Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Wahyu Ali
Abstrak :
Dismenorea menimbulkan dampak langsung yang cukup luas baik bagi penderita, keluarga, masyarakat ataupun negara dan bangsa. Masalah yang timbul dikaitkan dengan peningkatan angka absensi sekolah dan pekerjaan, yang berakibat pada penurunan produktivitas dan pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian negara dan bangsa. Pada studi yang pernah dilakukan oleh Park, pada suatu sekolah, menunjukkan 42% siswi harus absen atau tidak dapat beraktivitas karena keluhan dismenorea. Sementara dari penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Andersch diteniukan angka absensi antara 34 sampai 50% pada perempuan yang mengalami dismenorea. Dari segi perekonomian Dawood mengemukakan bahwa di Amerika Serikat hampir 600 juta jam kerja yang setara dengan nilai 2 miliar dollar hilang setiap tahunnya akibat dismenorea yang terjadi pada perempuan usia reproduksi. Kerugian yang timbul juga berhubungan dengan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk membeli obat dalam mengatasi gejala dismenorea yang timbal. Karena demikian luasnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh dismenorea, maka penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi keluhan yang ada sangatlah diperlukan. Penatalaksanaan dismenorea yang dikemukakan pada berbagai kepustakaan meliputi penatalaksanaan non operatif dan operatif. Penatalaksanaan non operatif dapat berupa pemberian obat-obatan anti prostaglandin, kontrasepsi hormonal oral, antagonis kalsium, perangsang adrenoseptor beta, sediaan hormonal, asam lemak Omega 3, vitamin Bl, Magnesium. AIternatif lain yang pernah dikemukakan adalah dengan akupunktur dan transcutaneous electric nerve stimulation (TENS). Sedangkan terapi operatif dapat berupa dilatasi dan kuretase, laparoscopic uterine nerve ablation (LUNA), neurektomi presakral atau histerektomi total. Laparoscopie Uicrosacral Nerve Ablation (LUNA) merupakan tindakan operatif" dengan melakukan pemotongan persarafan uterus pada ligamentum sakrouterina dekat insersionya pada uterus dengan menggunakan teknik pendekatan laparoskopi. Cara ini saat ini menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi dismenorea berat yang tidak respon dengan jenis pengobatan lainnya. Dengan pendekatan laparoskopi dan menggunakan suatu electro surgical system dilakukan pemotongan ligamentum sakrouterina pada insersionya dekat di uterus. Pemotongan ligamentum sakrouterina dapat dilakukan secara total/komplit ataupun parsial. Pada penelitian ini seianjutnya teknik pemotongan ligamentum sakrouterina secara total disebut dengan Ablasi Nervus Sakro Uterina per Laparoskopi (ANUL), sedangkan teknik koagulasi ligamentum sakrouterina secara menyeluruh disebut sebagai Koagulasi Ligamentum Sakro Uterina per Laparoskopi (KoLSU). Meskipun dari laporan penelitian di luar negeri efektifitas dan angka keberhasilannya cukup tinggi, namun di Indonesia belum pemah dilaporkan tingkat efektifitas dan keberhasilannya dalam mengatasi dismenorea berat. Oleh karena itu penelitian inl akan meneliti efektifitas kedua teknik tersebut dalam menurunkan keluhan dismenorea, dan sekaligus membandingkannya pada populasi tertentu oraag Indonesia yang menderita dismenorea berat. RUMUSAN MASALAH Belum diketahui perbedaan efektifitas Ablasi Nervus Sakro Uterina per Laparoskopi (ANUL) dengan Koagulasi Ligamentum Sakro Uterina per Laparoskopi (KoLSU ) dalam mengatasi dismenorea berat. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum : Menilai dan membandingkan efektifitas ANUL dan KoLSU dalam mengatasi dismenorea berat. Tujuan Khusus: 1. Mengetahul karakteristik demografi dan kiinis penderita dismenorea berat. 2. Menilai patologi organ pelvik secara laparoskopi pada penderita dismenorea berat.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Oktavianti
