Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anthony Sugiharto Winarno
Abstrak :
Tujuan: Kanker serviks masih menjadi kanker terbanyak kedua di Indonesia. Sementara kesadaran untuk deteksi dini dengan inspeksi visual dengan asam asetat (VIA) semakin meningkat, vaksinasi HPV belum menjadi program nasional. Vaksinasi masih efektif pada orang dengan rentang usia 15-26 tahun, dan diberikan dalam 3 dosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswa kedokteran di Jakarta terhadap HPV dan vaksinasi. Desain: survei cross-sectional dibagikan kepada 10 mahasiswa praklinik Fakultas Kedokteran di Jakarta, dari Juli hingga Agustus 2020. Kuisioner yang dibagikan sendiri untuk menilai pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang kanker serviks dan vaksinasi. Kuesioner dikumpulkan menggunakan Google Form dan dianalisis menggunakan Aplikasi Stata ver 13 for Mac. Data dianalisis menggunakan chi-square. Hasil: dari 2518 mahasiswa kedokteran, 124 mahasiswa dikeluarkan. Separuh dari mahasiswa akademis yang lebih tua (57,14%) memiliki pengetahuan dan perilaku yang baik tentang kanker serviks dan vaksinasi. Tingkat pengetahuan secara signifikan berhubungan dengan perilaku termasuk status vaksinasi. Namun, 60% dari mahasiswa akademis yang lebih muda memiliki sikap yang baik terhadap kanker serviks dan vaksinasi. Kesimpulan: pengetahuan yang lebih baik berkorelasi dengan perilaku yang lebih baik terhadap kanker serviks dan vaksinasi. Lebih lanjut tentang HPV dan manfaat yang terkait dengan vaksinasi terhadap HPV harus dimasukkan dalam kurikulum di semua tahun sekolah kedokteran. ......Objectives: Cervical cancer is still the second most prevalent cancer in Indonesia. While the awareness for early detection with visual inspection with acetic acid (VIA) has been raising, HPV vaccination has not yet become a national program. Vaccination is still effective in people ranged from 15-26 years old, and administered in 3 doses. The objectives of this research were to assess knowledge, attitude, and behaviour of medical students in Jakarta towards HPV and its vaccination. Design: a cross-sectional survey was distributed to 10 Faculty of Medicine pre-clinical students in Jakarta, from July to August 2020. A self-administrated questionnaire was distributed to assess the knowledge, attitude, and behaviour regarding cervical cancer and vaccination. The questionnaire was collected using Google Form and analysed using Stata Application ver 13 for Mac. The data was analysed using chi-square. Results: from 2518 medical students, 124 students were excluded. Half of the older academic students (57,14%) had a good knowledge and behaviour regarding cervical cancer and vaccination. Knowledge level was significantly associated with behaviour including vaccination status. However, 60% of younger academic students had a good attitude towards cervical cancer and vaccination. Conclusions: better knowledge correlate with a better behaviour towards cervical cancer and vaccination. More about HPV and the benefits associated with vaccination against HPV should be included in the curriculum in all years of medical school.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ganot Sumulyo
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan dengan kematian tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Seringkali pasien dating dengan stadium lanjut dan memerlukan penanganan segera. Akan tetapi, terdapat berbagai penyebab terjadinya pemanjangan waktu tunggu operasi. Hal ini mungkin dapat menyebabkan perburukan klinis saat dilakukan tindakan operatif pada pasien. Tujuan: Menentukan hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan perburukan klinis pada pasien kanker ovarium stadium lanjut. Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia pada Januari 2019 hingga Juni 2019. Pasien kanker ovarium stadium lanjut yang dilakukan tindakan operatif diikutsertakan pada penelitian. Pasien yang terbukti tidak memiliki kanker ovarium stadium lanjut pada pemeriksaan histopatologi atau memiliki penyakit komorbiditas berat lainnya dieksklusi dari penelitian. Karakteristik dasar, waktu tunggu, status performa berdasarkan ECOG score, kadar haemoglobin dan albumin dasar, status nyeri, dan indeks massa tubuh dikumpulkan dan dilakukan analisis secara statistik. Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Didapatkan 25,6% subyek mengalami perburukan status performa, 11,1% mengalami perburukan haemoglobin, 61,1% mengalami perburukan albumin, 14,4% mengalami perburukan nyeri, 32,2% mengalami perburukan indeks massa tubuh, dan 77,8% mengalami perburukan klinis. Didapatkan nilai cutoff 73 hari untuk menentukan pemanjangan waktu tunggu operasi. Kesimpulan Terdapat hubungan bermakna antara waktu tunggu terapi dengan perburukan klinis pasien kanker ovarium stadium lanjut. ......Background: Ovarian cancer is one of the highest fatalities for cancer in women worldwide. Patients often come in an advanced stage and require immediate treatment. However, there are various causes for the extension of the waiting time for surgery. This might cause clinical deterioration during the operation. Objective: To determine the relationship between the length of time waiting for surgery and clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer. Methods: A retrospective cohort study conducted at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia from January 2019 to June 2019. Patients with advanced stages of ovarian cancer who performed operative measures were included in the study. Patients who were proven not having advanced ovarian cancer on histopathological examination or had other severe comorbidities were excluded from the study. Baseline characteristics, waiting time, performance status based on ECOG score, haemoglobin and albumin levels, pain status, and body mass index were collected and analyzed statistically. Results: There were 90 study subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. A total of 25.6% of subjects experienced a worsening of performance status, 11.1% experienced worsening of hemoglobin, 61.1% experienced worsening of albumin, 14.4% experienced worsening pain, 32.2% experienced a worsening of body mass index, and 77.8% experiencing clinical deterioration. A cutoff value of 73 days is obtained in order to determine the lengthening of the operating waiting time. Conclusion There is a significant relationship between the waiting time of therapy with clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Febia
Abstrak :
ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui gambaran transposisi ovarium sebagai upaya proteksi fungsi ovarium pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cohort, before–after study pada pasien-pasien kanker serviks dan kanker vagina stadium IB, IIA, IIB, IIIA, dan IIIB yang akan menjalankan radioterapi dan dilakukan transposisi ovarium. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Umum Persahabatan (RSUP) sejak 1 Januari 2011 sampai 31 Maret 2014. Luaran yang diukur adalah perubahan kadar Anti Mullerian Hormone (AMH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), dan skor keluhan hidup terkait menopause.

Hasil: Terdapat 16 subyek penelitian, namun hanya 12 orang subyek yang dilakukan transposisi ovarium dan menyelesaikan radioterapi. Efek proteksi transposisi ovarium sangat rendah (8,3%) dimana hanya satu dari 12 orang yang tidak mengalami penurunan kadar AMH setelah radioterapi. Sisanya mengalami penurunan kadar AMH setelah radioterapi yang bermakna (T-test berpasangan p=0,037). Kadar FSH meningkat sesudah radioterapi (T-test berpasangan p= 0,015). Skor keluhan hidup meningkat setelah dilakukan radioterapi (T-test berpasangan p<0,001). Faktor penyebab efek proteksi transposisi ovarium yang rendah karena sebagian besar subyek memiliki kadar awal AMH yang rendah. Rekomendasi penelitian ini adalah memperketat proses seleksi transposisi ovarium, yaitu usia ≤ 35 tahun, kadar AMH > 0,3 ng/ml, dan kadar FSH≤ 12 mIU/ml.

Kesimpulan: Transposisi ovarium memiliki efek proteksi fungsi ovarium yang rendah (8,3%). Hal itu dapat disebabkan karena sebagian besar subyek memiliki kadar AMH yang rendah sebelum terapi.


ABSTRAK

Objective: To know the effect of ovarian transposition in protecting ovarian function in cervical cancer patients undergoing radiotherapy

Methodology: This cohort study was before–after study in patients who had cervical or vaginal cancer stage IB, IIA, IIB, IIIA, and IIIB who underwent ovarian transposition before radiotherapy. This study was done in Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan satellite hospital since 1 January 2011 until 31 March 2014. The level of Anti Mullerian Hormone (AMH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), and menopause symptom score were evaluated before and after radiotherapy.

Result: There were 16 patients who underwent ovarian transposition but only 12 patients completed radiotherapy. The protective effect of ovarian transposition was low, only one among 12 subjects (8.3%) did not experience decreased level of AMH. Ten subjects had significantly decreased AMH level after radiotherapy (paired T-test, p=0.037). FSH level was significantly increased after radiotherapy (paired T-test p=0.015). Menopause symptoms scores were increased after radiotherapy (paired T-test p<0.001). This study recommended the tighter selection criteria for patients undergoing ovarian transposition such as, age younger than 35 years old, AMH level > 0,3 ng/ml, and FSH level≤ 12 mIU/ml.

