Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inez Widyasari Halim
"ABSTRAK
LATAR BELAKANG. Skoliosis merupakan suatu bentuk deformitas tulang belakang
yang berdampak pada banyak aspek kualitas hidup. Salah satu cara menilai patologi dasar
dan efektivitas intervensi adalah menggunakan kuesioner kualitas hidup terkait kesehatan,
salah satunya Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) Questionnaire dan Short Form-36
(SF-36). Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kesahihan dan keandalan SRS-30
versi Bahasa Indonesia.
METODE. Dilakukan penerjemahan SRS-30 ke dalam Bahasa Indonesia melalui
prosedur forward-backward dan uji coba kuesioner. Pada 30 pasien skoliosis yang
memenuhi kriteria dan bersedia menjadi responden, dilakukan pengisian SRS-30 dan SF-
36. Karakteristik data dasar dikumpulkan dan dicatat.
HASIL. Nilai keseluruhan koefisien Cronbachs alpha adalah 0,679. Analisa kesahihan
intratest didapatkan korelasi kuat antara domain fungsi per aktivitas, nyeri, citra
diri per penampilan, dan kesehatan jiwa dengan skor subtotal (r=0,649-0,793), sedangkan
untuk koefisien korelasi domain kepuasan manajemen dengan skor total nilai korelasinya
lemah (r=0,295). Skor SRS-30 versi Bahasa Indonesia dibandingkan dengan SF-36 untuk
menilai kesahihan konvergen. Diperoleh korelasi bermakna pada empat domain SRS-30
dengan domain SF-36, yaitu domain fungsi per aktivitas, nyeri, citra diri per penampilan, dan
kesehatan jiwa (r=0,260 hingga 0,673).
KESIMPULAN. SRS-30 versi Bahasa Indonesia merupakan alat ukur kualitas hidup
penderita skoliosis yang sahih dan andal.

ABSTRACT
Background Scoliosis is a spinal deformity which may affect many aspects of quality
of life. One way to measure the basic pathology and intervention effectiveness is using
health related quality of life questionnaire, one of them is Scoliosis Research Society 30
(SRS-30) Questionnaire and Short Form-36 (SF-36). The purpose of this study is to
assess the validity and reliability of SRS-30 in Indonesian version.
Method Forward-backward translation approach, followed by trial of the questionnaire
was done to develop Indonesian version of SRS-30. Thirty scoliosis patients that fulfill
the inclusion and exclusion criteria and willing to participate in this study filled the SRS-
30 Indonesian version along with SF-36. The baseline characteristic was collected.
Results The SRS-30 Indonesian version had an overall Cronbachs alpha was 0,679.
Intratest validity showed strong correlation between function per activity, pain, body
image per appearance, and mental health domain with subtotal score (r=0,649-0,793), while
for satisfaction with management domain with total score showed weak correlation
(r=0,295). There were significant correlation between four domains of SRS-30 and SF-36, those are function per activity, pain, body image/appearance, and mental health domain
(r=0,260-0,673).
Conclusion The SRS-30 Indonesian version is a measuring tool of quality of life in
scoliosis patient that is valid and reliable."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fracella Putri
"Latar Belakang: Berlari merupakan pilihan olahraga yang semakin banyak diminati, namun seringkali menyebabkan cedera khususnya pada pergelangan kaki. Ligamen lateral pergelangan kaki merupakan bagian yang paling sering mengalami cedera. Kejadian cedera yang berulang dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas pergelangan kaki kronis yang dapat mengganggu fungsi keseimbangan. Kinesio taping merupakan pendekatan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi keseimbangan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek kinesio taping dengan teknik Ankle Balance Taping (ABT) dan Sham disertai latihan penguatan otot pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis. Metode: Studi intervensi pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis yang berusia 17-35 tahun dengan status gizi normal. Subjek dibagi ke dalam kelompok ABT dan kelompok Sham. Kedua kelompok juga diberikan latihan penguatan otot kaki dan tetap berlari. Fungsi keseimbangan kemudian diukur dengan Stork Test dan SEBT. Hasil: Didapatkan 36 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Rerata usia pada kelompok perlakuan adalah 24.37 tahun dan kelompok kontrol 27.47 tahun (p<0.05). Setelah mendapatkan taping dan latihan penguatan otot kaki selama 3 minggu didapatkan perbaikan jarak jangkauan pada arah anterior, posteromedial dan posterolateral pada pemeriksaan SEBT di kelompok perlakuan, dan perbaikan pada arah posteromedial pada kelompok kontrol. Untuk keseimbangan statis diadapatkan perbaikan pada kedua kelompok (p<0,05). Kesimpulan: Pemberian Ankle Balance Taping (ABT) dan latihan penguatan otot kaki efektif dalam meningkatkan keseimbangan statis dan dinamis pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis.

