Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johana Titus
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui status metabolisme penderita SHD rawat inap di rumah sakit, dan memperoleh rumus untuk menentukan kebutuhan energi yang sesuai dengan status metabolisme penderita.
Tempat: Bagian Gizi dan Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta.
Metode Penelitian didisain Cross Sectional, pada 49 subyek SHD laki-laki atau perempuan 30-80 tahun yang diseleksi secara konsekutif, dan 40 kontrol sehat yang diseleksi secara random dari karyawan RSSW. Data REE diperoleh dari hasil pemeriksaan konsumsi O2 dan CO2 yang dikeluarkan tubuh, dengan mempergunakan Kalorimeler Indirek. Asupan makanan dicatat selama 3 hari berturut-turut sebelum pemeriksaan REE. Data antropometri (LLA, TLLBK, KAOLA, TB, dan BB) dan pengumpulan urin dilakukan satu hari sebelum pemeriksaan REE, pengambilan darah untuk pemeriksaan IGF-l dan GH dilakukan setelah pemeriksaan Kalorimetri Indirek. Uji Statistik: Univariat mempergunakan tes Kormogorov Smimov, Bivarial mempergunakan uji t tidak berpasang, uji Mann Whitney dan Korelasi Pearson. Uji multivariat mempergunakan uji regresi linier ganda.
Hasil dari 49 subyek SHD yang masuk RS karena komplikasi: hematemesis (34,69%), malaria (46,94%), ikterus (55,1%), dan yang terbanyak asites (87,76%). Dari jumlah tersebut 67,35% tergolong Child C, sisanya Child B. Ditemukan 63,27 % subyek SHD mengeluh mual dan 75,52% anoreksia. Rerata asupan energi subyek SHD secara bermakna lebih rendah dari kontrol sehat (1282,04 ± 229,85 vs 1448,71 ± 325,56; p = 0,006), dan mempunyai korelasi dengan derajat penyakit. Proporsi asupan terhadap kebutuhan energi subyek SHD hanya mencapai 79,49% ± 17,60% REE. Proporsi asupan terhadap kebutuhan energi lebih besar pada subyek SHD yang tanpa keluhan mual dan anoreksia. Penelitian ini menemuken 73,57 % dari subyek SHD daiam keadaan malnutrisi, dan 58,26 % diantaranya (42,86% total subyek SHD) dalam keadaan muscle wasting (AOLA pada persentil < 5) dan menunjukkan korelasi dengan asupan energi (p=0,007). Meningkatnya mobilisasi lemak dan oksidasi substrat lemak ditandai oleh TLLBK pada lebih dari 67% subyek SHD pada persentil < 15 dan RQ = 0,7 ± 0,08, serta menunjukkan korelasi yang bermakna dengan kurangnya asupan energi (p = 0,005). Meningkatnya mobilisasi lemak dan lipolisis diduga mempunyai hubungan dengan rendah IGF-1 dan tingginya GH dalam darah. Walaupun oksidasi lemak diduga untuk mencegah berlanjutnya katabolisme otot, penelitian ini menunjukkan katabolisme otot berlanjut, hal ini ditandai dengan; imbang nitrogen negatif, rasio NUU/K.AOLA subyek SHD bermakna lebih tinggi dari kontrol sehat, dan RQ sekitar 0,43-0,86. Namun, pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang bermakna REE subyek SHD dengan kontrol sehat; hal ini disebabkan oleh menurunnya massa otot, dan meningkatnya oksidasi substrat lemak sehingga konsumsi oksigen dan REE rendah. Data menunjukkan rasio REE/K.AOLA bermakna lebih tinggi dari kontrol sehat. Keadaan ini menujukkan subyek SHD dalam kondisi hipermetabolisme disertai penyimpangan metabolisme yang dapat ditandai oleh berlanjutnya mobilisasi lemak; oksidasi substrat lemak (tak sempurna); dan oksidasi substrat protein berlangsung bersama. Asupan nutrisi, komposisi tubuh, dan status metabolisme penderita SHD telab diidentifikasi merupakan acuan penting untuk menentukan REE. Dengan menggunakan variabel; rerata asupan energi, komposisi tubuh (TB, BB, AOLA, dan lainnya) dan derajat penyakit (skor Child-Pugh, albumin, dan NUU) sebagai variabel independen. Melalui uji regresi linier ganda (metode STEPWISE) penelitian ini menemukan 3 variabel merupakan determinan kuat REE yaitu TB, AOLA dan kadar albumin. Dan uji tersebut diperoleh persamaan model yang merupakan model REE estimasi SHD yang reliabel, sehingga dapat direkomendasikan sebagai rumus estimasi REE atau kebutuhan energi penderita SHD yaitu :
kebutuhan energi = -270,40+17,26*AOLA - 217,83*Albumin + 11,42*TB.
