Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fathia Arsyiana
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui efektivitas terapi latihan berjalan pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) terhadap nilai skala borg dan jarak tempuh uji jalan enam menit
Metode: Disain penelitian ini adalah studi kuasi eksperimen (pre and post). Nilai skala borg diukur dengan skala numerik 6-20 untuk skala borg kelelahan dan 0-10 untuk skala borg sesak dan kaki lelah. Aktivitas penyakit LES diukur dengan Mex-SLEDAI. Latihan berjalan dilakukan secara bertahap 15, 20, 25, dan 30 menit, tiga kali perminggu selama delapan minggu. Nilai skala borg diukur setelah uji jalan enam menit pertama, setiap akhir minggu latihan, dan setelah uji jalan enam menit kedua. Jarak tempuh uji jalan enam menit dan Mex-SLEDAI diukur pada awal dan akhir penelitian.
Hasil : Dua puluh enam subyek penelitian usia 22 - 57 tahun dianalisa dalam penelitian ini. Rerata nilai jarak tempuh uji jalan enam menit awal adalah 364,35 + 64,45 meter, setelah dilakukan intervensi berjalan terdapat peningkatan rerata menjadi 374,04 + 68,62 meter (p=0,08, CI 95%). Secara statistik dengan uji berpasangan terdapat perbedaan bermakna pada minggu ke-6 dan ke-7 pada skala borg usaha dan kaki lelah, sedangkan pada skala borg sesak pada minggu ke-4 dan ke-5 (p<0,05). Nilai skala Borg uji jalan enam menit pada awal dan akhir latihan secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Nilai Mex-SLEDAI awal dan akhir latihan berjalan 84% tidak berubah.
Kesimpulan : Latihan berjalan secara bertahap aman diberikan pada pasien LES tanpa meningkatkan aktivitas penyakit.

ABSTRACT
The aim: To assess the effectiveness of walking exercise therapy in Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients in borg scale value and six minutes walking test (6MWT) distance.
Methods: The design of the study was quasi-experimental study (pre and post). Borg scale values were measured with 6-20 numerical scale for borg scale exertion and 0-10 for borg scale dyspneu and leg fatigue. SLE disease activity measured by Mex-SLEDAI. Walking exercises were given gradually for 15, 20, 25, and 30 minutes, three times per week for eight weeks. Borg scale values were measured after the first 6MWT, every end of the exercise week, and after the second 6MWT. The 6MWT distance and Mex-SLEDAI were measured at beginning and end of the study.
Results: Twenty-six subjects aged 22-57 were analyzed in this study. The mean value of 6MWT distance was 364.35 + 64.45 meters, after the intervention there was an increase in mean distance value into 374.04 + 68.62 meters (p = 0.08, CI 95%). Paired t test found statistically significant differences for borg scale of effort and leg fatigue at week 6 and 7, also borg scale dyspneu in week 4 and 5 (p <0.05). Borg scale score at 6MWT in the beginning and end of exercise was not statistically significant (p> 0.05). The Mex-SLEDAI values at beginning and end of exercise were 84% amd remain unchanged.
Conclussion: Gradually walking exercise in SLE was safely administered to patients without increasing the disease activity."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rigen Herpramasanti
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur, mengetahui adakah perbedaan rerata kemampuan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), dan melihat hubungannya dengan faktor-faktor ibu yaitu pendidikan ibu, ibu bekerja, jumlah anak dalam keluarga, riwayat pemberian ASI lebih dari 6 bulan, dan rentang waktu interaksi ibu dan anak.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Populasi terjangkau adalah anak riwayat lahir prematur yang terdata di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2009 sampai dengan 2010 dan anak riwayat prematur yang terdata di Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. Penilaian kemampuan bahasa dan kognisi dengan menggunakan Capute Scale CAT/CLAMS.
Hasil : Angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan adalah sebesar 25%. Terdapat kecenderungan nilai rerata kemampuan bahasa dan kognisi yang lebih rendah pada anak riwayat prematur BBSR dibandingkan BBLR, namun tidak signifikan (p>0,05). Faktor ibu yang memberikan hubungan yang bermakna adalah rentang waktu interaksi ibu dan anak, dimana didapatkan memiliki korelasi lemah terhadap kemampuan kognisi (r=0,275, p=0,04)
Kesimpulan : Kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan cukup besar, sehingga memerlukan perhatian khusus. Ibu dengan anak riwayat prematur hendaknya meningkatkan rentang waktu interaksi dengan anaknya untuk meningkatkan kemampuan kognisi pada anak.

ABSTRACT
The aim: To knew the prevalence of language and cognition problem in preterm children, to knew the difference in language and cognition acquitition between preterm children with low birth weight (LBW) and very low birth weight (VLBW), and to knew relationship with maternal factors are maternal education, working mother, number of chlidren, breast feeding for 6 months, dan length time of mother children interaction.