Background: Running is one of sport choices that is increasingly in interest, but often causes injury especially to the ankles. The lateral ankle ligament is the most frequently injured part. Recurring injuries can lead to chronic ankle instability that can interfere the balance function. Kinesio taping is a new approach that can be used to improve balance function. Therefore, this study aims to compare the effects of kinesio taping with Ankle Balance Taping (ABT) and Sham techniques accompanied by muscle strengthening exercises in runners with chronic ankle instability. Methods: Interventional studies of runners with chronic ankle instability aged 17- 35 years with normal nutritional status. Subjects were divided into ABT groups and Sham groups. Both groups were also given exercises to strengthen foot muscles and keep running. The balance function is then measured by the Stork Test and SEBT. Results: There were 36 subjects who met the inclusion criteria. The mean age in the treatment group was 24.37 years and the control group was 27.47 years (p <0.05). After getting taping and leg strengthening exercises for 3 weeks, there was an improvement in the range of anterior, posteromedial and posterolateral direction in the SEBT examination in the treatment group, and improvement in the posteromedial direction in the control group. For static balance there was an improvement in both groups (p <0.05). Conclusion: Provision of Ankle Balance Taping (ABT) and leg strengthening exercises are effective in increasing static and dynamic balance in runners with chronic ankle instability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"ABSTRAK
Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

ABSTRACT
Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Fauzan
"LATAR BELAKANG. Batuk merupakan mekanisme pertahanan utama pada saluran napas bagian bawah dan mekanisme kompensasi ketika terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan pengeluaran mukus. Batuk dapat mencegah aspirasi, merangsang aktivitas silia, dan membersihkan jalan napas. Penelitian di Brazil didapatkan nilai arus puncak batuk APB pada individu sehat usia 18-40 tahun adalah 240-500 L/mnt. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Selandia Baru yang merupakan ras kaukasian didapatkan hasil nilai APB dewasa normal 360-960 L/mnt , hal ini menunjukkan perbedaan besaran nilai yang cukup jauh mengingat kedua negara tersebut memiliki perbedaan baik secara antropometri maupun ras kedua negara tersebut. Hingga saat ini belum ada penelitian yang melaporkan nilai APB pada individu sehat usia dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai APB dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran nilainya pada dewasa muda sehat Indonesia di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM.
METODE. Disain observasional potong lintang. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 usia dewasa muda sehat yang didapat secara konsekutif. Analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis multivariat dengan regresi multipel. Penilaian kapasitas paru untuk penapisan subjek dengan uji spirometri dan kemampuan batuk dengan APB yang menggunakan peak flow meter.
HASIL. Subjek penelitian memiliki mean APB 477,17 L/mnt . Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan hubungan yang bermakna secara signifikan antara variabel jenis kelamin p = 0,000 , usia p = 0,012; r = -0,430 , dan tinggi badan p = 0,000; r = 0,741 terhadap nilai APB. Hasil analisis multivariat dengan regresi mutipel menunjukkan variabel tinggi badan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap nilai APB p = 0,003; IK95 2,37-10,77.
SIMPULAN. Nilai rerata APB pada dewasa muda sehat di RSCM adalah 477,17 L/mnt . Faktor tinggi badan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap besaran nilai APB pada dewasa muda sehat di RSCM, diikuti faktor usia dan jenis kelamin.

