Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Youga Balian Firdaus
"

Latar belakang: Cedera gigi traumatis (traumatic dental injury/ TDI) biasanya disebabkan oleh jatuh, kecelakaan, atau cedera. Trauma gigi pada praktiknya selalu dikategorikan sebagai luka derajat sedang tanpa mempertimbangkan klasifikasi dan jumlah gigi yang patah, padahal penentuan derajat luka dalam visum et repertum (VeR) penting karena mempengaruhi kompensasi bagi korban dan konsekuensi bagi pelaku. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi apakah patah gigi dapat dikelompokkan menjadi luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi.

Metode: Populasi penelitian adalah seluruh dokter spesialis forensik, dokter gigi, jaksa, dan pengacara di Jabodetabek. Sampel penelitian didapatkan melalui purposive sampling, yakni memilih narasumber yang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan penelitian. Data dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD) dan dianalisis menggunakan grounded theory.

Hasil: Penelitian menemukan bahwa derajat luka untuk patah gigi dalam VeR di Indonesia hampir selalu dianggap luka derajat sedang, tanpa mempertimbangkan jumlah dan klasifikasi gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat luka dapat dikategorikan sebagai luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi yang terlibat.

Kesimpulan: Derajat luka untuk patah gigi dalam VeR dapat dikategorikan sebagai luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi yang terlibat.


Introduction: Traumatic dental injuries (TDI) are typically caused by falls, accidents, or injuries. In practice, dental trauma is often categorized as moderate injury without further consideration. However, the degree of injury in a visum et repertum (VeR) is crucial to determine the compensation for the victim and the consequences for the perpetrator. Therefore, this study aims to identify whether dental fractures can be classified based on the classification and number of fractured teeth.

Method: The study included all forensic specialists, dentists, prosecutors, and lawyers in the Greater Jakarta area (Jabodetabek). The sample was obtained through purposive sampling, selecting experts in fields relevant to the study. Data were collected through focus group discussions (FGD) and analyzed using grounded theory.

Result: The study found that the degree of injury for dental fractures in VeR in Indonesia is almost always considered moderate, without regard to the number and classification of teeth. The findings indicate that the degree of injury can be categorized as minor, moderate, or severe based on the classification and number of teeth involved.

Conclusion: The degree of injury for dental fractures in VeR can be categorized as minor, moderate, or severe based on the classification and number of teeth involved."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suripto
"Data yang baik adalah data bebas bias kognisi. Keterangan ahli bebas bias kognisi harus mampu menjawab perkembangan keilmuan dan perubahan dinamis dan terbaru sehingga mampu memberikan informasi dan keahlian berbasis bukti terhadap kasus Forensik dan Medikolegal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengetahui penyebab terjadinya bias kognisi pada Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal di Indonesia. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap 24 orang Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal terkait potensi bias kognisi yang dapat terjadi, kemudian dianalisis dengan menghubungkan antara potensi bias kognisi dengan Taksonomi Bloom serta Standar Kompetensi dan Subkompetensi Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal. Hasil penelitian didapatkan 763 skenario unik yang teridentifikasi. Taksonomi Bloom dengan tingkatan paling banyak yang berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada tingkat Apply, Analyze, dan Remember. Kompetensi dan Subkompetensi yang banyak berhubungan dengan bias kognisi teridentifikasi pada Kompetensi 1 tentang Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Kompetensi 2 tentang Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat, dan Kompetensi 5 tentang Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik. Potensi bias kognisi yang telah teridentifikasi dapat menjadi masukan bagi para pihak yang berhubungan dengan proses pembentukan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal, khususnya Fakultas Kedokteran serta Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia, dalam menyusun materi pembelajaran, pelatihan, serta penilaian untuk membentuk Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal yang menghindari menyampaikan keterangan ahli yang bias kognisi.

Optimal data are free from cognitive biases. Cognitive biases-free expert testimony must be able to answer the challenge of knowledge development, dynamical changes and latest updates to be able to provide evidence-based expert testimonies in Forensic and Medicolegal cases. This research aims to identify and to find out the cause of cognitive biases in Forensic Medicine and Medicolegal field in Indonesia. Research was conducted through interviews on 24 board-certified Forensic and Medicolegal Specialists with topics of potential cognitive biases, and further analyzed through associating with Bloom’s Taxonomy, and Competency and Subcompetency of Forensic and Medicolegal Specialist in Indonesia. There was 763 unique scenarios identified from interviews. Cognitive domain of Bloom’s Taxonomy with highest association identified are Apply, Analyze, and Remember. Competency and Subcompetency with highest association identified are 1st competency about Profession ethics and Professionalism in Forensic Medicine and Medicolegal (Etika Profesi dan Profesionalitas Luhur Kedokteran Forensik dan Medikolegal), 2nd competency about Self-introspection, personal development and long-life learning (Mawas Diri, Pengembangan Pribadi dan Belajar Sepanjang Hayat), and 5th competency about Scientific-based forensic medicine (Landasan Ilmiah Kedokteran Forensik). Identified potential cognitive biases can be given as input for stakeholders in forming Forensic and Medicolegal Specialists, specifically Faculty of Medicine and Indonesian College of Forensic Medicine and Medicolegal (Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Indonesia), to compose learning materials, trainings, and assessments to form Forensic and Medicolegal Specialists that avoids giving biases in expert testimonies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Que
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia.

Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library