Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Burhanudin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19283
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Miftahul Fitri Fauziah
Abstrak :
Melihat kenyataan yang ada bahwa kondisi anak Indonesia masih banyak yang memprihatinkan.Seperti masih banyaknya anak-anak yang mengemis, berjualan, dan mengamen di jalanan. Anak-anak seperti itu umumnya sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu, anak juga sangat memerlukan perlindungan hukum yang berkekuatan hukum tetap, sebab sering kali terjadi kasus-kasus hukum yang tidak tertangani. Di sisi lain dalam penanganan terhadap kasus anak pun bisa dikatakan belum baik, maka perlu adanya tindakan diversi karena diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang baik kembali, melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana Penyidik menentukan diversi terhadap tindak pidana yang dilkukan oleh anak, bagaimana cara Penyidik menghasilkan satu kesepakatan diversi serta bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan diversi oleh Polresta Depok dan Kabupaten Bogor. Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empirik, dengan sumber data yang diperoleh melalui kepustakaan dan wawancara. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa kasus yang ditangani oleh Polresta Depok dan Polres Kabupaten Bogor tidak ada keseragaman dalam penanganan perkara yang dapat dilakukan diversi. Pada kedua polres tersebut memiliki kebijakan yang berbeda, karena Penyidik Polresta Depok tidak mengetahui Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum berumur 12 (dua belas) tahun. Hal ini menyebabkan perbedaan kebijakan dengan yang dilakukan Polres Kabupaten Bogor yang sudah mengetahui Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015, oleh sebab itu diperlukan sosialisasi tentang pelaksanaan diversi ditingkat Penyidikan.
Looking at the reality that the condition of Indonesian children that seem to be apprehensively alarming, like numerous of children being panhandler, busker, etc. Those children mostly lost their rights to obtain education. Moreover, those children need legal protection due to some unresolved legal cases. On the other hand, the handling of child cases remain indecent, therefore will need a diversion mechanism with the aim of giving some opportunities to the lawbreakers as a refinement through informal way by involving society. This research explains how investigator determines diversion mechanism to be used in criminal cases committed by children, how investigator resulting diversion agreements, and how the surveillance is conducted by Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police. The research method used is normative-empirical method with data sources obtained through literatures and interview and the research type used is explanatory. The result tells that some cases handled by Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police shows no common denominator for cases that using diversion mechanism. In both Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police have totally different policies due to lack of acquaintance of the Government Regulation number 65 Year 2015 concerning Guidelines for Implementing Diversion and Handling of Children Under 12 Years Old by Depok Resort Police. This resulted the total different policies between Bogor Regency Resort Police and Depok Resort Police. Therefore the massive socialization of the implementation of diversion mechanism in the level of investigation is inevitably needed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Burhanudin
Abstrak :
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki sumber daya hayati yang sangat beragam dan Bering dinyatakan sebagai negara yang memiliki "mega-biodiversity". Dengan tingginya keanekaragaman hayati, maka terbuka peluang yang besar bagi upaya memanfaatkan sumber-sumber gen penting yang ada untuk program pemuliaan, untuk merakit varietas unggul masa depan, namun tanpa kita sadari terbuka peluang mudah untuk dicuri, dipindahkan, dan diperbaiki oleh pihak asing serta diakui sebagai milik meraka. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, memberikan hak kepada pemulia sehubungan dengan varietas tanaman yang dihasilkan yang mempunyai ciri baru, unik, stabil, seragam, dan diberi nama; untuk memproduksi atau memperbanyak benih, menyiapkan untuk tujuan propagasi, mengiklankan, menawarkan, menjual atau memperdagangkan, mengekspor, mengimpor. Hak ini diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk tanaman semusim atau 25 (dua puluh lima) tahun untuk tanaman tahunan setelah diberikan Sertifikat hak PVT. Undang-undang ini, diharapkan akan mendorong keterlibatan sektor swasta dalam mengembangkan industri benih, dan dengan Sistem Dokumentasi dan Jaringan Informasi PVT, maka apabila ada pihak lain yang menggunakan varietas hasil pemuliaan atau varietas loka1 sebagai benih sumber untuk mendapatkan turunannya tanpa ijin dari pihak yang berhak, maka dapat diketahui oleh pemegang hak atau kantor PVT bahwa telah terjadi pencurian varietas tanaman. Di lapangan masih banyak ditemukan pelanggaran terhadap perlindungan varietas tanaman seperti sertifikasi benih tanpa ijin. Sebagian besar diberi pembinaan dan hanya sedikit yang diajukan ke pengadilan. Penegakan hukum terhadap perlindungan varietas tanaman tidak semata-mata menjadi tanggungjawab criminal justice system yang dalam hal ini aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum belum berhasil maka perlu dukungan dari Kantor Pusat PVT, Departemen Pertanian dan masyarakat.
