Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fikri Faisal
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pneumonia komunitas CAP salah satu penyebab kematian tertinggi. Tujuan mengetahui respons pengobatan selama perawatan pasien CAP secara empiris serta faktor yang berkaitan dengan pola kuman, respons pengobatan, gejala klinis, laboratorium, foto toraks, lama rawat dan faktor komorbid di RS persahabatan.
Metode: Kohort prospektif pasien pneumonia komunitas rawat inap di RS Persahabatan selama 15 bulan terkumpul 47 pasien. Gejala klinis, hasil laboratorium, foto toraks dan hasil mikrobiologi. Sampel mirkobiologi dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian antibiotik.
Hasil: Terkumpul 47 pasien. laki-laki 74,5% dan perempuan 25,5%. Rerata umur 61 tahun. Gejala klinis awal paling banyak sesak napas 51% berkurang 27,7% dan batuk 32% berkurang 23,4%. Nilai awal leukosit rerata 15,27. sel/mm3 berkurang 12,0. sel/mm3. Foto toraks awal infiltrat 89,3% menurun 38,3%. Patogen pada sputum sebelum penggobatan Klebseiella pneumonia 34,0%. Hasil sputum pasca terapi empiris eradikasi 91.5%. Pengobatan antibiotik tersering seftriakson. Faktor komorbid tersering keganasan rongga toraks. Lama rawat minimal 4 hari dengan terapi sulih minimal 3 hari.
Kesimpulan: Pasien CAP paling dominan menunjukan gejala klinis sesak napas dan batuk, gambaran infiltrat pada foto toraks dan gram-negatif Klebsiella pneumonia pada sputum. Terjadi penurunan leukosit setelah pemberian antibiotik. Terapi empiris dengan antibiotik tunggal masih sensitif.

ABSTRACT
Introduction : Pneumonia is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patients. The purpose of this study is to determine treatment response for the empirical treatment of CAP patients and factors associated with patterns of bacteria, treatment response, clinical symptoms, laboratory and chest X-ray, length of stay and comorbidities in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods : Prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients at Persahabatan Hospital while 15 month. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray and microbiologic. Microbiologic sample is before and after antibiotic administration.
Results : There were 47 patients. Male accounted 74,5% and female 25,5%. The average age was 61 years old. Clinical symptoms before treatment were dyspnea 51% decreased to 27,7% and cough 32% decreased to 23,4%. Leukocytes count was 15,27 cell/mm3 decreased to 12,0 cell/mm3. Chest x-ray infiltrates 89,3% decreased to 38,3%. Before-treatment microbiological patterns were K. pneumoniae 34,0%. Result after empirical treatment was eradication 91,5%. The most frequent innitial antibiotic administration was ceftriaxone.The most frequent comorbidity was thoracic malignancy. The patients were hospitalized at least for 4 days with replacement therapy at least for 3 days.
Conclusion: Patients with CAP predominantly showed symptoms of dypnea and cough, infiltrates on chest x-ray and gram-negative Klebsiella pneumonia in sputum samples. There were resolution of leucocyte counts after antibiotic administration. Empirical antibiotic treatments with single drug were still sensitive."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Yenni Sari
"ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens malnutrisi pada kanker paru di rumahsakit cukup tinggi namun masalah tersebut sering tidak terdeteksi sejak awal. Pemeriksaan nutrisi secara rutin juga masih jarang dilakukan karena keterbatasan waktu, kondisi pasien juga hal-hal lain.
Penyebab malnutrisi pada pasien kanker bersifat multifaktorial dapat merupakan proses dari penyakit kanker itu sendiri, sebagai efek dari terapi kanker atau bahkan keduanya. Pada penelitian ini akan diteliti perubahan yang terjadi pada subjek setelah pemberian 3 siklus kemoterapi berdasarkan parameter indeks massa tubuh (IMT), persentase berat otot rangka dengan mengunakan alat bioelectrical impendance analysis (BIA) dan penilaian kadar albumin.
Tujuan :Mengetahui perubahan status gizi pada pasien KPKBSK berdasarkan arameter IMT, persentase otot rangka dan kadar albumin sebelum dan setelah 3 siklus kemoterapi.
Metode : Penelitian pre-post experimental pada pasien KPKBSK tahun 20132014 sebanyak 33 subjek yang mendapatkan kemoterapi dengan menilai perubahan IMT, persentase berat otot rangka dengan menggunakan alat BIA dan kadar albumin.
