Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Arken Devona
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas air mata dan perubahan densitas sel goblet dengan penggunaan lensa kontak silikon hidrogel lotrafilcon B pada penggunaan daily wear dan extended wear 6 malam berturut-turut. Penelitian ini merupakan uji klinis intervensi randomisasi tersamar tunggal. Sebanyak lima puluh enam subyek yang telah di randomisasi dibagi menjadi dua kelompok n = 28 di masing-masing kelompok. Kedua kelompok memakai lensa kontak hidrogel silikon Lotrafilcon B secara daily wear vs extended wear. Parameter klinis Non-Invasif Break Up Time NIBUT, densitas sel goblet PAS, Interblink Interval IBI dan Ocular Protection Index OPI. Terdapat perbedaan NIBUT dan densitas sel goblet bermakna pada minggu ke 4 antara dua kelompok p 0,015 dan p.
The purpose of this study is to evaluate tear film quality and goblet cell density changes with the use of soft contact lenses of silicone hydrogel lotrafilcon B on daily wear and extended wear in 1 month. This is single blind randomized clinical trial. A total of fifty six subjects who had been consecutively randomized were divided into two groups n 28 in each. Both groups were wearing silicone hydrogel contact lenses Lotrafilcon B, the first group used daily wear and the second group used extended wear 6 consecutive nights. The clininal evaluation of the eyes in each group were performed on pre fitting, 1st week and 4th week after contact lens fitting. The clinical parameter were Non Invasive Break Up Time NIBUT using Tearscope PlusTM, goblet cell density using conjunctival impression cytologies CIC with Periodic Acid Schiff PAS Staining, Interblink Interval IBI and Ocular Protection Index OPI. In this study obtained more female sex subjects than men with a ratio of 3.6 1. There was a significant mean NIBUT difference at week 4 between two groups p 0,015. There was a decrease in goblet cell density in both groups with significant differences p.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Wang Tahija
Abstrak :
Latar Belakang : Pasien Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR), Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) dengan neuropati kornea akan mengalami terganggunya stabilitas air mata. Penurunan sekresi dan konsituen air mata akan menyebabkan gangguan berupa mata kering. Pada pasien Diabetes dengan retinopati diabetik, gangguan kornea ini berpotensi lebih memperburuk gangguan penglihatan yang terjadi. Tujuan : Menilai stabilitas air mata pada pasien NPDR, PDR dengan neuropati kornea sebelum, sesudah diberikan tetes mata Sodium hyaluronat+Vitamin A,E (HA+Vit A,E) atau Sodium Hyaluronat saja (HA). Metodologi : Penelitian ini merupakan uji eksperimental randomisasi acak terkontrol, dengan dua kelompok utama (NPDR, PDR), kedua kelompok mendapatkan tetes mata HA+Vit A,E atau HA selama 28 hari. Sensitivitas kornea, Skoring Ocular Surface Disease Index (OSDI), Non-Invasive Break Up Time (NIBUT), Schirmer I, jumlah sel goblet konjungtiva dinilai pada 0, 2, 4 minggu. Hasil : 96 subyek berpartisipasi, 65.6% wanita, 34.4% laki-laki (rerata usia 54.4 tahun). Skor OSDI memperlihatkan perbaikan signifikan, nilai terbesar pada kelompok PDR HA+Vit A,E dengan -4.86±5.76 (P= 0.000), NIBUT memperlihatkan perbaikan signifikan, nilai terbesar pada kelompok NPDR HA dengan 4.79±2.63 (P= 0.000), Schirmer I memperlihatkan perbaikan signifikan, hasil terbesar pada kelompok NPDR HA dengan 2.41±2.35 (P= 0.000). Sitologi impressi konjungtiva memperlihatkan perbaikan signifikan, terutama pada kelompok NPDR HA+Vit A,E (66% perbaikan). Seluruh kelompok memperlihatkan perbaikan signifikan, tetapi perbaikan antar kelompok tidak bermakna. Kesimpulan : Parameter seluruh kelompok memperlihatkan perbaikan yang signifikan setelah diberikan tetes mata HA+Vit A,E maupun HA saja, Tetapi jika dibandingkan antar kelompok, tidak terdapat perbedaan perbaikan yang signifikan. ......Background : Patient with Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR), Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) with corneal neuropathy will experiencing disruption in tear film stability. Decrease in tear film secretion and constituent will cause dry eyes. In Diabetic patients with diabetic retinopathy, this corneal disorder has the potential to further