Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birry Karim
"Latar Belakang: Human immuno deficiency virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV/AIDS merupakan masalah global yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kasus HIV/AIDS dengan adanya kejadian aterosklerosis sebagai pemicu terjadinya kasus Penyakit Jantung Koroner PJK . Pemberian Antiretroviral ARV tersebut juga berisiko untuk kejadian PJK melalui mekanisme dislipidemia, lipodistrofi, resistensi insulin dan gangguan hati, yang juga bisa menyebabkan penebalan tunika intima media.Tujuan: Mendapatkan korelasi perubahan kadar CD 4, kadar viral load dan Indeks Massa Tubuh terhadap perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada pasien HIV yang mendapat ARV lini pertama selama 12 bulanMetode: Penelitian ini merupakan studi uji korelasi terhadap 54 pasien HIV yang menggunakan data sekunder penelitian JACCANDO PROJECT. Data yang digunakan adalah data USG doppler arteri karotis, hasil CD 4, hasil viral load dan hasil Indeks Massa Tubuh IMT .Hasil: Median CD 4 sebelum pemberian ARV ialah 68 sel/ l, sedangkan median CD 4 sesudah pemberian ARV 286,5 sel/ l. Median kadar viral load sebelum ARV sebesar 1.79 log10 copy/ml, sedangkan median viral load sesudah ARV yaitu 0 log10 copy/ml. Median IMT sebelum ARV 19.6, sedangkan median sesudah 12 bulan ARV 19.72. Rerata tunika intima media arteri karotis kiri sebelum dan sesudah pemberian ARV selama 12 bulan ialah 0.58 dan 0.63 dengan p-value 0.031. Korelasi perubahan kadar CD 4 dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.08, p=0,58 , dan kiri r= 0.01, p=0,965 . Korelasi perubahan kadar viral load dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis kanan r= 0.09, p=0,54 dan arteri karotis kiri r= 0.06, p=0,66 . Korelasi perubahan kadar IMT dengan perubahan ketebalan tunika intima kanan r= - 0.11, p=0,37 dan kiri r= -0.18, p=0,19 .Simpulan: Ketebalan tunika intima mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah pengobatan antiretroviral, namun tidak didapatkan korelasi antara kadar CD4, Viral load dan indeks massa tubuh dengan ketebalan tunika intima arteri karotis.

Background Human immuno deficiency virus Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV AIDS is currently a global issue related with coronary artery disease. The effects of antiretroviral ARV is accompanied with some negative features such as dyslipidemia, lipodystrophy, insulin resistance and liver dysfunction which all contribute to increasing tunima intima thickness.Objective To acquire correlation between level of CD4, viral load, and Body Mass Index BMI with changes in tunica intima of carotid artery thickness in HIV patients receiving first line ARV for 12 monthsMethods This study is a correlation study involving 54 HIV patients using secondary data from the JACCANDO PROJECT research data such as Doppler ultrasound of the carotid artery, CD4 values, viral load as well as BMI.Results Median CD before antiretroviral treatment was 68 cells l, median CD 4 after ARV 286.5 cell l. The median viral load rate before ARV was 1.79 log10 copy ml, while median viral load after ARV was 0 log10 copy ml. The median BMI before ARV was 19.6, while median after 12 months of ARV was 19.72. The mean of the left artery carotid artery intima media before and after ARV administration for 12 months was 0.58 and 0.63 with p value 0.031. Correlation of changes in CD4 levels with the thickness of tunica intima medium of right carotid artery r 0.08, p 0,58 , and left r 0.01, p 0,965 . Correlation of changes in viral load levels with the tunica thickness of the right carotid artery medium r 0.09, p 0,54 and left carotid artery r 0.06, p 0.66 . Correlation of changes in BMI levels with changes in thickness of the right tunica intima r 0.11, p 0.37 and left carotid artery r 0.18, p 0.19 .Conclusion The thickness of intima tunica increased after antiretroviral treatment, but no correlation found between CD4, viral load and BMI level with the thickness of the intima tunica carotid artery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Masud