Hasil : Dari 33 subjek penelitian, status gizi kurang berdasarkan IMT sebanyak 17 subjek (56,6%), berdasarkan persentase otot rangka tidak normal 30 subjek (90,9%) dan hipoalbuminemia 27 subjek (81,8 %). Perubahan status gizi dengan penilaian parameter IMT, persentase otot rangka dan albumin sebelum kemoterapi I dan setelah kemoterapi 3 siklus dalam penilaian skala kategorik tidak didapatkan perubahan bermakna dengan nilai IMT (p=1,000), persentase otot rangka (p=1,0000) dan kadar albumin (p=1,000).
Kesimpulan : Terdapat perubahan bermakna dalam penilaian skala numerik dengan nilai median IMT sebelum kemoterapi I adalah 18,4 (16,90-25,00), median IMT setelah kemoterapi III adalah 18 (16,60-24) p=0,000. Nilai median albumin sebelum kemoterapi I adalah 3(2,80-4,0), median albumin setelah kemoterapi III adalah 2,90 (2,60-3,90) p=0,000. Nilai range persentase otot rangka sebelum kemoterapi I (26,7-32,2) menjadi (26,7-32,1) dan nilai mean setelah kemoterapi 29,58 ±1,69 dengan nilai p= 0,001.

ABSTRACT
Introduction : The prevalence of malnutrition in lung cancer at hospital is quite high but the problem is often not detected early. Nutrition routine examination is still rarely done due to time constraints, the condition of the patient are also other things. The cause of malnutrition in cancer patients is multifactorial that can be a process of cancer itself, as the effects of cancer therapy or both. This research investigates the changes that occur in the subject after administrating of 3 cycles of chemotherapy based on the parameters body mass index (BMI), percentage of skeletal muscle weight by using the tool bioelectrical impendance analysis (BIA) and the assessment of albumin.
Purpose: Knowing the changes in nutritional status in patients with KPKBSK based on parameters of BMI, the weight percentage of skeletal muscle and the albumin levels before and after 3 cycles chemotherapy.
Methods: Pre-post experimental study in patients with KPKBSK in the year of 2013-2014, a total of 33 subjects who received chemotherapy by assessing changes in BMI, weight percentage of skeletal muscle by using BIA and albumin.
Result: There are 33 subjects, less nutritional status based on BMI 17 subjects (56.6%), based on the percentage of abnormal skeletal muscle of 30 subjects (90.9%) and hypoalbuminemia 27 (81.8%). Parameter assessment of nutritional status with BMI, skeletal muscle percentage and albumin before chemotherapy I and after 3 cycles of chemotherapy in a categorical scale not found significant changes in the value of BMI (p=1.000), the percentage of skeletal muscle (p = 1.0000) and albumin levels (p = 1.000).
Conclusion:
There are significant changes in the assessment of a numerical scale with the median value of BMI before chemotherapy I are 18.4 (16.90 - 25.00), the median BMI after chemotherapy III is 18 (16.60 - 24) p = 0.000. The median value of albumin before chemotherapy I is 3 (2.80 - 4.0), the median albumin after chemotherapy III is (2.60 - 3.90) p = 0.000. Value of range skeletal muscle percentage before chemotherapy I becomes 26.7-32.2 26.7 - 32.1 and the mean value of 29.58 ± 1.69 after chemotherapy with p = 0.001.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Septiyanti
"Data mengenai luluh paru LP sangat terbatas mencakup karakteristik demografi, status hipertensi pulmoner HP , fungsi paru, kapasitas latihan, akivitas fisis dan kejadian rawat inap berulang. Penelitian ini memiliki desain potong lintang dengan 54 subjek. Echokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan terdapatnya kelainan jantung dan menentukan status HP. Subjek kemudian akan menjalani serangkaian prosedur antara lain wawancara, pemeriksaan fisis, uji jalan 6 menit 6MWT , uji fungsi paru dan pemeriksaan darah. Hipertensi pulmoner ditemukan pada 63 subjek dengan mPAP 29,13 13,07 sedangkan 55,9 diantaranya mengalami PH yang berat. Rawat inap berulang terjadi pada 44,4 , sesak napas mMRC >1 , aktivitas fisis, rawat inap berulang, luas lesi, CRP dan tekanan oksigen arteri memiliki hubungan bermakna terhadap status HP. Kadar CRP dan 6MWT merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pada LP-HP yang dianalisis dengan analisis multivariat. Echokardiografi sebaiknya dilakukan pada pasien LP. Pasien LP-HP mengalami sesak yang lebih berat, rawat inap berulang, lesi yang lebih luas, kadar CRP lebih tinggi, aktivitas fisis, uji fungsi paru, PaO2 dan indeks massa tubuh yang lebih rendah. Hasil spirometri dan kadar CRPmerupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian rawat inap berulang pada pasien LP-HP melalui analisis multivariat.

