is the main management of xerosis cutis. The evidences base of the interval reapplication time in various types of moisturizers need to be known. Objectives: To determine the hydration and skin barrier status after a single application of vaseline albumin, lanolin 7.5% in vaseline album, urea 10% cream, and ceramide cream in elderly with xerosis cutis. Methods: This was a study with a pre and post-experimental design, double-blinded. A total of 15 elderly subjects with xerosis cutis were choosen with consecutive sampling. Every subject received four treatments, two moisturizers on the right leg and two moisturizers on the left leg. The location of moisturizers application was determined by using a simple randomization method. Assessment of hydration and skin barrier status was assessed using the SRRC score before and 12 hours after application, while the SCap and TEWL value were examined every 3 hours for 12 hours. Results: There was a significant decrease in SRRC scores 12 hours after application of all types moisturizers (p<0.001). The highest increase in SCap at 3 hours after the application of vaseline album was 12 AU (p<0.001) and lanolin 7.5% in vaseline album was 13.96 AU (p<0.001). The highest increase in SCap at 6 hours after the application of urea 10% cream was 14.43 AU (p<0.001) and ceramide cream was 7.57 AU (p=0.002). There was a significant increase of SCap from 3 to 12 hours in all four types moisturizers. The significant decrease in TEWL only at three hours after the use of urea 10% cream was 1.44 g/h/m2 (p=0.006). Conclusion: There was a significant decrease in SRRC scores in all four types of moisturizers. There was a significant increase in the value of SCap from 3 to 12 hours after application of all moisturizers. The significant decrease in TEWL was only 3 hours after application of urea 10% cream. Based on the results, the ideal reapplication time of vaseline album and lanolin 7.5% in vaseline album is every 3 hours, while for urea 10% cream and ceramide cream is every 6 hours. Considering the cost and effectiveness of moisturizers in hydrating the skin, reapplication of moisturizers every 12 hours still would be effective.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Azizah
Abstrak :
Servisitis klamidia masih menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan di Indonesia karena sulitnya diagnosis pasti klamidia. Pemeriksaan penunjang yang mudah dan murah dilakukan yaitu pewarnaan Gram namun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan baku emas adalah polymerase chain reaction (PCR) namun membutuhkan biaya mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap. Dibutuhkan sebuah tes cepat untuk mendiagnosis klamidiosis dengan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari pewarnaan Gram. Penelitian ini bertujuan menentukan nilai diagnostik dari QuickStripe™ Chlamydia rapid test (CRT) dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. Studi potong lintang ini melibatkan perempuan risiko tinggi, baik simtomatik maupun asimtomatik, yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya selama bulan Juni hingga Juli 2020. Apusan endoserviks diambil dari tiap subjek dengan urutan acak untuk pemeriksaan QuickStripe™ CRT, pewarnaan Gram, dan real time PCR. Sebanyak 41 subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Sensitivitas dan spesifisitas QuickStripe™ CRT pada penelitian ini adalah 73,6% (IK 95%: 48,80% sampai 90,85%) dan 81,82% (IK 95%: 59,72% sampai 94,81%), dengan nilai duga positif dan negatif sebesar 77,78% (IK 95%: 58,09% sampai 89,84%) dan 78,05% (IK 95%: 62,39% sampai 89,44%). Proporsi servisitis klamidia berdasarkan real-time PCR pada penelitian ini adalah 46,3%. Sebuah studi menyatakan bahwa penggunaan rapid test dengan sensitivitas suboptimal pada populasi risiko tinggi dapat meningkatkan angka pengobatan dibandingkan penggunaan baku emas yang membutuhkan kunjungan ulang agar pasien mendapatkan pengobatan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa QuickStripe™ CRT dapat menjadi alternatif dalam mendiagnosis servisitis klamidia pada perempuan risiko tinggi di Jakarta. .....Chlamydial cervicitis is one of health problems in Indonesia due to difficulty of definitive diagnosis for Chlamydia trachomatis. Gram staining is quick and affordable and usually done to make presumptive diagnosis despite its low sensitivity and specificity. Polymerase chain reaction (PCR) is considered gold standard but costly, technically demanding and difficult to be performed in low-resource settings. Thus, a rapid test with higher sensitivity and specificity