Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dayu Satriani
"Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan tumor ganas saluran cerna dan menjadi penyebab kematian keempat terbanyak akibat penyakit keganasan di seluruh dunia. Gejala klinik KKR sering tidak spesifik mengakibatkan sebagian besar kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Kolonoskopi masih digunakan sebagai baku emas penegakan diagnosis KKR, namun terdapat kendala akses pasien untuk kolonoskopi akibat keterbatasan fasilitas. Pemeriksaan darah samar merupakan metode penapisan awal KKR yang relatif murah dan tidak invasif. Pemeriksaan darah samar yang sering dilakukan menggunakan metode guaiac-based FOBT (gFOBT) atau Fecal Immunochemical Tes (FIT). Sistem skoring Asia Pasific Colorectal Cancer Screening (APCS) merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi penapisan pasien berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita neoplasma kolorektal, dan riwayat merokok. Saat ini di Indonesia belum diketahui peran kombinasi sistem skoring APCS dan pemeriksaan darah samar feses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penapisan karsinoma kolorektal di Indonesia. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan darah samar feses dan skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Penelitian ini memeriksa 78 pasien tersangka KKR yang diperiksa darah samar feses metode gFOBT dan FIT, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pemeriksaan FIT memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi dibandingkan metode gFOBT. Hasil uji diagnostik kombinasi pemeriksaan darah samar feses dengan skor APCS ≥ 2 menunjukkan kombinasi skor APCS dengan metode FIT memiliki nilai spesifisitas, prediksi positif, prediksi negatif yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi metode gFOBT dan skor APCS ≥ 2.

Colorectal carcinoma (CRC) is a malignant tumor of the digestive tract and the fourth cause of death due to malignancy throughout the world. The clinical symptoms of CRC are not specific resulting in advanced stage when first diagnosed. Colonoscopy is used as the gold standard for the diagnosis of CRC, but there are difficulties for patient to access colonoscopy due to limited facilities. Occult blood test is relatively cheap and non-invasive initial screening methods. Occult blood test is often done using the guaiac-based (gFOBT) or Fecal Immunochemical Test (FIT) methods. The Asia-Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system is a tool to increase patient screening efficiency based on risks factor developed in the Asia-Pacific region, including age, sex, family history of colorectal neoplasm, and smoking history. At present the role of the APCS scoring system and fecal occult blood test to increase effectiveness and efficiency of colorectal carcinoma screening in Indonesia is still unknown. This study was aimed to analyze the combination of feccal occult blood test with APCS score showed in accordance with histopatology results. FIT has better predictive value compared to gFOBT. Combination of APCS score ≥ 2 and FIT is also gives higher specificity, positive predictive value, and negative predictive value compared when combined with gFOBT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ricka Christiani
"Karsinoma Kolorektal (KKR) merupakan keganasan keempat terbanyak dan penyebab kematian ketiga di dunia. Gejala awal KKR yang tidak jelas mengakibatkan sebagian besar pasien datang dalam stadium lanjut. Kolonoskopi sebagai standar diagnostik bersifat invasif, mahal, membutuhkan banyak persiapan, dan tidak dimiliki oleh semua rumah sakit di Indonesia. Pemeriksaan CEA serum saat ini hanya digunakan untuk menilai prognosis. Pemeriksaan CEA feses memberikan harapan dalam deteksi KKR dan terdapat peningkatan sensitivitas dan spesifisitas apabila dikombinasikan dengan parameter lain. Sistem skoring Asia Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita KKR dan riwayat merokok dapat meningkatkan efisiensi penapisan pasien KKR. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan CEA feses dan serum serta skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Desain penelitian potong lintang terhadap 60 pasien terduga KKR yang diperiksa CEA feses dan serum, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna kadar CEA feses, CEA serum dan skor APCS pada kelompok KKR dan non-KKR. Median kadar CEA feses kelompok KKR dan non-KKR adalah 10726 ng/mL (32,9 – 30000 ng/mL) dan 3671,8 ng/mL (35,9 – 29454,8 ng/mL), median kadar CEA serum kelompok KKR dan non-KKR adalah 8,95 ng/mL (0,5 – 7757,9 ng/mL) dan 1,75 ng/mL (0,5 – 5,8 ng/mL), dan skor APCS kelompok KKR dan non-KKR adalah 3 dan 2. Berdasarkan hasil analisis multivariat variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik dalam probabilitas terjadinya KKR adalah CEA feses dan CEA serum dengan rumus y = 1/ (1 + Exp (0,93 –1,56*CEA feses – 1,87*CEA serum)).