worsen visual impairment. Purpose : To Assess tear film stability in NPDR, PDR patients with corneal neuropathy before, after treatment with topical Sodium hyaluronat+Vitamin A,E (HA+Vit A,E) or Sodium Hyaluronat only (HA). Method : This study was a double blind experimental randomized control trial with two parallel groups (NPDR, PDR), both group receives HA+Vit A,E or HA for 28 days. Corneal sensitivity, Ocular Surface Disease Index (OSDI), Non-Invasive Break Up Time (NIBUT), Schirmer I, conjungtival goblet cells will be assessed on 0, 2, 4 weeks. Result : 96 subjects participated, 65.6% female, 34.4% male, mean age 54.4 years old. OSDI score shows significant improvement, highest improvement seen on PDR HA+Vit A,E with -4.86±5.76 (P= 0.000), NIBUT hows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA with 4.79±2.63 (P= 0.000), Schirmer I shows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA with 2.41±2.35 (P= 0.000). Conjungtival goblet cells shows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA+Vit A,E (66% improved). All groups shows shows significant improvement, but between groups the improvement was not statistically significant. Conclusion : Parameters on all groups shows statistically significant improvement after topical HA+Vit A,E or HA. But, if compared between groups, the improvement was not significantly differed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Hasiana
Abstrak :
Latar Belakang: Penggunaan jangka panjang steroid sebagai kontrol inflamasi pada uveitis non-infeksi dan idiopatik dapat menyebabkan efek samping, dan hal tersebut memicu kebutuhan untuk agen imunomodulator lainnya. Penggunaan herbal dan obat tradisional saat ini sedang meningkat. Beberapa herbal memiliki efek imunomodulator dan diduga memiliki peran dalam uveitis. Akan tetapi, bukti penggunaan herbal pada uveitis belum diketahui secara pasti. Tujuan: Untuk meninjau bukti-bukti ilmiah mengenai efikasi, keamanan, dan mekanisme penggunaan herbal pada uveitis dan model uveitis. Metode: Tinjauan sistematis berdasarkan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis. Kata kunci uveitis dan herbal serta sinonim terkait digunakan pada database PubMed, CENTRAL, dan ScienceDirect. Penelitian herbal sebagai terapi ajuvan uveitis pada manusia dan penelitian herbal pada model uveitis dipilih. Penelitian kemudian ditelaah dan dinilai validitasnya. Hasil: Dua uji klinis, satu laporan kasus, dan 32 penelitian hewan mengenai penggunaan herbal pada uveitis ditelaah secara kualitatif. Intervensi ekstrak Echinacea purpurae (pada uveitis anterior) dan kurkuma menghasilkan proporsi kasus inaktif yang tinggi: 85.70% dan 81.48%. Durasi bebas steroid pada kelompok ajuvan Echinacea lebih lama secara signifikan dibandingkan kelompok steroid saja (p<0.05). Intervensi herbal pada model uveitis mencakup 8 preparat herbal, 14 ekstrak herbal, dan 18 komponen herbal. Flare akuos dan skor klinis menurun secara signifikan. Penelitian yang didapat menunjukkan tak adanya efek samping atau kematian. Kesimpulan: Echinacea dan kurkuma menunjukkan potensi yang baik, sementara Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, dan Yanyankang potensial untuk dilanjutkan menjadi penelitian klinis. Penelitian dengan level of evidence yang lebih tinggi dan risiko bias yang lebih rendah masih dibutuhkan. Data keamanan masih minimal. Mekanisme yang didapat dapat menjadi landasan untuk penelitian lanjutan. ......Background: In non-infectious and idiopathic uveitis, long-term corticosteroid use can lead to undesirable side effects, and it warrants the need for other immunomodulatory agents. Use of herbal or traditional medicine is currently on rise. Some herbs displayed immunomodulatory features and are expected to have a role in managing uveitis. However, herbal roles in uveitis have not been established yet. Objective: To review the human and animal evidence of herbal efficacy, safety, and mechanisms in uveitis. Method: A systematic review was performed using standardised Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis guideline. Uveitis and herbal-related keywords were entered in PubMed, CENTRAL, and ScienceDirect databases to obtain evidences regarding herbal therapy in clinical (as adjuvant) and pre-clinical trials. The selected studies were reviewed, extracted, and assessed for their