We investigated and provided datas about demographyc and clinical characteristics. We also found out the influencing factors of re hospitalization in destroyed lung with pulmonary hypertension patients. This is a cross sectional study involving 54 DL subjects. Echocardiography was performed to rule out cardiac abnormality and to establish their PH status. Subjects performed several procedures such as interview, physical examination, 6 minutes walking test 6MWT , lung function test, and blood tests to obtain all the neede data. Pulmonary hypertension was found in 63 of subjects with mPAP was 29,13 13,07 while 55,9 of DL PH subjects had severe PH. Re hospitalization occured in 44,44 subjects. We analyzed using chi square for categorical data and student t test and found a significant association of PH status in DL subjects with breathlessness by mMRC scale 1, physical activity, re hospitalization, body mass index, FVC, FEV1, FEV1 FVC, spirometry result, extend of lesion, CRP and arterial oxygen pressure. Level of CRP, VEP1 dan 6MWT had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis. Echocardiography should be performed among DL patients. Patients DL who got PH have more breathlessness, re hospitalization and extend of lesion, higher CRP level, lower physical activity, worse lung function test, lower PaO2 and lower BMI. Spirometri result, and CRP level had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasneta Ismail
"ABSTRAK
Latar Belakang: Efusi pleura merupakan masalah yang sering dijumpai oleh dokter paru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai diagnostik biopsi pleura tertutup dan pleuroskopi pada efusi pleura eksudat serta hubungan karakteristik subjek dan karakteristik penyakit dengan hasil diagnostik.Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien efusi pleura eksudat yang dilakukan tindakan biopsi pleura tertutup atau pleuroskopi. Data diambil dari catatan medis pasien RSUP Persahabatan Jakarta 2013-2015.Hasil : Total 100 subjek yang dibagi menjadi 50 subjek dilakukan biopsi pleura tertutup dan 50 subjek yang dilakukan pleuroskopi. Karakteristik subjek kelompok biopsi pleura tertutup didapatkan 60 laki- laki, rerata usia 48,22 tahun, perokok 58 sedangkan pada kelompok pleuroskopi 52 perempuan, rerata usia 50,66 tahun dan 46 perokok. Nilai diagnostik biopsi pleura tertutup pada efusi pleura eksudat adalah 50 sedangkan nilai diagnostik pleuroskopi lebih tinggi yaitu 82 . Pada kelompok biopsi pleura tertutup secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara usia p=0,020 , kadar protein cairan pleura p=0,026 dan karakteristik penyakit p=0,047 terhadap hasil diagnostik.Kesimpulan : Nilai diagnostik pleuroskopi lebih tinggi dibandingkan biopsi pleura tertutup pada pasien efusi pleura eksudat. Usia, kadar protein cairan pleura dan karakteistik penyakit berhubungan dengan hasil diagnostik biopsi pleura tertutup

ABSTRACT
Background Pleural effusion is a common diagnostic dilemma for the pulmonologist. The aim is to obtain the diagnostic value of closed pleural biopsy and pleuroscopy in exudative pleural effusion and the association of subjects characteristic and the characteristic of the disease with the diagnostic yield.Method This is a cross sectional study in patients with exudative pleural effusion which performed closed pleural biopsy and pleuroscopy. Data retrieved from the medical records of Persahabatan hospital from 2013 ndash 2015.Results A total of 100 subjects were divided into 50 subjects that performed closed pleural biopsy and 50 subjects performed pleuroscopy. Characteristics of closed pleural biopsy subjects were 60 male, mean age was 48,22 years and smokers were 58 while characteristics of pleuroscopy subjects, 52 female, mean age 50,66 years and 46 smokers. Closed pleural biopsy has a diagnostic value of 50 and pleuroscopy at 82 . There was a statistically significant relationship between age p 0,020 , pleural fluid protein level and disease characteristic with diagnostic yield of closed pleural biopsy.Conclusion Pleuroscopy has higher diagnostic value than closed pleural biopsy in patients with exudative pleural effusion. Age, pleural fluid protein levels and disease characteristic are associated with diagnostic yield of closed pleural biopsy."