is needed to aid chlamydial cervicitis. This study aims to determine the diagnostic value of QuickStripe™ Chlamydia rapid tests (CRT) in diagnosing chlamydial cervicitis among high-risk women in Jakarta. This cross-sectional study included symptomatic and asymptomatic high risk women in Balai Rehabilitasi Sosial Eks Watunas Mulya Jaya during June to July 2020. Endocervical swabs from each participant were taken for QuickStripe™ CRT, Gram staining, and real time PCR. A total of 41 participants were enrolled. The sensitivity and specificity for QuickStripe™ CRT were 73.6% (95% CI: 48,80% to 90.85%) and 81.82% (95% CI: 59.72% to 94.81%). Positive and negative predictive value were 77.78% (95% CI: 58.09% to 89.84%) and 78.05% (95% CI: 62.39% to 89.44%). Chlamydial cervicitis proportion based on real-time PCR was 46.3% in this study. A modelling study stated that a rapid test with suboptimal sensitivity in a high risk setting can improve rates of treatment compared to a gold standard test that requires return visits for patients to receive results and treatment. We concluded that QuickStripe™ CRT may become alternative diagnostic test among high-risk women in Jakarta.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Oktarina
Abstrak :
Peningkatan frekuensi penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan dengan sabun disinyalir menyebabkan peningkatan insidens dermatitis pada tangan. Tenaga nonmedis yang bekerja di rumah sakit juga mengimplementasikan hand hygiene secara rutin sehingga ikut mengalami peningkatan kejadian dermatitis pada tangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis dermatitis pada tangan tenaga nonmedis, derajat keparahannya, serta penggunaan hand sanitizer terhadap transepidermal water loss (TEWL) dan skin capacitance. Penelitian observasional dengan desain potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2022 di ruang penelitian kelompok staf medis (KSM) Dermatologi dan Venereologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Subjek dipilih berdasarkan kriteria penelitian dengan metode cluster random sampling. Identitas, data penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan, stigmata atopi, dan durasi dermatitis pada tangan didapatkan melalui anamnesis. Penilaian keparahan dermatitis pada tangan dilakukan dengan hand eczema severity index (HECSI). Pemeriksaan TEWL dan skin capacitance dilakukan dengan Tewameter® TM 300 dan Corneometer® CM 825. Analisis data dilakukan dengan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0. Terdapat masing-masing 24 subjek yang direkrut pada kelompok dengan dan tanpa dermatitis pada tangan. Berdasarkan karakteristik sosiodemografik dan klinis, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok kecuali frekuensi mencuci tangan dengan air dan sabun. Subjek dengan dermatitis lebih sering mencuci tangan dengan air dan sabun dibandingkan dengan subjek tanpa dermatitis (6 vs 4,5 kali/hari; p = 0,005). Proporsi kejadian dermatitis pada tangan pada tenaga nonmedis pengguna hand sanitizer adalah 10% dengan median durasi penyakit 22 minggu dan rerata nilai HECSI 9,25 ± 6,33. Tidak terdapat perbedaan TEWL dan skin capacitance yang bermakna kedua kelompok (p > 0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara TEWL dan skin capacitance dengan skor HECSI (p > 0,05). Mayoritas tenaga nonmedis yang mengalami dermatitis pada tangan memiliki derajat keparahan ringan. Kerusakan sawar kulit kemungkinan sudah terjadi akibat peningkatan praktik hand hygiene walaupun belum tampak gejala secara klinis sehingga tidak terdapat perbedaan fungsi sawar dan hidrasi kulit yang bermakna antara kelompok dermatitis dan kelompok tanpa dermatitis. ......Increased frequency of hand sanitizer use and washing hands with soap allegedly caused the increasing incidence of hand eczema (HE). Nonmedical personnel who work in the hospital also implement hand hygiene practices routinely so they also experience increased incidence of HE. This study aims to analyze the HE in nonmedical personnel, its severity, and the effect of hand sanitizer use on transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance. This observational cross-sectional study was conducted from July to September 2022 at the Department of Dermatology and Venerology, Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta. Subjects were recruited based on the study criteria with cluster random sampling method. Subject’s identity, data related to hand sanitizer use and hand washing, atopic stigmata, and duration of HE were documented through history taking. The severity of HE was assessed