Conclusion: Ovarian transposition had low protective effect (8.3%) and it might be caused by the low level of AMH in most subjects before radiotherapy

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Theresia Ongkowidjaja
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ROMA dengan RMI dalam memprediksi keganasan tumor ovarium epitelial di RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang yang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUPNCM. Pada penelitian ini, dari 213 subjek diperoleh sensitivitas dan spesifisitas RMI 85.3%, dan 66.3%, Nilai Duga Positif dan Negatif RMI 79.7%, dan 74.3%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif RMI 2.53, dan 0.22; dan sensitivas dan spesifisitas ROMA 95.4%, dan 32.5%, Nilai Duga Positif dan Negatif 68.9%, dan 81.8%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif 1.41, dan 0.14. AUC ROMA lebih baik daripada RMI, tetapi tidak bermakna secara statistik (seluruh kelompok: AUC 69.56%>67.49%, perbedaan AUC 0.0207, p 0.526; kelompok pascamenopause: AUC 91.47%>88.97%, perbedaan AUC 0.0250, p 0.0571; kelompok premenopause: AUC 86.20%>78.16%, perbedaan AUC 0.0804, p 0.0571). Pada titik potong ideal (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; dan pascamenopause 53.1), ROMA mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibandingkan RMI (sensitivitas 82.31% vs 74.62%; spesifisitas 78.31% vs 75.9%). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara ROMA dengan RMI, tetapi sensitivitas dan spesifisitas ROMA lebih baik daripada RMI pada titik potong ideal. ......The purpose of this research is to compare ROMA with RMI to predict malignancy of ovarian tumor, epithelial type in Indonesia, especially at the Cipto Mangunkusumo hospital. It was a cross sectional study with a diagnostic design, which was performed in the Oncology Gyneology division. From 213 sampels, the RMI showed a sensitivity of 85.3%, a specificity of 66.3%, a PPV of 79.7%, a NPV of 74.3%, a LR+ of 2.53, LR- 0.22 and an accuracy of 0.77; while ROMA has a sensitivity of 95.4%, a specificity of 32.5%,a PPV 68.9% of, a NPV of 81.8%, a LR+ 1.41, LR- 0.14 and an accuracy of 0.71. Overall AUC ROMA indicated better results compared to those results using the RMI diagnostic method, (all groups: AUC 69.56%>67.49%, p 0.526; as with the postmenopause group: the AUC was 91.47%>88.97%, p 0.0571; and the premenopause group: the AUC 86.20%>78.16%, p 0.0571). At ideal the cut-off point (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; and postmenopause 53.1), ROMA has shown better sensitivity and specificity than RMI (sensitivity 82.31% vs 74.62%; specificity 78.31% vs 75.9%). It can be concluded that there is no significantly different between ROMA and RMI, but at ideal cut off, sensitivity and specificity ROMA better than RMI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adithya Welladatika
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan kanker kedelapan tersering, terhitung hampir 4% dari semua kanker pada perempuan di dunia. Kanker ovarium memiliki prognosis yang buruk dan angka kematian tertinggi. Setiap tahunnya terdapat 225.000 perempuan yang terdiagnosis kanker ovarium dan 140.000 perempuan meninggal disebabkan oleh penyakit ini. Berdasarkan jumlah tersebut, 90% kasus merupakan kanker ovarium epitelial. Bila berdasarkan stadium, lebih banyak pasien datang terdiagnosis dengan kanker ovarium stadium lanjut dibandingkan dengan stadium dini. Hal ini dikarenakan kanker ovarium bersifat asimtomatik, onset gejala yang terlambat dan belum adanya skrining yang terbukti efektif untuk kanker ovarium. Tujuan utama pengobatan kanker stadium lanjut adalah memperpanjang waktu untuk bertahan hidup dengan kualitas hidup yang baik dan tata laksana standarnya adalah operasi sitoreduksi. Di RSCM, evaluasi kesintasan dari pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi belum dianalisis.

Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien kanker ovarium stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi di RSCM dan juga mengetahui kesintasannya berdasarkan hasil histopatologi dan pemberian kemoterapi ajuvan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data dari rekam medis. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Subjek penelitian adalah semua pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi pada bulan Januari 2013-Januari 2015 di RSCM.