2016
T55657
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Isti Mardiana
"Latar Belakang : Lima belas persen (15%) pasien yang terinfeksi COVID- 19 jatuh ke dalam kondisi penyakit yang berat dan memerlukan suplementasi oksigen (O2). Lima persen (5%) lainnya mengalami perburukan lebih lanjut dan jatuh ke dalam penyakit kritis dengan komplikasi. Pemberian terapi O2 dilakukan segera kepada pasien dengan atau tanpa tanda-tanda kegawatdaruratan dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
kohort prospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan periode 31 Juli 2021 – 30 September 2021. Subjek penelitian didapatkan dari pasien yang datang ke IGD RSUP Persahabatan sejak 30 Juli 2021 – 30 September 2021 dan terdiagnosis COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR usap tenggorok positif. Dilakukan pengumpulan data klinis, tanda vital, pemeriksaan penunjang dan Skor APACHE II sejak subjek tiba di IGD hingga masuk ruang rawat dalam 24 jam pertama. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19 (p 0,257). Selain itu, tidak ditemukan perbedaan bermakna skor APACHE II pada kelompok pasien dengan derajat keparahan COVID-19 yang berbeda pada PaO2 sesuai hasil pemeriksaan AGD (p 0,073) namun didapatkan hubungan yang bermakna pada penggunaan PaO2 seusai kurva disosiasi O2 (p <0,001).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor
APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.

Background : Fiftheen percents (15%) patients infected with COVID-19
falls to severe disease and require oxygen (O2) therapy and the other 5% suffered
progressive worsening to critical disease with complications. Oxygen therapy
conducted in patients with or without emergency condition with low O2 saturation
(SpO2 < 90%). This study aim to determine the correlation between Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score with desaturation
in Pnuemonia COVID-19 patients.
Methods : A prospective cohort observational analytic study
conducted at National Respiratory Ceter Persahabatan Hospital Emergency Unit
from July 2021-September 2021. The study subjects were patients admitted to
Emergency Unit and diagnosed with COVID-19 from positive result of
nasopharing PCR swab. Clinical data, vital signs, supportive examination and
APACHE II score are collected since Emergency Unit admission to inward unit in
first 24 hours.
Results : There were 100 subjects participating in this study. The
result stated there were no significant correlation between APACHE II Score with
desaturation in Pneumonia COVID-19 patients (p-value 0,257). There was also no
significant correlation between APACHE II score with disease severity of COVID-
19 based on O2 partial pressure collected from blood gas analysis examination (pvalue
0,073) but there was a significant correlation between APACHE II score with
disease severity of COVID-19 based on O2 partial pressure referred to O2
dissociation curve (p-value <0,001).
Conclusion : There was no significant correlation between APACHE II
Score with desaturation in Pneumonia COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Anwar
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyebab kematian pada kanker paru seringkali tidak tergambarkan dengan jelas. Penelitian ini untuk mengetahui gambaran penyebab kematian pada kanker paru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RS Persahabatan dan untuk mengetahui kesesuaian antara penyebab kematian yang terdapat dalam lembar kematian dengan penyebab kematian sesuai dengan audit kematian. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di RS Persahabatan dengan subjek penelitian adalah semua pasien kanker paru yang mengalami kematian pada Januari 2010 – Desember 2011. Penyebab kematian langsung dan tidak langsung pada pasien kanker paru dicatat dari rekam medis kemudian dilakukan audit kematian dan dinilai kesesuaian dengan penyebab kematian langsung dan tidak langsung yang tertulis di rekam medis dengan audit kematian. Hasil: Total data kematian dari 96 rekam medis. Penyebab kematian langsung berdasarkan rekam medis adalah efusi pleura masif 19 kematian (19,8%) sedangkan penyebab kematian tidak langsung menurut rekam medis adalah sepsis s 44 kematian (45,8%) Sementara itu, penyebab kematian langsung berdasarkan audit kematian terbanyak adalah efusi pleura masif 48 kematian (50%), penyebab kematian tidak langsung menurut audit kematian adalah sepsis 16 kematian (16,7%). Lembar kematian yang sesuai dengan rekam medis adalah 43 kasus (44,8%) dan yang tidak sesuai 53 kasus (55,2%) sedangkan SOP yang dijalankan adalah 37 kasus (38,5%) dan SOP yang tidak dijalankan 59 kasus (61,5%). Alasan mengapa SOP tidak dijalankan adalah karena keadaan umum pasien yaitu 12 kasus (20,3%) sedangkan karena biaya dan administrasi 47 kasus (79,6%). Dari hasil uji statistik yang menilai hubungan antara SOP yang dijalankan dengan faktor pembiayaan ternyata tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p=0,48). Diskusi : Audit kematian memang bukan standar baku emas penentuan penyebab kematian melainkan dengan autopsi klinis. Dalam konteks sosial dan budaya di Indonesia, autopsi klinis tidak mudah dilakukan sebagai penentu penyebab kematian. Dalam penelitian ini audit kematian mempunyai peran jaminan dan kendali mutu layanan kesehatan. Ketidaksesuaian penyebab kematian antara rekam medis dan kematian, serta seberapa banyak SOP yang dijalankan dan mengapa SOP tidak dijalankan dapat diungkapkan. Walaupun dari penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pembiayaan dengan SOP yang dijalankan atau tidak..