Indonesia is one of the countries in the world which has various biological resources, and is frequently called a "mega-biodiversity" country. Then, by height such biodiversity, it had opened opportunity to get benefit from important gene resources being available for superiority program such as assembling of leading variety for the future, nevertheless, unintentionally, also it had opened opportunity to be stolen, removed and repaired by foreigners and acknowledges as their property. By enactment of Laws No. 29 year 2000 on Plant Variety Protection, it had given right to breed improver pertaining to resulted plantation variety having new characteristic, unique, stable, uniform, and named; to produce or proliferate seeds, prepare for propagation objective, advertises offer, sell or trade, export, and import. It is given twenty {20) years for one season plantation or twenty five (25) years for annual plantation upon obtaining certificate of PVT right. This legislation is wished will motivate the involvement of private sector to develop seed industry and then, by Documentation System and PVT Information Network, other party who use variety derived from breed improvement or local variety as source seeds to get its generation without permission from authorized party then, it will be known by right holder or office of PMT upon stalling of plantation variety. In the field, so many violation is still found against protected plantation variety as certification without permission. Largely, those had been given building and some of them had been brought to the court. Solely, the enactment of protected plantation variety is not responsible of criminal justice system in this case is police apparatus, attorney's office, court and correctional facility. Law enforcement had not been realized succesfully, but, it requires support from head Office of PVT, Department of Agriculture and society.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnilasari Tri Putri
Abstrak :
Berbeda dengan profesi lain, dokter dalam upaya menyembuhkan, mengurangi penderitaan, memperkecil komplikasi buruk dari suatu penyakit, atau menunda kematian seorang pasien, selalu bersinggungan dengan risiko kerugian fisik seperti rasa sakit atau bahkan sampai ke risiko kematian pasien. Sebagai dampak peningkatan wawasan masyarakat dalam hal kebutuhan perlindungan hukum, masyarakat awam menganggap kerugian yang dialami pasien pasca pemberian tindakan medis adalah malpraktek kemudian mengajukan tuntutan ke kepolisian. Di satu sisi, masyarakat melupakan bahwa seorang dokter tidak bisa menjanjikan kesembuhan kepada pasien. Malpraktek adalah perbuatan medis yang menyimpang dari standar prosedur operasional. Persoalan utama dalam kasus/tuduhan malpraktek adalah bagaimana membuktikan bahwa perbuatan medis tersebut menyimpang dari standarnya. Terlebih lagi, dokter tidak dapat dipersalahkan sekalipun tindakan medisnya mengakibatkan kematian pasien jika tidak melanggar standar tersebut. Metodologi penulisan yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah deskriptif analitis kualitatif yaitu dengan cara melakukan analisis terhadap data-data lapangan dan kemudian dielaborasi dengan pendapat para pihak terkait (dokter, jaksa, kepolisian) dan hasil tinjauan pustaka untuk mendapatkan pemecahannya. Dari penelitian diketahui, tidak semua standar prosedur operasional dalam bentuk tertulis. Padahal untuk membuktikan tuduhan malpraktek diperlukan standar prosedur tertulis yang dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan dalam tindakan medis yang diberikan sehingga dapat menjatuhkan sanksi yang tepat dalam proses pertanggungjawaban hukumnya. Oleh karena itu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindakan malpraktek, setiap dokter harus memiliki standar prosedur operasional tertulis untuk semua bidang spesialisasi dan alat hukum harus memiliki kompetensi untuk memahami kaidah-kaidah atau prosedur yang berlaku di bidang kedokteran.