Hasil: Dari 48 subjek yang diteliti, didapatkan sebanyak 23 (48%) subjek menjalani operasi sitoreduksi optimal dan 25 (52%) subjek menjalani operasi sitoreduksi suboptimal. Didapatkan kesintasan 5 tahun pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal sebesar 43,5%, sedangkan untuk sitoreduksi suboptimal sebesar 32%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 46,2%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi suboptimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 20%. Pada pasien dengan hasil histopatologi seromusinosum didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 100%, sedangkan untuk serosa, musinosa, endometrioid dan sel jernih berturut-turut sebesar 50%, 33,3%, 25%, dan 21,4%.

Kesimpulan: Operasi sitoreduksi optimal memiliki kesintasan 5 tahun yang lebih baik dibandingkan dengan operasi sitoreduksi suboptimal. Operasi sitoreduksi suboptimal dan tidak dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi ajuvan memiliki kesintasan yang buruk. Jenis histopatologi seromusinosum memiliki kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis serosum, musinosum, endometrioid dan sel jernih. ......Background: Ovarian cancer is the eighth most common cancer, almost 4% of all cancers in women in the world. Ovarian cancer has a poor prognosis and the highest mortality rate. Every year 225,000 women are diagnosed with ovarian cancer and 140,000 women die from this disease. Based on this number, 90% of cases are epithelial ovarian cancer. Based on stadium, more patients diagnosed with advanced-stage ovarian cancer compared with early stage, because ovarian cancer is asymptomatic, delayed onset and there is no screening that has proven effective for ovarian cancer. The standard management for advanced stage ovarian cancer is debulking surgery. At RSCM, evaluation of survival of advanced stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery has not been analyzed.

Objective: Knowing the survival of patients with advanced-stage ovarian cancer who underwent debulking surgery at RSCM and also knowing their survival based on histopathological results and adjuvant chemotherapy. Methods: This was a retrospective cohort study using data from medical records. Sampling was done by consecutive sampling. The subjects of this study were all patients with advanced-stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery in January 2013-January 2015 at RSCM.

Results: From the 48 subjects, 23 (48%) subjects were performed optimal debulking surgery and 25 (52%) subjects were performed suboptimal debulking surgery. Overall survival in patients undergoing optimal debulking surgery is 43.5% with a median survival rate of 39 months, while for suboptimal debulking surgery is 32% with a median survival rate of 29 months. In patients who underwent optimal cytoreduction surgery, those given adjuvant chemotherapy obtained a overall survival is 40%, whereas in patients who were not given is 46.2%. In patients who underwent suboptimal cytoreduction surgery, those who were given adjuvant chemotherapy found a overall survival rate of 40%, whereas in patients who were not given is 20%. In patients with histopathological results seromucinous obtained 5-year survival by 100%, while for serous, mucous, endometrioid and clear cells simultaneously were 50%, 33.3%, 25%, and 21.4%.

Conclusion: Optimal debulking surgery has a better 5-year survival compared to suboptimal debulking surgery. Suboptimal cytoreduction surgery and not followed by adjuvant chemotherapy has poor survival. The histopathological type of seromucinous has better survival compared with the types of serous, mucinous, endometrioid and clear cells.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Hiro Hidaya Danial
Abstrak :
Latar Belakang : Sampai saat ini kanker ovarium masih menjadi salah satu kanker dengan angka mortalitas yang tinggi pada wanita dikarenakan tidak dijumpainya gejala yang khas sehingga lebih banyak kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Belum adanya metode skrining menjadikan pentingnya metode diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Evaluasi biomarker yang baru diperlukan untuk dapat mendeteksi tumor ovarium ganas pada stadium awal. Objektif : Penelitian ini dilakukan untuk menilai ekspresi Immediate Early Response Gene X-1 (IEX-1) saliva sebagai prediktor keganasan pada tumor ovarium epitelial. Metode : Merupakan penelitian uji diagnostik pada pasien tumor ovarium yang direncanakan operasi elektif dengan mengambil 3-5 ml saliva pasien sebelum tindakan operasi. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan hasil histopatologi yaitu tumor ovarium epitelial jinak dan ganas. Dilakukan pemeriksaan ekspresi IEX-1 saliva dengan metode Real Time qPCR. Hasil : Hasil penelitian ini didapat dari 47 subjek, 22 subjek tumor ovarium epitelial ganas dan 25 subjek merupakan tumor ovarium epitelial jinak. Rerata ekspresi IEX-1 saliva lebih tinggi pada tumor ovarium epitelial jinak (1,976) dibandingkan ganas (0,554) (p<0,001). Didapatkan nilai AUC ekspresi IEX-1 0,949 (IK95% 0,894-1,000), nilai cut off point IEX-1 saliva ≥ 0.9115 dengan sensitivitas 84%, spesifisitas 86,4%, nilai duga positif 82,6% dan nilai duga negatif 87,5%. Terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi IEX-1 saliva dengan kejadian tumor ovarium epitelial ganas (OR 5,031, IK95% 2,039-12,41; p<0,001). Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan ekspresi IEX-1 saliva dengan kejadian tumor ovarium epitelial ganas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik. ......Backgound: Ovarian cancer is still one of the cancers with a high mortality rate in women because there are no typical symptoms so that more cases are diagnosed at an advanced stage. The absence of a screening method makes the importance of a diagnostic method that has high sensitivity and specificity. Evaluation of new biomarkers is needed to detect malignant ovarian tumors at an early stage. Objectives: This study was conducted to assess the expression of salivary Immediate Early Response Gene X-1 (IEX-1) as a predictor of malignancy in epithelial ovarian tumors. Methods: This is a diagnostic test study in ovarian tumor patients who are planned for elective surgery by taking 3-5 ml of patient's saliva before surgery. Research subjects who met the inclusion and exclusion criteria were divided into two groups based on the histopathological results, benign and malignant epithelial ovarian tumors. The salivary IEX-1 expression was examined using the Real Time qPCR method. Results: The results of this study were obtained from 47 epithelial ovarian tumors subjects, 22 malignant tumors and 27 benign tumors. The mean salivary IEX-1 expression was higher in benign epithelial ovarian tumors (1.976) than in malignant (0.554) (p<0.001). The AUC expression value of IEX-1 was 0.949 (95% CI 0.894-1,000), salivary IEX-1 cut off point value was 0.9115 with sensitivity 84%, specificity 86.4%, positive predictive value 82.6% and negative predictive value 87, 5%. There was a significant relationship between salivary IEX-1 expression and the event of malignant epithelial ovarian tumors (OR 5.031, 95% CI 2.039-12.41; p<0.001). Conclusions: There is a significant correlation between decreased salivary IEX-1 expression and the event of malignant epithelial ovarian tumors with a good sensitivity and specificity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyani Sugiarto
Abstrak :
Latar Belakang. Malnutrisi pada pasien kanker ginekologi merupakan masalah besar yang dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup pasien. Sayangnya, belum banyak penelitian yang dilakukan. Tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan status gizi pasien kanker ginekologi sebelum dan sesudah perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode. Studi yang dilakukan adalah dengan kohort prospektif yang melibatkan pasien kanker ginekologi yang dirawat di bangsal ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian dilakukan dari bulan Juni 2016 sampai Mei 2017. Kami menggunakan teknik sampling konsekutif, food record, dan pengukuran antropometri lengkap untuk pengumpulan data. Kami menggunakan parameter indeks massa tubuh IMT untuk menilai kategori malnutrisi, dan pemeriksaan antropometri dan laboratorium untuk parameter status nutrisi lainnya. Untuk menganalisis data nutrisi, kami menggunakan NutriSurvey 2007 dan untuk data lain yang kami gunakan SPSS IBM 21.0. Hasil. Ada 96 subyek yang menjalani dan menyeselesaikan semua pemeriksaan dan data untuk penelitian ini. Proporsi malnutrisi berdasarkan IMT adalah 24 , sedangkan berdasarkan Malnutrisi Skrining Alat MST , prevalensi malnutrisi adalah 62,5 . Berdasarkan penurunan IMT, 20,8 pasien mengalami penurunan IMT setelah pengobatan. Lingkar Lengan Atas LILA dan serum albumin pasien menurun secara signifikan setelah pengobatan. Kesimpulan. Lingkar Lengan Atas LILA dan serum albumin pasien menurun secara signifikan setelah perawatan. ......Background. Cancer malnutrition in gynecologic cancers cases were big problem that can affect survival rate. Unfortunately, not many studies has been done. Objective. The aim of this study is to find out the nutritional status changes of gynecologic cancer patients before and after treatment in Gynecology Ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Method. This