Colorectal Cancer (CRC) is the fourth most common malignancy and third most deadly cancer in the world. The early nonspecific symptoms of CRC resulting most patients come in an advanced stage. Colonoscopy as a diagnostic standard is invasive, expensive, requires some preparation, and not available in all hospitals in Indonesia. Serum CEA is currently used only for prognostic purposes. Fecal CEA has advantage in detection of CRC and sensitivity and specificity increased as combined with the other parameters. The Asia Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system based on data of age, sex, family history of CRC and smoking history improve screening efficiency of CRC patients. This study analyzed combination of fecal and serum CEA, and APCS scores with histopathology as the gold standard. This is a cross sectional study in 60 suspected CRC who were examined for fecal and serum CEA, calculated APCS scores and performed colonoscopic biopsies. In this study, there were significant differences of fecal CEA, serum CEA and APCS scores in CRC and non-CRC groups. The median fecal CEA levels in CRC and non-CRC groups were 10726 ng/mL (32.9 – 30000 ng/mL) and 3671.8 ng/mL (35.9 – 29454.8 ng/mL), the median serum CEA levels in CRC and non-CRC groups were 8.95 ng/mL (0.5 – 7757.9 ng/mL) and 1.75 ng/mL (0.5 – 5.8 ng/mL), and APCS scores of CRC and non-CRC groups were 3 and 2. Based on the multivariate analysis, fecal and serum CEA were variables statistically significance in probability of CRC with formula y = 1/ (1 + Exp (0.93 – 1.56*fecal CEA – 1.87*serum CEA))."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riki Alkamdani
"Latar belakang: Diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak sulit ditegakkan karena gejala tidak khas dan sulit memperoleh sampel sputum. Pemeriksaan antigen lipoarabinomannan (LAM) urin telah direkomendasikan oleh WHO. Namun, penelitian pada anak tanpa HIV di Indonesia masih sangat terbatas. Mengingat kesulitan dalam mendapatkan sampel sputum pada anak tanpa HIV, diperlukan metode diagnostik non-sputum yang mudah dilakukan, memberikan hasil cepat, serta dapat diterapkan langsung di lokasi pasien (point-of-care testing atau POCT).
Tujuan: Menilai dan membandingkan akurasi diagnostik dua alat deteksi LAM urin yaitu Abbott Determine TB LAMAg TM (Abbott LAM) dan Fujifilm SILVAMP TB LAM TM (Fuji LAM) untuk mendiagnosis TB pada anak.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan anak berusia 0 - 18 tahun dengan dugaan TB di tiga rumah sakit rujukan nasional. Data dikumpulkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pengambilan sampel urin menggunakan metode midstream atau urine collector. Sampel urin kemudian diperiksa menggunakan Abbott LAM dan Fuji LAM, lalu dibandingkan dengan standar diagnosis TB menurut Pedoman Kemenkes RI 2023 (TB klinis dan TB terkonfirmasi bakteriologis) serta standar pemeriksaan bakteriologis (GeneXpert®).
Hasil: Pada periode Oktober hingga Desember 2024, sebanyak 77 pasien dianalisis, dengan 18 pasien terkonfirmasi bakteriologis dan 22 pasien didiagnosis TB secara klinis.
Dibandingkan dengan alur diagnosis Kemenkes RI 2023 sebagai standar: Abbott LAM memiliki sensitivitas 52% dan spesifisitas 48,6%, Fuji LAM memiliki sensitivitas 22,5% dan spesifisitas 97,3%. Dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis sebagai standar: Sensitivitas dan spesifisitas Abbott LAM menurun menjadi 47,1% dan 42,5%, sensitivitas dan spesifisitas Fuji LAM meningkat menjadi 47% dan 97,5%.
Kesimpulan: Kedua alat memiliki sensitivitas yang lebih rendah dari standar minimal WHO (65%), sehingga tidak direkomendasikan untuk skrining atau diagnosis awal TB pada anak. Namun, Fuji LAM menunjukkan spesifisitas tinggi dan berpotensi menjadi alat diagnostik penguat dalam mendeteksi TB pada anak yang menunjukkan gejala, terutama bagi anak yang mengalami kesulitan dalam memperoleh sampel untuk pemeriksaan bakteriologis

Background: Diagnosing tuberculosis (TB) in children is challenging due to non-specific symptoms and difficulties in obtaining sputum samples. The World Health Organization (WHO) has recommended urinary lipoarabinomannan (LAM) antigen testing for TB detection. However, studies on HIV-negative children in Indonesia remain very limited. Given the challenges in obtaining sputum samples from HIV-negative children, a non-sputum diagnostic method that is easy to perform, provides rapid results, and can be implemented at the point of care (POCT) is needed.
Objective: To evaluate and compare the diagnostic accuracy of two urinary LAM detection tests, Abbott Determine TB LAM Ag™ (Abbott LAM) and Fujifilm SILVAMP TB LAM™ (Fuji LAM), for diagnosing TB in children.
Methods: This cross-sectional study involved children aged 0–18 years with suspected TB from three national referral hospitals. Data collection included medical history, physical examination, and urine sample collection using either the midstream method or a urine collector. Urine samples were tested using Abbott LAM and Fuji LAM, and results were compared with the 2023 Indonesian Ministry of Health TB diagnostic guidelines (clinical TB and bacteriologically confirmed TB) as well as the bacteriological testing standard (GeneXpert®).
Results: Between October and December 2024, a total of 77 patients were analyzed, including 18 bacteriologically confirmed TB cases and 22 clinically diagnosed TB cases. When compared to the 2023 Indonesian Ministry of Health TB diagnostic algorithm, Abbott LAM showed a sensitivity of 52% and specificity of 48.6%, while Fuji LAM had a sensitivity of 22.5% and specificity of 97.3%. When using bacteriological testing (GeneXpert®) as the reference standard, the sensitivity and specificity of Abbott LAM decreased to 47.1% and 42.5%, respectively, whereas Fuji LAM demonstrated improved performance with a sensitivity of 47% and specificity of 97.5%.
Conclusion: Both tests demonstrated lower sensitivity than the WHO-recommended minimum standard (65%), making them unsuitable for screening or initial TB diagnosis in children. However, Fuji LAM exhibited high specificity, suggesting that it may serve as a valuable additional diagnostic tool for children with TB symptoms who face challenges in providing sputum samples for bacteriological confirmation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library