"Latar Belakang: Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah haji menempatkan pasien dengan infeksi tuberkulosis dapat masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat Isthitaah pada Tuberkulosis Totally drug Resistance (TDR) atau tidak memenuhi syarat Istithaah sementara pada Tuberkulosis sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, sehingga jamaah haji dengan TB berpotensi tidak dapat melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Selain itu tingkat kebugaran dengan kategori cukup disyaratkan untuk memenuhi Istithaah kesehatan sesuai pasal 10. Saat ini belum ada laporan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi Istithaah kesehatan pada jemaah haji dengan infeksi tuberkulosis Tujuan: Mengetahui karakteristik jamaah haji DKI Jakarta dengan infeksi tuberkulosis, mengetahui proporsi dan faktor-faktor terkait Istithaah kesehatan pada Jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis. Metode: Studi potong lintang terhadap 31 jemaah haji DKI Jakarta yang sedang mendapatkan pengobatan tuberkulosis pada saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2018. Kuesioner juga dilakukan terhadap Tim Kesehatan Haji Indonesia yang mendampingi subyek sebagai data tambahan. Analisa bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square atau bila persyaratannya tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Fisher. Selanjutnya analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Pada studi ini didapatkan 31 subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis dan menjalani pengobatan pada penyelenggaraan haji 2018. Dari data tersebut diketahui Sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki: 19/31(61,3 %) dan hampir seluruhnya berusia antara 40 hingga 60 tahun keatas: 30/31(96.8%). Sebagian besar subyek memiliki IMT yang normal atau lebih: 28/31 (90.3 %). Penegakan diagnosis TB pada jamaah haji lebih banyak melalui konfirmasi klinis: 17/31 (54.8%) dengan 93% subyek tidak bergejala. Seluruh subyek sudah menyelesaikan fase intensif dan memiliki BTA negatif yang dinyatakan layak terbang. Pada penelitian ini, mengacu kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016, seluruh subyek memenuhi syarat Istithaah kesehatan haji dalam kriteria Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji dengan Pendampingan, yaitu subyek menderita TB dengan sputum BTA negatif pada pemeriksaan akhir kelayakan terbang: 29/31 (94%) atau TB MDR yang sudah dinyatakan layak pergi haji oleh Tim Ahli Klinis TB MDR: 2/31 ( 0.6 %). Subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran cukup 12/31 (38.7%), kurang 13/31 (41.9%) dan sangat kurang 6/31 (19.30%), sesuai dengan kriteria kebugaran yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil Kuesioner kepada Tim Kesehatan Haji Indonesia diketahui bahwa semua jamaah mampu melakukan Thawaf, Sai, dan wukuf di Padang Arafah sebagai rukun haji. Kesimpulan: Subyek yang sudah menyelesaikan fase intensif dengan sputum BTA yang negatif atau TB MDR yang dinyatakan layak berangkat haji oleh TIM Ahli Klinis TB MDR dinyatakan layak terbang pada pemeriksaaan kesehatan tahap ketiga dengan Memenuhi Syarat Istithaah dengan Pendampingan. Sebanyak 19/31 subyek jamaah haji dengan tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran dibawah nilai cukup. Meskipun demikian jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis masih mampu menjalankan rukun haji di tanah suci. Pada penelitian ini, komorbid, lama pengobatan dan kadar Hb tidak signifikan secara statistik mempengaruhi Istithaah kesehatan dengan infeksi tuberkulosis.