BACKGROUND. Cough has been the main mechanism of defense on the lower respiratory tract, as well as a compensatory mechanism when there is imbalance of mucus production and clearance. Some of functions include preventing aspiration, stimulating ciliary activities, and airway clearance. A study done in Brazil revealed that peak cough flow PCF in healthy adults aged 18 40 years ranges from 240 500 L min . This value differs from another study done in New Zealand that took Caucassian subjects with normal PCF of 360 960 L min , this shows a huge difference in the results keeping in mind the differences in antropometry and race of the subjects. Until now, there had not been any study that reported the PCF in healthy young adult individualis in Indonesia. This study then, is aimed to discover the PCF and the factors affecting them in Indonesia healthy young adults of Cipto Mangunkusumo General Hospital.
METHODS. An observational cross sectional design was used in this study, with 30 healthy young adults subjects that complied to the consecutive sampling method. Bivariate analyses were done by Chi Square and multivariate analyses by multiple regression. The grading of lung capacity for screening subjects was measured using spirometry test and cough ability quantified in PCF value by utilizing a peak flow meter.
RESULTS. Study subjects were observed to have mean PCF 477,17 L min . Bivariate analyses results showed a significant correlation of PCF with gender p 0,000 , age p 0,012 r 0,430 , and height p 0,000 r 0,741 . Multivariate analyses on the aother hand, revelaed that body height were the most contributing variable towards PCF value p 0,003 IK95 2,37 10,77.
CONCLUSIONS. The mean PCF in healthy young adults of Cipto Mangunkusumo General Hospital is 477,17 L min. Body height were the most contributing factor, followed by age and gender."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Agung
"LATAR BELAKANG: Sindroma nyeri miofasial merupakan kondisi nyeri muskuloskeletal yang ditandai dengan titik picu yang hipersensitif, serta merupakan keluhan tersering dalam praktek klinis. Gejala dari kondisi ini adalah nyeri, peningkatan ambang rangsang nyeri serta keterbatasan lingkup gerak sendi. Terapi definitif terbaik dalam tata laksana keluhan ini belum didapatkan, meskipun banyak terapi yang sudah sering digunakan, yaitu terapi laser tenaga rendah yang lebih modern dan bersifat non invasif serta terapi dry needling. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi laser tenaga rendah dan terapi dry needling pada sindroma nyeri miofasial upper trapezius.
METODE: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol. Populasi terjangkau adalah pria dan wanita berusia 20-55 tahun dengan sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius yang datang ke poliklinik rehabilitasi medik Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Terapi dilakukan selama 4 minggu, kelompok pertama diberi terapi laser sebanyak 3 kali/minggu, sedangkan kelompok kedua diberi terapi dry needling 1 kali/minggu. Penurunan derajat nyeri dinilai menggunakan VAS Visual Analogue Scale, penilaian peningkatan ambang rangsang nyeri menggunakan PTM Pain Threshold Meter, dan pengukuran lingkup gerak sendi servikal menggunakan goniometer.
HASIL: Sebanyak 31 subyek mengikuti terapi sampai selesai, kelompok terapi laser 15 orang dengan VAS 6 dan kelompok terapi dry needling 16 orang dengan median VAS 6. Setelah 4 minggu didapatkan penurunan derajat nyeri pada kedua kelompok, penurunan VAS pada kelompok terapi laser lebih tinggi, namun perbedaan tersebut tidak bermakna signifikan. Begitu pula ada penilaian ambang rangsang nyeri serta lingkup gerak sendi servikal didapatkan peningkatan pada kedua kelompok, namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan.
KESIMPULAN: Terapi laser tenaga rendah sama efektifnya dalam menurunkan derajat nyeri, meningkatkan ambang rangsang nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi servikal pada sindroma nyeri miofasial otot upper trapezius dibandingkan dengan terapi dry needling.