is a prospective cohort study on gynecologic cancer patients treated in Gynecology Ward Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The study was done from June 2016 to May 2017. We used consecutive sampling techniques, food record, and complete anthropometric measurement for data collection. We used body mass index BMI parameter for appraising malnutrition categories, and anthropometric and laboratory examination for other parameters. For analysing data, we used NutriSurvey 2007 for nutritional data and SPSS IBM 21.0.for other data. Results. There were 96 subjects underwent all examination and data completion for the study. Proportion of malnutrition with BMI was 24 , while based on Malnutrition Screening Tool MST was 62,5 . There were 20,8 patients that experience reduction of BMI after treatment. Mid upper arm circumference MUAC and albumin serum of patients decrease significantly after treatment. Conclusion. Mid upper arm circumference MUAC and albumin serum of patients decrease significantly after treatment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Prima Artha
Abstrak :
Latar belakang: Kanker endometrium merupakan kasus kanker baru terbanyak ke dua pada organ ginekologi setelah kanker serviks. Kanker endometrium dikategorikan menjadi dua: tipe I (estrogen related) dan tipe II (nonestrogen related). Kanker endometrium tipe I merupakan kasus tersering dari kanker endometrium. Manajemen utama untuk kanker endometrium adalah operasi. Tindakan operasi dan terapi adjuvan kasus kanker endometrium tipe I dipengaruhi beberapa variabel yang dapat dinilai preoperasi. Invasi miometrium dan keterlibatan serviks merupakan variabel preoperasi yang penting pada kanker endometrium tipe I. Magnetic resonance diffusion weighted imaging merupakan metode yang menjanjikan dalam menilai invasi miometrium dan keterlibatan serviks. Metode: Penelitian cross-sectional dilakukan untuk menganalisis hasil magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai invasi miometrium dan keterlibatan serviks. Penelitian ini melibatkan semua pasien kanker endometrium tipe I di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo dari April 2016 hingga April 2019. Invasi miometrium dan keterlibatan serviks diperiksa menggunakan mesin MRI 1,5 T. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan histopatologi sebagai standar. Hasil: Sebanyak 34 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Rentang usia pasien berkisar dari 22 hingga 73 tahun. Hasil histopatologi semua pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah kanker endometrium tipe I. Pemeriksaaan menggunakan magnetic resonance diffusion weighted imaging memberiksan hasil 22 pasien (64,7%) dengan kedalaman invasi miometrium lebih dari 50% dan 12 pasien (35,3%) dengan kedalaman invasi miometrium kurang dari 50%; 6 pasien (17,6%) dengan keterlibatan serviks dan 28 pasien (82,4%) tidak ada keterlibatan serviks. Hasil histopatologi menunjukkan 17 pasien (50%) dengan kedalaman invasi miometrium lebih dari 50% maupun kurang dari 50%; 7 pasien (20,6%) dengan keterlibatan serviks dan 27 pasien (79,4%) tidak ada keterlibatan serviks. Sensitivitas dan spesifisitas magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai invasi miometrium pada kanker endometrium tipe I adalah 94,12% dan 64,71%, secara berurutan. Sensitivitas dan spesifisitas magnetic resonance diffusion weighted imaging dalam menilai keterlibatan serviks pada kanker endometrium tipe I adalah 57,14% dan 92,59%, secara berurutan. Simpulan: Magnetic resonance diffusion weighted imaging dapat memberikan informasi prognostik yang cukup baik mengenai invasi miometrium dan keterlibatan serviks pada pasien kanker endometrium. ......Background: Endometrial cancer is the second most common new case reproductive organ cancer in the world after cervical cancer. Two different clinicopathologic subtypes of endometrial cancer are categorized: estrogen related (type I) and nonestrogen related (type II). Type I endometrial cancer accounts for approximately 75 percent of all endometrial cancer cases. Primary management for endometrial cancer is surgery. Operation procedure and adjuvant treatment of type I endometrial cancer were affected by some variables assessed preoperatively. Myometrial invasion and cervical involvement are important prognostic variables in type I endometrial cancer. Magnetic resonance diffusion weighted imaging is promising in evaluation of myometrial invasion and cervical involvement. Methods: We conducted a cross-sectional study to analyze the result of magnetic resonance diffusion weighted imaging in evaluating myometrial invasion and cervical