Background: Indonesian Ministry of Health Regulation No. 15 of 2016 on health policy for Hajj pilgrims puts patients with tuberculosis (TB) infection in the category of not fulfilling Isthahah (conditions Totally Drug Resistance TB) or does not meet temporary Istithaah ( Smear positif TB, Multi Drug Resistance (MDR) TB), so that pilgrims with TB potentially unable for hajj. In addition, the level of fitness with sufficient category is required according to chapter 10. At present, there is no reports on the health Istithaah of pilgrims with tuberculosis infection. Objective: To determine the characteristics of DKI Jakarta pilgrims with tuberculosis infection, to find out the proportion of low fitness levels for pilgrims with tuberculosis infection and to find out the factors related to Istithaah. Methods: A cross-sectional study of 31 Special Capitol Region of Jakarta pilgrims who were receiving tuberculosis treatment during the Hajj pilgrimage in 2018 was conducted; in addition, the Indonesian Hajj Health Team who accompanied the subjects was also included as additional data. Bivariate analysis of categoric-categoric variables are done using Chi Square method or as alternative, the Fisher method is used if the Chi Square test requirements are not fufille. Significant variables will be further analyzed with multivariate analysis using the logistic regression test Results: A total of 31 subjects of the Hajj were found with tuberculosis infection and underwent treatment. The majority were male: 19/31 and aged above 40 years old : 30/31, BMI normal or more: 28/31, diagnosis through clinical confirmation: 17/31 with 29/31 of subjects asymptomatic. All subjects have completed the intensive phase of TB treatment. Subjects with negative sputum smear at the final inspection of flightworthiness: 29/31 or MDR TB that has been declared eligible for Hajj by the MDR TB Clinical Expert Team: 2/31 .Subjects of pilgrims with tuberculosis infection have a sufficient fitness level of 12/31, less :13/31 and very less :6/31 , according to the fitness criteria established in this study. The results of the questionnaire to the Indonesian Hajj Health Team revealed that all pilgrims were able to do Thawaf, Sai, and stay in Padang Arafah. Conclusion: Subjects who have completed the intensive phase with negative sputum smear or MDR TB who were declared eligible by the MDR TB Clinical Expert Team were declared eligible to hajj with Istithaah Requirements with Assistance. As many as 19/31 of Hajj pilgrims with tuberculosis had a level of fitness below sufficient value. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. In this study, comorbidities, duration of treatment and HB level were not statistically significant affecting health status with tuberculosis infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization WHO memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan 69,9 , bekerja sebagai perawat 38,3 dan dokter 38,3 , serta terpajan secara perkutan 93,4 . Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 13 sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 8 dan anti-HCV reaktif pada 12 6 sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 28,1 petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9 81 petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5 66 petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60 petugas minum ARV secara lengkap 28 hari . Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 24 dan 41 22,4 petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin HBIG . Dari 22 59 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 2,7 yang melakukan. Dari 15 41 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 5,4 yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 31,1 , 38 28,8 dan 2 1,5 petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 21,4 dan 37 20,3 petugas.Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.
Introduction Health care workers HCW have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization WHO estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post exposure prophylaxis could reduce the transmission risk.Goal To identify the implementation of post exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Method A cross sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014 2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.Result Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female 69.9 , worked as nurse 38.3 and doctor 38.3 , and exposed percutaneously 93.4 . Positive anti HIV was found in 25 13 people of exposure sources, positive HBsAg in 13 8 people and positive HCV in 12 6 people. Workers with protective anti HBs were 55 28.1 people. In 183 reports, 81 45,9 workers were recommended to receive ARV, 66 81.5 workers did receive it, and 40 60 workers took complete ARV 28 days . Follow up 3 and 6 months was done by 44 24 and 41 22,4 workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and or immunoglobulin HBIG . In 22 59 recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 2,7 who took that. In 15 41 recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 5,4 who took both. Follow up of HBsAg and anti HBs on 3rd and 6th months were done by 41 31,1 , 38 28,8 and 2 1,5 workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow up of anti HCV, 39 21,4 and 37 20,3 workers did the follow up on 3rd and 6th month.Conclusion The implementation of post exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker rsquo s knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalid Mohammad Shidiq
"Latar belakang HIV / AIDS adalah penyakit kronis dengan spektrum klinis luas yang membutuhkan perawatan seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum ada alat sederhana untuk mengevaluasi gejala infeksi HIV dan efek samping pengobatan yang dapat digunakan dalam pengaturan rawat jalan. Pengukuran gejala objektif penting karena berkorelasi dengan kepatuhan pengobatan dan progresifitas penyakit.