BACKGROUND: Myofascial pain syndrome is a musculoskeletal problem characterized by a hypersensitive trigger point, and it is a most common problem in clinical practice. Pain, increasing of pain threshold and range of motion limitation are most symptoms of myofascial pain. Definitive therapy in the treatment of this complaint has not been determined, despite many therapies that have been commonly used, namely low power laser therapy that is more modern and non invasive and dry needling therapy. This study aimed to compare the effectiveness of low level laser therapy and dry needling therapy in subjects with myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
METHODS This study design is a randomized controlled trial. Men and women aged 20 55 years with myofascial pain syndrome of upper trapezius muscle who attend Physical Medicine and Rehabilitation Clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, who met the study criteria. Sample selection is done by consecutive sampling and divided into two randomized groups. Treatment is done for 4 weeks, the first group were given low laser therapy for 3 times week, while the second group was given dry needling therapy once week. A decrease in the degree of pain was assessed using VAS Visual Analogue Scale, increasing pain threshold using PTM Pain Threshold Meter, and measurement of the cervical range of motion using a goniometer.
RESULTS A total of 31 subjects completed the therapy, low laser therapy group 15 subjects with VAS 6 and dry needling therapy group 16 subjects with a median VAS 6. After 4 weeks of therapy obtained a decrease in the degree of pain in both groups, the decline of VAS in the low laser therapy was greater, but the difference was not significant. Similarly, there were an incrseaing of pain threshold and cervical range of motion in both groups, but did not obtain a significant difference.
CONCLUSION Low level laser therapy compared to dry needling is equally effective in reducing pain, increasing the pain threshold and cervical range of motion on myofascial pain syndrome of the upper trapezius muscle.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Kamseno
"LATAR BELAKANG. Obesitas merupakan masalah kesehatan di Indonesia maupun dunia. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nyeri punggung bawah. Pada pasien obesitas umumnya terjadi kelemahan otot abdomen dan pergeseran pusat gravitasi tubuh ke depan dan menyebabkan spasme otot yang akan menimbulkan nyeri punggung bawah. Sebuah pendekatan untuk tatalaksana tambahan nyeri punggung bawah merujuk kepada penggunaan elastic taping. TUJUAN. Menilai pengaruh aplikasi elastic taping dengan 2 metode aplikasi berbeda terhadap perbaikan skala nyeri, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh, dan disabilitas fungsional pada pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik.METODE. Uji intervensi melibatkan populasi subjek pasien yang berobat di Poliklinik Obesitas Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjek dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok A mendapat aplikasi elastic taping dengan teknik inhibisi paralumbal bilateral dan stabilisasi pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdominis transversus, sementara kelompok B mendapat aplikasi elastic taping tanpa peregangan pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdomen. Semua subjek pada penelitian ini mendapatkan latihan aerobik.HASIL. Sebanyak 28 pasien menjadi subjek dalam penelitian ini. Semua subjek pada kedua kelompok penelitian ini mengalami perbaikan yang signifikan pada intensitas nyeri VAS , lingkup gerak sendi modified Schober dan disabilitas fungsional skor ODI sesudah terapi pada masing-masing kelompok p
BACKGROUND. Obesity is one of the world health problems, particularly in Indonesia. Obesity increases the risk of low back pain occurrence. Obese patients tends to have abdominal muscle weakness and shifting of central of gravity anteriorly, it caused low back pain. Currently, there are several approaches for treating mechanical low back pain,. Elastic taping could be a new approach for chronic mechanical low back pain as adjuvant therapy.OBJECTIVE. To evaluate the effectiveness of elastic taping application by 2 different methods in improving pain intensity, trunk flexion range of motion, and functional disability in obese patient with chronic mechanical low back pain.METHODS. This interventional study involved patients in Obesity Clinic of Physical Medicine and Rehabilitation Department, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Subjects randomly assigned into 2 groups. Group A subjects had elastic taping application with inhibition technique on bilateral paralumbal muscle and stabilization technique on sacroiliac joint region and transversus abdominis muscle. Meanwhile, group B subjects had elastic taping application without any stretch on sacroiliac joint and abdominal muscle region. All of the subjects in both groups also had aerobic exercises.RESULTS. 28 obese patients with chronic mechanical low back pain were included in this study. These subjects in each group had statistically significant improvement of pain VAS , range of motion modified Schober test and functional disability ODI score also, after elastic taping application p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Kamseno
"LATAR BELAKANG: Obesitas merupakan masalah kesehatan di Indonesia maupun dunia. Prevalensi penduduk dewasa Indonesia dengan obesitas mencapai 15,4% dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nyeri punggung bawah. Pada pasien obesitas umumnya terjadi kelemahan otot abdomen dan pergeseran pusat gravitasi tubuh ke depan sehingga otot-otot ekstensor batang tubuh akan berusaha menarik tulang belakang ke posterior terus menerus dan menyebabkan spasme otot yang akan menimbulkan nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, dan disabilitas fungsional. Nyeri punggung bawah menjadi salah satu beban kesehatan utama pada masyarakat. Terdapat berbagai terapi untuk mengatasi nyeri punggung bawah mekanik, namun permasalahan nyeri punggung bawah mekanik kronik tetap menjadi masalah selama bertahun-tahun. Sebuah pendekatan baru untuk tatalaksana tambahan nyeri punggung bawah mekanik kronik merujuk kepada penggunaan elastic taping.
