Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zarwindo Sumardi
"ABSTRAK
Latar belakang : Gonore masih menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan terutama pada
laki-laki dengan perilaku seksual risiko tinggi. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis gonore
adalah biakan dan tes amplifikasi asam nukleat. Namun, kedua tes tersebut sulit dilakukan pada
tempat dengan keterbatasan fasilitas serta sumber daya manusia. ENCODETM gonorrhea rapid
test (GRT) merupakan salah satu point of care test (POCT) yang relatif mudah untuk digunakan
dan dapat memberikan hasil dalam waktu singkat. Jenis POCT ini diperkirakan dapat menegakkan
diagnosis gonore lebih praktis, cepat, dan akurat di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif dari
GRT dalam diagnosis gonore pada duh tubuh uretra laki-laki risiko tinggi di Jakarta
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap laki-laki risiko tinggi dengan
keluhan duh tubuh uretra yang mengunjungi dua klinik IMS di Jakarta selama Bulan September-November 2018. Jenis POCT gonore yang digunakan adalah ENCODETM GRT untuk menguji
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi negatif dan positifnya. Pemeriksaan baku emas yang
digunakan adalah biakan.
Hasil : Telah berhasil diseleksi sebanyak total 54 subyek penelitian. Sensitivitas dan spesifisitas
GRT diperoleh sebesar 96,77% (95% IK 83,3-99,92%) dan 82,6% (95% IK 61,22-95,05%).
Nilai prediksi positif didapatkan sebesar 88,24% (95% IK 75,43-94,82%) sedangkan nilai
prediksi negatif sebesar 95% (95% IK 73,25-99,25%).
Kesimpulan : ENCODETM GRT menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik
untuk diagnosis gonore pada laki-laki risiko tinggi dengan keluhan duh tubuh uretra.
Pengunaannya cukup praktis, sehingga dapat disarankan untuk tempat dengan keterbatasan
fasilitas.

ABSTRACT
Background : Gonorrhea still becomes a significant health problem especially in men with highrisk
sexual activities. The gold standard diagnostic tests are culture and nucleic acid amplification
test. However, both of the tests were difficult to perform in the setting of limited resources. Other
tests require trained analyst to perform, which may also not available in rural areas. ENCODE
gonorrhea rapid test (GRT) is a point of care test (POCT) which is relatively easy to use and can
provide result quickly. This POCT may provide more practical, faster, and more accurate
diagnosis of gonorrhea in Indonesia.
Objective : To know the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive
value of gonorrhea rapid test in diagnosing gonorrhea urethritis on high risk men in Jakarta.
Methods : This is a cross-sectional study including men with symptomatic gonococcal urethritis
who visited two STI clinics in Jakarta during September-November 2018. ENCODETM GRT was
performed to evaluate its sensitivity, specificity, positive and negative predictive value. The gold
standard diagnostic test was culture.
Result : There were 54 men recruited in this study. The sensitivity and specificity for ENCODE
gonorrhea rapid test are 96.77% (95% CI 83.3-99.92%) and 82.6% (95% CI 61.22-95.05%).
Positive and negative predictive values respectively are 88.24% (95% CI 75.43-94.82%) and
95% (95% CI 73.25-99.25%).
Conclusion : ENCODE GRT has a good sensitivity and specificity rates for diagnosing gonorrhea
in high risk men with urethral discharge. Its use is recommended especially in rural areas or areas
with limited resources due to its practicality."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parikesit Muhammad
"Salah satu faktor penyebab kulit kering pada lanjut usia adalah penurunan konsentrasi asam hialuronat pada epidermis dan dermis. Asam hialuronat berat molekul kecil dianggap lebih efektif melembapkan kulit dibandingkan asam hialuronat berat molekul besar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda yang dilakukan pada 36 orang berusia 60-80 tahun dengan kulit kering di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3. Setelah prakondisi selama satu minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan tiga pelembap yang berbeda secara acak pada tiga lokasi di tungkai bawah, yang dioleskan dua kali sehari. Penilaian skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), dan skor SRRC dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Nilai SCap lebih tinggi pada area pengolesan asam hialuronat berat molekul kecil dibandingkan dengan asam hialuronat berat molekul besar (56,37 AU vs 52,37 AU, p=0,004) dan vehikulum (56,37 AU vs 49,01 AU, p<0,001). Tidak terdapat perbedaan nilai TEWL dan skor SRRC yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan. Tidak ditemukan efek samping subjektif dan objektif pada ketiga kelompok perlakuan. Pelembap yang mengandung asam hialuronat berat molekul kecil meningkatkan SCap lebih tinggi secara bermakna daripada asam hialuronat berat molekul besar dan vehikulum serta memiliki keamanan yang sama dalam mengatasi kulit kering pada populasi lansia.

