Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jasmine Faradissa Testa
Abstrak :
Merek memiliki peran penting dalam jalannya kegiatan usaha terkhusus bagi produsen (pemilik usaha) dan konsumen. UU No. 20 Tahun 2016 memberikan ketentuan terkait kriteria merek yang tidak dapat diterima (Pasal 20) dan kriteria merek yang ditolak (Pasal 21). Dalam hal adanya suatu merek terdaftar yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21, maka pihak yang berkepentingan atau pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan pembatalan merek. Tahun 2021-2022 pemilik Merek Gudang Garam mengajukan gugatan pembatalan atas Merek Gudang Baru sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 4/Pdt.Sus-Hki/Merek/2021/PN Niaga Sby sebagaimana dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 427 K/Pdt.Sus-Hki/2022. Pada putusan tersebut Majelis Hakim menjatuhkan salah satu amar putusan yang pada pokoknya memerintahkan Direktorat Merek untuk menolak seluruh pendaftaran merek-merek dengan basis kata Gudang Baru, Gudang Baru Origin, dan Gedung Baru yang mempunyai persamaan pada pokoknya dan/atau secara keseluruhan dengan Merek-Merek Terkenal Gudang Garam, dengan ketentuan apabila Direktorat Merek tetap mengabulkan permohonan merek tersebut maka pendaftaran merek dengan sendirinya batal demi hukum. Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menyelesaikan dan menjatuhkan putusan a quo tidak sesuai dengan ketentuan, prosedur dan pengaturan terkait pembatalan merek sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 92 UU No. 20 Tahun 2016, serta pengaturan penolakan pendaftaran merek khususnya Pasal 19 ayat (3) Permenkumham No. 67 Tahun 2016. Seharusnya suatu putusan khususnya putusan perdata tidak memberikan dampak terhadap pihak dan objek perkara diluar sengketa. Bunyi putusan seperti ini merupakan bunyi putusan yang baru dalam putusan sengketa pembatalan merek yangmana juga menimbulkan dampak hukum terhadap permohonan pendaftaran merek yang melibatkan beberapa aspek yakni terhadap Direktorat Merek, terhadap pihak ketiga, dan terhadap konsep pembatalan itu sendiri. ......Trademark plays an important role in business activities, especially for producers (business owners) and consumers. Law No. 20 of 2016 regulates criteria for unacceptable trademark (Article 20) and the criteria for to be rejected trademark (Article 21). In the case of a registered trademark does not comply with the provisions of Article 20 and Article 21, interested parties can file a lawsuit for the cancellation of the relevant trademark. In 2021 to 2022 the owner of Gudang Garam Trademark filed a lawsuit for the cancellation of the Gudang Baru Trademark, as decided in Commercial Court Decision No. 4/Pdt.Sus-Hki/Merek/2021/PN Niaga Sby, as confirmed by Supreme Court Decision No. 427 K/Pdt.Sus-Hki/2022. In this case, the panel of judges issued a ruling that ordered the Trademark Office to reject all trademark application that contains the words "Gudang Baru," "Gudang Baru Origin," and "Gedung Baru" that are substantively similar or identical to the well-known Gudang Garam trademark, and if the Trademark Office still grants the registration of such trademarks, the registration will be automatically considered null and void. The judge, in performing their duties and authority in resolving and issuing the aforesaid decission did not comply with the procedures, and regulations related to trademark cancellation as stipulated in the applicable legislation, particularly Article 92 of Law No. 20 of 2016, as well as the regulations concerning refusal of a trademark registration Article 19 paragraph (3) of Minister of Law and Human Rights Regulation No. 67 of 2016. A judge’s civil decision are not supposed to create impact on parties and matters out of the dispute. Such wording is a new and out of the usual of trademark cancellation disputes, which would have legal implications to trademark application that involves several aspects namely the Trademark Office, third parties, and the concept of cancellation itself.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Mutiara Mastiur
Abstrak :