Objektif. Untuk menilai keandalan Indeks Gejala HIV versi Indonesia untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS, dan mengetahui profil gejala / pola pasien HIV / AIDS di Indonesia menggunakan Indeks Gejala HIV.
Metode. Ini adalah studi cross sectional pada subyek HIV / AIDS rawat jalan. Subjek direkrut secara acak di klinik HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari September hingga November 2018. Penilaian reliabilitas onaire Questi dilakukan pada 20 subjek, dan evaluasi gejala dilakukan pada 87 subjek. Adaptasi bahasa dari versi bahasa Inggris asli ke bahasa Indonesia dilakukan dengan metode Beaton dan Guillemin. Realibility dari versi Indonesia Indeks Gejala HIV diuji dengan alpha cronbach adalah analisis koefisien, dan validitas internal itu diuji dengan multitrait analisis skala. Indeks Gejala HIV versi Indonesia yang valid dan andal kemudian digunakan untuk membuat profil pola gejala pasien HIV / AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo .
Hasil. Indeks Gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan ( cronbach alpha 0,76) dan valid ( korelasi multitrait > 0,4) untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS. Gejala yang paling umum adalah kelelahan (55,7%), diikuti oleh insomnia (43,3%), pusing dan pusing (42,3%), masalah kulit (42,3%), dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki (39,2%). Keluhan paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual atau muntah (20,6%), diare (21,6%), dan kehilangan nafsu makan (23,7%).
Kesimpulan. Indeks gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan dan valid untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS secara objektif. Gejala yang paling sering adalah kelelahan atau kelemahan, pusing atau sakit kepala ringan, susah tidur, masalah kulit, dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki.

Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatment s side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease.
Objective. To assess reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, and knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index.
Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo Hospital s HIV clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment was done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbach s a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Result. Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%).
Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Most frequent symotoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, insomnia, skin problems, and pain, numbness, or tingling in the hands or feet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Prasetyaningtyas
"Latar Belakang : Palliative prognostic index (PPI) adalah skor prognostik yang umum digunakan di unit perawatan paliatif. PPI mencakup lima variabel klinis yang didasari oleh penelitian Morita dkk pada tahun 1999, untuk menilai kesintasan kurang dari 3 minggu, 3 - 6 minggu atau lebih dari 6 minggu. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi skor PPI pada pasien kanker stadium lanjut yang dikonsulkan ke tim paliatif di RSCM.
Tujuan : Menilai performa model skor PPI dalam memprediksi kesintasan pasien stadium lanjut di RSCM.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di rumah sakit tersier terhadap pasien kanker stadium lanjut yang dikonsulkan ke tim paliatif pada Juli 2017 sampai Desember 2018S. Performa kalibrasi skor PPI dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan plot kalibrasi. Untuk menilai akurasi prediktif skor PPI, sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV dan akurasi setiap grup skor PPI dihitung. Diskriminasi dinilai dengan area under the reciever operating characteristic curve (AUC).
Hasil Penelitian : Sebanyak 160 pasien dengan rentang usia 20–83 tahun masuk dalam penelitian ini. Performa kalibrasi skor PPI berdasarkan uji Hosmer menunjukan nilai P=0,259. Akurasi skor PPI dalam memprediksi kesintasan pasien kanker stadium lanjut penelitian untuk kesintasan < 3 minggu 81% , dengan sensitivitas 85%, spesifisitas 70%, PPV 86%, dan NPV 67%. Akurasi untuk prediksi kesintasan 3-6 minggu 76%, sensitivitas 66%, spesifisitas 88%, PPV 85% dan NPV 70%. Performa diskriminasi skor PPI ditunjukkan dengan nilai AUC sebesar 0,822 (IK95% 0,749-0,895).
Simpulan : Skor Palliative Prognostic Index memiliki performa akurasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi kesintasan pasien kanker stadium lanjut dalam perawatan paliatif di RSCM.

Background : Palliative prognostic index (PPI) is a prognostic score that is commonly used in palliative care units. PPI includes five clinical variables based on the study of Morita et al in 1999, to assess survival in less than 3 weeks, 3-6 weeks or more than 6 weeks. This study aims to validate PPI scores in advanced cancer patients who are consulted to the palliative team at our hospital.