involvement. This study involved all type I endometrial cancer patients in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2016 until April 2019. The depth of myometrial invasion and cervical involvement was examined using 1,5-T MR unit. The result was compared to the surgical pathologic findings as the reference standard. Result: 34 patients were enrolled in this study. Patient age was ranged from 22 until 73 years old. All of the patient pathologic findings were type I endometrial cancer. Evaluation using magnetic resonance diffusion weighted imaging showed 22 patients (64,7%) had ≥ 1/2 myometrial invasion and 12 patients (35,3%) had < 1/2 myometrial invasion; 6 patients (17,6%) had cervical involvement and 28 patients (82,4%) had not cervical involvement. Based on surgical pathologic findings, there were 17 patients (50%) had ≥ 1/2 myometrial invasion and also for the patient with < 1/2 myometrial invasion; 7 patients (20,6%) had cervical involvement and 27 patients (79,4%) had not cervical involvement. Sensitivity and specificity of magnetic resonance diffusion weighted imaging to evaluate myometrial invasion in type I endometrial cancer were 94,12% and 64,71%, respectively. Sensitivity and specificity of magnetic resonance diffusion weighted imaging to evaluate cervical involvement in type I endometrial cancer were 57,14% and 92,59%, respectively. Conclusion: Magnetic resonance diffusion weighted imaging can provide reliable prognostic variable information about myometrial invasion and cervical involvement in preoperative preparation of endometrial cancer patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triyono
Abstrak :
Electric Disharge Coating (EDC) adalah pengembangan Electric Discharge Machining (EDM), untuk perlakuan permukaan. Lapisan putih yang selalu muncul dalam EDM memiliki entitas yang berbeda dari logam induk, dikarenakan pendinginan cepat dan adanya migrasi material baik dari elektroda maupun fluida dielektrik. Dalam penelitian ini dikaji lapisan putih dari baja SKD 61 dan Aluminium Seri 5000, hasil perlakuan permukaan dengan menggunakan elektroda Cu, Gr dan Cr serta fluida dielektrik minyak jarak. Dalam pelaksanaannya baja SKD 61 diperlakukan dengan tiga tipe elektroda penampang lingkaran yaitu konvensional, dua lapis dan tiga lapis. Sedangkan untuk paduan aluminium digunakan penampang lingkaran dan persegi empat dua lapis. Ketebalan lapisan putih diukur dengan sangat cermat, dengan cara pengukuran berbasis citra. Untuk penilaian, hasil proses minyak jarak dibandingkan dengan unjuk kerja minyak tanah dan EDM-85. Sedangkan hasil elektroda berlapis dibandingkan terhadap elektroda konvensional. Hasil analisis data didapat bahwa kuat arus merupakan faktor dominan yang mempengaruhi nilai kekasaran permukaan dan ketebalan lapisan putih. Ditemukan pula laju pembentukan geram menggunakan minyak jarak masih terlampau rendah hal ini disebabkan kekentalannya tinggi. Terungkap pula adanya kenaikan unsur kimia lapisan putih relatif terhadap logam induk yaitu unsur C, Mg, Si, Mo, Ca, V, Cr, Cu, dan Zn, sedangkan unsur Fe berkurang. Selain itu diperoleh hasil bahwa ketebalan lapisan putih meningkat sesuai dengan kenaikan energi pemotongan, hal ini terjadi sebagaimana nilai kekasaran permukaan hasil perlakuan EDM. ......Electric Disharge Coating (EDC) is the development of Electric Discharge Machining (EDM), for surface treatment. White layer which always appear in the EDM has a different entity from the base metal, due to rapid cooling and migration both of the electrode material and the dielectric fluid. In this study examined the white layer of steel SKD 61 and Aluminium 5000 series, the results of surface treatment using the electrode Cu, Cr and Gr and the dielectric fluid jatropha curcas. In the execution of SKD 61 steel treated with three types of electrodes are solid circular cross section, the two layers and three layers. While the aluminium alloy used for circular and rectangular cross-section of two layers. White layer thickness measured very carefully, by means of image-based measurement. For the assessment process with jatrophacurcas results compared against the performance of the EDM-85. While the results of layered electrodes compared to solid electrodes. From the analysis of the data found that the electric current is the dominant factor affecting the surface roughness and white layer thickness. It was also found that the rate of metal removal of jatropha curcas furious still too low this is due to high viscosity. From the observation revealed that an increase in the chemical elements of white layer relative to the base metal, namely C, Mg, Si, Mo, Ca, V, Cr, Cu, and Zn, while Fe is reduced. In addition it also obtained evidence that the white layer thickness increases with the increase in cutting energy, this phenomenon occurs as surface roughness.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Adi Nugroho