A contributing cause to dry skin is a reduced concentration of hyaluronic acid (HA) in both the epidermis and dermis. Low molecular weight HA (LMWHA) is believed to be more effective in replenishing skin hydration in aging skin compared to High Molecular Weight HA (HMWHA). A double-blind, randomized controlled trial was conducted on 36 residents of a nursing home in Jakarta, aged 60 and 80 years with dry skin. Following a week of preconditioning, each test subject was administered three distinct, randomized moisturizing lotions, to be topically applied to three separate sites on the leg. Skin capacitance (SCap), transepidermal water loss (TEWL), and SRRC scores were measured at weeks 0, 2, and 4. After four weeks of therapy, area that was treated with LMWHA showed greater SCap values compared to the area treated with HMWHA (56.37 AU vs 52.37 AU, p=0.004) and vehicle (56.37 AU vs 49.01 AU, p<0.001). All groups did not show any significant differences in TEWL and SRRC scores. No side effects were found in all groups. The application of a moisturizer containing LMWHA to the dry skin of elderly resulted in significant improvements in skin hydration compared to moisturizers containing HMWHA and vehicle. Furthermore, these moisturizers demonstrated similar safety in treating dry skin in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Kurnia Pertiwi
"

Latar belakang: Pedikulosis kapitis merupakan masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada anak-anak usia 3-12 tahun di seluruh dunia. Losio permetrin 1% merupakan terapi pilihan pertama untuk pedikulosis kapitis dan obat ini tersedia di Indonesia. Saat ini mulai ada laporan resistensi penggunaan permetrin 1% di beberapa negara. Di Indonesia belum ada data resistensi permetrin. Dilaporkan permetrin 5% dapat digunakan untuk pedikulosis kapitis yang resisten terhadap permetrin 1%. Sepengetahuan penulis belum pernah ada uji klinis dengan kontrol yang membandingkan losio permetrin 1% dengan 5% sebagai terapi pedikulosis kapitis.

Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan penggunaan losio permetrin 1% dan losio permetrin 5%.

Metode: Rancangan studi menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Subyek penelitian adalah santri perempuan di Pondok Pesantren di Cibinong. Subyek yang memenuhi kriteria penerimaan dialokasikan secara acak mendapatkan terapi losio permetrin 1% (LP1) dan losio permetrin 5% (LP5). Pengobatan dilakukan 2 kali dengan jarak 7 hari. Penilaian efektivitas dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Subyek dinyatakan sembuh bila tidak ditemukan kutu hidup saat evaluasi. Penilaian efek samping dinilai pada hari ke-0 yaitu 10 menit setelah pengolesan, 7 hari setelah pengobatan pertama, 7 hari setelah pengobatan kedua yaitu hari ke-14.

Hasil:

Sebanyak 48 subyek ikut dalam penelitian ini. Terdapat 1 SP drop out dari kelompok LP5. SP yang sembuh pada kelompok LP1 di hari ke-7 dan ke-14 adalah sebanyak 15 SP (62,5%) dan 23 SP (95,8%), sedangkan pada kelompok LP5 adalah 15 SP (65,2%) dan 22 SP (95,7%). Tidak terdapat perbedaan angka kesembuhan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok pada hari ke-7 dan ke-14 (p=1,000). Efek samping subyektif pada kedua kelompok yang paling banyak ditemukan adalah rasa panas di kelompok LP1 sebanyak 3 orang dan di kelompok LP5 sebanyak 2 orang.

Simpulan:

Efektivitas LP1 dan LP5 pada pedikulosis kapitis tidak berbeda bermakna. Angka kesembuhan yang didapatkan pada hari ke-7 dan hari ke-14 serupa antara kedua kelompok. Selain itu tidak didapatkan perbedaan keamanan antara LP1 dan LP5 yang bermakna secara statistik.


Background: In the worldwide pediculosis capitis is a community disease commonly affected among children 3 to 12 years of age.  Permethrin lotion 1% is drug of choice for pediculosis capitis and available in Indonesia. In many countries, there are reported resistency of permethrin 1%. There is no data of permethrin resistency in Indonesia. Permethrin 5% has been reported useful for resistance cases of permethrin 1%. As the author’s knowledge there is no previous clinical trial comparing permethrin lotion 1% and 5% as pediculosis capitis therapy.   

Objective: To know the effectivity and safety of permethrin lotion 1% and 5% in the treatment of pediculosis capitis.

Methods: A randomized control study of woman boarding school student in Cibinong. Patient who fulfilled inclusion criteria, allocated to receive permethrin lotion 1% and 5% accordance with randomization. Treatment is done twice with distance 7 days. The effectivity assest at day-7th and day-14th. Cure, if there is no life lice on subject at the evaluation. The adverse effect assest 10 minutes after first application, day-7th, and seventh day after second application at day-14th.

Results:

A total of 48 subjects were enrolled. One subject dropped out. On day-7th and day-14th there were 15 subject (62,5%) and 23 subject (95,8%) cured at group LP1, likewise at group LP5 there were 15 subject (65,2%) and 22 subject (95,7%) cured.  There was no statistical difference on the effectivity between both group on day-7th and day-14th (p=1,000). The most common subjective side effect on both group was burn, 3 subject on group LP1 and 2 subject on group LP5.