Objective : To assess the performance of the PPI score model in predicting survival in advanced cancerpatients at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods : This research is a retrospective cohort study conducted in a tertiary hospital of advanced cancer patients who were consulted to the palliative team from July 2017 to December 2018S. PPI score calibration performance was assessed with the Hosmer-Lemeshow test and calibration plot. To assess the predictive accuracy of PPI scores, sensitivity, specificity, PPV, NPV and accuracy of each PPI score group are calculated. Discrimination is assessed with area under the reciever operating characteristic curve (AUC).
Results : Total of 160 patients with an age range of 20-83 years participated in this study. PPI score calibration performance based on the Hosmer Lemeshow test in patients with advanced cancer showed a P value of 0.259. The accuracy of PPI scores in predicting survival in advanced cancer patients in studies for survival <3 weeks 81%, with a sensitivity of 85%, specificity 70%, PPV 86%, and NPV 67%. Accuracy for prediction of survival 3-6 weeks 76%, sensitivity 66%, specificity 88%, PPV 85% and NPV 70%. PPI score discrimination performance is shown with AUC value of 0.822 (IK95% 0.749-0.895).
Conclusion : Palliative Prognostic Index scores have good accuracy and discrimination in predicting the survival of advanced cancer patients in palliative care at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Yuli Prianto
"Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien fibrilasi atrium (FA) yang mengalami gagal jantung akut. Pada pasien irama sinus, left atrial volume index (LAVI) dan heart rate variability (HRV) merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi kardiovaskular. Penelitian LAVI dan HRV pada pasien FA hingga saat ini belum konklusif.
Tujuan: Mengetahui hubungan LAVI dan HRV dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA
Metode: Studi kohort retrospektif dengan populasi terjangkau pasien dewasa FA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 1 Januari 2020 hingga 31 Desember 2021 yang berasal dari registri Optimal INR measures for Indonesians (OPTIMA). Data sekunder LAVI diukur dengan ekokardiografi dan parameter HRV terdiri dari standar deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive differences (RMSSD), rasio low frequency dan high frequency (LF/HF) diukur menggunakan alat HRV portabel. Pasien diikuti hingga 30 Januari 2023, luaran dinilai dengan melihat catatan medik atau melalui telepon.
Hasil: Dilakukan analisis pada 144 sampel. Proporsi kejadian gagal jantung akut sebesar 15,3%. Tidak terdapat hubungan antara SDNN dengan kejadian gagal jantung akut (RR 1,75; IK95% 0,260 – 11,779, p=0,565). Tidak terdapat hubungan antara LF/HF dengan kejadian gagal jantung akut (RR 2,865; IK 95% 0,765 – 10,732, p=0,118). Terdapat hubungan antara LAVI dengan kejadian gagal jantung akut (adjusted RR 2,501; IK 95% 1,003 – 6,236, p=0,049). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor perancu pada penelitian ini.
Kesimpulan: Peningkatan LAVI berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA. HRV tidak berhubungan dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien FA.

Background Morbidity and mortality rates increase in patients with atrial fibrillation (AF) who experience acute heart failure. In patients with sinus rhythm, left atrial volume index (LAVI) and heart rate variability (HRV) are strong predictors of cardiovascular complications. Research on LAVI and HRV in AF patients has so far not been conclusive.
Objectives: To determine the relationship between LAVI and HRV and the incidence of acute heart failure in AF patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted with an accessible population of adult AF patients at RSCM from January 1, 2020, to December 31, 2021, originating from the Optimal measures INR for Indonesians (OPTIMA) registry. LAVI was measured by echocardiography, and HRV parameters consist of the standard deviation of NN intervals (SDNN), the root mean square of successive differences (RMSSD), and the ratio of low frequency and high frequency (LF/HF) measured using a portable ECG device. Patients were followed until January 30, 2023, and outcomes were assessed by looking at medical records or by telephone.