Indonesia memiliki kewenangan tertinggi untuk mengatur tatanan negara, termasuk terhadap hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu sesuai dengan Pasal 28G Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Penegakan hak ini relevan dengan perkembangan teknologi yang kian masif hingga mencapai Revolusi Industri 5.0, yang mana hampir seluruh aktivitas digital menggunakan data pribadi sehingga membuat data pribadi menjadi rentan untuk disalahgunakan. Salah satu produk dari revolusi industri yang juga menyinggung data pribadi adalah automated decision making atau pengambilan keputusan berdasarkan pemrosesan secara otomatis. Oleh sebab itu, terhadap aktivitas tersebut, data pribadi dilindungi oleh General Data Protection Regulation (“GDPR”) maupun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”). Perumusan dari penulisan ini akan membahas pertanyaan terkait perbandingan pengaturan pengambilan keputusan berdasarkan pemrosesan secara otomatis serta hak pengajuan keberatannya antara Hukum Uni Eropa hingga hal yang dapat Indonesia pelajari dari pengaturan perlindungan data pribadi terhadap pengambilan keputusan berdasarkan pemrosesan secara otomatis. Penulisan dari penelitian ini dikaji dengan penelitian hukum doktrinal, yang mana disusun berdasarkan analisis yuridis normatif. Dari penelitian ini, dapat dipahami bahwasanya meskipun kedua undang-undang tersebut melindungi data pribadi dari automated decision making dengan hak pengajuan keberatan, namun ketiadaan mengenai penjelasan maupun mekanisme hak pengajuan keberatan dan penilaian dampak perlindungan data pribadi yang mengurangi tingkat proteksi dari pengaturan data pribadi di Indonesia. Berbeda halnya dengan pengaturan penilaian kredit, Uni Eropa mengaturnya dengan Guidelines’ European Bank Authority namun tidak mengaturnya secara khusus, sedangkan Indonesia sendiri mengaturnya dengan Peraturan OJK 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum. Maka dengan penulisan ini, penulis berharap pemerintah dapat menyusun pengaturan hak pengajuan keberatan atas automated decision making lebih lengkap dan diselaraskan dengan peraturan terkait, yang mana dalam penulisan ini adalah peraturan tentang penilaian kredit. ......Indonesia has the highest authority to regulate the state order, including the rights to life, freedom, and safety of individuals by Article 28G Paragraph 1 of the NRI Constitution of 1945. The enforcement of this right is relevant to the increasingly massive technological developments to reach the Industrial Revolution 5.0, where almost all digital activities use personal data, making personal data vulnerable to misuse. One of the products of the industrial revolution that also alludes to personal data is  automated decision making or decision making based on automated processing. Therefore, for such activities, personal data is protected by the General Data Protection Regulation ("GDPR") and Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection ("PDP Law"). The formulation of this paper will discuss questions related to the comparison of decision-making arrangements based on automated processing and the right to object between EU Law to what Indonesia can learn from personal data protection arrangements against decision-making based on automated processing. The writing of this study is reviewed with doctrinal legal research, which is compiled based on normative juridical analysis. From this research, it can be understood that although the two laws protect personal data from automated decision making with the right to object, there is no explanation or mechanism for the right to object and assess the impact of personal data protection that reduces the level of protection of personal data regulation in Indonesia. Unlike the credit scoring arrangement, the European Union regulates it with the European Bank Authority Guidelines but does not regulate it specifically, while Indonesia itself regulates it with OJK Regulation 42/POJK.03/2017 concerning the Obligation to Formulate and Implement Bank Credit or Financing Policies for Commercial Banks. So with this writing, the author hopes that the government can compile a regulation on the right to file objections to automated decision making more completely and be aligned.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Apsari
Abstrak :
Praktik jurnalisme kuning marak dilakukan oleh pers dalam menjalankan kegiatan jurnalistik sehingga berpotensi melanggar privasi subjek berita. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pengaturan perlindungan privasi terhadap praktik jurnalisme kuning yang terjadi berdasarkan hukum komunikasi massa di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini juga akan menganalisis keseimbangan antara hak kemerdekaan pers dan hak privasi dalam kegiatan jurnalistik oleh pers dan menganalisis bagaimana upaya hukum subjek berita untuk memulihkan haknya. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Simpulan yang didapatkan adalah pengaturan perlindungan privasi dalam kegiatan jurnalistik di Indonesia belum komprehensif sehingga ditemukan praktik jurnalisme kuning yang melanggar privasi subjek berita dalam bentuk pengungkapan informasi privat dan juga publikasi yang tidak benar. Kemudian, pers berkewajiban untuk melindungi hak privasi subjek berita disamping hak kemerdekaannya dengan memperhatikan prinsip kepentingan umum, prinsip ekspektasi yang wajar, dan juga penerapan doktrin pengetahuan tentang risiko pengungkapan informasi kepada orang lain. Dalam upaya memulihkan haknya, subjek berita yang dirugikan dapat mengajukan mekanisme Hak Jawab kepada pers bersangkutan, pengaduan Hak Jawab kepada Dewan Pers, serta melalui upaya hukum administratif, perdata, dan pidana. Selain itu, pers juga bertanggungjawab terhadap penghormatan privasi subjek beritanya melalui pelaksanaan penilaian dampak privasi. ......The practice of yellow journalism is widely practiced by the press in carrying out journalistic activities, potentially violating the privacy of news subjects. This raises the question of how the regulation of privacy protection against the practice of yellow journalism occurs based on mass communication law in Indonesia. Furthermore, this paper will also analyze the balance between the right to press freedom and the right to privacy in journalistic activities by the press and analyze how the legal efforts of news subjects to restore their rights. This paper uses doctrinal legal research method. The conclusion obtained is that the regulation of privacy protection in journalistic activities in Indonesia is not yet comprehensive so that there are practices of yellow journalism that violate the privacy of news subjects in the form of disclosure of a private fact and also false light. Then, the press is obliged to protect the privacy rights of news subjects in addition to their freedom rights by paying attention to the principle of public interest, the principle of reasonable expectation of privacy, and also the application of the doctrine of assumption of risk. In an effort to restore their rights, the aggrieved news subject can submit a Right of Reply mechanism to the relevant press, a Right of Reply complaint to the Press Council, as well as through administrative, civil and criminal remedies. In addition, the press is also responsible for respecting the privacy of its news subjects through the implementation of privacy impact assessment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Ilysia Irfana Ampri
Abstrak :
Sebagai suatu negara yang kaya akan warisan budaya, Indonesia kerap mengembangkan ekonomi kreatif guna mendorong perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah yang secara bersamaan dapat memberikan kontribusi terharap perekonomian. Pada tahun 2019, subsektor ekonomi kreatif tersendiri telah menyumbang Rp1.153,4 Triliun atau 7.3% terhadap total PDB nasional. Melihat potensi para pelaku ekonomi kreatif, pemerintah memperkenalkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang salah satunya adalah jaminan fidusia atas KI melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Meskipun jaminan fidusia atas kekayaan intelektual telah sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2016 tentang Hak Cipta, hingga saat ini, belum terdapat penerapan atas konsep tersebut di Indonesia. Sedangkan, beberapa negara yang terkenal akan infrastruktur kekayaan intelektual yang dimilikinya sudah banyak menerapkan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual, seperti Inggris dan Singapura. Maka dari itu, penelitian ini membandingkan pengaturan serta penerapan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual di Indonesia, Inggris, dan Singapura guna memberikan rekomendasi agar jaminan fidusia atas KI dapat diterapkan secara masif dan menguntungkan para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analitis sebagai metode penelitian. Pada Skripsi ini, terdapat penemuan yang dapat dimanfaatkan guna mengoptimalkan penerapan dari jaminan fidusia berbasis kekayaan intelektualm yakni diperlukannya langkah bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk menggerakan perbankan dalam penerapan dari skema ini, memastikan bahwa para penilai memiliki kapabilitas untuk menghitung valuasi atas KI, dan diperlukannya pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme eksekusi jaminan fidusia atas KI. ......As a country rich in cultural heritage, Indonesia realizes the potential of its creative economy in developing micro, small, and medium and contributing to the nation’s economy. In 2019, the creative economy sub-sector alone contributed IDR 1,153.4 trillion or 7.3% of the total national GDP. Seeing the potential of creative economy actors, the Indonesian government introduced “intellectual property-based financing schemes”, which consists of fiduciary guarantees for intellectual property as regulated through Government Regulation no. 24 of 2022, a derivative regulation from Law no. 24 of 2019 concerning the Creative Economy. Although fiduciary guarantees for intellectual property have previously been regulated through Law no. 13 of 2016 concerning Patents and Law no. 28 of 2016 concerning Copyright, until now, there has been no implementation of this concept in Indonesia. Meanwhile, several