Conclusion:

There was no statistical differences on the effectivity between group LP5 and LP1. Cure rate on day-7th and day-14th on both group similar. There was no statistical differences on side effect between group LP1 and LP5.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hj. Sofa Inayatullah
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis, dengan fenomena Koebner dan tanda Auspitz. Salah satu faktor pemicu yang diduga berperan adalah infeksi. Periodontitis merupakan infeksi yang terjadi pada jaringan periodontal dan dapat menjadi fokus infeksi. Penelitian untuk mengetahui proporsi periodontitis pada pasien psoriasis belum pernah dilakukan di Indonesia dan belum ada penelitian yang melaporkan korelasi derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal.
Tujuan: Mengetahui proporsi kasus periodontitis pada pasien psoriasis vulgaris dan korelasi antara derajat keparahan psoriasi dengan kedalaman poket periodontal.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli-November 2017 di poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan poliklinik Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dengan jumlah sampel 34 pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisis lesi kulit dilakukan oleh peneliti, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan gigi dan mulut oleh dokter gigi spesialis Periodontologi.
Hasil : Didapatkan total 34 subjek dengan median usia 37,5 tahun 19-58 tahun . Subjek terdiri atas 20 pasien 58,8 dengan psoriasis derajat ringan dan 14 pasien 41,2 dengan psoriasis derajat sedang-berat. Hasil didapatkan 16 pasien 47,1 dengan periodontitis dan 18 pasien 52,9 tanpa periodontitis. Periodontitis didapatkan sebanyak 8 pasien 23,53 pada masing-masing kelompok psoriasis derajat ringan dan sedang-berat. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal r 0,126, p 0,478.
Simpulan: Ditemukan proporsi periodontitis yang cukup tinggi pada pasien psoriasis vulgaris yaitu sebesar 47,1 dan tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal. Hasil ini mungkin dikarenakan faktor perancu yang dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis maupun kedalaman poket. Kata kunci: Psoriasis, periodontitis, infeksi.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and coarse grained scales, with the Koebner phenomenon and the Auspitz sign. One of the trigger factors that contributes is infection. Periodontitis is an infection that occurs in periodontal tissue and can be focus of infection. A study to determine the proportion of periodontitis in psoriasis patients has never been done in Indonesia and no studies have reported a correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth.
Objective: To determine the proportion of periodontitis in patients with psoriasis vulgaris and the correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth.
Methods: This cross sectional study was conducted in July November 2017 in Dermatovenereology clinics of dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. The sample selection was done consecutive sampling with total sample of 34 patients. Anamnesis and physical examination of skin lesions were done by investigator, then dental and oral examination were done by periodontist.
Results: Total of 34 subjects were enrolled with median age of 37.5 years 19 58 years old. The subjects consisted of 20 patients 58.8 with mild psoriasis and 14 patients 41.2 with moderate severe psoriasis. The results showed that 16 patients 47.1 with periodontitis and 18 patients 52.9 without periodontitis. Periodontitis was found in 8 patients 23.53 in each group of mild and moderate severe psoriasis. There was no statistically significant correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth r 0.126, p 0.478 .
Conclusion: The high proportion of periodontitis was found in patients with psoriasis vulgaris 47.1 and there was no statistically significant correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth. The results may be due to counfounding factors that affect both psoriasis severity and pocket depth. Keywords Psoriasis, periodontitis, infection
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58968
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
"Latar belakang : Insidens kutil anogenital KA terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini belum ada terapi yang efektif untuk semua jenis KA. Terdapat berbagai macam pilihan terapi KA, antara lain terapi yang dapat diaplikasikan sendiri, contohnya krim 5-fluorourasil 5-FU 1 dan 5-FU 5 dan terapi yang diaplikasikan oleh dokter, contohnya larutan asam trikloroasetat TCA 90 . Larutan TCA 90 merupakan terapi standar KA, memerlukan kurang lebih 4-6 kali kunjungan tiap minggu untuk mencapai kesembuhan. Hingga saat ini terapi KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien sendiri, belum tersedia di Indonesia. Tujuan : Mengetahui efektivitas dan keamanan krim 5-FU 1 dan krim 5-FU 5 dibandingkan dengan larutan TCA 90 untuk terapi KA pada genitalia eksterna dan atau perianus. Metode : Uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap pasien KA pada bulan Januari hingga Mei 2018. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian akan mendapat terapi 5-FU 1 , 5-FU 5 , atau larutan TCA 90 sesuai dengan randomisasi blok. Pasien dicatat identitas, jumlah, dan ukuran lesi KA kemudian diamati respons terapi dan efek samping subyektif dan obyektif setiap minggu, hingga minggu ketujuh. Dilakukan analisis intention to treat. Hasil : Didapatkan total 72 subjek. Terdapat 5 SP drop out, dua dari kelompok 5-FU 1 dan tiga dari kelompok TCA 90 . Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara kelompok 5-FU 1 dengan TCA 90 p=0,763 . Respons sempurna pada 5-FU 1 adalah 671 , sedangkan TCA 90 adalah 63 . Begitupula dengan perbandingan efektivitas antara kelompok 5-FU 5 dengan TCA 90 . Pada awalnya saat minggu kedua TCA 90 tampak lebih cepat memberikan kesembuhan daripada 5-FU 5 p=0,036 , namun setelah enam minggu terapi ternyata tidak ada perbedaan efektivitas antara keduanya p=0,274 . Didapatkan bahwa respons sempurna pada 5-FU 5 adalah 46 dan 63 pada TCA 90 . Terdapat perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,004 . Terdapat pula perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 5 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,001 . Efek samping gatal ketika evaluasi minggu keempat pada kelompok 5-FU 1 adalah 21 dan 33 pada kelompok 5-FU 5 . Efek samping tersering pada kelompok TCA 90 adalah nyeri 96 ketika aplikasi TCA 90 pertama kali. Terdapat perbedaan efek samping obyektif yang lebih ringan secara bermakna ketika evaluasi minggu kedua, keenam, dan ketujuh pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan TCA 90 p

