Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Mansjoer
"Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun pada kelenjar tiroid dengan manifestasi berbagai sistem organ, termasuk sistem kardiovaskular akibat hipertiroid. Pada pasien hipertiroid terjadi peningkatan fungsi sistolik ventrikel kiri dibandingkan populasi normal. Beberapa penelitian tentang kadar hormon tiroid mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Hipotesis pada penelitian ini adalah peningkatan kadar hormon tiroid akan diikuti peningkatan fungsi ventrikel kiri.
Tujuan
Diketahui korelasi kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien Graves yang belum diobati.
Metode
Pada penelitian potong lintang ini digunakan kadar tiroksin bebas sebagai parameter hormon tiroid dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) menurut cara Simpson yang dimodifikasi dengan ekokardiografi sebagai parameter fungsi sistolik ventrikel kiri. Kadar tiroksin bebas diperiksa di laboratorium sedangkan fraksi ejeksi ventrikel kiri cara Simpson dinilai dengan alat ekokardiografi.
Hasil
Didapatkan 10 pasien, 7 laki-laki dan 3 perempuan, dengan usia 18-52 tahun. Lama gejala dirasakan pasien 2-12 bulan. Pada pasien didapatkan rerata kadar fT4 5,75 (SB 0,96) ngldL dan rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri 70,57 (SB 4,50) %. Didapatkan koefisien korelasi positif antara kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=0,711, p=0,021) pada pasien Graves yang belum diobati
Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif kuat antara kadar tiroksin bebas (fT4) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) pada pasien Grave yang belum mendapat pengobatan.

Graves' disease is an autoimmune disease of thyroid gland which can be manifested in many organ system, especially cardiovascular system due to hyperthyroid. Hyperthyroid patients have a higher left ventricular systolic function than normal. Several studies of correlation between thyroid hormone level and cardiac function have showed different results. The hypotesis tested in this study is the increasing thyroid level will followed by the increase of left ventricular systolic function in Graves' disease.
Objective
To determine the correlation between thyroid hormone level and left ventricular ejection fraction in newly diagnosed Graves' patients.
Methods
In this cross-sectional study, we use the free thyrosine level as a parameter of thyroid hormon and use left ventricular ejection fraction as a parameter of left ventricular systolic function. Free thyroxine level was measured in the laboratory and the LVEF were assessed by Simpson's methods of echocardiography study.
Results
Ten patients (7 men and 3 women; age 18-52 years old) were studied. Their average of ff4 was 5.75 (SD 0.96) ngldL and their average of LVEF was 70.57 (SD 4.50) %. There was positive correlation coefficient between free thyroxine level and left ventricular ejection fraction (r=0.711, p=0.021) in newly diagnosed Graves' patients.
Conclusion
In this study there was strong positive correlation between free thyroxine (fT4) and left ventricular ejection fraction (LVEF) in newly diagnosed Graves' patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiur Farida I.S.
"Tujuan : Mengetahui pengaruh LASER tenaga rendah, latihan isometrik tangan dan that rutin pada pasien artritis rematoid (AR) tangan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi metacarpofalangeal.
Desain : Pra dan parka perlakuan.
Tempat : Polildinik Rehabilitasi Medik Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Perjan RS dr Ciptomangunkusumo Jakarta
Subyek : Dua puluh lima pasien wanita yang menderita artritis rematoid tangan di RS dr Cipto Mangunkusumo.Enam orang tidak termasuk dalam kriteria inklusi,dua orang mengundurkan diri dari penelitian.
Intervensi : Antara bulan Juli-November 2004, tujuhbelas wanita dengan artritis reumatoid tangan yang masuk dalam kriteria inklusi dilakukan terapi LASER tenaga rendah, latihan penguatan isometrik pads otot tangan dan obat rutin selama empat minggu.
Hasil : Hasil penelitian selama empat minggu adanya penurunan nyeri sendi MCP diukur dengan Visual Analog Seale ( VAS) yang bermakna (p<0,001 )dan peningkatan lingkup gerak sendi metacarpofalangeal yang bermakna (p< 0,00 I)
Kesimpulan : Terapi LASER tenaga rendah dengan latihan penguatan isometrik otot tangan dan obat rutin dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi metacarpofalangeal pads pasien dengan artritis rematoid tangan.

