Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Islamiati Anam Putri
"Latar belakang: Penuaan kulit adalah proses biologis yang terdiri dari dua mekanisme dasar yang kompleks, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Aktivitas merokok diketahui sebagai salah satu faktor determinan terhadap kerusakan sel, selain paparan sinar ultraviolet. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan korelasi antara frekuensi merokok terhadap penuaan dini yang ditandai dengan kerutan pada wajah, namun penelitian di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat topik terkait pengaruh aktivitas merokok terhadap tingkat kerutan wajah pada masyarakat Jabodetabek. Metode: Penelitian ini mengggunakan design cross-sectional dengan total sampel sebanyak 95 responden yang tinggal di Jabodetabek. Terdapat beberapa variabel yang diidentifikasi, seperti variabel demografi, sosioekonomi, aktivitas merokok, dan kerutan wajah. Aktivitas merokok pada responden dikelompokkan berdasarkan jumlah konsumsi batang rokok per hari. Sedangkan kerutan kulit wajah pada responden dinilai menggunakan alat Visioscan® VC 20plus. Data hasil penelitian akan diolah dan dianalisis menggunakan program statistical package for the sosial science (SPSS) ver. 25.0 dengan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05) meliputi analisis univariat dan bivariat. Hasil dikatakan signifikan apabila nilai p < 0.05. Hasil: Sebanyak 66 orang (69,5%) responden penelitian merupakan perokok ringan dengan konsumsi 1 sampai 10 batang rokok/hari. sedangkan profil kerutan wajah responden penelitian di dominasi dengan tingkat keparahan sangat berkerut sebanyak 75 orang (78,9%). Akan tetapi hasil uji bivariat antara aktivitas merokok dengan tingkat keparahan kerutan wajah menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara statistik (p = 0,389). Kesimpulan: Pada penelitian ini, tidak ditemukan hubungan bermakna antara aktivitas merokok dengan tingkat keparahan kerutan wajah.

Introduction: Skin aging is a biological process that consists of two complex basic mechanisms, namely intrinsic and extrinsic factors. Smoking activity is known as one of the determinants of cell damage, besides exposure to ultraviolet light. Several previous studies have shown a correlation between smoking frequency and premature aging which is characterized by wrinkles on the face, but research in Indonesia is still limited. Therefore, the authors are interested in raising the topic related to the influence of smoking activity on the level of facial wrinkles in the Jabodetabek community. Method: This study uses a cross-sectional design with a total sample of 95 respondents who live in Greater Jakarta. There are several variables identified, such as demographic, socioeconomic, smoking activity, and facial wrinkles. The smoking activity of the respondents was grouped based on the number of cigarettes consumed per day. Meanwhile, the wrinkles on the facial skin of the respondents were assessed using the Visioscan® VC 20plus tool. The research data will be processed and analyzed using the statistical package for the social science (SPSS) ver. 25.0 with 95% confidence level (α = 0.05) including univariate and bivariate analysis. The results are said to be significant if the p value <0.05. Result: As many as 66 people (69.5%) of the study respondents were light smokers with consumption of 1 to 10 cigarettes/day. while the facial wrinkles profile of the study respondents was dominated by the severity of very wrinkled as many as 75 people (78.9%). However, the results of the bivariate test between smoking activity and the severity of facial wrinkles showed results that were not statistically significant (p = 0.389). Conclusion: In this study, no significant association was found between smoking activity and the severity of facial wrinkles."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Irza Salsabila
"Olahraga merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh. Kebiasaan berolahraga secara teratur disebut dapat memperlambat munculnya tanda penuaan, contohnya ialah kerutan kulit. Meski demikian, belum banyak ditemukan studi yang mempelajari hubungan antara kebiasaan berolahraga dengan kondisi kerutan kulit wajah, khususnya di Indonesia. Karena itu, penelitian dengan desain potong lintang yang melibatkan 146 perempuan Indonesia ini dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan nilai dan derajat kerutan kulit pada subjek penelitian. Analisis data yang dilakukan menunjukan hasil komparasi yang tidak berbeda bermakna antara variabel kerutan kulit wajah dengan kebiasaan olahraga pada responden. Mengacu pada hal tersebut, dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan olahraga dengan kondisi kerutan kulit wajah pada perempuan Indonesia.