Result: A total of 144 subjects were analysed. The proportion of acute heart failure is 15.3%. There was no relationship between SDNN and the incidence of acute heart failure (RR 1.75; 95% CI 0.260–11.779, p=0.565). There was no relationship between LF/HF and the incidence of acute heart failure (RR 2.865; 95% CI 0.765–10.732, p=0.118). There is a relationship between LAVI and the incidence of acute heart failure (adjusted RR 2.501; 95% CI 1.003–6.236, p = 0.049). DM and hypertension were confounding factors in this study.
Conclusion: The elevation of LAVI is associated with the incidence of acute heart failure in AF patients. HRV is not associated with the incidence of acute heart failure in AF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
"

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu.


Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
"Kanker telah diketahui sebagai faktor risiko kuat penyebab tromboemboli, baik emboli paru maupun trombosis vena dalam. Emboli paru sendiri seringkali tidak bergejala padahal angka mortalitas bisa mencapai 80%. Tipe histopatologi adenokarsinoma merupakan salah satu faktor risiko yang meningkatkan kejadian emboli paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kejadian emboli paru dan trombosis vena pada kelompok kemungkinan tinggi menurut skor Revisi Geneva dan memperoleh besar kemungkinan kejadian emboli paru (EP) serta hubungannya dengan tipe histopatologi kanker padat. Penelitian menggunakan potong lintang dan didapatkan 124 subjek diikutkan dalam penelitian ini yang terdiri atas kelompok adenokarsinoma dan non adenokarsinoma masing-masing sebesar 62 subjek. Berdasarkan skor Revisi Geneva, sebanyak 11 (8,8%) subjek termasuk ke dalam kelompok kemungkinan rendah, 96 (77,4%) subjek termasuk ke dalam kelompok kemungkinan menengah dan 17 (13,8%) subjek ke dalam kelompok kemungkinan tinggi. Kejadian tromboemboli vena pada kelompok kemungkinan tinggi mencapai 94,1% dengan 58,8% mengalami emboli paru dan trombosis vena dalam secara bersamaan, 11,8% hanya mengalami emboli paru saja dan 23,6% mengalami thrombosis vena dalam saja. Tipe histopatologi adenokarsinoma memiliki risiko 2,58 kali lebih tinggi untuk masuk kedalam kelompok kemungkinan kejadian tinggi emboli paru menurut skor Revisi Geneva bila dibandingkan pada subjek dengan tipe histopatologi non adenokarsinoma. Sebagai kesimpulan, kanker padat dengan tipe histopatologi adenokarsinoma meningkatkan kemungkinan kejadian emboli paru bila dibandingkan dengan tipe non adenokarsinoma.

Cancer is widely known as a strong risk factor of thromboembolism, which consist of two kind are pulmonary embolism and deep vein thrombosis. We mainly focused on pulmonary embolism in this research. Pulmonary embolism is often asymptomatic which the mortality rate can reach 80%. Adenocarcinoma histopathological type has been proved as one of the risk factors that increase the occurance of pulmonary embolism. This research determine the proportion of pulmonary embolism and deep vein thrombosis events in high clinical probability group based on Revised Geneva score and the correlation with solid tumor histopathological type. This research used cross sectional method with 124 subjects participated in this research which consisted of 62 patients for each of adenocarcinoma and non-adeocarcinoma group. Mean of patient age was 52 years old and the sum of female participant was larger than male. Based on Revised Geneva score, 11 (8,8%) participants were in low risk clinical probability group, 96 (77,4%) participant were in middle risk clinical probability group and the rest of 17 (13,8%) participants were in high risk clinical probability group. The total event of vena thromboembolism in high risk clinical probability group reached 94,1% whereas 58,8% got both pulmonary embolism and deep vein thrombosis simultaneously, 11,8% with pulmonary embolism alone and 23,6% with vein deep vein thrombosis alone. Subjects with histopathological type of AC were 2.58 times greater to be a high-probability group of the Revised Geneva Score compared with NAC. As the conclusion, Solid cancer with histopathological type of AC increases the likelihood of PE incidence when compared with NAC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>