Background: Anogenital wart incidence is increasing lately. Up till now there is no effective therapy for every type of anogenital wart. There are various kind of anogenital wart therapy, such as self applied therapy e.g. 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream and physician-applied therapy e.g. trichloroacetic acid 90 solution . Trichloroacetic acid is the standard therapy for anogenital wart, need around 4-6 times until totally improved. Currently, there is no self applied anogenital wart therapy available in Indonesia. Objective: To know the effectivity and safety of 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream compared to trichloroacetic acid 90 solution in the treatment of anogenital wart. Methods: A randomized control study of adult patients with anogenital wart during the period of January-Mei 2018. Patients who fulfiled inclusion criteria and willing to follow this research, allocated to receive 5-fluorouracil 1 cream, 5-fluorouracil 5 cream, or trichloroacetic acid 90 solution in accordance with block randomization. The identity, number and size of the anogenital wart were recorded, then the response of therapy and side effect subjective and objective were observed each weeks, up to seventh week. The data was analyzed with intention to treat analysis. Result: A total of 72 subjects were enrolled, two subjects from 5-FU 1 and three subjects from TCA 90 dropped out. There was no diference in the effectivity between 5-FU 1 group compared to TCA 90 p=0,763 . Total response in 5-FU 1 was 67 and 63 in TCA 90 . Likewise the comparison of effectivity between 5-FU 1 group and TCA 90 group. On the second week TCA 90 gave faster improvement than 5-FU 5 p=0,036 , but after 6 weeks treatment there was no difference between both groups p=0,274 . Total response in 5-FU 5 was 46 and 63 in TCA 90 . There was significant milder subjective side effect on 5-FU 1 compared to TCA 90 group p=0,004 , as well as significant milder subjective side effect on 5-FU 5 compared to TCA 90 p=0,001 . On the fourth week there was 21 in the 5-FU 1 group felt itchy and 33 in TCA 90 group. The most common side effect in TCA 90 group was painful, 96 of the subjects experienced it while their first TCA application. We also found significant milder objective side effect in 5-FU 1 group on the second week, sixth week, and seventh week evaluation compared to TCA 90 group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arinia Kholis Putri
"Latar belakang: Keratosis seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis yang paling sering ditemukan. Pada penelitian baru mengenai KS, vitamin D berperan melalui banyak mekanisme nongenomik, termasuk ekspresi protein dan mutasi gen FGFR3. Defisiensi vitamin D mengakibatkan gangguan proliferasi dan diferensiasi, sehingga mempengaruhi jumlah dan ukuran lesi KS. Di sisi lain pajanan matahari juga merupakan faktor yang mempengaruhi baik kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) maupun terhadap munculnya lesi KS. Pengukuran pajanan sinar matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan sun index. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran lesi KS.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum 25-Hydroxyvitamin D dan sun index (indeks pajanan matahari) dengan jumlah dan ukuran lesi keratosis seboroik pada wajah di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 50 pasien KS yang direkrut secara consecutive sampling pada bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner sun index, pemeriksaan fisis, penilaian jumlah dan ukuran terbesar lesi KS di wajah dengan FotoFinder® dan dermoskopi, serta pemeriksaan laboratorium kadar serum 25(OH)D. Dilakukan analisis data untuk mengetahui korelasi kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah dengan uji Pearson jika sebaran data normal atau uji Spearman jika sebaran data tidak normal.
Hasil: Median kadar serum 25(OH)D SP sebesar 10,3 (3,9-24,2) ng/mL. Median nilai sun index adalah 1,3 (0,3-16,2). 94% SP mengalami defisiensi kadar serum 25(OH)D dan 6% mengalami insufisiensi kadar serum 25(OH)D. Terdapat korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar serum 25(OH)D dengan sun index (p=0,009, r=0,367). Median jumlah lesi KS pada wajah sebesar 28 (8-87) lesi dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Median ukuran terbesar lesi KS sebesar 3,5(1-9,5) mm dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Tidak terdapat korelasi antara kadar serum 25(OH)D dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p=0,178, r=0,194 dan p=0,164, r=0,2). Terdapat korelasi bermakna antara sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p<0,001, r=0,517 dan p<0,001, r=0,451)
Kesimpulan: Kadar serum 25(OH)D ditemukan di bawah nilai normal (defisiensi dan insufisiensi) pada seluruh SP. Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kadar serum 25(OH)D, tidak menyebabkan semakin sedikit jumlah dan semakin kecil ukuran lesi KS di wajah. Namun semakin tinggi nilai sun index, maka akan menyebabkan semakin banyak jumlah dan semakin besar ukuran lesi KS di wajah