countries that are known for their intellectual property infrastructure have implemented fiduciary guarantees for intellectual property, such as the United Kingdom and Singapore. Therefore, this study compares the regulation and implementation of fiduciary guarantees for intellectual property in Indonesia, the United Kingdom, and Singapore to provide recommendations for Indonesia so that fiduciary guarantees for intellectual property can be implemented massively and benefit creative economy actors. This thesis uses a normative juridical approach with an analytical descriptive typology as a research method. In this thesis, there are findings that can be used to optimize the application of intellectual property-based fiduciary guarantees, namely the need for steps for the Financial Services Authority to mobilize banks in the implementation of this scheme, ensuring that appraisers have the capability to calculate valuations on intellectual property, and the need for more regulation further regarding the mechanism of execution of fiduciary guarantees on intellectual property assets.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sondakh, Stephanie Ruriko
Abstrak :
Penggunaan kendaraan bermotor listrik (electric vehicle) sebagai suatu teknologi terbarukan semakin meningkat demi mengurangi polusi udara dan mencapai target net zero emission pada tahun 2060 sehingga kehadiran perlindungan hukum terhadap hak eksklusif inventor kendaraan bermotor listrik menjadi urgensi untuk diterapkannya program percepatan pendaftaran paten melalui kebijakan green patent incentive. Green patent incentive merupakan kebijakan untuk memberikan insentif kepada pendaftar paten teknologi hijau berupa percepatan proses pendaftaran paten. Kebijakan green patent incentive dapat mempercepat proses pendaftaran paten sehingga pemberian paten atas teknologi ramah lingkungan juga akan semakin meningkat. Hal ini sebagaimana terbukti pada negara-negara lain yang telah menerapkan kebijakan green patent incentive, seperti Canada dan Republik Rakyat China (RRC). Namun demikian, Indonesia belum memiliki kebijakan yang serupa dengan kebijakan green patent incentive yang berlaku di Canada dan RRC. Masih belum ada insentif yang diberikan terhadap pendaftaran paten teknologi yang ramah lingkungan, khususnya teknologi kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas terkait penerapan kebijakan green patent incentive sebagai solusi untuk mempercepat proses pendaftaran paten agar dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap inventor teknologi ramah lingkungan, khususnya teknologi kendaraan bermotor listrik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menganalisis penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta dengan membandingkan antara kebijakan yang berlaku di Indonesia dengan kebijakan yang berlaku di Canada dan RRC. Hasil analisis yang didapatkan adalah green patent incentive dapat mempercepat pendaftaran paten dan apabila hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ditentukan kriteria-kriteria teknologi hijau dan tahapan yang dapat diberikan green patent incentive. Kriteria teknologi hijau dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan konservasi energi, sedangkan tahapan pendaftaran paten yang dapat diberikan green patent incentive adalah tahap penelitian substantif paten ......The use of electric vehicles as a renewable technology is increasing in order to reduce air pollution and achieve the target of net zero emission in 2060. Therefore, the existence of legal protection for the exclusive rights the electric vehicles’ investors has became an urgency to implement. Indonesia needs a program to accelerate patent registration through the green patent incentives policy. Green patent incentive is a policy to provide incentives for green technology patent applicants in the form of accelerating the patent registration process. The green patent incentive policy can give a fast-track to the patent registration process so that the granting of patents for environmentally friendly technologies will also increase. The effect on implementing the green patent incentive policy may be seen in other countries that have implemented policy, such as Canada and the People's Republic of China (PRC). However, Indonesia does not yet have a policy similar to the green patent incentive policy like there is in Canada and The PRC. There are still no incentives given to the registration of environmentally friendly technology patents, especially electric vehicle technology in Indonesia. Therefore, this research will discuss the implementation of the green patent incentive policy as a solution to accelerate the patent registration process in order to increase legal protection for environmentally friendly technology inventors, especially the