Abstrak :
Penggunaan oksitosin drip untuk menginduksi persalinan semakin meningkat sebanyak 18 %. Sampai saat ini belum ada kesepakatan atas regimen dosis baik dalam hal dosis awal, dosis titrasi maupun dosis maksimal. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kadar oksitosin pada setiap fase persalinan . apabila dengan tetesan yang tetap dapat memberikan hasil yang cukup efektif, maka peningkatan dosis setiap beberapa menit tidak perlu dilakukan, sehingga memberikan kemudahan dalam pemberiannya. Saat ini di Indonesia belum ada penelitian yang membandingkan dosis oksitosin titrasi dengan menetap untuk mengetahui efektifitas pemberian oksitosin pada induksi persalinan. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding (Single Blind Randomized Clinical Trial), dimana subjek tidak mengetahui jenis perlakuan yang mereka dapatkan. Didapatkan 68 subyek penelitian yang diambil di kamar bersalin RS Fatmawati, RSUZA Banda Aceh, sejak bulan Februari 2015 sampai Juni 2015. Terdapat 24 subyek ( 20 subyek dengan skor pelvik < 6 dan 4 subyek dengan skor pelvik ≥ 6) dengan 6 mU/menit, 24 subyek (20 subyek dengan skor pelvik < 6 dan 4 subyek dengan skor pelvik ≥ 6) dengan 8 mU/menit, dan 20 subyek (14 subyek dengan skor pelvik < 6 dan 6 subyek dengan skor pelvik ≥ 6) dengan dosis titrasi (mulai 4 mU/menit dititrasi 2 mU/menit setiap 30 menit). Hasil: Uji analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna keberhasilan mencapai his adekuat antara kelompok dosis menetap dan titrasi (p=0,06; RR=3,15) dengan skor pelvik < 6, seluruh subyek dengan skor pelvik ≥ 6 berhasil mencapai kontraksi adekuat. Terdapat perbedaan yang bermakna waktu tercapainya kontraksi adekuat (p=0,03) antara kelompok dosis menetap 8 mU/menit dan titrasi dengan skor pelvik < 6. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna waktu tercapainya kontraksi adekuat (p=0,16) antara kelompok dosis menetap 6 mU/menit dan titrasi dengan skor pelvik < 6. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna waktu tercapainya kontraksi adekuat antara ketiga kelompok dengan skor pelvik ≥ 6 (p=0,80).Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada waktu persalinan antara ketiga dengan skor pelvik < 6 (p=0,16),tidak terdapat perbedaan pada waktu persalinan diantara ketiga kelompok dengan skor pelvik ≥ 6. Pada nilai Apgar menit ke-1 tidak terdapat perbedaan diantara ketiga kelompok dengan skor pelvik ≥ 6, dan tidak terdapat perbedaan bermakna diantara ketiga kelompok dengan skor pelvik < 6 (p = 0,40). Tidak terdapat perbedaan pada nilai Apgar menit ke-5 diantara ketiga kelompok baik pada kelompok dengan skor pelvik < 6 ataupun ≥ 6. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada intensitas nyeri saat kontraksi adekuat dengan NRS diantara ketiga kelompok baik pada kelompok dengan skor pelvik < 6 (p=0,22) ataupun ≥ 6 (p = 0,19). Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kejadian stress janin diantara ketiga kelompok baik pada kelompok dengan skor pelvik < 6 (p=0,41) ataupun ≥ 6 (p = 0,51). Hiperstimulasi dan ruptur uteri tidak terjadi pada semua kelompok dengan skor pelvik < 6 ataupun ≥ 6. Kesimpulan: Pada waktu tercapainya kontraksi adekuat dengan skor pelvik < 6 antara dosis 8 mU/menit menetap dan titrasi secara statistik terdapat perbedaan bermakna dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara dosis 6 mU/menit menetap dan titrasi sedangkan pada skor pelvik ≥ 6 secara statistik tidak terdapat perbedaan pada ketiga kelompok. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada waktu persalinan pada ketiga kelompok dengan skor pelvik < 6 dan ≥ 6.