Methods: Study design was crosssectional. The population was preterm infant registered in Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak 2009 until 2010 and preterm children registered in Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. The tools used to measure language and cognition acquisition were Capute Scale CAT/CLAMS.
Results: The prevalence of language and cognition problem in premature children was 25%. There is a trend that language and cognition acquisition lower in premature children with VLBW than LBW, but not significant (p>0,05). Maternal factor that gave significant relationship only the length time of mother children interaction, with gave weak correlation with cognition acquisition (r=0,275, p=0,04)
Conclussion: The prevalence of language and cognition problem in preterm children was high, so should be gave close attention. Mother of preterm children shoould be increase the length time of interaction with her child to increase the child’s cognition"
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Amelia Chozie
"ABSTRAK
Hemartrosis berulang dan artropati merupakan morbiditas utama pada hemofilia A berat. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, terapi profilaksis dosis standar tidak terjangkau karena memerlukan biaya yang sangat mahal. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi profilaksis sekunder dosis rendah dibandingkan terapi on-demand pada anak hemofilia A berat.
Uji klinis acak terbuka selama 24 minggu telah dilakukan pada anak hemofilia A berat berusia 4?18 tahun dengan riwayat perdarahan sendi berulang, di Poliklinik Hematologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Subjek dialokasikan secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok profilaksis dan on-demand. Kelompok profilaksis mendapat terapi faktor VIII 10 IU/kgBB 2 kali seminggu, sedangkan kelompok on-demand mendapat terapi sesuai protokol standar. Luaran primer adalah kekerapan perdarahan sendi dan luaran sekunder adalah skor HJHS) dan skor ultrasonografi (HEAD-US). Penelitian ini juga membandingkan kadar CTX-II urin dan inhibitor faktor VIII (Bethesda Assay) pada kedua kelompok.
Sejak bulan Juni 2015?Februari 2016 didapatkan 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Kekerapan perdarahan sendi pada kelompok profilaksis (5 ± 4,3) lebih baik dari pada kelompok on-demand (8 (3?30)), IK95% 0.9?6.99; p = 0,009. Perubahan skor HJHS pada kedua kelompok menunjukkan perbaikan klinis pada kelompok profilaksis dan perburukan pada kelompok on-demand, walaupun tidak bermakna secara statistik (IK95% -0.99?3; p = 0,320). Skor HEAD-US kelompok profilaksis lebih baik dibandingkan kelompok on-demand (IK95% 2? 8,81; p = 0,003). Perubahan kadar CTX-II urin pada kedua kelompok berbeda bermakna (IK95% 2.777?16.742; p < 0,001). Tidak didapatkan subjek yang terbentuk inhibitor faktor VIII pada kedua kelompok selama penelitian.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terapi profilaksis sekunder dosis rendah efektif mengurangi kekerapan perdarahan sendi, memperbaiki skor HEAD-US dan kadar CTX-II urin, dibandingkan terapi on-demand.

ABSTRACT
Repeated joint bleeds leading to irreversible progressive joint damage (hemophilic arthropathy) is the main problem in children with hemophilia. Current standard prophylacytic treatment in developed countries is beyond our capability as Indonesia has constraint resources. This study aimed to investigate the efficacy and safety of low dose secondary prophylaxis compare to on-demand treatment in children with severe hemophilia A.
An open, randomized controlled trial was conducted on severe hemophilia A children aged 4?18 years in Pediatric Hematology-Oncology Division Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital for 24 weeks. Eligible subjects were randomized into 2 groups: prophylaxis and on-demand group. All subjects were evaluated at week-0 and week-24 for inhibitor factor VIII (Bethesda Assay), ultrasonography (HEADUS scores) of six index joints (bilateral knees, ankles and elbows), HJHS (version 2.1, 2011) and urinary CTX-II (EIA). Subjects in prophylaxis group received factor VIII 10 IU/kgBW 2 times per week for 24 weeks. Any bleeding episodes in both groups were treated according to standard treatment (on-demand).
During June 2015?February 2016 there were 50 subjects enrolled in the study. Mean age in prophylaxis group was 12 ± 3.5 years and median age in on-demand group was 11.9 (6.518.2) years. Mean frequency of joint bleeds in prophylaxis group was 5 ± 4.3 compare to 8 (3?30) in on-demand group (95%CI 0.9?6.99; p = 0.009). Mean difference of HJHS between two groups was not significant (95% CI -0.99?3; p = 0.320). HEAD-US scores and urinary CTX-II in prophylaxis group was significantly better compare to on-demand group (95%CI 2?8.81; p = 0.003 and 95%CI 2,777?16,742; p < 0.001 respectively). No subjects showed showed inhibitor factor VIII in both groups.