TUJUAN: Menilai pengaruh aplikasi elastic taping terhadap perbaikan skala nyeri, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh, dan disabilitas fungsional pada pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik, serta membandingkan pengaruh tersebut dengan dua metode aplikasi yang berbeda.
METODE: Uji intervensi dengan melibatkan populasi subjek pasien yang berobat di Poliklinik Obesitas Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta selama Agustus 2017-Januari 2018 yang memenuhi kriteria penelitian. Subjek dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak. Kelompok A mendapat aplikasi elastic taping dengan teknik inhibisi paralumbal bilateral dan stabilisasi pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdominis transversus, sementara kelompok B mendapat aplikasi elastic taping tanpa peregangan pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdomen. Penilaian intensitas nyeri menggunakan VAS, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh menggunakan tes modified Schober, dan disabilitas fungsional dinilai menggunakan skor Oswestry Disability Index (ODI). Penilaian VAS dan tes modified Schober dilakukan sebanyak 6 kali sepanjang penelitian, sedangkan untuk penilaian ODI dilakukan pada sebelum dan sesudah terapi. Semua subjek pada penelitian ini mendapatkan latihan aerobik dengan sepeda statis yaitu dengan durasi 15 menit pada minggu pertama dan 30 menit pada minggu kedua.
HASIL: Sebanyak 28 pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik menjadi subjek dalam penelitian ini. Semua subjek pada kedua kelompok penelitian ini mengalami perbaikan yang signifikan secara statistik pada intensitas nyeri sebelum dan sesudah aplikasi elastic taping pada nilai VAS (p<0.05), namun ketika dibandingkan antar kelompok didapatkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada nilai VAS. Hasil pada tes modified Schober dan skor ODI juga mengalami perbaikan antara sebelum dan sesudah terapi pada masing-masing kelompok (p<0.05), meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok, namun terdapat perubahan yang signifikan secara klinis hanya pada kelompok A.
KESIMPULAN: Penelitian ini menunjukkan penambahan aplikasi elastic taping pada latihan aerobik telah memberi hasil yang signifikan secara statistik dan klinis dalam perbaikan intensitas nyeri, lingkup gerak sendi fleksi batang tubuh, dan disabilitas fungsional pada pasien obesitas dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik. Aplikasi elastic taping dengan teknik inhibisi otot paralumbal bilateral dan stabilisasi pada regio sendi sacroiliac dan regio otot abdominis transversus memiliki hasil yang lebih baik dibandingan aplikasi elastic taping tanpa peregangan.

BACKGROUND: Obesity is one of the world health problems, particularly in Indonesia. The prevalence of obesity in Indonesia is 15,4%. Obesity increases the risk of low back pain occurrence, thus raise a health problem in society. Obese patients tends to have abdominal muscle weakness and shifting of central of gravity anteriorly, it caused trunk extensor muscles contract more often and prone to spasm therefore it will cause pain, limitation of range of motion and functional disability. Currently, there are several approaches for treating mechanical low back pain, but the chronic mechanical low back pain still becoming one of the health problem in years. Elastic taping could be a new approach for chronic mechanical low back pain as adjuvant therapy.