Abstrak :
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Treg (ditunjukkan oleh Foxp3), CD4, dan CD8 pada kanker serviks stadium lanjut lokal dan dampaknya terhadap progresivitas tumor dan respons radiasi. Metode. Setelah disetujui oleh komite penelitian, kami mengumpulkan data pasien kanker serviks stadium lanjut lokal yang menjalani radioterapi, di RSCM, Jakarta, pada Januari 2018 – Desember 2020. Subjek penelitian harus memiliki pencitraan pra dan paska radiasi dan spesimen blok parafin untuk memenuhi syarat dalam penelitian ini. Profil Foxp, CD4, dan CD8, akan dianalisis dengan imunohistokimia dengan penghitungan jumlah sel. Respons radiasi akan dianalisa dengan kriteria RECIST 1.1. Semua informasi klinis pasien yang diperlukan akan dikumpulkan dari rekam medis elektronik. Hasil. Kami menemukan bahwa sebagian besar pasien memiliki karsinoma sel skuamosa (93%), stadium IIIC (48%), dan menjalani radiasi saja (72%). Evaluasi RECIST menunjukkan 62% pasien memiliki respons lengkap, 28% respons parsial, dan 10% respons buruk (penyakit stabil dan progresif). Kami dapatkan median jumlah sel CD4 =29 (7 – 154), CD8 = 30 (6 – 227), dan Foxp3 = 36 (2 – 156). Tidak ada hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan volume tumor, dengan p = 0.858; p = 0.975, dan p = 0.723 masing masing. Tidak ada hubungan bermakna dengan dimensi terbesar tumor dengan p = 0.481, p = 0.480, dan p = 0.792 masing masing. Tidak ada pula hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan respons radiasi dengan p = 0.964, p = 0.296, dan p = 0.787 masing masing. Namun kami mendapatkan korelasi positif yang kuat dan bermakna pada jumlah sel tumor pada stroma, CD 4 - CD8 (r = 0.580, p=0.001); CD4 - Foxp3 (r = 0.699, p < 0.001), dan CD8 - Foxp3 (r = 0.652, p < 0.001). Kesimpulan. Sebagian besar pasien kanker stadium lanjut lokal yang menjalani radiasi memiliki respons lengkap. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan volume tumor, dimensi terbesar tumor, dan respons radiasi. Terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antar sel imun (CD4-CD8, CD4-Foxp3, dan CD8-Foxp3) pada lingkungan stroma. ......Aims: This study aims to determine profile of Treg (shown by Foxp3), CD4, and CD8 in locally advanced cervical cancer and the impact to tumor progressivity and radiation response. Method. After been approved by the institution research committee, we collect data of locally advanced of cervical cancer patients who underwent radiotherapy, at RSCM, Jakarta, in January 2018 – December 2020. Studies subjects must have pre and post irradiation imaging and paraffin block specimen to be eligible in this study. Profile of Foxp, CD4, and CD8, will be analyzed by immunohistochemistry, by counting the number of cells, and radiation response will be analyzed by RECIST 1.1 criteria. All necessary patient’s clinical information will be collected from electronic medical record. Result. We found that most of the patients had squamous cell carcinoma (93%), stage IIIC (48%), and underwent radiation alone (72%). RECIST evaluation showed 62% of patients had a complete response, 28% a partial response, and 10% had a poor response (stable and progressive disease). We found median CD4 cell counts = 29 (7 – 154), CD8 = 30 (6 – 227), and Foxp3 = 36 (2 – 156). There was no significant relationship between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with tumor volume, with p = 0.858; p = 0.975, and p = 0.723 respectively. There was no significant relationship with the dimensions of the largest tumor with p = 0.481, p = 0.480, and p = 0.792, respectively. There was no significant relationship between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with radiation response with p = 0.964, p = 0.296, and p = 0.787, respectively. However, we found a strong and significant positive correlation in the number of tumor cells in the stroma, CD4 - CD8 (r = 0.580, p = 0.001); CD4 - Foxp3 (r = 0.699, p < 0.001), and CD8 - Foxp3 (r = 0.652, p < 0.001). Conclusion. Most locally advanced cancer patients who undergo radiation have a complete response. There are no significant relationships between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with tumor volume, largest tumor dimensions, and radiation response. There is a strong and significant correlation between immune cells (CD4-CD8, CD4-Foxp3, and CD8-Foxp3) in the stromal environment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>