Objective : To evaluate the influence of low level LASER therapy,isomertric hand strengthening and routine medications in patient with hand rheumatoid arthritis (RA) to reduce pain and increase the range of motion of the metacarpophalanges ( MCP ).
Design : Pre and post treatment.
Setting : Medical Rehabilitation policlinic, Physical Medicine and Rehabilitation Departement Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Participants : Twenty five female patients with hand rheumatoid arthritis in Cipto Mangunkusumo Hospital. Six subjects did not meet the inclusion criteria, two subjects dropped out from the study.
Intervention : Between July and November 2004, seventeen female patients with hand rheumatoid arthritis, who were classified in the inclusion criteria were given low laser LASER therapy, isometric hand srengthening exercise and routine medications for four weeks.
Results : After four weeks of intervention there was significant decrease on MCP joint pain, marked by decrease in Visual Analog Scale ( VAS ) (p<0,001) and significant increase of MCP range of motions (p< 0,001 )
Conclusion : Low level LASER therapy combine with isometric hand strenghthening exercise can reduce pain and increase the MCP range of motions in patients with hand rheumatoid arthritis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Marihot
"Latar Belakang: Biaya hemodialisis (HD) di Indonesia dirasakan cukup mahal. Bahkan di negara negara maju meskipun dibiayai oleh asuransi kesehatan, masih dianggap cukup mahal. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemakaian Dialiser Proses Ulang (DPU) telah dilakukan di banyak negara. Selain dapat menekan biaya HD, pemakaian DPU diketahui juga dapat mengurangi gejala klinik dan meningkatkan biokompatibilitas dialiser. Namun demikian pemakaian DPU dapat berisiko terjadinya kontaminasi oleh bahan sterilan, bakteri / virus, kerusakan membran dialiser, dan penurunan volume kompartemen darah dialiser yang menyebabkan penurunan bersihan urea (Urea Reduction Ratio/URR).
Penetapan Masalah Penelitian: RSUPN-CM telah memakai DPU, tetapi sampai saat ini masih belum ada data yang pasti sampai berapa kali suatu DPU masih dapat dipakai ulang. Untuk itu ingin diketahui sampai berapa kali DPU masih dapat dipakai, berdasarkan kriteria volume kompartemen darah dan penampilan fisik dialiser. Selain itu ingin diketahui juga hasil bersihan urea (URR) dan adakah efek samping pada pemakaian DPU.
Metode Penelitian: Penelitian dilakukan secara quasi experiment pada 20 pasien gagal ginjal tahap akhir, yang menjalani HD kronik memakai DPU, di unit HD RSUPN-CM. Dilakukan pengukuran volume kompartemen darah dan peniaian fisik dialiser pada setiap proses pengulangan. Juga diperiksa kadar ureum serum dan URR pra dan pasca HD awal, dengan DPU pemakaian ke 5,7,9. Diteliti adakah efek samping yang timbul karena pemakaian DPU. Volume kompartemen darah dialiser yang masih memenuhi syarat pemakaian adalah 80% volume awal. URR yang memenuhi target dialisis adalah 80%. Data dikumpulkan,diolah dan disajikan dalam bentuk teks, tabel dan gambar, secara deskriptif.
Hasil Penelitian: Subyek penelitian sebanyak 20 prang, terdiri dari 12 orang laki-laki (60%) dan 8 orang perempuan (40%). Rerata umur subyek 51 tahun. Penyebab gagal ginjal terbanyak adalah Glomerulonefritis sebanyak 10 orang (50%) dan yang tersedikit adalah Nefropati Diabetik sebanyak 1 orang (5%). Volume kompartemen darah pada pemakaian DPU masih diatas 80%. Tidak ditemukan perubahan URR pada pemakaian ulang ke 5,7,9. URR HD awal,pemakaian DPU ke 5,7,9 seluruhnya dibawah 80% Rerata jumlah pemakaian DPU adalah 7 kali, pemakaian yang tertinggi 9 kali dan yang terendah 3 kali.Penyebab penghentian pemakaian DPU adalah perubahan fisik dialiser sebanyak 12 dialiser,subyek tidak bersedia melanjutkan karena sudah 9 kali pemakaian ulang sebanyak 7 prang, dialiser bocor sebanyak 1 dialiser. Tidak ditemukan efek samping pada pemakaian DPU.