Background: Seborrheic keratoses (SK) is one of the most common benign epidermal tumors. Recent study on SK, vitamin D is involved through many nongenomic interactions, including changes in protein and mutations in the FGFR3 gene. Decreased on vitamin D causes disorder of proliferation and differentiation, thus affecting the number and size of SK lesions. On the other hand, sun exposure is also a factor that affects the levels of 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) as well as the SK lesions. Measurement of sunlight exposure can be done in various ways, one of them is by using the sun index. Until now there has been no research on the relationship between 25(OH)D serum and sun index with the number and size of SK lesions.
Objective: To assess the relationship of 25-hydroxyvitamin D levels and sun index (sun exposure index) with number and size of seborrheic keratoses lesions on the face in Dermatovenereology Clinic , Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: This cross-sectional study involved 50 SK patients that recruited by consecutive sampling in December 2018 to May 2019. Patients who met the criteria will be analyzed and filled in with the sun index questionnaire, physical examination, assessment of the number and size of SK lesions on the face with FotoFinder® and dermoscopy, and laboratory tests for 25(OH)D serum levels. Data analysis was performed to determine the correlation of serum 25 (OH) D and sun index levels with the number and size of SK lesions on the face with Pearson test if the data distribution is normal or Spearman test if the data distribution is not normal.
Result: The median 25(OH)D serum level is 10.3 (3.9-24.2) ng/mL. The median sun index value is 1.3 (0.3-16.2). 94% of SP had deficiencies and 6% experienced insufficiency of serum 25(OH)D levels. There was a significant correlation with moderate strength between 25(OH)D serum levels and sun index (p = 0.009, r = 0.367). The median number of SK lesions on the face was 28 (8-87) lesions and increased according to the increase in age groups. The median largest size of SK lesions was 3.5 (1-9.5) mm and increased according to the increase in age groups. There is no correlation between 25(OH)D serum levels and the largest number and size of SK lesions on the face (p = 0.178, r = 0.194 and p = 0.164, r = 0.2). There is a significant correlation between the sun index and the largest number and size of SK lesions on the face (p <0.001, r = 0.517 and p <0.001, r = 0.451)
Conclusion: 25(OH)D serum levels were found below normal (deficiency and insufficiency) in all subject. The results showed that the higher 25(OH)D serum levels did not cause the smaller the number and the smaller the size of KS lesions on the face. But higher sun index value correlate on the number and size of SK lesions on the face.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Anissa
"Latar belakang: Skabies adalah penyakit kulit akibat infestasi ektoparasit berupa tungau Sarcoptes scabiei var hominis. Transmisi terjadi melalui kontak kulit secara langsung dan kontak dengan fomite. Risiko penularan skabies tinggi di komunitas yang tinggal bersama, contohnya asrama, pondok pesantren, panti jompo, dll. Prinsip tata laksana skabies meliputi penggunaan skabisid untuk pasien dan narakontak secara serempak. Sediaan permetrin merupakan pilihan utama, dengan tingkat kesembuhan 61,1% pada hari ketujuh. Blacksoap® adalah produk sabun yang diakui sebagai pendamping terapi skabies. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efektivitas dan efek samping penggunaan Blacksoap®.
Tujuan: Membandingkan proporsi kesembuhan skabies dan efek samping pada kelompok yang mendapatkan kombinasi krim permetrin dan Blacksoap® dan kelompok yang mendapatkan kombinasi krim permetrin dan sabun bayi; membandingkan skor VAS gatal dan TEWL sebelum dan sesudah pemberian terapi pada kedua kelompok.
Metode: Sebuah uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan di Pondok Pesantren Al Islami, Cibinong, Bogor pada September hingga Oktober 2018. Terdapat 78 orang santri yang memenuhi kriteria penelitian, tetapi hanya 69 subjek penelitian (SP) menyelesaikan penelitian. Alokasi kelompok dilakukan secara cluster randomization berdasar tempat tinggal. Kelompok intervensi mendapatkan krim permetrin 5% dan Blacksoap®, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan krim permetrin 5% dan sabun bayi. Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit, skor VAS gatal dan TEWL. Subjek penelitian kemudian di follow-up pada minggu ke-1 dan minggu ke-4 untuk menilai kesembuhan, skor VAS gatal, TEWL, dan efek samping pengobatan. 
Hasil: a minggu pertama lebih rendah dibanding kelompok kontrol (75% vs. 81,1%), proporsi kesembuhan kelompok intervensi pada minggu ke-4 lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (96,9% vs. 91,9%). Tidak terdapat perbedaan bermakna skor VAS gatal pada kelompok intervensi dan kontrol pada minggu ke-1 (p=0,793) dan minggu ke-4 (p=0,123). Tidak terdapat perbedaan bermakna median dan perubahan skor TEWL pada kelompok kontrol dan intervensi pada minggu ke-1 dan minggu ke-4.  Tidak terdapat perbedaan efek samping bermakna pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Efektivitas pengobatan skabies sebanding antara penambahan atau tanpa Blacksoap®. Perbaikan skor VAS dan TEWL, serta efek samping penambahan Blacksoap® sebanding dengan tanpa Blacksoap®.