Differ from other profession, a doctor during performing an act or service to their patients Is considered to face the possibility to cause injury or even death to the patient. On the other hand, as well as the necessity of being protected from lawsuit is increasing, commonly that injuries will be called as medical malpractice and will be proceeded to the criminal trial. Whilst, people usually forget that doctor cannot promise any protection from the death. Medical malpractice is a medical act or omission, which deviate from the accepted standard operational procedure. The main problem in the case of medical malpractice is how to proof that act or omission is deviate from it-accepted standard. Furthermore, doctor cannot be sentence by law though his act causes fatal injury unless it breaking the standard. A descriptive-qualitative analytic is being applied to analyze the data as it is to be clarified with some professionals such as doctor, prosecutor, and police as well as references in order to obtain the resolution. From the research, it is discovered that a few standard operational procedure is being documented where others is not. It is known that this documented standard is required to proof whether there is a deviation or not from the medical act or omission that was performed by doctor. Then, it liability can be conducted as well. Finally, doctor must have all standard operational procedure documented in order to prevent malpractice. Whilst, on the other hand, especially the prosecutor and the police shall develop and keep updating their competency to comprehend those medical procedure in order to attain the malpractice case comprehensively.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subekhan
Abstrak :
Anak sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, dengan semua kekhususan sifatnya ialah generasi harapan yang kepadanya dibebankan rnasa depan bangsa dan negara. Oleh karenanya jaminan tumbuh kembangnya menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa termasuk masyarakat dan pemerintah. Jaminan itu harus nampak dalam peraturan-peraturan hukum yang memperhatikan sifat khusus dari anak-anak sehingga dapat memberi jaminan bagi kesejahteraan anak. Memberikan jaminan tumbuh kembangnya secara wajar melalui peraturan hukum yang mengacu pada kesejahteraan anak termasuk anak yang berkonflik dengan hukum. Tulisan dengan judul penyelesaian perkara anak secara restorasi dalam penerapan sistem peradilan anak adalah suatu hasil analisa tentang praktek SPP anak dan penerapan konsep restorative justice sebagai konsep baru dalam menyelesaikan perkara anak. Dengan metode penelitian normatif empiris yang bersifat kualitatif penelitian ini memperoleh hasil diantaranya; jaminan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. belum memberikan perlindungan anak secara memadahi. Hal ini dikarenakan UU No. 3 tahun 1997 belum. rnengatur keragaman sanksi untuk dapat diterapkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum sebagai suatu kebutuhan pembinaan anak yang sangat beragam. Ketiadaan aturan pelaksana dari sanksi hukum dalam UU No. 3 tahun 1997 adalah salah satu kekurangan dalam segi pengaturan secara normatif untuk melindungi anak berkonflik dengan hukum. Minimnya sarana dan prasarana dan budaya hukum (profesionalisme) aparat penegak hukum menjadikan penerapan SPP untuk anak, tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Sedangkan munculnya konsep penyelesaian secara restorative Justice yang diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak dengan menghindarkan anak bersentuhan SPP anak, ternyata tidak dapat diterapkan secara efektif. Hal itu dikarenakan belum adanya aturan hukum sebagai landasan penyelesaian model ini dan perubahan masyarakat dari gemeinschaft ke arah gesselschaft berdampak pada sulitnya rnengharapkan partisipasi masyarakat dalam penyelesaian yang bersifat restorasi tersebut. Selain dari itu, konsep restorative justice yang tidak melembagakan proses penyelesaianya berdampak pada hasil yang dicapai dalam penyelesaian restorasi tidak memberikan kepastian hukum. Beranjak dari kelemahan penerapan SPP anak dan penerapan konsep restorative justice, penulis menawarkan konsep restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep tersebut dihardpkari dapat rnenginrplemenLaslkan nilai-nilai yang terdapat dalam restorative justice dalam praktek SPP anak. Tawaran konsep ini mensyaratkan ketentuan dalam UU No. 3 tahun 1997 dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang profesional, dengan memberikan keluasan kewenangan kepada Bapas sebagai inisiator penyelesaian secara restorative justice.