Exercise, the one of physical activity subcategory, has been proven to improve body’s health and fitness. For this, some researcher wrote that regular exercise can also prevent the manifestation of skin aging, such as skin wrinkles. Unfortunately, there are very few researches that learned the association between habitual exercise and face wrinkles, especially in Indonesia. Therefore, we conducted a study that involved 146 Indonesian females to analyze the association between habitual physical exercise and subject’s face wrinkles. Unfortunately, there was no significant association between subject’s exercise habits and their face wrinkles condition. Referring to this, we concluded that there was found insignificant association between subject’s exercise habits (total duration per week) and face wrinkle conditions (value and degree) in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Wildan Abiyyi
"Kulit sensitif merupakan salah satu tipe kulit yang dapat didiagnosis secara subjektif melalui Indikator tipe kulit Baumann (BSTS). Orang dengan tipe kulit sensitif memiliki potensi yang tinggi untuk dapat mengalami gangguan kulit yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Meskipun Mikrobioma kulit telah terbukti memiliki korelasi terhadap beberapa penyakit dan kelainan kulit, namun hubungannya dengan tipe kulit sensitif belum banyak dilaporkan. Sehingga, pada penelitian ini bertujuan untuk Melakukan analisis metagenomik pada kulit wajah dan korelasinya dengan kondisi kulit sensitif dengan metode 16S rRNA. Sampel pulasan kulit wajah diambil dari 144 responden yang terdiri dari 54 orang dengan tipe kulit sensitif dan 90 orang dengan tipe kulit normal. Dari 144 sampel yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis metagenomik berdasarkan hasil sekuensing amplikon 16S rRNA. Didapatkan hasil bahwa analisis diversitas alfa menggunakan indeks Chao1 dan Shanon menujukkan kelimpahan Mikrobioma lebih rendah secara signifikan (P-value = 0,04008) pada kelompok dengan tipe kulit sensitif. Analisis korelasi dengan Uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi kelimpahan Mikrobioma kulit wajah dengan kondisi tipe kulit sensitif dimana kelimpahan Mikrobioma dengan genus Corynebacterium lebih rendah secara signifikan pada kelompok dengan tipe kulit sensitif (P-value = 0,04462) yang diiringi dengan kelimpahan genus Staphylococcus (P-value = 0,01235) dan Streptococcus (P-value = 0,02184) yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok ini. Pada tingkat spesies, bakteri Propionibacterium humerusii memiliki kelimpahan yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok dengan tipe kulit sensitif (P-value = 0,04967). Dengan demikian, kelimpahan Mikrobioma kulit memiliki korelasi dengan kondisi tipe kulit sensitif khususnya pada kasus yang ditemukan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan Pustaka dalam pengembangan produk perawatan kulit yang spesifik untuk kondisi kulit sensitif. Namun adanya analisis lebih lanjut yang dapat mengetahui kelimpahan dan keragaman Mikrobioma hingga ke tingkat spesies akan lebih membantu dalam perkembangan penelitian ini.

People with sensitive skin types have a high potential to have skin disorders that affect their quality of life. Although the skin microbiotmehas been shown to have a correlation with several skin diseases and disorders, but its relationship with sensitive skin type has not been widely reported. Thus, this study aims to perform metagenomics analysis on facial skin and its correlation with sensitive skin conditions. Samples of facial skin swab were taken from 144 respondents consisting of 54 people with sensitive skin types and 90 people with normal skin types. The 144 samples collected were then subjected to metagenomics analysis based on the sequencing results of the 16S rRNA amplicon technique. The results showed that alpha diversity analysis using the Chao1 and Simpson Index showed significantly lower microbiota abundance in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04008).. Correlation analysis with the Spearman test showed that there was a correlation between the abundance of facial skin microbiota and conditions of sensitive skin types where the abundance of microbiota with the genus Corynebacterium was significantly lower in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04462), accompanied by the abundance of the genera Staphylococcus (P-value = 0,01235) and Streptococcus (P-value = 0,02184) which were significantly higher in this group. At the species level, Propionibacterium humerusii had a significantly higher abundance in the group with sensitive skin types (P-value = 0,04967). Thus, the abundance of skin microbiota has a correlation with the condition of sensitive skin types, especially in cases found in Indonesia. This can be used as a library in the development of specific skin care products for sensitive skin conditions. However, further analysis that can determine the abundance and diversity of microbiota down to the species level will be more helpful in the development of this research."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thahira Safrina Putri Adrianto