Background: Scabies is a skin disease due to ectoparasitic infestation in the form of Sarcoptes scabiei var hominis. Transmission occurs through direct skin contact and contact with fomite. The transmission risk is high among communities living together, such as dormitories, boarding schools, nursing homes, etc. The principles of scabies management include the use of scabicide for patients and close contact simultaneously. Permethrin cream is the first line therapy, with a cure rate of 61.1% on the seventh day. Blacksoap® is a soap product which is recognized as an adjuvant to scabies therapy. Until now there has been no research on the effectiveness and side effects of using Blacksoap®.
Objectives: To compare the cure rate of scabies treatment with standard therapy with and without Blacksoap®, to compare itch intensity using visual analogue scale (VAS) score and transepidermal water loss (TEWL) score before and after receiving therapy between two groups, and to evaluate the side effects of the therapy.
Methods: A single-blind randomized controlled trial was conducted in Cibinong, Bogor, from September to October 2018. A total of 78 students were eligible for the study's criteria. In the end, there were only 69 samples finished the study. Cluster randomization was done to allocate the samples. Intervention group obtained standard therapy and Blacksoap®, meanwhile control group obtained standard therapy and baby soap. Skin scrapings, pruritus VAS score and TEWL score were assessed. Follow up was done on 1st and 4th week to assess the cure rate, pruritus VAS score, TEWL score and the side effect of therapy.
Results: The cure rate of intervention group was lower compared to that of control group on the first week (75% vs. 81,1%). The cure rate of intervention group is higher compared to that of control group on the fourth week (96,9% vs. 91,9%).  There is no significant difference of pruritus VAS score and TEWL score between two groups on the first and fourth week. There is no significant difference of side effects between two group on the first and forth week.
Conclusion: The effectiveness of scabies treatment was similar between standard therapy with or without Blacksoap®. Decrease of VAS, TEWL score and side effects were similar between two groups on the first and fourth week.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Evyana
"Lesi psoriasis pada kulit kepala, wajah, lipatan, kelamin, telapak tangan/kaki, dan kuku sering terlambat terdiagnosis, sulit diterapi, dan menyebabkan disabilitas. Predileksi ini disebut sebagai area yang sulit diobati (hard-to-treat /HTT). Meski lesi pada area HTT umumnya kecil, namun berisiko komorbiditas. Sindrom metabolik (SM) merupakan komorbiditas utama psoriasis. Keparahan psoriasis dinilai dengan Psoriasis Area Severity Index(PASI). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara derajat keparahan psoriasis yang memiliki lesi HTT dengan kejadian SM. Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan disain potong lintang secara multicenter. Dari 84 SP, sebanyak 42 orang memiliki skor PASI<10 (derajat ringan-sedang) dan 42 orang dengan skor PASI >10 (derajat berat). Prevalensi SM ditemukan sebesar 64,3%. Pasien psoriasis HTT derajat berat berisiko 3,6 kali lebih besar untuk mengalami SM dibandingkan dengan derajat ringan-sedang (78,6% vs 50%, OR 3,667; IK 95% 1,413-9,514; p=0,006). Terdapat perbedaan kejadian hipertensi (p=0,028), penurunan kadar high density lipoprotein/HDL (p=0,01), rerata kadar gula darah puasa (p=0,018), dan trigliserida (p=0,044) antara kedua kelompok. Prevalensi SM pada psoriasis HTT derajat berat lebih besar dan secara statistik bermakna dibandingkan dengan derajat ringan-sedang. Proporsi kriteria SM dari yang terbesar secara berturutan adalah obesitas sentral, penurunan kadar HDL, hipertensi, hiperglikemia, dan hipertrigliseridemia. 