Children as a gift from god, with all their characteristics is a generation of our hope and to them the future of our country and nation is been given. So that, the guarantee of their growth and development is responsible of all national elements including society and government. Seemingly, it should be realized by regulations observing their special character, then, it will ensure their prosperity. Properly, giving growth and development guarantee by regulations referring to children prosperity including for them in conflict with law. This thesis with in title of Settlement of children cases in the form of restorative justice process through the application of the juvenile justice system is result of analysis on criminal justice system (SPP} practice and application of restorative justice concept as new one for settling children case. By method of empirical normative research in qualitative nature, it obtains results among them: legal protection for children in conflict with law as provided with law No.3/1997 on juvenile juctice, it had not given children protection adequately, yet. It caused by such laws had not set forth varied sanction to be applied for children in conflict with law as any most varied building requirement for children. Normatively, the absence of operational regulations for law sanction in such laws is any lack for protecting children in conflict with law. The minim of structure and infra structure as well as legal culture (professionalism} of law enforcer had not made application juvenile justice system reflecting the children in conflict with law. Whereas, the appearance of concept of restorative justice settlement being wished to give children protection while avoiding children touch juvenile justice system, really it may not be applied effectively. It stems from regulations to base this model settlement and society changing from gemeinschaft to gesselschaft having impact the difficulty to wish society participation for such restorative justice settlement. Additionally, restorative justice concept having not institutionalized its settlement process had brought about the proceeds achieved in restoration settlement had not given legal certainty. Based on weaknesses of applying juvenile justice system and restorative justice concept, the author offer restorative justice concept in juvenile justice system. It is wished may implement the values expressed in restorative justice in juvenile justice system. This concept requires in the regulation in law No.3/1997 should be realized by professional law enforcer while giving authority to socialization association (Bapas) as initiator of restorative justice settlement.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verra Donna Rastyana Pritasari
Abstrak :
Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Sehingga untuk meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah bersama lembaga legislatif berupaya menyempurnakan peraturan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi serta membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun upaya yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mustahil dapat berjalan efektif bila tidak didukung dengan pengadilan yang independent dan kompeten untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam keberadaaanya, ternyata adanya pengadilan tindak pidana korupsi menimbulkan dualisme diantara pengadilan yang mengadili pelaku korupsi, yaitu antara pengadilan umum dan pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua pengadilan ini mengadili perbuatan orang yang samasama di dakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancaman pidana oleh undang-undang yang sama, namun dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi dan faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam putusannya serta mencari upaya untuk mengurangi disparitas putusan hakim antara pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hakim pada pengadilan Umum terhadap tindak pidana korupsi. Carl hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi. Sistem peradilan di Indonesia yang menganut asas pembuktian menurut undangundang secara negatif, tidak dianutnya "the binding of precedent", multi tafsir darn pengaruh non yuridis seringkali menjadi penyebab disparitas putusan. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya adalah dengan znenyatukan pandangan, versi dan misi pada setiap hakim untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.
Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime. Presently, the conventional law enforcement to combat corruption had taken obstacles. So as to increase efforts for Combating of such corruption criminal act the government (executive) with legislative mutually, they had improved legislation to Combat corruption criminal act as well as to establish The Commission to Combat Corruption. Nevertheless, the efforts conducted by The' Commission to Combat Corruption, possibly, it may not be realized effectively, unless it will not be supported by competent and independent courts to try case of corruption criminal act, then it is established Corruption Courts had resulted in ambiguity among courts trying corruption actor(s), i.e, General and Special courts for trying corruption criminal Act. Indeed, those two institutions examining the same cases of corruption criminal act and threatened by imprisonment under legislation, but it had resulted in the different judgement. Both field and library researches had been conducted in order to know the opinion of judge is against corruption criminal Act and factor as basic considerations of judge regarding his/her judgement and seeking out the efforts for reducing disparity of judge's decision among court of corruption criminal act and general court in term of corruption criminal act. The result research indicated that there are disparities among judges' s opinion regarding corruption criminal act. Frequently, judiciary system of Indonesia based on the negativity evidentiary basic rule, not the binding of precedent, multi interpretations and non juridical impact had resulted in disparity of judgement. Hence, the efforts to be conducted for minimizing it is by unifying their opinion, vision and mission for each judge to put corruption as joint enemy.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramon Wahyudi
Abstrak :
Suatu perusahaan eksport dan import yang menggunakan valuta asing dalam melakukan transaksi akan mengalami resiko perubahan nilai tukar mata uang asing yang dapat mempengaruhi keuntungan usahanya, resiko ini dapat dikelola dengan menggunakan lindung nilai (hedging) dengan transaksi derivatif yang bernama callable forward. Callable forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan berlaku pada waktu yang akan datang. Produk perbankan ini ditawarkan diluar bursa (over the counter), tujuannya adalah untuk lindung nilai, dibuat berdasarkan perjanjian International Swap Dealers Associations (ISDA) yang terdiri dari Master agreement, schedule dan confirmation. Perjanjian ini berjalan lancar sampai suatu ketika muncul krisis keuangan tahun 2008, dimana USD mencapai Rp. 13.000,-. Dalam perjanjian ada klausula yang merugikan nasabah yang sebelumnya tidak di informasikan oleh bank kepada nasabah. akibatnya perjanjian yang disusun atas transaksi lindung nilai dibatalkan dan perjanjian Callable forward menjadi perbuatan yang melawan hukum dengan mendalilkan bermacam-macam alasan seperti perjanjian tidak seimbang, tidak ada itikad baik, force majeur, penyalah gunaan keadaan. Akibatnya perjanjian dibatalkan oleh pengadilan.