"Pigmented spotmerupakan fenotipe penuaan kulit yang umum terjadi di masyarakat Asia khususnya Indonesia, namun keberadaannya mengganggu banyak orang. Salah satu penyebab terjadinya pigmented spot adalah hiperpigmentasi yang diakibatkan oleh variasi p.Val92Met gen MC1R. Variasi p.Val92Met terjadi di situs pengikatan ligan sehingga akan menyebabkan penurunan fungsi gen. Hal tersebut akan menyebabkan kurang efektifnya kerja melanin dalam melindungi kulit dari sinar matahari. Akibatnya, melanosit terus memproduksi melanin sehingga terjadi hiperpigmentasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi asosiasi antara fenotipe pigmented spot di area dahi dengan variasi p.Val92Met gen MC1R pada populasi wanita Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode RFLP untuk mengidentifikasi genotipe yang dimiliki oleh 100 wanita yang berasal dari Indonesia dan setiap hari terpapar sinar matahari selama lebih dari sama dengan 1 jam. Data dianalisis menggunakan chi-square. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa fenotipe pigmented spot di area dahi tidak berasosiasi secara signifikan (p-value = 0,83). Faktor penyebabnya diprediksikan karena ukuran populasi yang sangat minim, metode phenotyping, gen yang bersifat polimorfik, dan fenotipe yang bersifat poligenik. Penelitian ini juga menghitung keseimbangan Hardy-Weinberg dan menyatakan bahwa populasi berada dalam keseimbagan Hardy-Weinberg.

Pigmented spot is a common skin aging phenotype among Asian especially Indonesian, however it frequently caused someone to get perturbed. One of the factors of pigmented spot development caused by p.Val92Met MC1R gene variation. This variation occurs in ligand binding site; hence it will reduce the gene function. This will cause melanin to be less effective in protecting the skin from sunlight. As a result, melanocytes continue to produce melanin resulting in hyperpigmentation. This study aimed to identify the association between p.Val92Met genotypes of MC1R gene polymorphism with pigmented spot on forehead in a Indonesian women population. This study used RFLP method identify genotypes within 100 women over 35 years old and exposed to sunlight for minimum 1 hour a day. Data were analyzed with chi-squared test. This study conveys that there is no significant association between between Single Nucleotide Polymorphism (SNP) p.Val92Met MC1R Gene with Pigmented Spot on Forehead in Indonesian Women Population (p-value = 0,83). The causal factors are predicted due to the very minimal population size, phenotyping methods, polymorphic genes, and polygenic phenotypes. This study also calculates the Hardy-Weinberg equilibrium and states that the population is in Hardy-Weinberg equilibrium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Ananda Putri
"Alopecia areata (AA) merupakan jenis kerontokan rambut pada manusia yang disebabkan oleh serangan sel-sel imun tubuh terhadap folikel rambut di fase anagen. Single nucleotide polymorphism (SNP) rs2476601 adalah salah satu varian gen yang terletak di gen protein tyrosine phosphatase non-receptor type 22 (PTPN22) dan diketahui berasosiasi dengan kemunculan AA berdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai negara. Perubahan basa sitosin menjadi timin pada posisi ke-1858 diprediksi menyebabkan penurunan kemampuan protein lymphoid-specific tyrosine phosphatase (Lyp) untuk menghambat aktivasi sel T. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asosiasi SNP rs2476601 dengan kemunculan fenotipe AA pada populasi Indonesia. Pengambilan sampel buccal swab dilakukan terhadap 50 pasien penderita AA dan 50 individu normal sebagai subjek kontrol. Penentuan genotipe subjek dilakukan dengan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi RsaI, lalu analisis statistik dilakukan dengan uji Fisher’s exact. Dari seluruh subjek yang diteliti, sebanyak 99% genotipe merupakan genotipe CC yang ditandai dengan 4 pita dan 1% genotipe merupakan genotipe CT yang ditandai dengan 5 pita. Tidak ditemukan adanya genotipe homozigot TT pada kedua kelompok studi. Populasi subjek yang terlibat dalam penelitian berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Nilai p yang ditemukan dari hasil uji Fisher’s exact tidak menunjukkan adanya asosiasi yang bermakna antara genotipe CT/TT dan kondisi AA (p>0,05). Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa rs2476601 gen PTPN22 tidak memiliki asosiasi terhadap kemunculan AA pada populasi di Indonesia.