Simpulan: Rerata pemakaian DPU di RSUPN-CM yang masih dapat dipertanggung jawabkan dari segi kiinik adalah sebanyak 7 kali. Rerata pasti yang dapat dipertanggung jawabkan secara statistik masih belum dapat dijawab.Volume kompartemen darah DPU masih di atas 80% volume awal. Tidak ditemukan perubahan URR pada pemakaian DPU sampai pemakaian ulang 9 kali. Penyebab penghentian pemakaian DPU yang terbanyak adalah perubahan fisik dialiser, karena terbentuknya bekuan darah pada dialiser. Tidak ditemukan efek samping pada pemakaian DPU di RSUPN-CM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21410
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusy Erawati
"Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang sering dijumpai dan salah satu penyebab disabititas serta nyeri. Osteoartritis banyak menyerang sendi penumpu berat badan seperti lutut, panggul dan tulang belakang. Prevalensi penyakit ini meningkat tajam pada usia lebih dan 55 tahun. Dan beberapa sendi penumpu berat badan, OA lutut paling sering dikeluhkan terutama pada wanita dan penderita obesitas. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Mannoni dkk, prevalensi OA lutut di Italia diperkirakan 29,8%.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Cushnaghan dan Dieppe, dan seluruh gejala OA yang sirntomatik, 41,2% melibatkan sendi Iutut. Berdasarkan penelitian di Malang, diperkirakan masalah OA di Indonesia lebih besar jika dibandingkan negara barat. Lebih dari 85% penderita OA di Indonesia terganggu aktivitasnya terutama kesulit-in dalam jongkok, naik turun tangga dan berjalan. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Bristol, menyatakan bahwa 15% subyek pada populasi yang berusia diatas 55 tahun terdapat keterbatasan aktivitas karena nyeri lutut yang terjadi hampir setiap hari dalam satu bulan selama satu tahun terakhir.
Konsep inflamasi sebagai salah satu patogenesis OA akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Salah satu bukti yang mendukung konsep tersebut adalah ditemukannya peningkatan protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP) serum penderita OA pada penelitian Spector dkk. Pada penelitian Kertia dkk ditemukan peningkatan jumiah lekosit, peningkatan ringan kadar protein, viskositas yang turun serta peningkatan berbagai mediator proinflamasi pada penderita OA. Ditemukannya ekspresi sitokin pada membran sinovial pasien OA lutut membuktikan peranan inflamasi pada patogenesis OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Arsyiana
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui efektivitas terapi latihan berjalan pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) terhadap nilai skala borg dan jarak tempuh uji jalan enam menit
Metode: Disain penelitian ini adalah studi kuasi eksperimen (pre and post). Nilai skala borg diukur dengan skala numerik 6-20 untuk skala borg kelelahan dan 0-10 untuk skala borg sesak dan kaki lelah. Aktivitas penyakit LES diukur dengan Mex-SLEDAI. Latihan berjalan dilakukan secara bertahap 15, 20, 25, dan 30 menit, tiga kali perminggu selama delapan minggu. Nilai skala borg diukur setelah uji jalan enam menit pertama, setiap akhir minggu latihan, dan setelah uji jalan enam menit kedua. Jarak tempuh uji jalan enam menit dan Mex-SLEDAI diukur pada awal dan akhir penelitian.
Hasil : Dua puluh enam subyek penelitian usia 22 - 57 tahun dianalisa dalam penelitian ini. Rerata nilai jarak tempuh uji jalan enam menit awal adalah 364,35 + 64,45 meter, setelah dilakukan intervensi berjalan terdapat peningkatan rerata menjadi 374,04 + 68,62 meter (p=0,08, CI 95%). Secara statistik dengan uji berpasangan terdapat perbedaan bermakna pada minggu ke-6 dan ke-7 pada skala borg usaha dan kaki lelah, sedangkan pada skala borg sesak pada minggu ke-4 dan ke-5 (p<0,05). Nilai skala Borg uji jalan enam menit pada awal dan akhir latihan secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Nilai Mex-SLEDAI awal dan akhir latihan berjalan 84% tidak berubah.