An export and import companies that use foreign currency in the transaction will run the risk of changes in foreign currency exchange rates that may affect the business profits, the risk can be managed by using hedging with derivative transactions called callable forward. Callable forward is purchases and sales of foreign currency whose value is determined at the present time and the effect on the future. Banking products are over the counter, the aim is to hedge, made ​​under the contract International Swap Dealers Associations (ISDA), has three section is master agreement, schedule and confirmation. The agreement running well until one day the financial crisis emerged in 2008, when USD reached Rp. 13,000, -. There is a clause in agreement that harm customers about the risks that were not informed by the bank to its customers. Consequently hedging contract transactions was terminated. Callable forward contract against the law to postulate a variety of reasons such as the contract is not balanced, there is no good faith, force majeure, misuse of state. As a result, the agreement was terminated by the court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amin Imanuel Bureni
Abstrak :
Perjanjian kredit bank merupakan media atau perantara pihak dalam keterkaitan pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack of funds. Perjanjian kredit bank membentuk perikatan diantara para pihak dalam hubungan yang saling membutuhkan dimana masing-masing pihak berkehendak memperoleh manfaat/ keuntungan dari perikatan tersebut. Karena itu dalam perjanjian kredit bank harus ada keseimbangan kepentingan para pihak baik pada tataran pembuatan perjanjian kredit bank maupun pada tataran pemenuhannya yang dimuat sebagai klausula perjanjian. Kenyataannya, seringkali ditemukan tidak terdapatnya keseimbangan pengaturan kepentingan para pihak diantaranya terdapat klausula ?Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank yang disinyalir sebagai klausula eksonerasi karena dengan pencantuman klausula tersebut maka pihak bank dapat secara sewenang-wenang mengubah bunga kredit dan juga sebagai benteng bagi pihak bank menghindari pertanggungjawaban hukum. Dalam hal ini masyarakat pencari keadilan mengharapkan hakim dapat memberi keadilan melalui pemulihan keseimbangan kepentingan dalam perjanjian kredit bank tersebut. Pokok permasalahan penelitian ini adalah : apakah pencantuman klausula Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank dalam perjanjian kredit bank melanggar asas keseimbangan dan apakah hakim dapat mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak ? Selanjutnya dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, peneliti menganalisis pengaruh pencantuman klausula ?Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank? terhadap keseimbangan perjanjian kredit bank dan menganalisis kewenangan hakim dalam mengintervensi suatu perjanjian kredit yang disepakati para pihak sekaligus memberikan rekomendasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman klausula ?Penetapan dan Perhitungan Bunga Bank dilakukan Oleh Bank? tanpa memuat klausula yang menjamin dilakukannya negosiasi ulang mengenai perubahan bunga kredit bank adalah melanggar asas keseimbangan dan karena itu hakim karena jabatannya (ex officio) maupun karena amanat undang-undang berwenang mengintervensi perjanjian kredit bank tersebut untuk memulihkan keseimbangannya. Atas terdapatnya kelemahan / kekosongan hukum positif mengenai pengaturan pelaksanaan perjanjian kredit dilakukan dengan itikad baik dan juga mengenai pengaturan peranan hakim dalam memulihkan keseimbangan perjanjian kredit bank, maka direkomendasikan agar dilakukan revisi KUHPerdata dan/atau revisi atas regulasi undang-undang terkait. ......The bank credit agreement is a medium or an intermediary of the parties in the involvement of the parties that have surplus of funds with the parties having lack of funds and needing funds. The bank credit agreement establishes the bond among the parties in a relationship which mutually needs each other where each party wishes to obtain advantages/benefits from the bond. Therefore, in the bank credit agreement there has to be a balance of interests of the parties both in the phase of the drawing of the bank credit agreement and in the phase of its fulfillment set forth as one of the clauses of the agreement. In reality, the