validities. Result: Two clinical trials, one case report, and thirty-two animal studies were qualitatively reviewed. Echinacea purpurae extract (in anterior uveitis) and curcuma displayed high efficacy in inactive case proportion: 85.70% and 81.48%, respectively. Steroid-free duration in Echinacea adjuvant group was significantly longer than steroid group (p<0.05). Herbal intervention in experimental model consisted of eight herbal preparation, fourteen herbal extracts, and eighteen herbal components, with decreased aqueous flare measurement and clinical scoring, and no mortality. Review on animal models proposed an involvement of both innate and adaptive immunity in herbs mechanisms. Conclusion: Echinacea and curcumin showed good potencies, while Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, and Yanyankang were potential to be continued as clinical trial. Studies with higher level of evidence and lower risk of bias are still needed. There were still lack of safety data. The proposed mechanisms were a good foundation to design further research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
Abstrak :
Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi. Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niluh Archi Sri Ramandari
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menilai dan membandingkan efektivitas injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg dengan dosis 2.5 mg dalam menurunkan area neovaskularisasi kornea. Sampel adalah dua puluh empat pasien dengan neovaskularisasi kornea oleh karena berbagai etiologi. Pemeriksaan pada sampel dilakukan sebelum, satu minggu setelah injeksi dan empat minggu setelah injeksi yang meliputi penilaian area neovaskularisasi kornea dengan menggunakan image J analysis, pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, derajat kekeruhan kornea serta kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) air mata. Pada satu minggu dan empat minggu paska injeksi perubahan area neovaskularisasi kornea pada dosis 5 mg (5.21% dan 5.37%) lebih besar dibandingkan dosis 2.5 mg (3.77% dan 4.13%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada etiologi non-infeksi dan area neovaskularisasi kornea yang melibatkan lebih dari dua kuadran kornea. Pada keluaran sekunder yaitu tajam penglihatan, derajat kekeruhan kornea dan kadar VEGF air mata di kedua dosis cenderung stabil jika dibandingkan sebelum dan sesudah injeksi. Injeksi subkonjungtiva bevacizumab dosis 5 mg menurunkan area neovaskularisasi kornea lebih banyak dibandingkan dosis 2.5 mg terutama pada etiologi non-infeksi dan keterlibatan kuadran kornea yang meliputi lebih dari dua kuadran.
This study aim to assess and compare the effectiveness of subconjunctival bevacizumab injection 5 mg with 2.5 mg in decreasing the area of corneal neovascularization. Samples consist of twenty-four patients with corneal neovascularization due to various etiologies. The examinations were taken at each visit before injection, 1 week after injection and 4 weeks after injection . Changes in neovascularization evaluated by using image J analysis, visual acuity, density of corneal haziness and level of vascular endothelial growth factor (VEGF) in tears were documented every visit. At 1 week and 4 weeks after injection, changes of neovascularization were higher in 5 mg (5.21% and 5.37%) compare to 2.5 mg (3.77% and 4.13%). The same results were also found in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea. All of the secondary outcomes showed a stable result before and after injection between the two injections dose. Subconjunctival bevacizumab injection 5 mg is more effective in decreasing corneal neovascularization compare to 2.5 mg especially in non-infection patient and patient involving more than two quadrants cornea.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
Abstrak :
Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina. ......Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Muslim
Abstrak :