OBJECTIVE: To evaluate the effectiveness of elastic taping application in improving pain intensity, trunk flexion range of motion, and functional disability in obese patient with chronic mechanical low back pain, also to compare the effectiveness between two different elastic taping application methods.
METHODS: This interventional study involved patients in Obesity Clinic of Physical Medicine and Rehabilitation Department, Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta between 2017 August until 2018 January who met the inclusion criteria. Subjects randomly assigned into 2 groups. Group A subjects had elastic taping application with inhibition technique on bilateral paralumbal muscle and stabilization technique on sacroiliac joint region and transversus abdominis muscle. Meanwhile, group B subjects had elastic taping application without any stretch on sacroiliac joint and abdominal muscle region. Pain intensity was measured using VAS score, trunk flexion range of motion was measured using modified Schober test, and functional disability was measured using Oswestry Disability Index. VAS and modified Schober test measurement were done six times, while ODI score measurement was done before and after therapy. All of the subjects in both groups also had aerobic exercises using the static cycle with 15 minutes duration in the first week and 30 minutes in the second week.
RESULTS: 28 obese patients with chronic mechanical low back pain were included in this study. These subjects in each group had statistically significant improvement of pain after elastic taping application (p<0.05), and when these two compared there was a significant difference between two groups in VAS score. The result in modified Schober test and ODI score also had improvement before and after therapy in each groups (p<0.05) but there was no significant difference between two groups. Nevertheless, there was clinically significant change in group A after therapy while no clinically significant change in group B.
CONCLUSIONS: The result indicates that addition of elastic taping application in aerobic exercise has clinically and statistically significant effect in improvement of pain intensity, trunk flexion range of motion, and functional disability in obese patients with xi Universitas Indonesia chronic mechanical low back pain. Elastic taping application with inhibition technique on bilateral paralumbal muscle and stabilization technique on the sacroiliac joint region and transversus abdominis muscle has better outcomes compared to elastic taping application technique without stretch."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Dwi Indra
"Batuk merupakan simptom yang dirasakan oleh semua manusia dan penting untuk proteksi dan perlindungan yang menjaga proses pengeluaran mukus, substansi asing, dan infeksi laring, trakea dan bronkus.Kemampuan batuk pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut akan menurun dibandingkan pada dewasa muda. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang mengukur nilai APB pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat di Indonesia. Tujuan : Mengetahui nilai APB pada dewasa madya dan dewasa lanjut sehat dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Metode : Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 99 subjek. Subjek adalah pasien poliklinik Rehabilitasi Medik usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat respirasi. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa spirometri untuk memastikan sehat respirasi dan setelahnya dilakukan pemerikasaan nilai APB dengan alat peakflowmeter dan dilihat korelasi nya dengan usia, jenis kelamin dan berat badan. Hasil : Nilai APB pada dewasa madya sehat berkisar 190-540 L/menit dengan nilai tengah usia 41-50 tahun 465 L/menit, usia 51-60 tahun 405 L/menit dan dewasa lanjut sehat berkisar 245-520 L/menit dengan nilai tengah 352,5 L/menit. Laki-laki memiliki nilai APB yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, namun pada usia 61 tahun ke atas terjadi penurunan nilai APB dimana nilai tengah hasil APB laki-laki tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Semakin tinggi usia maka semakin rendah pula nilai APB yang didapatkan dan terdapat penurunan yang signifikan secara statistik pada nilai APB pada usia 61-70 tahun dibandingkan usia 41-50 tahun. Subjek dengan tinggi badan yang tinggi memiliki kecendrungan nilai APB yang lebih besar dan tinggi badan akan mempengaruhi nilai APB. Simpulan : Didapatkan nilai APB pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat respirasi dan terdapat hubungan antara factor jenis kelamin, usia dan tinggi badan terhadap nilai APB.