Psoriatic lesions on the scalp, face, intertriginous, genitals, palms, soles, and nails (hard-to-treat/HTT areas) are often delay diagnosed, hard to treat, and cause disability. Despite the small surface of HTT areas, it has risks of comorbidities. Metabolic syndrome (MS) is one of the main comorbidities of psoriasis. The severity of psoriasis was measured by Psoriasis Area Severity Index (PASI). This study aims to assess the association of psoriasis severity that has HTT lesions with the prevalence of SM. It is an analytic observational, multicenter study with a cross-sectional design. From 84 patients, 42 had a PASI score <10 (mild-moderate) and 42 had a PASI score >10 (severe). The prevalence of SM is 64.3%. Patients with severe HTT psoriasis were 3,6 times more likely to have SM compare to mild-moderate group (78.6% vs 50%, OR 3.667; 95% CI 1.413-9.514; p=0.006). The incidence of hypertension (p=0.028), decreased in high density lipoprotein/HDL (p=0.01), mean fasting blood sugar (p=0.018), and triglycerides levels (p=0.044) between two groups were significantly different. Severe HTT psoriasis has higher prevalence of MS and statistically significant compared to mild-moderate group. The highest proportion of SM criteria respectively are central obesity, low levels of HDL, hypertension, hyperglycemia, and hypertriglyceridemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inadia Putri Chairista
"Latar Belakang: Skrining kanker kulit dilakukan sebagai salah satu upaya dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan akibat kanker kulit. Karsinoma sel basal (KSB) merupakan salah satu kanker kulit yang paling sering ditemukan. KSB berpigmen seringkali menunjukkan fitur klinis yang menyerupai melanoma, sehingga kriteria klinis ABCDE diduga dapat menjadi salah satu pilihan dalam membantu penegakan diagnosis.
Tujuan: Mengevaluasi kriteria klinis ABCDE sebagai alat bantu skrining KSB berpigmen dibandingkan dengan baku emas histopatologik.
Metode: Penelitian potong lintang analitik ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2023 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Pasien dengan lesi tumor kulit berpigmen dari tahun 2017 sampai dengan 2022 yang mempunyai data klinis, histopatologis, dan foto dokumentasi yang lengkap direkrut ke dalam penelitian secara konsekutif. Kriteria eksklusi mencakup lesi berukuran lebih dari 2 cm, ras kulit putih (tipe kulit Fitzpatrick 1-3), serta hasil pembacaan histopatologis lesi tumor sesuai dengan penyakit prakanker dan kanker kulit lainnya. Data diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak Stata versi 16 (StataCorpTM) dan Medcalc diagnostic evaluation test calculator.
Hasil: Sebanyak 84 pasien direkrut ke dalam penelitian dengan total 95 lesi yang mencakup 61 lesi KSB dan 34 lesi non-KSB. Median usia subjek KSB lebih tua dibandingkan dengan usia subjek non-KSB (p<0,001). Median ukuran lesi KSB lebih besar dibandingkan dengan ukuran lesi non-KSB (p<0,001). Lesi pada subjek KSB lebih banyak di wajah dibandingkan dengan subjek non-KSB (p=0,005). Proporsi kepositivan KSB berdasarkan kriteria klinis ABCDE adalah 87,5%. Kriteria klinis ABCDE menunjukkan sensitivitas 57,4% (interval kepercayaan [IK] 95% 44,0%–70,0%); spesifisitas 85,3% (IK 95% 68,9%–95,0%); nilai duga positif 87,5% (IK 95% 75,2%–94,2%); nilai duga negatif 52,7% (IK 95% 44,7%–60,6%); dan akurasi 67,4% (IK 95% 57,0%–76,6%) dalam mendiagnosis KSB berpigmen.
Kesimpulan: Kriteria klinis ABCDE secara lengkap mempunyai nilai diagnostik yang kurang baik sebagai alat bantu skrining KSB berpigmen.