Latar belakang : Simblefaron merupakan suatu proses penempelan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi yang terjadi akibat inflamasi kronis. Transplantasi membran amnion merupakan tata laksana yang umum dilakukan pada kasus simblefaron. Terdapat 2 jenis membran amnion yaitu cryopreserved dan frezeedried yang berbeda proses pengawetanya. Hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan secara langsung efektivitas kedua amnion tersebut dalam proses epitelisasi konjungtiva. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas membrane amnion cryopreserved dan frezee-dried dalam epitelisasi konungtiva, dalam menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet. Metode: Sebanyak 14 mata (10 subyek) simblefaron dilakukan randomisasi kemudia dibagi kedalam 2 kelompok. 7 mata menjalani release simblefaron dan transplantasi membrane amnion cryopreserved, 7 mata lainnya dengan amnion freeze-dried. Pasca bedah pada minggu 1,2,3 dan 4 dilakukan foto segmen anterior untuk menilai waktu epitelisasi dan derajat inflamasi. Dan pada minggu ke-4 pasien menjalani pemeriksaan sitologi impresi dan Ferning untuk dibandingkan dengan hasil yang telah dilakukan pre operasi. Hasil: kelompok mata dengan amnion cryopreserved menunjukan rerata waktu epitelisasi 2,14 ± 1,07 minggu sedangkan amnion freeze-dried 3,29 ± 1,25 minggu. Derajat inflamasi berat lebih banyak ditemukan pada kelompok freeze-dried. Densitas sel goblet dan derajat Ferning lebih tinggi ditemukan pada kelompok cryopreserved. Kesimpulan: Secara klinis membran amnion cryopreserved memiliki kecenderungan hasil yang lebih baik dibandingkan amnion freeze-dried dalam proses epitelisasi, menurunkan inflamasi dan meningkatkan densitas sel goblet. ......Background : symblepharon is a attachment of conjunctival bulbi to conjunctival tarsal due to chronic inflammation. Amnion membrane (AM) transplantation is a surgical treatment for symblepharon. There are two types of amniotic membranes namely cryopreserved and freeze-dried which have different preservative processes. Objective : Our aims was to compare AM cryopreserved and freeze-dried in complete conjunctival epithelization, reduce the inflammation and restored goblet cells. Methods : In 14 eyes of symblepharon, symblepharon release with AM transplantation were performed. 7 eyes with AM cryopreserved, 7 eyes with MA freeze-dried. Post-operative evaluation was done weekly in all subjects until 4 weeks after surgery include photographic documentation to evaluate conjunctival epithelization and grading inflammation. On the last week subjects underwent cytology impression and Ferning test (mucin production) to be compared with results that have been done pre-operatively. Results : Eyes with AM cryopreserved showed epithelization in 2,14 ± 1,07 weeks, while AM freeze-dried was 3,29 ± 1,25 weeks. Severe inflammation (4/7) was found in eyes with freeze-dried, goblet cells and mucin production were higher in eyes with AM cryopreserved. Conclusion : Clinically AM cryopreserved showed better result in completing conjunctival epithelization, reduce inflammation and restored goblet cells compared with AM freeze-dried.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Maria Magdalena
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan terjemahan, adaptasi, uji validasi dan reliabilitas terhadap kuesioner AS-20 menjadi kuesioner AS-20 versi Indonesia. Selanjutnya mengevaluasi skor kualitas hidup pasien strabismus dewasa pre dan post operasi dengan kuesioner AS-20 versi Indonesia tersebut dan menilai faktorfaktor apa saja yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien strabismus. Penelitian ini merupakan pilot study prospektif dengan metode pre-post study yang menggunakan kuesioner. Sebanyak 30 subjek dengan usia ≥ 17 tahun yang didiagnosis strabismus manifes secara klinis dengan indikasi operasi yang ikut dalam penelitian ini. Subjek penelitian akan mengisi kuesioner sebelum operasi dan mengisi kembali kuesioner yang sama pada 2 bulan pasca operasi koreksi strabismus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kuesioner AS-20 versi Indonesia merupakan kuesioner yang valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai kualitas hidup pasien strabismus dewasa di Indonesia (Cronbach Alpha > 0.7). Pada studi ini, pasien strabismus dewasa menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah baik secara fungsi maupun psikososial dan operasi koreksi strabismus dapat meningkatkan skor kualitas hidup pada follow up 2 bulan pasca operasi. Diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi skor kualitas hidup dalam studi ini antara lain: jenis kelamin, deviasi dan diplopia.