ABSTRACT
Introduction: The causes of death for patients with lung cancer were inadequately described. This study objectives were to describe the causes of death in lung cancer and contributing factors in Persahabatan Hospital and to describe discrepancies between the causes of death from medical records and death audit. Method: A cross sectional study was held in PersahabatanHospital involving lung cancer patients who were died between January 2010 to December 2011. The immediate and indirect causes of death from medical records were assessed and compared with death audit. The discrepancies between were analysed. Result: A total of 96 cases were found from medical record, massive pleural effusion was found as the immediate causes in 19 cases (19.8%), while sepsis was found as the indirect causes 44 cases (45.8%). From the death audit, massive pleural effusion was found as immediate causes in 48 cases (50%), while sepsis was found asthe indirect causes 16 cases (16.7%). The discrepancies between both were found in 53 cases (55.2%). SOP was executed in 37 cases (38.5%) and unexecuted in 59 cases (61.5%). The reason of unexecuted SOP due to cost was found in 47 cases (79.6%). There is no significant correlation between the executed SOP with cost was found in factors (p=0.48). Discussion : The death audit is not the gold standard method in determining the causes of death but the clinical autopsy. This study reveals that death audit have roles inhealth care quality control and assurance. The causes of death discrepancies, the unexecueted SOP, and why SOP could not be executed could be revealed from this study."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadillatul Zannah
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hubungan rokok dengan kerusakan paru merupakan bagian dari proses inflamasi, peningkatan stres oksidatif dan peningkatan protease. Banyak proses ini dimodulasi oleh vitamin D. Data terkini menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D memiliki kaitan dengan gangguan pernapasan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai vitamin D laki-laki perokok dan laki-laki bukan perokok di Indonesia serta nilai CO ekshalasinya.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan pada Agustus 2017 dilakukan pada subjek laki-laki di kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jumlah sampel sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang perokok dan 30 orang bukan perokok dipilih secara consecutive sampling. Wawancara dilakukan untuk mengisi kuesioner data dasar, kuesioner Fagerstrom, skor pajanan sinar matahari dan asupan gizi. Dilakukan pengukuran CO ekshalasi dengan menggunakan alat pengukur CO portable dan pengambilan darah untuk pemeriksaan vitamin D.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil sebagian besar peserta (90%) mengalami defisiensi vitamin D. Rerata nilai vitamin D pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan kelompok bukan perokok (15,21±3,15 ng/ml vs 16,9±2,9 ng/ml, p=0,029). Rerata kadar CO ekshalasi lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan kelompok bukan perokok (17,3±12,54 ppm vs 5,4±2,51 ppm, p=0,000). Perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dibandingkan bukan perokok (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Peserta perokok lebih banyak mengalami dada terasa berat dibandingkan bukan perokok (10% vs 2%, p=0,024).
Kesimpulan: Sebagian besar peserta mengalami defisiensi vitamin D. Nilai vitamin D pada perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Nilai CO ekshalasi perokok lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan perokok. Peserta perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dan kehabisan napas dibandingkan bukan perokok.

ABSTRACT<>br>
Introduction: Lung destructionis mediated in part through inflammation, oxidativestress and increased proteases. Many of these processes are modulated by vitamin D. Recent data suggest vitamin D deficiency associated with respiratory diseases. This study aims to compare vitamin D serum concentration and exhaled air CO level among male smokers and non smokers.