Kesimpulan Pada penderita SHD, keadaan hipermetabolisme tidak dapat ditentukan hanya dengan indikator REE. Hipermetabolisme pada subyek SHD menjadi nyata dengan menentukan REE/K.AOLA dan NUU/K.AOLA. Nasib oksidasi makronutrien pada SHD berbeda dengan pada starvasi. Pada subyek SHD lerjadi rangsangan mobilisasi lemak, oksidasi substrat lemak, katabolisme protein otol, dan oksidasi substrat protein secara bersama. Keadaan yang membuktikan adanya penyimpangan metabolisme. Dengan uji regresi limier ganda (metoda STEPWISE), AOLA, albumin dan tinggi badan ditemukan sebagai determinan kuat dari REE atau kebutuhan energi pada penderita SHD rawat inap di RS.

ABSTRACT
Objective: To study the metabolic status of the Decompensated Liver Cirrhotic (DLC) patients who were hospitalized, and to formulate the equation of energy requirements equal to their metabolic status.
Places: The Department of Nutrition and the Department of Internal Medicine at Sumber Waras Hospital (SWH), Jakarta.
The cross sectional study was carried out on 49 DLC subjects, aged 30-80 years, selected consecutively, and on 40 healthy control subjects, selected at random, from SWH staff. The REE data was determined by assessing the Oz consumption (V02) and CO2 production (VCO2] using an Indirect Calorimeter. Food intake was recorded for 3 consecutive days before determining REE. The anthropometrics data (AC, TSF, C.AMA, Height and Weight) and urine samples were assessed one day prior to determining REE. The blood samples for determining IGF-1 and GH were taken after the Indirect Calorimetric assessment (REE data). The statistical tests: Univarian (using Kormogorof-Smimov), Bivarian (using unpaired T-tests, Mann-Whitney and Pearson Correlation), Multivariate (using multiple linear regression).
Results The 49 DLC subjects were hospitalized mainly due to complications of ascites (87.76%); many also suffered with hematemesis (34.69%), melena (46.94%), or icterus (55.1%). Of the 49 subjects, 67.35% were classified as Child C, the rest were Child B. The subjective findings were nausea (63.27%) and/or anorexia (75.52%). The mean energy intake of DLC subjects was significantly lower than the control (healthy volunteers) (1282.74 229.85 vs. 1448.71 * 325.56; p = 0.006), and had a correlation to the degree of disease, Their intake had only been 79.49 17.60% of REE. The proportion of food intake to energy requirements was larger in the DLC subject who had no symptoms of nausea and anorexia. This study has proved that 73.57% of DLC subjects had malnutrition, and 58.26 % of them (42.86 % of all DLC subjects) were in a muscle wasting condition (the percentile of AMA < 5). Il showed a correlation to a decrease in the energy intake (p = 0.007). The increase of fat mobilization and lipid substrate oxidation were shown by the DLC subjects' TSF of more than 67% with a percentile of less than 15 and the mean RQ = 0.7 ± 0.08. This also had a significant correlation to a decrease in the energy intake (p = 0.005). The increase of fat mobilization and lipolysis was assumed to have a correlation with the low level of blood IGF-1 and the high levels of blood GH. The increase of lipid substrate oxidation was assumed to prevent the subsequent of muscle catabolism, however this study showed that the process of muscle catabolism does not end, which was marked by a negative nitrogen balance, a significantly higher the UNUIC.AMA than the control and a RQ of 0.43 - 0.86. In this study, there was no significant difference between the REE of the DLC subjects and the control; this was due to the decrease of muscle mass and the increase of lipid substrate oxidation. This caused a low V02 consumption and a low REE. This study showed REEIC.AMA of the DLC subjects was significantly higher than the control. This condition indicated that the subjects were hyper metabolic with several abnormalities in metabolism such as: continued stimulation causing lipid mobilization from adipose tissue; incomplete oxidation of fatty acid and protein substrate oxidation running together. Energy intake, body composition, the metabolic status of DLC patients was an important reference for the identification of the REE. By using variables which influenced REE, i.e. the mean energy intake, body composition (height, weight, C.AMA, etc.) and the degree of disease severity (Child-Pugh score, albumin, and UNU), which were tested by the multiple linear regression of STEPWISE method, the equation model has been formulated and tested The final equation for estimating energy requirement is:
Energy requirements = -270.40 + 17.26*AOLA - 217.83*Albumin + 11.42?Height.