The aims of this study were to translate, adapt, validation and reliability test of the AS-20 Questionnaire into Indonesian version of AS-20 Questionnaire. This study also evaluated the quality of life scores of strabismus adult patient pre and postoperatively with the Indonesian version of the AS-20 Questionnaire and assessed any factors that affect the quality of life of strabismus patient. This study was a prospective pilot study with a pre-post study method using a questionnaire. A total of 30 subjects, aged ≥ 17 years, who diagnosed clinically with manifest strabismus and required of strabismus correction surgery were included in this study. Subjects filled out the questionnaire before surgery and refilled the same questionnaire at 2 months after strabismus correction surgery. The result of this study found that Indonesian version of AS-20 Questionnaire is a valid and reliable questionnaire as an instrument to assessed the quality of life of adult strabismus in Indonesia (Cronbach Alpha > 0.7). In this study, adult strabismus patient showed a lower quality of life both functionally and psychosocially and strabismus correction surgery could improve quality of life scores at 2 months postoperative follow-up. Factors affecting the quality of life in this study include: gender, deviation and diplopia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
Abstrak :
Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi. Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam®-Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter. Hasil: Prevalensi katarak terinduksi radiasi sebanyak 16.7%. Median dosis radiasi kumulatif berdasarkan kuesioner menunjukkan median 0,8 (0.1- 35.6) Gy. Hubungan korelasi positif didapatkan antara dosis radiasi kumulatif dengan densitas lensa (R Spearman= 0.64). Sebanyak 83.9% subyek menggunakan tabir pada 71-100% masa kerjanya, tetapi mayoritas subyek penelitian (40.6%), tidak menggunakan kacamata pelindung. Peningkatan risiko katarak terinduksi radiasi meningkat secara bermakna seiring dengan kepatuhan penggunaan proteksi radiasi yang kurang. Subyek dengan proteksi tabir radiasi 31-50% dari masa kerjanya meningkatkan risiko katarak 10.80 kali lipat (IK 95% 1.05-111.49, p=0.044). Sementara itu, kelompok proteksi tabir radiasi 51-70% meningkatkan risiko katarak 8.64 kali lipat (p=0.001). Subyek yang tidak memakai kacamata pelindung memiliki OR 164.3 (IK 95% 19.81-1363) dibandingkan dengan kelompok pengguna kacamata pelindung. Kesimpulan: Katarak terinduksi radiasi pada pekerja radiasi bidang kardiologi intervensi tergantung pada dosis paparan radiasi dan penggunaan proteksi radiasi. Oleh karena itu, kepatuhan pekerja radiasi perlu ditingkatkan sesuai ketentuan proteksi radiasi.
Objectives: to determine the prevalence of radiation-induced cataract and correlate with radiation exposure dose and radiation protection use among radiation workers of interventional cardiology. Methods: A cross-sectional and retrospective case-control study. One hundred and eighty subjects were included. Prevalence of radiation-induced cataract was assessed using Scheimpflug analysis on the Pentacam®-Oculus. Individual cumulative radiation exposure dose and radiation protection use of subjects were identified from questionnaire and personal dosimeter. Results: The prevalence of radiation-induced cataract was 16.7%. Median cumulative radiation dose was 0.8 (0.1-35.6) Gy. A positive correlation was found between cumulative radiation dose and lens density (RSpearman=0.64). This study showed that 83.9% of subjects used ceiling-suspended shield in 71-100% of their working period, however the majority of subjects (40.6%) did not wear protective eyewear. Statistically significant increasing risk of cataract was found along with unresponsive use of radiation protection. The subjects using ceiling-suspended shield in 31-50% of their working period were increasing their cataract risk by 10.80 times (95% CI 1.05- 111.49, p=0.044). Meanwhile, the subjects using protective eyewear in 51-70% of their working period were increasing their cataract risk by 8.64 times (p=0.001). Subjects who did not wear protective eyewear had an OR 164.3 (95% CI 19.81-1363) compared to those who wore protective eyewear. Conclusion: Radiation-induced cataract among radiation workers of interventional cardiology was depend on radiation exposure dose and radiation protection. Therefore, the compliance of radiation safety recommendation should be improved.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library