Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fayza Julia Pramesti Hapsari Prayoga
"Posisi Barbie sebagai “simbol feminisme” telah dipertanyakan karena representasinya atas pemberdayaan perempuan yang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian individu dan penampilan serta gaya hidup tertentu. Terlepas dari pesan feminis mengenai pilihan dan pemberdayaan, film Barbie (2023) yang disutradarai Greta Gerwig meneruskan narasi posfeminisme Barbie dengan mengangkat pendekatan individualistik terhadap pemberdayaan perempuan. Karya tulis ini menganalisis bagaimana posfeminisme dan, selanjutnya, feminisme neoliberal hadir di sepanjang film Barbie dan membahas ambivalensi gerakan feminisme dalam film tersebut. Dengan menganalisis adegan dan dialog dalam film Barbie dan menerapkan posfeminisme serta feminisme neoliberal sebagai kerangka konseptual, Karya tulis ini menemukan bahwa struktur masyarakat Barbie Land melekat dengan karakteristik posfeminisme. Selain itu, struktur kekuasaan di Barbie Land meniru struktur kekuasaan patriarki di Real World (Dunia Nyata) yang berusaha ditantang oleh narasi film Barbie. Solusi untuk patriarki yang ditawarkan berfokus kepada mengambil Kembali kekuasaan mutlak daripada mengatasi permasalahan yang ada di dalam struktur kekuasaan Barbie Land. Hasil studi ini mendorong kajian kritis terhadap budaya media posfeminis yang dapat berkontribusi terhadap tekanan individu yang dialami oleh perempuan dengan kedok “pemberdayaan.”

Barbie’s position as a “feminist icon” has been questioned due to her representation of women’s empowerment, which associates success with individual achievements and a particular look and lifestyle. Despite the feminist message of choice and empowerment, the live-action adaptation Barbie (2023), directed by Greta Gerwig, sustains the postfeminist narrative of Barbie as it promotes an individualistic approach to women’s empowerment. This paper analyses how postfeminism and, by extension, neoliberal feminism is present throughout Barbie and addresses the ambivalence of the feminist movement in the movie. By analysing scenes and dialogues in the film and applying postfeminism and neoliberal feminism as conceptual frameworks, the paper finds that the societal structure of Barbie Land adheres to the characteristics of postfeminism. Furthermore, the power structure in Barbie Land mimics the power structure of the Real World’s patriarchy that it supposedly challenges. The solutions to patriarchy that the movie offers focus more on regaining absolute power rather than addressing the issues within the power structure of Barbie Land. The findings call for a critical examination of postfeminist media culture, which may contribute to the individual pressures that women are experiencing under the guise of women’s empowerment."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dunia Herishvari
"Melalui narasi dan visual, film merupakan alat yang penting dalam merepresentasikan realita kultural. Penelitian ini menganalisa representasi dari identitas kultural diaspora Asia-Amerika di film Everything Everywhere All at Once (2022). Dengan menggunakan teori identitas kultural oleh Stuart Hall, penelitian ini menganalisis naskah dan sinematografi dari film tersebut secara tekstual untuk mengkaji pembentukan identitas kultural karakter utama, Evelyn Wang, berdasarkan positioning dan interaksinya dengan keluarganya serta dirinya sendiri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bagaimana posisi Evelyn yang berada di ruang liminal antara dua budaya membentuk identitas yang unik. Masa lalu Evelyn memberi dampak pada masa kini dan masa depannya dalam bentuk intergenerational trauma yang banyak dipengaruhi identitas kultural yang dimiliki generasi sebelumnya. Selanjutnya, kompleksitas dari proses pembentukan identitas ditunjukkan melalui budaya kolektif dan perbedaan individual yang dimiliki masing-masing karakter.

Using narratives and visuals, films are a powerful tool in representing a cultural reality. This study investigates the representation of the cultural identity of an Asian American in the movie Everything Everywhere All at Once (2022). Using Stuart Hall’s Cultural Identity theory as a theoretical framework, this study textually analyzes the script and cinematography of the film to uncover the main character’s complex identity formation based on her positioning, and relationship with her family and herself. The findings of this research show how her position in a liminal space between two cultures creates a unique identity. Moreover, it is found that her past impacts her present and future in the form of intergenerational trauma that is highly influenced by the former generation’s cultural identity. Lastly, the complexity of identities is highlighted through collective culture and the individual differences of each of the characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khalisya Dewanda Putri
"In the current global entertainment environment, cultural representations are significant. This study examines how the American television series XO, Kitty, which is based in Seoul, South Korea, portrays South Korean culture. The representation of the series becomes apparent as a complex fabric of tradition and modernity, exhibiting both genuine depictions and cultural intricacy when one closely examines its plot and characters. Through an examination of how XO, Kitty addresses South Korean stereotypes in popular culture, the study reveals complex perspectives on the way the series portrays South Korean culture and whether or not it is affirming or contesting stereotypes. The study examines the portrayal of several aspects of South Korean society, such as its educational system, gender roles, traditional attire, festivals, and popular cultural components like K-pop, K-food, and K-beauty, in the series as an instrument of interaction. The study aims to analyze the proportion between genuine cultural portrayal and the persistence of stereotypes in the narrative and character development of the show. The study showed that this narrow and shallow portrayal poses the danger of propagating biases and does not fully convey South Korean culture's intricate and diverse nature.

Dalam lingkungan hiburan global saat ini, representasi budaya sangatlah penting. Studi ini menganalisis bagaimana serial televisi Amerika XO, Kitty, yang berlatar di Seoul, Korea Selatan, menggambarkan budaya Korea Selatan. Representasi ini muncul sebagai jaringan yang kompleks antara tradisi dan modernitas, menampilkan penggambaran yang autentik serta kerumitan budaya bila memperhatikan pada plot dan karakter serial ini. Melalui penelitian bagaimana XO, Kitty menangani stereotip Korea Selatan dalam budaya populer, studi ini mengungkapkan perspektif yang rumit mengenai validasi atau penolakan terhadap kebenaran tersebut. Studi ini melihat bagaimana sistem pendidikan, peran gender, pakaian tradisional, festival, dan elemen budaya populer Korea Selatan seperti K-pop, makanan, dan kecantikan digambarkan dalam serial tersebut sebagai instrumen interaksi. Studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara representasi budaya yang sebenarnya dan keberlanjutan stereotip dalam narasi dan perkembangan karakter dalam seri tersebut. Studi ini mengungkapkan bahwa penggambaran yang terbatas dan dangkal ini berisiko memperkuat stereotip dan gagal menangkap esensi kaya dan beragam dari budaya Korea Selatan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library