Methods: This study used cross sectional method conducted on Agustus 2017. A total subject consist of 30 smokers and 30 non smokers selected based on consecutive sampling. Interview was done to fill out question about sociodemografic and smoking habit, Fagerstrom test for nicotine dependence, vitamin D intake, sun exposure score, measurement of serum vitamin D concentration using CLIA method and breath CO measurement using portable CO analyzer ((piCO+cSmokerlyzer Bedfont).
Results: Serum vitamin D concentration were found to be deficient in 54 subject (90%) and none were in the standard normal range. Average vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers (15,21 ± 3,15 ng/ml vs 16,9 ± 2,9 ng/ml, p=0,029). Average exhaled air CO levels were 17,3 ± 12,54 ppm in smokers, significantly higher compared to non smokers with level of exhaled air CO were 5,4±2,51 ppm (p=0,000). Respiratory simptoms (sputum) in smokers were frequent compared to non smokers (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Chest tightness were frequent in smokers compared to non smokers (10% vs 2%, 0,024).
Conclusion: Serum vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers. Exhaled air CO levels in smokers is higher than non smokers.Respiratory simptoms (sputum and chest tightness) in smokers were frequent compared to non smokers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
"Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi.
Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan.
Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini.

Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead.
Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear
Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study
Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Kartika Ratna
"ABSTRAK
Pendahuluan
Penyakit infeksi paru dan kanker paru termasuk 5 penyakit respirasi terbanyak ditemukan di dunia. Infeksi pernapasan akut menyebabkan 4 juta kematian per tahun dan kanker paru sebanyak 1,18 juta kematian secara terpisah. Penyakit infeksi juga merupakan bagian dari perjalanan penyakit kanker paru dan menjadi salah saru penyebab kematian tersering pada kanker paru berkisar 50-70% kasus. Tren munculnya patogen baru dan meningkatnya angka resistensi obat menyebabkan penanganan infeksi ini menjadi lebih sulit.
Metode Studi deskriptif potong lintang pada pasien kanker paru yang dilakukan bilasan bronkus dan diperiksakan biakan mikroorganisme dari bahan bilasan tersebut. Jumlah sampel adalah total sampling dalam kurun waktu 1 tahun. Penelitian dilakukan di SMF Paru RSUP Persahabatan.
Hasil
Bakteri yang banyak ditemukan pada pasien kanker paru merupakan golongan gram negatif dengan species terbanyak adalah K. pneumonia dan B. cephacia. Ditemukan resistensi obat pada hampir semua jenis bakteri dan minimal dari 2 golongan antibiotik. Jenis jamur yang terbanyak dari genus Candida yaitu C. Albicans. Ditemukan resistensi obat anti jamur golongan azol pada species C. tropicalis, C. krusei dan A. Flavus. Hanya ditemukan 2 pasien kanker paru dengan biakan M. tuberculosis positif dari 108 pasien yang diperiksa dan tidak ditemukan resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama.
Kesimpulan
Pemeriksaan jenis mikroorganisme pada saluran napas bawah pasien kanker paru perlu dilakukan sebagai dasar pemberian terapi empiris bila terjadi infeksi
Introduction: Lung infections and lung cancer include in 5 most common respiratory diseases in the world. Acute respiratory infection and lung cancer caused 4 million deaths per year and 1.18 million deaths respectively. Infectious diseases are part natural course of lung cancers and become one of the most common causes of death in lung cancer patients ranging from 50-70%. The emergence of new pathogens and the increasing numbers of drug resistance causing infections treatment become more difficult.
Method: A cross-sectional descriptive study obtaining cultured microorganisms results in lung cancer patients who have been performed bronchial washings. These have been a total sampling within a period of 1 year. Research has been conducted in the Department of Pulmonology Persahabatan Hospital.
Result: Most common bacteria type found in lung cancer patients belong to gram-negative group with K. pneumoniae and B. cepacia as the most common species. Drug resistance found in most of bacteria from at least two classes of antibiotics. Most common types of fungi come from Candida genus, namely C. albicans. Drugs resistance in antifungal drug, azole, was found in C. tropicalis, and C. krusei. Only 2 lung cancer patients had M. tuberculosis positif culture from 108 patients were examined and first line anti-tuberculosis drugs resistance was not found.