We conclude that secondary low dose prophylaxis was effective to decrease joint bleeding episodes and improved HJHS scores, HEAD-US scores and urinary CTX-II, compared to on-demand treatment."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Martahan Andreas Hariandja
"Penelitian terapi pijat bagi anak dengan GSA yang dilakukan dalam kurun waktu 10 – 15 tahun lebih banyak ditujukan terhadap anak yang telah didiagnosis gangguan spektrum autisme dengan rerata usia anak berada di antara 3 – 6 tahun. Di Indonesia penelitian tentang terapi pijat pada anak dengan risiko gangguan spektrum autisme belum banyak dilakukan dan dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Prevalensi penderita gangguan spektrum autisme di beberapa belahan dunia cenderung meningkat, seperti di Negara Amerika Serikat, Cina dan negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri data dan informasi yang akurat dan lengkap dari penderita gangguan spektrum autisme (GSA) masih kurang, sehingga dikuatirkan banyak anak dengan gejala risiko gangguan spektrum autisme tidak mendapatkan penanganan secara dini.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan modul terapi pijat pada anak risiko gangguan spektrum autisme, mengetahui dan menganalisis modifikasi skor M-CHAT dan mengetahui hasil penerapan TPGSA dalam menurunkan skor M-Chat dan status risiko gangguan spektrum autisme pada anak Usia 18–36 bulan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Desktiptif dengan pendekatan Studi Kasus. Populasi penelitian adalah anak usia 18-36 bulan yang telah mengikuti skrining/pemeriksaan M-CHAT di PKM Pasar Minggu, PKM Cipayung dan PKM Kebon Jeruk. sebanyak 1685 orang dengan angka kejadian anak risiko autisme sebanyak 14 orang (0,8%) dari bulan Mei tahun 2019 sampai dengan Maret 2020. Sampel penelitian sebanyak 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah anak yang diskrining dalam rangka modifikasi Skor M-CHAT adalah 904 anak yang dianalisis dengan Receiver Operating Characteristic (ROC) untuk memperoleh nilai Cut off Point dan Sensitivitas.
Hasil analisis dengan menggunakan ROC, diperoleh cut off point ≤ 24 dengan sensitivitas 87 % dengan Confidance Interval (CI) 95% dengan ROC area under the curve 0.912. Hasil penelitian dari penerapan terapi pijat diperoleh gambaran terdapat penurunan skor M-Chat dan perubahan status risiko gangguan spektrum autsime yang dimulai pada periode III hari ke 21-30 dan periode IV hari ke 31-40 pemberian terapi pijat.
Kesimpulan penelitian ini adalah hasil analisis ROC pada modifikasi skor M-CHAT dapat digunakan untuk melakukan skrining dan menilai status risiko GSA, penerapan TPGSA dapat menurunkan skor risiko anak GSA dan dapat merubah anak risiko GSA dari risiko tingi menjadi risiko autisme dan normal.

Research on massage therapy for children with ASD that was conducted over a period of 10-15 years was mostly aimed at children who had been diagnosed with autism spectrum disorders with the average age of children being between 3-6 years. In Indonesia, research on massage therapy in children at risk for ASD has not been widely carried out and reported in the form of scientific journal publications.
The prevalence of people with Autism Spectrum Disorders in some parts of the world tends to increase, such as in the United States, China and developing countries such as Indonesia. In Indonesia alone, accurate and complete data and information from people with Autism Spectrum Disorders (ASD) are still lacking, so it is feared that many children with risk symptoms of autism spectrum disorders do not get early treatment.
This study aims to develop a massage therapy modul for children at risk for ASD, find out and analyze the modification of The Modified Check List for Autism in Toddler (M-CHAT) score and determine the results of the application of MTASD in reducing the risk score for ASD in children aged 18-36 months. The type of research used is descriptive research with a case study approach. The study population was children aged 18-36 months who had participated in the M-CHAT screening/examination at the Pasar Minggu Community Health Center (CHC), CHC of Cipayung and CHC of Kebon Jeruk as many as 1685 people with the incidence of children at risk of autism as many as 14 people (0.8%) from May 2019 to March 2020. The research sample was 10 people who met the inclusion criteria. The number of children screened in order to modify the M-CHAT score was 904 children who were analyzed by Receiver Operating Characteristics (ROC) to obtain Cut off Point and Sensitivity values.
The results of the study based on ROC analysis obtained a cut off point ≤ 24 with a sensitivity of 87 % with a Confidance Interval (CI) of 95%, with an ROC area under the curve of 0.912. From the application of MTASD, it was found that a decrease in the M-CHAT score occurred in period III starting from day 30.
The conclusion of this study is that the results of the ROC analysis on the modified M-CHAT score can be used as a score to screen and assess the risk status of ASD, the application of MTASD can reduce the risk score of children with ASD and can change children at risk of ASD from high risk to autism risk and normal.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library