Kesimpulan : Latihan berjalan secara bertahap aman diberikan pada pasien LES tanpa meningkatkan aktivitas penyakit.

ABSTRACT
The aim: To assess the effectiveness of walking exercise therapy in Systemic Lupus Erythematosus (SLE) patients in borg scale value and six minutes walking test (6MWT) distance.
Methods: The design of the study was quasi-experimental study (pre and post). Borg scale values were measured with 6-20 numerical scale for borg scale exertion and 0-10 for borg scale dyspneu and leg fatigue. SLE disease activity measured by Mex-SLEDAI. Walking exercises were given gradually for 15, 20, 25, and 30 minutes, three times per week for eight weeks. Borg scale values were measured after the first 6MWT, every end of the exercise week, and after the second 6MWT. The 6MWT distance and Mex-SLEDAI were measured at beginning and end of the study.
Results: Twenty-six subjects aged 22-57 were analyzed in this study. The mean value of 6MWT distance was 364.35 + 64.45 meters, after the intervention there was an increase in mean distance value into 374.04 + 68.62 meters (p = 0.08, CI 95%). Paired t test found statistically significant differences for borg scale of effort and leg fatigue at week 6 and 7, also borg scale dyspneu in week 4 and 5 (p <0.05). Borg scale score at 6MWT in the beginning and end of exercise was not statistically significant (p> 0.05). The Mex-SLEDAI values at beginning and end of exercise were 84% amd remain unchanged.
Conclussion: Gradually walking exercise in SLE was safely administered to patients without increasing the disease activity."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Harsono
"Artritis rematoid merupakan penyakit otoimun sistemik yang paling sering ditemukan di dunia pada berbagai populasi dan ras, ditandai oleh inflamasi menetap pada jaringan sendi yang meliputi sendi perifer, distribusi simetris, dengan atau tanpa kerusakan rawan sendi dan erosi tulang. Pemantauan aktivitas penyakit diperlukan untuk menentukan keberhasilan terapi. Selama ini, pemantauan aktivitas penyakit menggunakan Disease Activity Score 28 (DAS28), meskipun terdapat kekurangan berupa parameter klinis yang bersifat subjektif, menggunakan perhitungan yang rumit, dan terdapat ketidakseragaman nilai titik potong derajat aktivitas penyakit pada berbagai penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk menilai korelasi antara kadar anti-CCP serum dan cairan sendi dengan aktivitas penyakit (DAS28) pada 30 subjek dengan artritis rematoid. Subjek yang memenuhi kriteria masukan dan tidak ada kriteria tolakan dilakukan penentuan skor DAS28 serta pemeriksaan anti-CCP serum dan cairan sendi.
Median (rentang) kadar anti-CCP serum secara keseluruhan, pada tingkat aktivitas penyakit sedang, dan berat adalah 112.23 (1.02-1853.07), 70.98 (1.02-1224.07), dan 157.59 (1.07-1853.07) RU/mL. Median (rentang) kadar anti-CCP cairan sendi secara keseluruhan, pada tingkat aktivitas penyakit sedang dan berat adalah 85.54 (0.90-4150.58), 58.90 (1.03-2477.81), dan 110.23 (0.90-4150.58) RU/mL. Median (rentang) skor DAS28 pada keseluruhan subjek ditemukan 5.04 (4.04-7.10). Uji korelasi Spearman didapatkan korelasi positif lemah namun tidak bermakna secara statistik antara kadar anti-CCP serum dan DAS28 dengan rs = 0.296, p = 0.056, korelasi positif lemah yang bermakna secara statistik antara anti- CCP cairan sendi dan DAS28 dengan rs = 0.331, p = 0.037, sedangkan korelasi antara anti-CCP serum dengan cairan sendi ditemukan kuat yang bermakna secara statistik dengan rs = 0.907, p <0.01.