imbalance of the parties interest arrangement is often discovered, which among others there is a clause of Bank Interest Determined and Calculated by the Bank pointed out as an exoneration clause because by putting the clause the bank can arbitrarily change the credit interest and also as the shield for the bank to avoid legal liability. In this case, the society seeking for justice expect the judge can provide it through the restoration of interest balance in the bank credit agreement. The main problems of the research are: does the writing of the clause Bank Interests Determined and Calculated by the Bank? in the bank credit agreement violate the balance principle And can a judge intervene a credit agreement approved by all parties? Furthermore, by using the descriptive analysis research method, the researcher analyzes the influence of the writing of the clause Bank Interests Determined and Calculated by the Bank? to the balance of the bank credit agreement and analyzes the authority of a judge in intervening a credit agreement approved by all parties and in providing recommendations. The research result shows that the writing of the clause ?Bank Interests Determined and Calculated by the Bank? without setting forth the clause which guarantees a renegotiation to be done on the change of the bank credit interests violates the balance principle, and therefore a judge because of his/her position (ex officio) and because of the mandate of the laws has the authority to intervene the bank credit agreement to restore its balance. As there are some weaknesses/positive law disparities on the arrangement of the credit agreement implementation done with good faith and also on the arrangement of the judges roles in the restoration of the bank credit agreement balance, it is recommended that the revision of Civil Code and/or the revision on the relevant laws should be done.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrijani S.
Abstrak :
ABSTRAK
Tindak Pidana Kehutanan di Indonesia telah menjadi masalah serius yang tidak hanya berdimensi hukum, tetapi juga memiliki dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Kondisi yang demikian menyebabkan tindak pidana kehutanan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana luar biasa yang menuntut penanganan yang luar biasa pula. Dalam mengkaji tindak pidana kehutanan bukan saja aspek hukum positifnya yang mesti disoroti, tetapi juga aspek sejarah hukum dan masalah penegakan hukumnya. Aspek sejarah hukum sangat diperlukan untuk melihat politik hukum pemerintah dalam menangani masalah tindak pidana kehutanan yang nantinya dapat digunakan sebagai referensi pembuatan kebijakan pada masa kini. Sementara, aspek penegakan hukum boleh dikatakan integral dengan aspek hukum positif, karena penegakan hukum merupakan upaya untuk mengejawantahkan atau mengimplementasikan hukum positif agar memiliki keberlakuan secara efektif. Berhasil atau tidaknya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait, yakni instrumen hukum yang memadai, kebijakan dan peraturan yang mendukung, aparat penegak hukum serta kapasistas kelembagaan yang kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.
ABSTRAK
Forestry criminal act in Indonesia has been serious problem that is not only having legal dimension, but also having economic, social, and political dimension. That condition cause forestry criminal act has been able to be qualified as an extraordinary crime that is also pursuit extraordinary handling. In studying forestry criminal act, is not just positive law aspect that must be viewed, but also the aspect of legal history and its law enforcement. The aspect of legal history is much needed to see government's politics of law in handling the forestry criminal act and eventually can be used as policy making references in nowadays. At the same time, the aspect of law enforcement can be said integrated with positive law, because the law enforcement is effort to implement positive law in order to have deed effectively. Success or not the law enforcement toward forestry criminal act in Indonesia influenced by many factors, are sufficient law instruments, supporting policies and rules, law enforcer apparatus and strong institutional capacity, also, clean judicial process, and punishment that is imposed toward criminal actor.
2007
T22902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>