Background: Skin cancer screening is performed as an effort to reduce the morbidity and mortality caused by skin cancer. Basal cell carcinoma (BCC) is one of the most common skin cancers. Pigmented BCC often shows clinical features resembling melanoma, so that ABCDE clinical criteria are thought to be a potential modality to help establishing the diagnosis of pigmented BCC.
Objective: To evaluate the ABCDE clinical criteria for the screening of pigmented BCC compared to histopathological examination as the gold standard examination.
Method: This analytical cross-sectional study was performed from January to June 2023 in dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital (RSUPNCM). Subjects with pigmented skin lesions visiting RSUPNCM from 2017 to 2022 whose clinical data, histopathological data, and photographs were documented completely were recruited to the study consecutively. Exclusion criteria included lesion’s size more than 2 cm, light skin (Fitzpatrick skin type 1-3), and histopathological diagnosis in line with precancerous lesion or other skin cancer. Data were analyzed with Stata software version 16 (StataCorpTM) and Medcalc diagnostic evaluation test calculator.
Results: A total of 84 subjects were recruited to the study with a total of 95 lesions consisting of 61 BCC lesions and 35 non-BCC lesions. Median age of the BCC subjects was older than that of non-BCC subjects (p<0.001). Median lesion’s size of the BCC lesions was larger than that of non-BCC lesions (p<0.001). The lesion location in BCC subjects was significantly prevalent on the face (p=0.005). The proportion of BCC positivity based on ABCDE clinical criteria was 87.5%. ABCDE criteria had sensitivity of 57.4% (95% Confidence Interval [CI] 44.0%–70.0%); specificity of 85.3% (95% CI 68.9%–95.0%); PPV of 87.5% (95% CI 75.2%–94.2%); NPV of 52.7% (95% CI 44.7%–60.6%); and accuracy of 67.4% (95% CI 57.0%–76.6%) in diagnosing pigmented BCC.
Conclusion: Fulfilling all ABCDE clinical criteria had poor diagnostic value for the screening of pigmented BCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Satria Nugraha Rusdy
"Dermatosis autoimun bulosa (DAB) adalah sekumpulan penyakit kronik autoimun dengan ciri lepuh dan lecet pada kulit dan/atau mukosa; termasuk di dalamnya adalah pemfigus dan pemfigoid. Gangguan psikologis yang berat, hingga misalnya keinginan bunuh diri, terkadang dijumpai. Tetapi, depresi pada DAB belum banyak diteliti. Sebuah studi potong lintang observasional-analitik dilakukan di sebuah rumah sakit rujukan tersier di Jakarta pada Desember 2020-Maret 2021 untuk mengetahui prevalensi depresi pada pasien DAB serta faktor sosiodemografi dan klinis yang berhubungan. Sejumlah 33 orang subjek berusia minimal 18 tahun yang terdiagnosis DAB, tidak sedang remisi, tanpa riwayat depresi sebelum diagnosis tersebut ataupun gangguan psikiatrik lainnya, mengikuti penelitian. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi digunakan untuk menapis depresi dengan nilai cut-off ≥10. Beberapa variabel sosiodemografi dan klinis, termasuk tingkat risiko stres berdasarkan life events (Skala Stres Holmes dan Rahe), serta keparahan penyakit berdasarkan Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) diidentifikasi. Sebagian besar subjek adalah perempuan (69,7%), berusia 47,36±13,5 tahun, menikah (78,8%), tingkat pendidikan menengah (57,6%), tidak bekerja (57,6%), penghasilan rendah (60,7%), tidak memiliki riwayat depresi pada keluarga (100%), tingkat risiko stressful life events rendah (63,6%), terdiagnosis pemfigus vulgaris (60,6%), lama sakit 1-5 tahun (72,7%), median skor ABSIS 8,75, tanpa lesi mukosa (54,5%), bergejala terkait DAB (60,6%), keterlibatan lokasi terbuka (69,7%), disertai komorbid (78,8%), menggunakan kortikosteroid sistemik ≥4 minggu (78,8%) dengan rerata dosis harian <40mg/hari (87,9%), serta mendapat juga imunosupresan lain (66,7%). Prevalensi depresi pada pasien DAB adalah 24,2%, sedangkan pada pemfigus vulgaris sebesar 40%. Berdasarkan uji bivariat, terdapat hubungan depresi dengan tingkat pendidikan (p=0,082), tingkat stressful life events (p=0,015), diagnosis pemfigus vulgaris (p=0,012), dan keterlibatan lokasi terbuka (p=0,071). Analisis multivariat mendapatkan peningkatan risiko depresi pada tingkat pendidikan tinggi (adjusted OR 9,765; p=0,039), serta skor ABSIS yang lebih tinggi daripada 1 angka di bawahnya (adjusted OR 1,039; p=0,038). Prevalensi depresi pada DAB lebih tinggi daripada di populasi umum Indonesia. Penapisan disarankan khususnya pada pasien pemfigus vulgaris, berpendidikan tinggi, dan/atau dengan kondisi yang parah. Penelitian lanjutan diperlukan untuk memastikan temuan studi pendahuluan ini.

Autoimmune bullous diseases (AIBD) is a group of chronic autoimmune dermatoses characterized by blisters and sores on the skin and/or mucosa; among them are pemphigus and pemphigoids. Severe psychological problems, even leading to suicidal thought, are not uncommonly encountered. However, depression in AIBD is rarely studied. A cross-sectional, observational analytical study was conducted in a tertiary referral hospital in Jakarta from December 2020 through March 2021 to determine the prevalence of depression among AIBD patients and related sociodemographic and clinical characteristics. Thirty-three AIBD subjects aged 18 years or older, not in remission, without recorded depression prior to diagnosis or other psychiatric disorders, were recruited. A validated Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) in Indonesian language was used to screen depression with cut-off score ≥10. Several sociodemographic and clinical characteristics, including stress-risk level according to life events by Holmes and Rahe Scale and disease severity by Autoimmune Bullous Skin Disorder Intensity Score (ABSIS) were identified. Majority of subjects were women (69.7%), aged 47.36±13.5 year-old, married (78.8%), had middle-level education (57.6%), unemployed (57.6%), low income (60.7%), without family history of depression (100%), experiencing low-risk stressful life events (63.6%), diagnosed with pemphigus vulgaris (60.6%), disease duration 1-5 years (72.7%), median of ABSIS score 8.75, without mucosal lesion (54.5%), suffering from symptoms related to AIBD (60.6%), showing involvement of exposed areas (69.7%), with comorbidities (78.8%), treated with systemic corticosteroids ≥4 weeks (78.8%) with daily doses <40mg/day (87.9%), and receiving also other immunosuppressive agents (66.7%). Prevalence of depression was 24.2% among AIBD and 40% among pemphigus vulgaris patients. Bivariate analysis showed significant correlation between depression and education level (p=0.082), stressful life events score (p=0.015), diagnosis of pemphigus vulgaris (p=0.012), and involvement of exposed areas (p=0.071). Multivariate analysis showed increased risk of depression at high level of education (adjusted OR 9.765; p=0.039) and ABSIS score higher than 1 point below (adjusted OR 1.039; p=0.038). Prevalence of depression among AIBD patients was higher than that among Indonesia’s general population. Screening is advised especially among those with pemphigus vulgaris, high level of education and/or severe condition. Further study is needed to confirm these early findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library