Alopecia areata (AA) is a type of hair loss in human caused by the body's immune cells attacking hair follicles in the anagen phase. Single nucleotide polymorphism (SNP) rs2476601 is a gene variant located in the protein tyrosine phosphatase non-receptor type 22 (PTPN22) gene and associated with the emergence of AA based on studies conducted in various countries. The substitution of cytosine to thymine base at position 1858 decreases the ability of lymphoid-specific tyrosine phosphatase (Lyp) protein to inhibit T cell activation. This study aimed to determine the association of SNP rs2476601 with the appearance of the AA phenotype in the Indonesian population. Buccal swabs were extracted from 50 patients with AA and 50 normal individuals as control subjects. PCRRFLP technique were used to determine the subject’s genotype using the RsaI restriction enzyme, then the statistical analysis were conducted using Fisher’s exact test calculations. From all the subjects involved, 99% of the genotypes belonged to CC genotype indicated by four bands and 1% belonged to CT genotype indicated by five bands. No homozygous TT genotype was detected in both study groups. This study implies that the subject population involed is at Hardy-Weinberg equilibrium. However, the p-value generated from the Fisher’s exact test shows that there was no association between the CT/TT genotype and AA conditions (p>0.05). In conclusion, this study found that rs2476601 from the PTPN22 gene is not associated with the emergence of AA in the Indonesian population."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fiqih
"Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrome, MDS) adalah sejumlah gangguan yang terjadi akibat sumsum tulang tidak mampu menghasilkan sel-sel darah yang sehat.1 Diferensiasi sel prekursor darahterganggu, 2 dan apoptosis meningkat dengan signifikan sehingga sel-sel darah menjadi abnormal yang tidak sepenuhnya berkembang. 3 Gen PI-PLCß1 terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi. Mutasi gen PI-PLCß1 dapat memengaruhi peningkatan proliferasi sel blast pada MDS dan cenderung bertransformasi menjadi Leukemia Mieloblastik Akut (Acute Myeloblastic Leukemia, AML). Diketahui PI-PLCβ1 berperan dalam kontrol siklus sel pada transisi G1/S dan perkembangan G2/M. Disregulasi ekspresi gen PI-PLCß1 menyebabkan gangguan pada jalur pensinyalan yang melibatkan proses diferensiasi sel, sehingga terjadi perubahan diferensiasi sel prekursor darah yang menyimpang. Banyak faktor yang menyulitkan pengamatan dalam pemeriksaan sitogenetika pada pasien MDS. Sehingga pemeriksaan ekspresi gen PI-PLCß1 diharapkan akan menjadi pengkajian awal dalam menilai prognostik MDS. Desain penelitian deskriptif dan analitik pada 4 subjek penelitian (3 pasien MDS-MLD, 1 pasien MDS yang telah menjadi AML), dan kontrol pasien dengan kelainan hematologi lain (Multiple Mieloma) sebanyak 1 pasien, serta 1 kontrol sehat. Sebanyak 3/5 (80%) memiliki kelainan kariotip kompleks, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip ganda, dan 1/5 (20%) memiliki kelainan kariotip tunggal. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada 4 pasien (MDS dan AML). Sedangkan pada 1 kontrol pasien dengan kelainan hematologi lainnya memiliki ekspresi gen PI-PLCß1 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat. Ekspresi gen PI-PLCß1 lebih rendah pada pasien MDS dengan prognosis yang lebih buruk menurut skoring IPSS-R.