Background: The use of intravenous oxytocin to induce labor has increased as much as 18%. Until now there has been no agreement on dosing regimen in terms of the initial dose, titration dose and maximum doses. From several studies concluded that there are no differences in the levels of oxytocin in every phase of labor. if giving fixed dose provide an effective results, then increase the dose every 30 minutes is not necessary, thus providing ease of administration. Currently in Indonesia there has been no study comparing oxytocin titration with fixed dose to determine the effectiveness of oxytocin in labor induction. Method: This study is a single-blind randomized clinical trial with a comparator (Single Blind Randomized Clinical Trial), where the subject does not know the type of treatment they get. Obtained 68 samples taken in the policlinic and delivery room at Fatmawati Hospital, Jakarta and Zaenoel Abidin Hospital, Banda Aceh, since February 2015 until June 2015. There were 24 samples (20 subjects with pelvic score <6 and 4 subjects with pelvic score ≥ 6) with 6 mU/minute fixed dose, 24 samples (20 subjects with pelvic score <6 and 4 subjects with pelvic score ≥ 6) with 8 mU/minute fixed dose, and 20 samples (14 subjects with pelvic score <6 and 6 subjects with pelvic score ≥ 6) with titrated dose (started from 4 mU / min titrated 2 mU / min every 30 minutes). Results: Statistical test analysis showed no significant difference the success of achieving adequate contraction between fixed and titration dose group (p = 0.06; RR = 3.15) with pelvic score <6, all subjects with pelvic score ≥ 6 made in to adequate contraction. There is a significant difference in time for achieve adequate contraction (p = 0.03) between fixed dose groups 8 mU / min and titrated group with pelvic score <6. There were no significant differences in the achievement of his time adequate (p = 0.16) between the dose groups settled 6 mU / min and titrate with pelvic score <6. There were no significant differences in in time for achieve adequate contraction among the three groups with the pelvic score ≥ 6 (p = 0.80). There was no significant difference in delivery time among the three groups with the pelvic score < 6 (p = 0.16), no difference in delivery time among the three groups with pelvic score ≥ 6. At Apgar score 1 minute there was no difference among the three groups with pelvic score ≥ 6, and there are no significant differences among the three groups with pelvic score <6 (p = 0.40). There were no differences in the Apgar score 5 minutes among the three groups both in the group with pelvic score <6 or ≥ 6. There were no significant differences in the intensity of pain during adequate contractions with NRS among the three groups both in the group with pelvic score <6 (p = 0.22) or ≥ 6 (p = 0.19). There were no significant differences in the incidence of fetal stress among the three groups both in the group with pelvic score < 6 (p = 0.41) or ≥ 6 (p = 0.51). Hyperstimulation and uterine rupture did not occur in all groups with a score of pelvic <6 or ≥ 6. Conclusion: From the statistical test analysis, for time to achieve adequate contraction with pelvic score < 6 between 8 mU / min fixed dose and titration dose significantly different and there is no significant difference between the 6 mU / min fixed dose and titration dose, while with the pelvic score ≥ 6 there were no differences in all three groups , but there were no significant differences in the time of delivery in the three groups both with pelvic score <6 and ≥ 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erik A. Rahman
Abstrak :
Latar belakang: Setiap tahunnya sekitar 13 78.000 dari kematian ibu terjadi akibat tindakan aborsi yang tidak aman. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN memprediksikan dari 2.5 juta kasus aborsi per tahun, 1.5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja. Masalah kesehatan reproduksi remaja dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Perilaku seksual yang cenderung permisif dan berani disertai keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi telah meningkatkan risiko aborsi. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk menilai gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap aborsi pada dewasa muda. Desain penelitian berupa deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Sampel yakni perempuan dewasa muda berusia 18-24 tahun, pemilihan sampel berdasarkan metode konsekutif sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel minimal pada penelitian ini adalah 41. Pengetahuan, sikap dan perilaku dinilai dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program stastistik dan disajikan dalam bentuk tabel univariat dan tabel tabulasi silang. Hasil: Pada penelitian ini, total responden adalah 55. Tingkat pengetahuan baik didapatkan pada 28 50.9 responden dan pengetahuan sedang pada 27 49.1 responden. Sikap sedang pada 29 52.7 responden, sikap baik pada 20 36.4 responden dan sikap kurang pada 6 10.9 responden. Perilaku baik didapatkan pada 30 54.5 responden dan perilaku sedang pada 25 45.5 responden. Kesimpulan: Responden pada penelitian ini dominan memiliki tingkat pengetahuan baik, sikap sedang dan perilaku baik terhadap aborsi. ......Background Approximately 13 78,000 of maternal deaths every year caused by unsafe abortion. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN predicts 2.5 million abortions per year, 1.5 million of them committed by teenagers. Adolescent reproductive health problems is more alarming year by year. Sexual behavior tends to be permissive and bold with limited knowledge of reproductive health has increased the risk of abortion. Methods The aims of this study was to assess the knowledge, attitudes and practice regarding abortion in young adults. This is a descriptive cross sectional study. Samples were young female aged 18 24 years that taken by consecutive methods and selected by inclusion and exclusion criteria. The minimum sample in this study was 41. The knowledge, attitudes and practice was assessed using questionnaires. The results were analyzed using statistical program and presented in tables and cross tabulation table.Results In this study, a total sample was 55. Twenty eight 50.9 of respondents had a good knowledge and 27 49.1 of respondents had a moderate knowledge. Twenty nine 52.7 of respondents had a moderate attitude, 20 36.4 of respondents had a good attitude and 6 10.9 respondents lack of attitude. Thirty 54.5 of respondents had a good practice and 25 45.5 respondent had a moderate practice. Conclusions Dominantly, respondents in this study had a good level of knowledge and moderate attitude toward abortion.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johnny Judio
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Endometriosis merupakan pertumbuhan jaringan mirip endometrium yang abnormal diluar uterus Studi menunjukkan peran infeksi yang memicu proses inflamasi berhubungan dengan awal mula terjadinya endometriosis. Berbagai macam mikroorganisme penyebab infeksi dari vagina dapat migrasi keatas kemudian menginfeksi dan mengkontaminasi dinding uterus. Akibatnya terjadi akumulasi endotoksin pada cairan mentruasi maupun cairan peritoneal menyebabkan inflamasi dan memicu pertumbuhan endometriosis. Tujuan: Membuktikan adanya korelasi antara mikroorganisme yang ditemukan pada hasil kultur bilasan vagina dengan mikroorganisme yang ditemukan pada cairan peritoneum hasil laparoskopi perempuan usia reproduksi yang terdiagnosis endometriosis Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik poltong lintang yang bertujuan untuk melihat adanya hubungan korelasi serta mengetahui tingkat korelasi antara mikroorganisme kultur bilasan vagina dengan mikroorganisme pada cairan peritoneum pasien endometriosis. Hasil: Hasil kultur bilasan vagina dari 31 subjek penelitian yang diteliti, mikroorganisme terbanyak adalah Enterococcus faecalis (32.3%), Eschericia coli (29.1%), dengan 16.1% dengan hasil kultur negatif. Sedangkan dari hasil kultur bilasan peritoneum terdapat 3 subjek (9.6%) dengan hasil positif yaitu dengan jenis bakteri Eschericia coli, Enterococcus faecalis, dan Pseudomonas. Terdapat korelasi lemah antara hasil kultur bilasan vagina dengan kultur bilasan peritoneum (r 0.13). Terdapat korelasi sedang antara kultur positif bilasan vagina dengan nyeri pelvik kronis, korelasi lemah antara kultur positif bilasan vagina dengan nilai Ca 125, dan korelasi lemah antara kultur positif cairan peritoneum dengan tuba kiri yang non paten. Kesimpulan: Sebagian besar bakteri dari bilasan vagina dan bilasan peritoneum pada pasien endometriosis memiliki hasil bakteri dari organ pencernaan. Terdapat korelasi lemah antara hasil kultur bilasan vagina dengan kultur bilasan peritoneum pada pasien endometriosis.