Conclusion RITE is not the only indicator of hyper metabolism in DLC patients. Hyper metabolism can be identified in DLC patients using REFIC.AMA and UNUIC.AMA. This study has proved abnormalities in metabolism of DLC patients as follows: continued stimulation causing lipid mobilization from adipose tissue; oxidation of fatty acid; muscle protein catabolism; and protein substrate oxidation running together. Through multiple linear regression analysis (the STEPWISE method), AMA, albumin level and height have been found as strong determiners of REE or determiners of energy requirements for DLC subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
D476
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilani Kumala
"Insiden dan prevelansi penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Malnutrisi energi protein (MEP) sering dijumpai pada penderita PGK dengan dialisis (PGK-D) ataupun sebelum mendapat terapi dialisis (PGK-ND). Malnutrisi energi protein pada PGK-ND dapat menurunkan kualitas hidup, meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta merupakan prediktor yang kuat terhadap survival penderita PGK-D di kemudian hari. Tujuan penelitian untuk memperoleh parameter komposisi tubuh dan fungsi otot yang dapat mendeteksi kecenderungan terjadinya MEP pada penderita PGK-ND.
Metode. Penelitian dilakukan di Bagian Penyakit Dalam RS Sumber Waras, RS PGI. Cikini, RS Islam Jakarta dan Universitas Tarumanegara dengan rancangan cross sectional. Subyek penelitian: 45 penderita PGK-ND (30 laki=laki, 15 perempuan) dan 45 subyek kontrol yang disepadankan jenis kelamin, usia (PGK-ND 48,2 ≠7,3 tahun, kontrol 47,7 + 6,2 tahun) tinggi badan (PGK-ND 159,4 ≠ 7,5 cm, kontrol 160,6 ≠ 7,6 cm) dan indeks massa tubuh (IMT) (PGK-ND 22,4 ≠ 3,4 kg/m2, kontrol 22,5 ≠ 3,1 kg/m2). Status nutrisi dikelompokkan dalam status nutrisi kurang, normal dan lebih berdasarkan IMT, WHO, 1995. Pada penderita dan subyek kontrol dilakukan penilaian asupan nutrisi (tanya ulang 2 X 24 jam dan pncatatan asupan makanan), pemeriksaan biokimiawi (darah dan urin), pengukuran komposisi tubuh (antropimetri dan bioelectric impedance analysis, BIA). dan fungsi otot (kekuatan genggam tangan).
Hasil. Penderita dan subyek kontrol didapatkan 7 (15,6%) status nutrisi kurang, 28 (62,2%) normal dan 10 (22,2%) lebih. Rerata laju filtrasi glomerulus penderita PGK-ND sebesar 19,3 + 1,7 mL/men/1,73m2, 13 (28,9%) penderita stadium 3, 17 (37,8%) stadium 4 dan 15 (33,3%) stadium 5. Konsentrasi albumin, prealbumin dan insulin like growth factor-1 (IGF-1) penderita PGK-ND tidak berbeda bermakna berdasarkan status nutrisi dan stadium PGK. Konsentrasi transferin didapatkan lebih tinggi bermakna pada penderita PGK-ND status nutrisi lebih dibandingkan dengan status nutrisi kurang dan normal. Konsentrasi C reactive protein (CRP) lebih tinggi bermakna pada penderita PGK-ND status nutrisi kurang dibandingkan dengan status nutrisi baik. Derajat asidosis metabolik (konsentrasi HCO3) penderita PGK-ND tidak berbeda berdasarkan status nutrisi dan stadium PGK. Secara antropometri massa bebas lemak (MBL), indeks-MBL (I-MBL), massa lemak (ML) dan persen (ML penderita PGK-ND tidak berbada bermakna dengan subyek kontrol. Berdasarkan BIA didapatkan MBL, dan I-MBL, persen ML penderita PGK-ND lebih tinggi bermakna dibandingkan subyek kontrol (p < 0,05). Massa bebas lemak (MBL), I-MBL dan ML mempunyai linearitas dengan klasifikasi status nutrisi berdasarkan uji trend analysis. Massa bebas lemak dan I-MBL berkolerasi dengan IMT. Massa bebas lemak, I-MBL, ML dan PGK-ND tidak berbeda dengan subyek kontrol dan berdasarkan status nutrisi serta stadium PGK. Status (KGT) penderita lebih rendah bermakna dibandingkan dengan kontrol, dan KGT penderita dengan status nutrisi kurang lebih rendah bermakna dibandingkan dengan status nutrisi baik. Kekuatan genggam tangan mempunyai korelasi dengan I-MBL dan IMT. Terdapat kesesuaian yang baik antara I-MBL dan KGT dengan IMT untuk penilaian status nutrisi penderita PGK-ND. Dengan uji Receiver Operating Curve didapatkan titik potong I-MBL sebesar 14,23 kg/m2 dan titik potong KGT sebesar 9,7 kg untuk membedakan status nutrisi kurang dan baik.