Conclusion: Microorganism culture obtained from lower respiratory tract in lung cancer patient is neccesary as basis of empiric therapy when infection occurs"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nukeseny
"ABSTRACT
Latar belakang: Diagnosis pasti kanker paru ditegakkan dengan menemukan sel ganas pada pemeriksaan sitologi/ histopatologi pada spesimen yang didapat dari berbagai prosedur diagnostik.Tujuan: Untuk mengetahui jumlah sel ganas dari pemeriksaan sitologi yang didapat dari berbagai prosedur diagnostik TTNA terpandu CT scan, TTNA tidak terpandu, TTNA terpandu USG, BJH, sikatan bronkus, bilasan bronkus, TBNA, BAL, sitologi cairan pleura dan sitologi sputum .Metode: Penelitian potong lintang pada slide pasien kanker paru dari pemeriksaan sitologi yang ditegakkan dari berbagai prosedur diagnostik di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari laborarorium Patologi Anatomi, Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dan data khusus Adenokarsinoma paru diambil dari laboratorium KalGen Jakarta Pusat pada periode 1 Juni 2015 sampai 31 Juli 2016. Slide pasien yang mengandung sel ganas akan dikoding oleh SpPA dan dihitung jumlahnya dibawah mikroskop dibawah supervisi Sp.PA.Hasil: Sampel penelitian 425 slide sitologi dengan karateristik pasien laki-laki 72,5 median usia 57 tahun, range usia 26-92 tahun dan pasien kanker paru perempuan 27,3 median usia 54 tahun, range usia 18-84 tahun . TTNA terpandu CT Scan merupakan prosedur diagnostik yang paling sering dapat menemukan sel ganas > 200 16,9 , diikuti BJH dengan jumlah sel > 200 11,8 , TTNA tidak terpandu dengan jumlah sel ganas > 200 7,3 . Jumlah sel ganas minimal yang memungkinkan untuk pemeriksaan molekuler lanjutan EGFR khususnya pada jenis adenokarsinoma paru adalah didapatkan 0,8 pemeriksaan EGFR pada jumlah sel ganas < 50 sel dan semakin tinggi jumlah sel ganas maka semakin memungkinkan untuk pemeriksaan molekuler lanjutan. Jumlah slide mempengaruhi jumlah sel ganas yang didapatkan nilai p=0,000 dan semakin banyak jumlah slide maka semakin banyak juga jumlah sel ganas yang didapatkan.Kesimpulan: Jumlah sel ganas pada slide sitologi kanker paru paling banyak ditemukan dengan pemeriksaan TTNA terpandu CT scan, dikuti BJH dan TTNA tidak terpandu. Jumah slide mempengaruhi jumlah sel ganas nilai bermakna, p= 0,000 .Kata kunci: Kanker paru, sel ganas, slide sitologi, prosedur diagnostik
ABSTRACT
Background A definitive diagnosis of lung cancer by finding malignant cells on cytology histopathology examination of the specimen obtained from a variety of diagnostic procedures.Objective To determine the number of malignant cells of cytologic examination that are obtained from a variety of diagnostic procedures CT guided TTNA, unguided TTNA, ultrasound guided TTNA, FNAB, bronchial brushing, bronchial washing, TBNA, BAL, cytology examination of pleural fluid and sputum cytology .Methods A cross sectional study in lung cancer patients slides from cytological examination from a variety of diagnostic procedures in the Central General Hospital Persahabatan. Data are taken from Anatomical Pathology laborarorium, Medical Record of Central General Hospital Persahabatan and the specific data of lung adenocarcinoma taken from the laboratory KalGen in Central Jakarta from1 June, 2015 until July 31, 2016. Slides containing malignant cells of patients are to be coded by SpPA and numbered under a microscope under the supervision of Sp.PA.Results The research sample with characteristic cytologic slide of 425 male patients were 72.5 median age 57 years, range 26 92 years of age and female lung cancer patients were 27.3 median age 54 years, age range 18 84 year . CT guided TTNA was a diagnostic procedure that was most often able to find malignant cells 200 16.9 , followed by the BJH of cell counts 200 11.8 , unguided TTNA with the number of malignant cells 200 7.3 . Minimal number of malignant cells that were possible for advanced molecular examination EGFR , particularly on the type of lung adenocarcinoma was obtained 0.8 EGFR examination in the number of malignant cell "
2016
T55662
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>