ABSTRACT
Background: Endometriosis is an abnormal endometrial like-tissue growth outside the uterus. Studies show the role of infection that triggers the inflammatory process associated with the onset of endometriosis. Various kinds of microorganisms even normal flora causing infection of the vagina can migrate upwards then infect and contaminate the uterine wall. Due to retrogade mestruation, mestrual fluid can entered the peritoneal cavity. As a result, accumulation of endotoxin in menstrual fluid and with retrograde menstruation endotoxins in peritoneal fluid causes inflammation and triggers the growth of endometriosis. Objective: To prove correlation between microorganisms in vaginal rinse cultures with microorganisms in peritoneal fluid culture in reproductive age women with endometriosis. Methods: This research use consecutive sampling with 31 subjects reproductive age women with endometriosis who performed surgery procedure. Vaginal bilasan and peritoneal fluid culture were performed. Research was approved by our institutional ethics commitee for health research in 2016 Results: Results of vaginal rinse culture of 31 subjects studied. Most of vaginal bilasan culture result in gastrointestinal bacteria. Most microorganisms were Enterococcus faecalis (32.3%), Eschericia coli (29.1%), with 16.1% with negative culture results. While the result of peritoneum rinse culture there are 3 subject (9.6%) with positive result that was with Eschericia coli bacteria type, Enterococcus faecalis, and Pseudomonas. There was weak correlation between vaginal rinse culture results and peritoneal rinse culture (r 0.13). There is a correlation between the positive culture of the vaginal rinse with chronic pelvic pain, between the positive culture of the vaginal rinse and Ca 125, and between the positive culture of the peritoneal rinse with the non-patent left tube. Conclusion: Most of vaginal and peritoneal rinse culture in endometriosis patients result in gastrointestinal bacteria. There was weak correlation between vaginal swab and peritoneal rinse culture.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ovalina Wisman
Abstrak :
Latar Belakang: Infertilitas merupakan salah satu permasalahan pasangan suami istri yang cukup sering ditemui dengan prevalensi berkisar pada 13-15%. Permasalahan infertilitas apabila tidak segera ditangani, dapat berakibat pada berbagai permasalahan seperti ekonomi, psikologis, maupun masalah medis. Diantara faktor penyebab infertilitas, 40% diantaranya berasal dari wanita dengan faktor terbanyak berupa faktor tuba. Sampai saat ini, jenis pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengevaluasi tuba adalah histerosalpingografi (HSG) karena cara pengerjaan mudah, harganya yang lebih terjangkau dan masih dapat memberikan angka sensitivitas yang cukup baik. Meskipun demikian, pemeriksaan dengan HSG ini memiliki banyak kekurangan yakni metode yang invasif, menimbulkan rasa kurang nyaman, beresiko infeksi atau alergi, serta akurasi yang lebih rendah dibanding baku emas pemeriksaan faktor tuba yaitu laparoskopi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penilaian akurasi pemeriksaan HSG dalam menilai faktor tuba jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi yang data menilai faktor tuba dan temuan patologi organik lainnya pada perempuan infertil. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi Ciptomangunkusumo (RSCM) dan rumah sakit YPK Menteng Jakarta dengan sampel berupa 93 wanita infertil yang diduga memiliki faktor tuba serta menjalani pemeriksaan HSG dan laparoskopi selama Juli 2014 sampai dengan Juni 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data rekam medis dari pasien yang telah menyetujui menjadi subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan oleh peneliti. Penilaian akurasi HSG dalam menilai faktor tuba dilakukan dengan melihat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif dari HSG jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi, dan data dianalisis dengan analisis bivariat (crosstab) untuk menentukan signifikasi. Hasil: Dari hasil analisis statistik didapatkan skor kappa adalah 0,484 (0,306-0,662, Cl 95%), yang berarti konsistensi hasil dari dua alat pemeriksaan dalam perhitungan moderat. Evaluasi patensi tuba menggunakan HSG dan laparaskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif HSG secara berturut-turut 72,92%, 75,56%, 76,09%, dan 72,34%. Dengan nilai akurasi menggunakan HSG untuk mengevaluasi patensi tuba adalah 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%). Diskusi: Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan HSG memiliki tingkat akurasi yang baik, dan HSG dapat masih digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengevaluasi patensi tuba dan pasien infertil. PDari hasil penelitian ini penggunaan HSG tidak disarankan pada pasien usia 31-40 tahun menginat hasil statistik yang kurang mendukung.