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan protein viseral (albumin, prealbumin, transferin dan insulin like growth factor-1) merupakan parameter status nutrisi yang lemah untuk penderita PGK-ND. Indeks massa tubuh mempunyai kolerasi positif dengan I-MBL dan KGT. Indeks-MBL dan KGT dapat membedakan derajat status nutrisi penderita (PGK-ND stadium 3,4 dan 5, dan dapat digunakan sebagai prediktor untuk skrining status nutrisi pada penderita PGK-ND."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D638
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini
"ABSTRAK
Keracunan Pb merupakan masalah kesehatan dunia dan environmental disease utama. Untuk mengatasi akumulasi Pb dalam tubuh, pengurangan nefrotoksisitas Pb sangat penting dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mempelajari kemungkinan penggunaan bawang putih rancangan acak lengkap, terhadap 20 ekor tikus putih jantan, galur Wistar. Digunakan bawang merah (Allium ascalonicum) sebagai pembanding. Kelompok kontrol (I). diberi 1 mL aquades/100 g BB/hari selama 31 hari; Kelompok II diberi air dengan jumlah yang sama selama 15 hari, dan pada hari ke 16 diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB/hari selama 16 hari. Kelompok II dan IV, masing-masing diberi sari bawang merah dan sari bawang putih, 1 g/100 g BB/hari selama 15 hari, dan pada hari ke 16, 30 menit sesudahnya diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB/hari selama 16. Kadar ureum dan kreatinin plasma sebagai parameter fungsi ginjal.
Kadar ureun plasma antar kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna (p>0,05). Sebaliknya, kadar kreatinin plasma keompok II meningkat bermakna (P<0,05), kelompok III dan IV menurun bermakna (p<0,05). Dengan demikian, bawang merah dan bawang putih berpotensi mengurangi nefrotoksisi Pb.
Pada nefrotoksisin Pb, Pb ginjal meningkat dan terjadi stres oksidatif. Bawang putih digunakan secara luas sebagai bahan alam dan berkhasiat obat, sehingga dipelajari potensi dan mekanisme proteksinya terhadap nefrotksisitas Pb. Desain penelitian, jumlah, dan jenis tikus sama.
Kelompok kontrol (I), diberi 0,1 mg CMC/100 g BB/hari, selama 31 hari. Kelompok II, diberi CMC dengan jumlah yang sama selama 15 hari, dan pada hari ke 16 diberi Pb asetat 20 mg/100 g BB / hari selama 16 hari. kelompok III dan IV, masing-masing diberi sari bawang putih dalam fraksi semi polar dna polar, 1 g/100 g BB/hari, selama 15 hari, dan pada hari ke 16, 30 menit sebelumnya diberi Pb asesat 20 mg/100 g BB/hari selama 16.
Mekanisme proteksi bawang putih diteliti dengan mengukur kandungan Pb, senyawa bergugus SH, MDA dan OH jaringan ginjal.

Pada kelompok II, kandungan Pb meningkat bermakna (p<0,05) mengakibatkan penurunan kadar senyawa bergugus SH bermakna (p<0,05). Sementara itu, kadar OH dan MDA meningkat bermakna (p<0,05). Sebaliknya kelompok III dan IV, kadar Pb menurun bermakna (p< 0,05) dan kadar senyawa bergugus SH meningkat bermakna (p<0,05). Sementara itu, kadar OH dan MDA menurun bermakna (p<0,05). Pengurangan nefrotoksisitas Pb terlihat dari penurunan bermakna kadar kreatinin plasa (p<0,05). Hasil uji in vitro, daya khelat senyawa bergugus SH sari bawang putih sebanding dengan kadar senyawa bergugus SH.
Dengan demikian, terbukti potensi antioksidan fraksi sei polar dan polar sari bawang putih mengurangi nefrotoksisitas PB."
2006
D639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini
"ABSTRAK
Keracunan Pb merupakan masalah kesehatan dunia dan environmental disease utama. Untuk mengatasi akumulasi Pb dalam tubuh, pengurangan nefrotoksisitas Pb sangat penting dilakukan.
"
2006
D771
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library