with hand eczema severity index (HECSI). TEWL and skin capacitance were measured with Tewameter® TM 300 and Corneometer® CM 825. Data were analyzed with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 21.0. Both HE and control groups consisted of twenty-four subjects, respectively. Based on sociodemographic and clinical characteristics, there was no significant difference between both groups, except for the frequency of hand washing. Subjects with HE washed hands more frequently compared to normal subjects (6 vs 4.5 times/day; p = 0.005). The proportion of HE incidence in nonmedical personnel using hand sanitizer was 10% with median duration of disease of 22 weeks and mean HECSI score of 9.25 ± 6.33. There was no significant difference of TEWL and skin capacitance between both groups (p > 0.05). There was no significant correlation between TEWL and skin capacitance with HECSI scores (p > 0.05). Majority of nonmedical personnel suffering from HE had mild severity. The disruption of skin barrier might have already occurred due to increased of hand hygiene practice although clinical symptoms had not become visible, leading to no significant difference of barrier function and skin hydration in both groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Clarissa Wiraputranto
Abstrak :
Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah peradangan kronik pilosebasea yang umum terjadi pada semua usia, terutama remaja dan dewasa muda serta dapat memengaruhi psikologis pasien. Tata laksana AV merupakan sebuah tantangan karena keberagaman dalam menentukan diagnosis dan pilihan terapi antar negara. Indonesia mempunyai beberapa pedoman tatalaksana AV yang mempunyai similaritas antara lain konsensus IAEM 2015, PPK Perdoski dan PPK RSCM di tahun 2017. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas terapi standar AV berdasarkan panduan praktik klinis di Indonesia. Metode: Penelitian merupakan studi observasional analitik secara retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medis tahun 2017-2019. Sampel penelitian merupakan rekam medis pasien AV baru yang diikuti selama 3 bulan dan dengan metode total sampling. Data subjek yang diambil termasuk karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, diagnosis, terapi berdasarkan PPK RSCM 2017, dan hasil terapi. Studi dan analisis dilakukan pada bulan April 2023 hingga Juli 2023. Hasil: Terdapat 131 SP yang memenuhi kriteria, 63,4% AV sedang, 20,6% AV ringan, dan 16% AV berat. Sebagian besar SP (92,4%) mempunyai AV dengan awitan sebelum usia 25 tahun. Median lama sakit AV yaitu 48 bulan. Riwayat terapi AV sebelumnya ditemukan pada 58% SP dan riwayat konsumsi obat akne pada 16% SP. Faktor risiko terbanyak berupa riwayat AV pada orang tua. Terapi utama paling banyak digunakan yaitu kombinasi retinoic acid, benzoyl peroxide, antibiotik topikal dan antibiotik oral pada 22,2% SP. Terapi standar AV secara bermakna menurunkan median jumlah lesi noninflamasi (25 vs. 8; p<0,001), median jumlah lesi inflamasi (10 vs. 2; p<001), median jumlah lesi total (41 vs. 10; p<0,001) setelah 3 bulan terapi, dengan median penurunan ketiga jumlah lesi lebih dari 50%. Proporsi derajat keparahan AV berbeda secara bermakna pada 3 bulan (p<0,001), dimana AV ringan meningkat (20,6% vs 93,1%) dan AV sedang atau berat menurun (sedang = 63,6% vs. 6,1%; berat = 16% vs. 0,8%). Kesimpulan: Terapi standar AV berdasarkan PPK di Indonesia efektif dalam mengurangi jumlah lesi noninflamasi, lesi inflamasi, dan lesi total, dan menurunkan derajat keparahan AV. ......Background: Acne vulgaris is a prevalent chronic inflammation of the pilosebaceous unit affecting all ages, especially teenagers and young adults, and often leads to psychological impairment. Management of acne vulgaris has been challenging due to various diagnostic parameters and treatment options across nations. Several treatment guidelines are available in Indonesia, of which have similarities among one another, such as consensus by Indonesian Acne Expert Meeting in 2015 and clinical practice guidelines by the Indonesian Society of Dermatology and Venereology and by Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017. Objective: This study aims to investigate the effectiveness of standard therapy for acne based on the clinical practice guidelines in Indonesia Methods: This is an analytical retrospective observational study using medical records from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital between 2017 – 2019. Research samples were medical records of new acne patients followed for 3 months by a total sampling technique. Extracted data included sociodemographic and clinical characteristics, diagnosis, and therapy based on the clinical practice guideline by Dr.Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in 2017 and the results. This study was conducted from April 2023 to July 2023. Results: There were 131 subjects included, of which 63,4% were with moderate acne, 20,6% with mild acne, and 16% with severe acne. Most participants (92,4%) experienced acne for the first time before 25 years old. The median duration from the first occurrence of acne to the visit was 48 months. History of topical and oral acne therapy was found in 58% and 16% of participants, respectively. History of acne in parents was the most reported risk factor. Most subjects (22,2%) received a combination of retinoic acid, benzoyl peroxide, topical antibiotic, and oral antibiotic. Standard therapies significantly reduced the median of non-inflammatory lesions (25 vs. 8; p<0,001), inflammatory lesions (10 vs. 2; p<001), and total lesions (41 vs. 10; p<0,001) after a 3 month-therapy, with the median of reduction for all type of lesions over 50%. The proportion of acne severity differed significantly after three months (p<0,001), with an increasing proportion of mild acne (20,6% vs 93,1%) and decreasing percentage of moderate and severe acne (moderate = 63,6% vs. 6,1%; severe = 16% vs. 0,8%). Conclusion: Standard therapy for acne vulgaris in clinical practice guidelines in Indonesia is effective for noninflammatory lesions, inflammatory lesions, and total lesions, as well as acne severity after 12 weeks.
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karin Rachmani
Abstrak :
Later belakang: Atlet renang berlatih di ruang terbuka terpajan sinar matahari dan dapat mengalami sunburn yang dapat dicegah dengan penggunaan tabir surya. Namun, aktivitas fisik dapat mengganggu efektivitas tabir surya, menurunkan kadar sun protection factor (SPF). Tabir surya diklasifikasikan menjadi inorganik dan organik. Tabir surya organik bertahan lebih lama, tetapi tabir surya inogranik memiliki spektrum luas, lebih fotostabil, dan jarang menimbulkan alergi. Tujuan: Mengetahui ketahanan SPF 30 tabir surya inorganik dan organik setelah digunakan berenang 1,5 jam. Metode: Penelitian merupakan uji klinis acak tersamar ganda dengan metode split body. Setiap subjek menerima dua perlakuan dengan randomisasi alokasi dan perlakuan. Perbedaan SPF kedua tabir surya dinyatakan tidak berbeda bila nilai p untuk uji berpasangan >0.05 dan batas atas interval kepercayaan tidak melebihi 4 SPF. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna SPF kedua tabir surya sebelum berenang (p=0,220). Setelah berenang, terdapat penurunan SPF tabir surya inorganik, median 27 (23-47) menjadi 12,3 (8-19); dan organik, median 30 (24-47) menjadi 9,9 (6-19) yang bermakna secara statistik (p<0.0001). Setelah berenang, terdapat perbedaan penurunan SPF kedua kelompok yang bermakna secara statistik (p=0,017). Kesimpulan: Terdapat penurunan SPF tabir surya inorganik dan organik setelah digunakan berenang 1,5 jam dengan ketahanan tabir surya inorganik lebih baik dibandingkan tabir surya organik. Background: Outdoor swimmers are exposed to sun exposure, causing sunburn which is preventable by using sunscreen. However, physical activities interfere with sunscreen efficacy, decreasing its sun protection factor (SPF). Sunscreens are classified as inorganic and organic. Organic sunscreen last longer, however, inorganic sunscreen is broad-spectrum, more photostable, and less allergenic. Objective: To determine SPF 30 persistence between inorganic and organic sunscreen after 1,5 hours swimming. Methods: This is a randomized, split-body, double-blind, clinical trial. Each subject received two treatments. Subject allocation and treatment were randomized. The difference between sunscreens SPF is no different if p-value for paired test is >0.05 and the upper limit of confidence interval do not exceed 4 SPF. Results: There was no significant difference between SPF before swimming (p=0.220). After swimming, there was a decrease in inorganic sunscreen SPF, median 27 (23-47) to 12.3 (8-19), and organic, median 30 (24-47) to 9.9 (6-19) which was statistically significant (p<0.0001). When compared, there was statistically significant difference in the decrease of SPF between the two groups (p=0.017). Conclusion: There is a decrease in SPF of inorganic and organic sunscreen after 1.5 hours swimming with a better persistence of inorganic sunscreen compared to organic sunscreen.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>