Introduction: Infertility is of reproductive problems which is quite often encountered with a prevalence at 13-15%. Infertility which is not handled immediately can lead to various problems such as economic, psychological, or medical problems. Among the factors causing infertility, 40% of it came with the most factor of tubal factor. Until now, the type of examination used to diagnose tubal patency is hysterosalfingography (HSG) due to its affordable price. However, HSG examination has several shorthage such as invasive, painful sensation, risk of allergy, and low sensitivity compared to laparoscopy as the gold standard examination for tubal patency. Therefore, in this study the accuracy assessment carried out the ability of HSG information in view of tubal factors and other organic pathology findings in infertile women when compared with the gold standard is laparoscopy. Methods: This study was a cross-sectional study obtained from Departement of Obatetrics and Gynecology of Ciptomangunkusumo (RSCM) and YPK Menteng Hospital with sample of 93 infertile women with tubal factors and underwent HSG and laparoscopic examination during the period July 2014 through June 2015. Taking the sample is done by looking at medical record data patients who have agreed to bet he subject of research conducted by the investigator. Assessment and measurement of HSG in tubal factor was performed by looking at sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG when compared with laparoscopy as the gold standard. In addition, bivariate trials were conducted using chi-square to see whether or not any signifficant difference between examination of tubal patency using HSG and laparoscopy, and data were analyzed by variate analysis (crosstab) to determine the significance. Results: From the statistical analysis, the kappa score wa 0,484 (0,306-0,662, CL 95%), which means consistensy of result from two checking devices in moderate calculations. Evaluation of tubal patency, calculation of sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG 72,92%, 75,56%, 76,09%, and 72,34%. respectively. With accuracy values using HSG to evaluate tubal patency was 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%). Discussion: This research shows that the sensitivity, specificity, and positive values of HSG are low while negative score is high enough. This shows that the data of HSG in the number of tubal factors in this study is still relatively low compared with the standard standard of laparoscopy. A further search with a larger sample quantity to do can be more accurate predictive value from HSG.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Rizckya Badruddian
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Perimbangan antara hormon progesteron P4 dan estrogen E diketahui memiliki peranan penting dalam mekanisme inisiasi persalinan sebagai pemicu kontraksi dan dapat menentukan waktu terjadinya persalinan. Penurunan rasio P4:E2 pada akhir kehamilan menunjukan kesuksesan untuk terjadinya persalinan normal. Sehingga penelitian ini akan mencoba mempelajari apakah terdapat hubungan antara kadar P4 dan E2 dengan tingkat keberhasilan induksi persalinan. TUJUAN: Mengetahui hubungan antara kadar progesteron dan estradiol maternal terhadap keberhasilan induksi persalinan. DESAIN DAN METODE: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang berlangsung pada bulan Mei 2016 hingga April 2017 di Poliklinik dan IGD Kebidanan, RSCM. Pasien hamil aterm yang dilakukan induksi persalinan dan memenuhi kriteria penelitian akan diambil sampel darah untuk pemeriksaan kadar hormon progesteron dan estradiol pada sebelum memulai induksi. Subjek kemudian dinilai keberhasilan induksi persalinannya. HASIL: Dari 44 subjek yang mengikuti penelitian, 24 subjek berhasil dilakukan induksi persalinan dan 20 subjek gagal. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar progesteron di atas 60 ng/ml pada kelompok gagal induksi maupun berhasil induksi 66,7 vs 75 , p=0,55 . Kadar estradiol pada pasien yang berhasil dilakukan induksi memiliki rata-rata 16.916,28 2.574,75 pg/mL yang tidak berbeda jauh dengan kadar estradiol pasien yang gagal induksi yaitu 14.832,24 2374,47 pg/mL p=0.65. KESIMPULAN: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar progesteron dan estradiol maternal terhadap keberhasilan induksi persalinan. Penelitian lebih lanjut di multisenter dan dengan melakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor lain perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini. ...... BACKGROUND: The ratio between progesterone P4 and estrogen E hormones is known to have an important role in the mechanism of initiation of labor as a contraction trigger