Myelodysplastic syndrome (MDS) is a number of disorders that occur due to the bone marrow is not able to produce healthy blood cells. 1 The differentiation of blood precursor cells is impaired, 2 and apoptosis increases significantly that the blood cells become abnormal and do not fully develop. 3 The PI-PLCß1 gene is involved in proliferation and differentiation. PI-PLCß1 gene mutations can affect the increase in blast cell proliferation in MDS and tend to transform into Acute Myeloid Leukemia (AML). It is known that PI-PLCβ1 plays a role in cell cycle control in the G1/S transition and G2/M development. Dysregulation of PI-PLCß1 gene expression causes disruption of signaling pathways that involve the process of cell differentiation, resulting in aberrant changes in blood precursor cell differentiation. Many factors complicate observations in the cytogenetic studies of MDS patients. Therefore, it is hoped that the examination of PI-PLCß1 gene expression will be an initial assessment in assessing the prognostic value of MDS. The study design was descriptive and analytic in 5 study subjects (3 MDS-MLD patients, 1 AML patient, and 1 MM patient). Most of the patients had complex karyotype abnormalities, the rest had multiple karyotype abnormalities and single karyotype abnormalities. PI-PLCß1 gene expression was decreased in all MDS and AML patients. Meanwhile, MM patients had normal PI-PLCß1 gene expression. However, the increase in IPSS-R scores in patients was not significantly associated with a decrease in the expression of the PI-PLCß1 gene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra
"Kulit mempunyai fungsi sebagai lini pertama melindungi dari faktor kimia maupun fisik, selain itu juga memiliki peran dalam proses metabolisme, termoregulasi, pertahanan serangan mikroorganisme, dan juga bagian dari sistem imunitas tubuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genetik, hormon, produksi sebum, tingkat hidrasi, dan mikrobiota komensal. Produksi sebum dipengaruhi dari lokasi, kepadatan ujung saluran kelenjar, dan aktifitas kelenjar sebasea. Faktor tingkat hidrasi pada kulit tergantung pada adanya komponen higroskopis atau natural moisturizing factor (NMF) yang berada pada sel stratum korneum dan lipid antar sel yang mengelilingi sel. Pengaruh produksi sebum dan tingkat hidrasi dipengaruhi oleh mikroorganisme komensal, sebagaimana fungsi kulit sebagai ekosistem. Teknik sekuensing telah menjadi pilihan untuk mempelajari mikrobiota kulit, karena bisa melihat sampai tingkat kelimpahan mikrobiota yang tidak bisa dilakukan dengan cara kultur dan isolasi. Analisis dengan menggunakan Next Generation Sequencing (NGS) dengan sekuensing amplikon 16S rRNA mempunyai keuntungan yaitu hemat biaya, karena hanya memakai ukuran gen yang relatif kecil dan ukuran amplikon yang pendek. Selain itu high-throughput ribosomal community profiling mengandung sekuens dan beberapa daera hipervariabel (V3-V4 adalah regio yang dipakai untuk bakteri), yang dapat digunakan untuk menyimpulkan komposisi taksonomi komunitas. Analisis sekuensing 16s rRNA dengan Qiime2 memberikan hasil adanya perbedaan signifikan profil mikrobiota wajah sehat dengan parameter tingkat sebum dan tingkat hidrasi terutama pada genus Cutabacterium dan Neisseria spp.

The skin has a function as the first of protection from chemical and physical factors, besides that it also has a role in metabolic processes, thermoregulation, defense against attacks from microorganisms, and is also part of the body's immune system. It is influenced by factors such as genetics, hormones, sebum production, hydration level, and commensal microbiota. Sebum production is influenced by the location, the density of the duct ends of the glands, and the activity of the sebaceous glands. The hydration level factor in the skin depends on the presence of a hygroscopic component or natural moisturizing factor (NMF) which is present in the stratum corneum cells and the intercellular lipids that surround the cells. The influence of sebum production and hydration levels is influenced by commensal microorganisms, as well as the function of the skin as an ecosystem. Sequencing techniques have become the preferred method of studying skin microbiota, because they can see to an extent the abundance of microbiota that cannot be done by culture and isolation. Analysis using Next Generation Sequencing (NGS) with 16S rRNA amplicon sequencing has the advantage of being cost-effective, because it only uses relatively small gene sizes and short amplicon sizes. In addition, high-throughput ribosomal community profiling contains sequences and several hypervariable regions (V3-V4 are the regions used for bacteria), which can be used to infer the taxonomic composition of the community. Analysis of 16s rRNA sequencing with Qiime2 showed significant differences in healthy facial microbiota profiles with parameters of sebum level and hydration level, especially in the genus Cutabacterium and Neisseria spp."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Dwininda
"Keseimbangan berbagai jenis bakteri pada kulit sangat penting dalam menjaga kesehatan kulit. Permasalahan pada kulit wajah yang muncul salah satunya disebabkan oleh disbiosis mikroba. Penelitian dilakukan untuk menganalisis keberagaman mikrobiom bakteri yang terdapat pada kulit wajah dengan kondisi pH dan kelembaban beragam. Metode analisis diversitas dengan Next Generation Sequencing 16s rRNA. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 144 sampel. Hasil analisis pada penelitian ini ditemukan bahwa kelas filum bakteri tertinggi Actinobacterium (49,72%), Proteobacterium (29,86%) dan Firmicutes (18,64%). Pada genus Cutibacterium (41,48%), Neisseriaceae (20,29), Staphylococcus (10,16%) ditemukan terbanyak pada kulit wajah dengan nilai kondisi pH dan kelembaban berbeda. Analisis diversitas alfa dengan indeks Chao1 (p=0,05) dan Faith PD(p=0.004) menunjukan kelimpahan mikrobiom signifikan lebih tinggi ditemukan pada pH tinggi dibandingkan pH normal. Analisis diversitas Alfa pada kelembaban tidak ditemukan signifikan terhadap kelimpahan bakteri mikrobiom wajah. Hasil diversitas beta ditemukan perbedaan kelimpahan mikrobiom bakteri pada sepuluh genus tertinggi yang ditemukan pada pH normal dan pH tinggi serta kelompok kelembaban dengan sangat lembab, lembab dan kering. Kesimpulan penelitian profil genus Cutibacterium, Neisseriaceae, Staphylococcus bakteri paling banyak ditemukan pada pH tinggi dan pH normal seta kelembaban sangat lembab, lembab dan kering. Cutibacterium, Neisseriaceae dan Staphylococcus menunjukan adanya peningkatan pH kulit maka kelimpahan bakteri tersebut semakin meningkat. Pada kelembaban kulit, kelimpahan Cutibacterium dan Staphylococcus menurun seiring penurunan nilai kelembaban kulit.