Cough is a symptom that is felt by all humans and is important for protection and protection which maintains mucus secretion, foreign substances, and infections of the larynx, trachea and bronchi. The ability to cough in middle adulthood and advanced adulthood will decrease compared to young adults. However, until now there have been no studies that measure the APB value in middle adulthood and advanced adults in Indonesia. Objective: To find out the APB value in middle adulthood and advanced healthy adults and the factors that influence it. Method: This study is a cross-sectional study involving 99 subjects. Subjects were patients in the clinic for medical rehabilitation of middle adulthood and advanced adult healthy respiration. Subjects who fulfilled the inclusion and exclusion criteria were examined spirometry to ensure healthy respiration and after that the APB examination was carried out with a peakflowmeter device and the correlation was observed with age, gender and weight.Results: The APB value in healthy middle-aged adults ranged from 190-540 L / minute with a median age of 41-50 years 465 L / minute, ages 51-60 years 405 L / minute and healthy elderly adults ranged from 245-520 L / minute with values middle of 352.5 L / minute. Men have a greater APB value than women, but at the age of 61 years and over there has been a decrease in the APB value where the mean value of male APB results is not significantly different from that of women. The higher age, the lower the APB value obtained and there was a statistically significant decrease in the APB value at 61-70 years of age compared to 41-50 years of age. Subjects with high height have a tendency for a larger APB value and height will affect the APB value. Conclusion: Obtained APB values ​​in middle adulthood and advanced healthy respiration adults and there is a relationship between sex, age and height factors for the APB value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Hariza
"Rehabilitasi pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang stabil bertujuan untuk mengurangi sesak, meningkatkan toleransi latihan, dan meningkatkan status kesehatan. Pada dekade terakhir banyak dikembangkan teknik terapi mandiri salah satunya adalah menggunakan perangkat positive expiratory pressure (PEP). Penelitan ini bertujuan untuk menilai efektivitas latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas fungsional, dan kualitas hidup pada pasien PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi intervensional prospektif yang membandingkan efek sebelum dan sesudah latihan pernapasan menggunakan PEP selama 8 minggu. Subjek yang menyelesaikan penelitian sebanyak 20 orang. Latihan pernapasan dilakukan dua kali sehari dengan durasi 15 menit pada masing-masing sesi latihan. Tekanan yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan pasien yaitu inspirasi berbanding ekspirasi 1:3. Tekanan ditentukan sebelum memulai latihan dan dievaluasi setiap dua minggu. Hasil keluaran yang dinilai adalah nilai VEP1, kapasitas fungsional yang diukur dengan kecepatan berjalan dalam uji jalan 4 meter dan kualitas hidup yang diukur dengan kuesioner St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). Nilai VEP1 sebelum intervensi adalah 1369,5±569,63 ml dan sesudah sebesar 1390±615,01 ml (p=0.585). Kecepatan berjalan sebelum intervensi 1,43±0.31 m/s dan sesudah 1,56±0,40 m/s (p=0.248). Skor kuesioner SGRQ domain gejala terdapat penurunan dari rerata 44,00±17,88% menjadi 25,31±14,06% (p=0.000), domain aktivitas dari rerata 54,22±28,18% menjadi 40,38±24,25% (p=0.006), domain dampak dari 32,83% (0,00-67,46) menjadi 16,32% (0,00-61,33) (p=0.002), dan skor total dari 39,46% (6,30-75,42) menjadi 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Peningkatan kecepatan berjalan dan perbaikan skor SGRQ memenuhi nilai minimum clinically important difference (MCID). Latihan pernapasan menggunakan perangkat PEP selama 8 minggu dapat meningkatkan nilai VEP1, kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien PPOK.