and can determine the time of birth. Decrease in P4 E2 ratio at the end of pregnancy could predict successful vaginal delivery. OBJECTIVE: This study was performed to evaluate the association of maternal P4 and E2 levels in patients who underwent labor induction and assess its success rate. METHOD: This cross sectional study was conducted in outpatient clinic and emergency room, Cipto Mangunkusumo General Hospital, between May 2016 and April 2017. Term pregnancy women who fulfilled the study criteria were recruited and blood sample was taken initially before labor induction was conducted. The outcome of labor induction was then followed up. RESULTS: 44 women were recruited in this study, 24 subjects had successful labor induction while the other 20 subjects were failed. There was no significant difference of progesterone level above 60 ng ml between failed of induction group and successful induction group 66,7 vs 75 , p 0,55 . Estradiol levels in subjects who successfully performed induction had an average of 16,916.28 2,574.75 pg mL which did not differ significantly from the failed of induction group with estradiol levels of 14,832.24 2374.47 pg mL p 0.65. CONCLUSION: There is no significant association between maternal progesteron and estradiol level to the success rate of labor induction. A multi center study perfoming adjustment to external factors is needed to confirm current data.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Essy Octavia
Abstrak :
Latar Belakang: Kejadian infertilitas di Indonesia 10-15 dari 39,8 juta wanita usia subur. Infertilitas dapat memberi masalah fisik, mental, sosial hingga perceraian. Sekitar 25 -50 perempuan infertil disertai endometriosis dan laparoskopi telah menjadi salah satu pilihan tatalaksananya. Dalam menjalani suatu metode, ahli bedah dan pasangan selalu ingin mengetahui peluang keberhasilan mereka baik dari data praoperasi ataupun intraoperasi. Lee dkk menyatakan keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi secara keseluruhan adalah 41,9 dan tidak berhubungan dengan derajat endometriosis atau temuan laparoskopi atau jenis operasi. Di Indonesia, belum ada studi yang membahas faktor yang paling mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pada perempuan yang menjalani metode laparoskopi operatif.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan kehamilan alamiah pasca laparoskopi operatif.Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Dengan total sampling, data diambil dari catatan pasien yang menjalani operasi laparoskopi karena infertilitas dengan endometriosis di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Yayasan Pemeliharaan Kesehatan YPK di Jakarta, Indonesia. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 20 untuk mengetahui hubungan antara usia, durasi infertilitas, jenis infertilitas, kadar CA-125, ukuran dan bilateralitas endometrioma, perlekatan organ genitalia interna, nodul endometriosis dan patologi tuba dengan keberhasilan kehamilan alamiah dalam 1 tahun pasca laparoskopi operatif.Hasil: Terdapat 70 subjek yang dianalisis. Sebanyak 32 subjek 45,7 hamil dalam satu tahun pasca laparoskopi. Lama infertilitas menggunakan titik potong ......Background and aims The incidence of infertility in Indonesia is 10 15 of the 39.8 million women of childbearing age. It can give physical, mental, social and divorce problems. Approximately 25 50 of infertile women cause by endometriosis. Laparoscopy operative LO has become one of its treatments. In choosing a method, surgeon and couples always want to know the chances of their success either from preoperative or intraoperative data. In Indonesia, there are no studies that address the factors influence the success of natural pregnancy in women undergoing LO methods. This study aims to determine what factors affect the success of natural pregnancy postoperative laparoscopy.Methods This study used a retrospective cohort design. With total sampling, the data were taken from the patient records who underwent laparoscopic operative due to infertility with endometriosis at RS Cipto Mangunkusumo and the Health Care Foundation Foundation YPK in Jakarta, Indonesia. Data analysis was performed with SPSS 20 software to determine the relationship between age, duration of infertility, type of infertility, ca 125 levels, size and bilaterality of endometrioma, internal genital adhesion, endometriosis nodules and tubal pathology with successful natural pregnancy in 1 year after laparoscopic operative.Result There were 70 subjects analyzed. A total of 32 subjects 45.7 were pregnant within one year after laparoscopy. The length of infertility using a
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library