Balancing various types of bacteria on the skin is crucial for maintaining skin health. One of the issues that arise with facial skin is caused by microbial dysbiosis. Research was conducted to analyze the diversity of bacterial microbiomes on the facial skin with varying pH and moisture conditions. The diversity analysis method used Next Generation Sequencing 16s rRNA, and the study included 144 samples. The results of this research revealed that the highest bacterial phylum classes were Actinobacterium (49.72%), Proteobacterium (29.86%), and Firmicutes (18.64%). The genera Cutibacterium (41.48%), Neisseriaceae (20.29%), and Staphylococcus (10.16%) were the most abundant on the facial skin with different pH and moisture conditions. Alpha diversity analysis using Chao1 index (p=0.05) and Faith PD (p=0.004) indicated significantly higher microbial abundance found in high pH compared to normal pH. However, there was no significant difference in alpha diversity concerning the moisture level and facial bacterial microbiome abundance. Beta diversity analysis showed differences in bacterial microbiome abundance in the top ten genera found between normal pH and high pH, as well as between moisture groups categorized as very moist, moist, and dry. In conclusion, the research profiled the genera Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus as the most found bacteria in high pH and normal pH conditions, as well as very moist, moist, and dry moisture levels. Cutibacterium, Neisseriaceae, and Staphylococcus showed an increase in skin pH resulting in an increase in the abundance of these bacteria. On the other hand, the abundance of Cutibacterium and Staphylococcus decreased with decreasing skin moisture levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rana Fasya Nuzula
"Latar Belakang Alopesia androgenetik pria (AGA), atau pola kebotakan pria, memengaruhi 30-50% pria pada usia 50 tahun dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan hormonal. Faktor lingkungan seperti konsumsi alkohol juga dapat berperan dalam perkembangan AGA. Alkohol dikonsumsi secara luas dan menimbulkan risiko kesehatan, dan kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA telah dikemukakan, terutama pada pria. Studi ini mengeksplorasi kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA pria di Jabodetabek, Indonesia, yang bertujuan untuk memperjelas hubungan ini dan implikasinya terhadap kesehatan masyarakat. Metode Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder dari populasi yang tinggal di Jabodetabek, Indonesia. Studi ini menggunakan formulir persetujuan, kuesioner dengan informasi yang diperlukan untuk studi, dan hasil trikoskopi. Hasil Dari 144 responden, sebagian besar berusia paruh baya (25-44 tahun, 66%) dan berasal dari etnis campuran (23,6%). Prevalensi alopesia androgenetik pria di Jabodetabek adalah 15,3%, dan prevalensi konsumsi alkohol adalah 24,3%. Rasio odds (OR=1,567) menunjukkan bahwa konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria. Namun, interval kepercayaan (95%CI=0,581, 4,222) dan Uji Chi-Square (p=0,372) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi alkohol dan alopesia androgenetik. Kesimpulan Meskipun konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria, temuan ini secara statistik tidak signifikan. Oleh karena itu, tidak ada hubungan yang signifikan yang dapat ditarik antara keduanya. Studi selanjutnya dengan analisis konsumsi alkohol yang lebih komprehensif, seperti kuantitas dan durasi, diperlukan untuk mendukung temuan ini.