Kami menyimpulkan kadar anti-CCP cairan sendi berkorelasi lemah dengan aktivitas penyakit (DAS28). Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar anti-CCP serum dengan aktivitas penyakit (DAS28). Terdapat korelasi kuat antara kadar anti-CCP serum dengan kadar anti-CCP dalam cairan sendi.

Rheumatoid arhtritis is the most common chronic systemic autoimmune disease worldwide among many populations and races, characterized by persistent joint inflammation affecting peripheral joints, symmetrical distribution, with or without joint damage or bone erosion. Disease activity monitoring is needed to determine treatment response. Nowadays, Disease Activity Score 28 (DAS28) is used to monitor disease activity, although it uses subjective clinical parameter, complicated calculation, and ununiformity cut-off value for disease activity stages on various researches.
This study was a cross sectional study to assess wheter there was any correlation between anti-CCP serum and synovial fluid concentration with disease activity (DAS28) in 30 rheumatoid arhtritis subject. Blood and synovial fluid specimen collection and DAS28 determination was performed on subjects who fulfill inclusion and exclusion criteria, followed by anti-CCP assay on each specimen.
Median (range) anti-CCP serum concentration in overall, moderate, and severe disease activity were 112.23 (1.02-1853.07), 70.98 (1.02-1224.07), and 157.59 (1.07-1853.07) RU/mL, respectively. Median (range) anti-CCP synovial fluid concentration in overall, moderate, and severe disease activity were 85.54 (0.90-4150.58), 58.90 (1.03-2477.81), and 110.23 (0.90-4150.58) RU/mL, respectively. Median (range) of DAS28 were 5.04 (4.04-7.10). A weak but not statistically significant correlation was found between serum anti-CCP concentration and DAS28 with rs = 0.296 (p = 0.056). A weak and significant correlation was found between synovial fluid anti-CCP concentration and DAS28 with rs = 0.331 (p = 0.037). A strong and significant correlation are found between serum and synovial fluid anti-CCP concentration, with rs = 0.907 (p <0.01) using Spearman correlation test.
We concluded that synovial fluid anti-CCP concentration weakly correlated with disease activity. No significant correlation was found between serum anti-CCP concentration with disease activity. Strong correlation was found between serum and synovial fluid anti-CCP concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Latar Belakang. Lama rawat intensif pasien pascabedah jantung yang memanjang mempengaruhi alur pasien bedah jantung berikutnya. Pengaturan pasien berdasarkan lama rawat diperlukan agar alur pasien lancar.
Tujuan. Membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam berdasarkan nilai skor dari model EuroSCORE dan model yang dimodifikasi dari faktor-faktor EuroSCORE.
Metode. Penelitian restrospektif dilakukan pada Januari 2012 - Desember 2013 pada 249 pasien yang menjalani bedah jantung di Unit Pelayanan Jantung RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Analisis survival dan regresi Cox dilakukan untuk membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam.
Hasil. Median kesintasan lama rawat intensif 43 jam. Nilai skor EuroSCORE tidak memenuhi asumsi hazard proporsional. Model baru telah dibuat dari 7 variabel EuroSCORE yang secara substansi berhubungan dengan lama rawat intensif (AUC 0,67).
Kesimpulan. Model baru dari tujuh faktor EuroSCORE cukup dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam.

Background. Prolonged intensive care unit length of stay (ICU-LOS) in a postcardiac surgery may shortage of ICU beds due to clog of patient flow. Improving ICU-LOS may lead to better patient flow.
Objectives. To predict 48-hour ICU-LOS based on EuroSCORE model and to create a modified EuroSCORE factors model.
Methods. A retrospective study was conducted from January 2012 to December 2013 among 249 patients who underwent cardiac surgery at Integrated Cardiac Services, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Survival analysis and Cox?s regression were performed to make a prediction model for 48-hour ICU-LOS.
Results. Median survival of ICU-LOS was 43-hour. The EuroSCORE model did not meet the proporsional hazard assumption. A new substantial model from 7- EuroSCORE factors was created to predict 48 hours ICU-LOS (AUC 0.67).
Conclusions. Seven EuroSCORE factors was sufficient as a new model to predict the 48-hour ICU-LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library