Rehabilitation of stable chronic obstructive pulmonary disease (COPD) aims to reduce dyspnoe, increase exercise tolerance, and improve health status. In the last decade, many independent therapy techniques have been developed, one of them is positive expiratory pressure (PEP). The aim of this study was to assess the effectiveness of breathing exercises using a PEP device on Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1), functional capacity, and quality of life in COPD patients. The study design was a prospective interventional studies that compared the effects before and after breathing exercises using PEP for 8 weeks. Twenty subjects completed the study. Breathing exercises were carried out twice a day, 15 minutes duration at each session. The pressure used is adjusted to the patient's ability, reaching inspiration to expiration ratio of 1:3. Pressure was determined before starting the exercise and evaluated every two weeks. The outcome were FEV1, functional capacity measured by walking speed in the 4 meter gait speed assesment and quality of life as measured by the St. George s Respiratory Questionnaire (SGRQ). FEV1 ​​before intervention were 1369,5±569,63 ml and after 1390±615,01 ml (p=0.585). Walking speed before intervention was 1,43±0,31 m/s and after 1,56±0,40 m/s (p=0,248). The symptom domain SGRQ questionnaire score has a decrease from 44,00±17,88% to 25,31±14,06% (p=0,000), the activity domain from 54,22±28,18% to 40,38±24,25% (p=0.006), the impact domain of 32,83% (0,00-67,46) to 16,32% (0,00-61,33) (p=0,002), and the total score of 39,46% (6,30-75,42) to 25,96% (5,24-61,34) (p=0.001). Increase in walking speed and SGRQ score exceed the minimum clinically important difference (MCID). Breathing exercises using a PEP device for 8 weeks can increase FEV1, functional capacity and quality of life of COPD patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virna Agustriani
"Kekuatan otot pernapasan bertanggung jawab terhadap perbedaan tekanan dalam proses ventilasi yang diukur dengan Maximum Inspiratory Pressure (MIP) yang menggambarkan kekuatan otot diafragma dan otot inspirasi lain, dan Maximum Expiratory Pressure (MEP) untuk otot abdomen dan otot ekspirasi lain. Pemeriksaan ini sensitif menggambarkan kelemahan otot pernapasan, mudah dilakukan dan tidak invasif, namun belum menjadi prosedur rutin. Beberapa negara telah melakukan penelitian sebelumnya dan mendapatkan nilai standar yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mengukur kekuatan otot pernapasan pada anak sehat,sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai standar Maximum Inspiratory Pressure dan Maximum Expiratory Pressure pada anak usia delapan sampai dua belas tahun di Jakarta. Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 267 subjek. Subjek adalah anak sekolah dasar usia 8-12 tahun di Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa spirometri untuk memastikan sehat respirasi, diberikan kuesioner aktivitas fisik, dan setelahnya dilakukan pemeriksaan MIP dan MEP dengan alat digital manometer. Data MIP dan MEP yang didapat dinilai korelasinya dengan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan aktivitas fisik. Nilai MIP dan MEP pada anak usia 8- 12tahun mendapatkan nilai tengah 58 dan 59mmHg. Subjek laki-laki mendapatkan nilai tengah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan nilai MIP 60 mmHg dan 55mmHg, nilai MEP 63 mmHg dan 56mmHg. Dengan uji korelasi spearman terdapat korelasi signifikan antara MIP dengan berat badan dan tinggi badan, dengan nilai korelasi lemah, namun tidak dengan nilai MEP. Tidak terdapat hubungan antara nilai MIP dan MEP dengan aktivitas fisik.

Respiratory muscle strength is responsible for the pressure difference in the ventilation process measured by Maximum Inspiratory Pressure (MIP) which represents the strength of the diaphragm muscles and other inspiratory muscles, and Maximum Expiratory Pressure (MEP) for abdominal muscles and other expiratory muscles. This measurement is sensitive in representing respiratory muscle weakness, easy to use and non-invasive. However, it is not a routine procedure. Several countries have conducted previous studies and obtained different standard results. In Indonesia, no study measures respiratory muscle strength in healthy children. Therefore, this study aims to obtain standard values for Maximum Inspiratory Pressure and Maximum Expiratory Pressure in eight to twelve years old children in Jakarta. This is a cross-sectional study that involved 267 subjects. The subjects were 8-12 years old elementary school students in Jakarta who fulfilled the inclusion and exclusion criteria. They were examined for respiratory health using spirometry, given a physical activity questionnaire, and examined for MIP and MEP using a digital manometer. Correlations were obtained between MIP and MEP data and gender, weight, height, and physical activity. The MIP and MEP values in 8-12 years old children showed a median of 58 and 59 mmHg, respectively. Male students showed higher median value compared to female students with MIP value of 60 mmHg and 55 mmHg, and MEP value of 63 mmHg and 56 mmHg. Spearmans correlation test showed a significant correlation between MIP and weight and height with weak correlation strength. However, the MEP value showed otherwise. There was no correlation between MIP and MEP values and physical activity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>