Introduction Male androgenetic alopecia (AGA), or male pattern baldness, affects 30-50% of men by age 50 and is influenced by genetic and hormonal factors. Environmental factors like alcohol consumption may also play a role in AGA development. Alcohol is widely consumed and poses health risks, and a possible link between alcohol consumption and AGA has been suggested, especially in men. This study explores the possible association between alcohol consumption and male AGA in Jabodetabek, Indonesia, aiming to clarify this relationship and its public health implications. Method This analytical cross-sectional study used secondary data from a population residing in Jabodetabek, Indonesia. This study used informed consent forms, questionnaires with information needed for the study, and trichoscopy results. Results Of 144 respondents, most were middle-aged (25-44 years old, 66%) and of mixed ethnicity (23.6%). Male androgenetic alopecia prevalence in Jabodetabek was 15.3%, and alcohol consumption prevalence was 24.3%. The odds ratio (OR=1.567) indicated that alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia. However, the confidence interval (95%CI=0.581, 4.222) and Chi-Square Test (p=0.372) showed no significant association between alcohol consumption and androgenetic alopecia. Conclusion While alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia, this finding was statistically insignificant. Therefore, no significant association can be drawn between the two. Future studies with more comprehensive analyses of alcohol consumption, such as quantity and duration, are needed to support these findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vinchia
"Pasien trisomi21 memiliki peningkatan resiko leukemia terutama tipe Leukemia Mielositik Akut(LMA). Proses leukemogenesis terjadi dalam 3 hit. Hit pertama adalah trisomi 21, hit kedua adalah varian gen GATA1 dan hit ketiga adalah mutasi somatik lainnya. Hit pertama dan kedua cukup untuk menyebabkan Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola varian gen GATA1 dalam memengaruhi TAM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pasien dianamnesa dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan patologi klinik dan ekstraksi DNA. DNA akan dilakukan PCR, elektroforesis dan Sanger Sequencing. Data akan dilakukan analisis bioinformatik. Subyek terbanyak berusia 0-1 bulan(45,75%), dilahirkan oleh ibu <35 tahun(78,1%) dan lebih banyak dijumpai pada kehamilan multipara(71,8%). Kelainan laboratorium yang paling sering adalah anemia, dan lebih banyak dijumpai pada pasien 0-1 bulan, kelahiran aterm dari ibu primipara. Dari hasil analisis bioinformatik ditemukan 79 varian dan pada 32 pasien, di antaranya 10 silent, 67 missense dan 2 nonsense. Pada pengujian patogenisitas, nonsense mutation dapat diklasifikasikan sebagai pathogenic. Pada pasien TAM lebih banyak dijumpai hanya gejala laboratorium(62.5%) daripada pasien dengan gejala klinis dan laboratorium(37.5%). Keseluruhan varian nonsense menunjukkan gejala klinis dan laboratorium, pada varian missense didapatkan 47,7% sampel hanya dengan gejala laboratorium, sedangkan pada silent variant didapatkan 30% sampel dengan gejala laboratorium.

Trisomy21 have increased risk of Acute Myelocytic Leukemia(AML). Leukemogenesis occurs in 3 hits. The first hit was trisomy21, the second hit was GATA1 gene variant and third hit was somatic mutation. The first and second hit were enough to cause Transient Abnormal Myelopoiesis(TAM). The purpose of this study was to determine the variant of GATA1 gene in influencing TAM. This research is descriptive cross-sectional research. Anamnesis dan physical examination will be done. Blood samples will be taken. DNA will be further processed through PCR, electrophoresis and Sanger Sequencing. The data will be analyzed bioinformatically. Most subjects were aged 0-1month(45.75%), borned to mothers <35years (78.1%) and were more common in multiparous pregnancies(71.8%). The most frequent laboratory abnormalities are anemia, these are more common in patients aged 0-1month, born aterm from primiparous mothers. From the results of bioinformatic analysis, 79 variants were found in 32patients, of which 10were silent, 67were missense and 2were nonsense. In pathogenicity testing, we found this nonsense variant is pathogenic. TAM patients were frequently found with laboratory symptoms only(62.5%). All of the nonsense variants show clinical and laboratory symptoms. In missense variant, 47.7% of the samples only show laboratory symptoms, while 30%silent variant shows laboratory symptoms only."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>