electric vehicle technologies. The research method used is juridical-normative by analyzing the applicable laws and regulations, as well as by comparing the policies in force in Indonesia with those in force in Canada and The PRC. The results of the analysis obtained are that green patent incentives can accelerate patent registration and if they are to be implemented in Indonesia, then Indonesia must first determined the criteria for green technology and must determined the patent registration stages that can be granted the green patent incentives. Green technology criteria can refer to laws and regulations in the field of environment and energy conservation, while the stages of patent registration that can be granted green patent incentives are the patent substantive research stage.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Andini Vidyalestari
Abstrak :
Perkembangan perekonomian dunia, khususnya dalam bagian pemasaran suatu produk, menyebabkan adanya perluasan terhadap tanda-tanda yang diakui sebagai merek. Alasan ini juga yang menyebabkan Indonesia melalui perundang-undangan terbarunya, mengakui beberapa merek non-tradisional, termasuk pengakuan tanda suara sebagai merek. Pengakuan suara sebagai merek dalam definisi merek sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, menyebabkan Indonesia juga harus melalui pendaftaran terhadap merek suara sebagai salah satu bentuk perlindungan merek. Walaupun demikian, sistem pendaftaran merek suara di Indonesia saat ini yang mensyaratkan pemohon untuk melampirkan representasi grafis dalam label merek, dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mempersulit para pemohon dalam mendaftarkan merek suaranya. Padahal, jika dibandingkan dengan ketentuan yang di Uni Eropa dan Amerika Serikat, ketentuan representasi telah tidak lagi diberlakukan dengan alasan ketidakpastian hukum dan fleksibilitas pendaftaran merek. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan studi perbandingan, penulis melalui tulisan ini menganalisis mengenai ketentuan label merek yang didalamnya memuat persyaratan representasi grafis terhadap proses pendaftaran merek suara di Indonesia. Tulisan ini membandingkan pengaturan representasi grafis dalam pendaftaran merek yang tertuang dalam Pasal 4 UU UU No 20 Tahun 2016 dan Pasal 3 Permenkumham No 67 Tahun 2016 dengan penghapusan pengaturan representasi grafis di Uni Eropa dan ketiadaan kewajiban representasi di Amerika Serikat. Dari perbandingan tersebut, rekomendasi yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia seharusnya menghapus pengaturan representasi grafis dan menggunakan representasi yang lebih praktis seperti hanya dengan rekaman suara. ......Developments in the world economy, especially in the marketing department of a product, have led to an expansion of signs that are recognized trademarks. This reason also causes Indonesia, through its latest legislation, to recognize several non-traditional trademarks, including the recognition of sound marks as trademarks. Recognition of sound marks according to the provisions of Article 1 point 1 of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, causes Indonesia to also go through the registration of sound marks as a form of trademark protection. However, the current system for registering sound marks in Indonesia, which requires applicants to attach a graphical representation on the label merek, is considered to be causing legal uncertainty and making it difficult for applicants to register their voice marks. In fact, when compared to the provisions in the European Union and the United States, the terms of graphical representation are no longer enforced for reasons of legal uncertainty and flexibility in trademark registration. By using normative juridical research methods and comparative studies, the author through this paper analyzes the provisions on label merek which contain graphical representation requirements for the process of registering sound marks in Indonesia. This paper compares the regulation of graphical representation in trademark registration that contained in Article 4 of Law No. 20 of 2016 and Article 3 of Permenkumham No. 67 of 2016 with the elimination of graphic representation arrangements in the European Union and the absence of representation obligations in the United States. From this comparison, the recommendation that can be drawn is that Indonesia should eliminate the arrangement of graphical representations and use more practical representations, such as the use of sound recordings alone.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shallini Zivanjani
Abstrak :
Child grooming dipandang sebagai salah satu teknik baru yang digunakan oleh pelaku grooming dalam memikat anak-anak agar bersedia untuk melakukan kegiatan seksual dengannya. Perbuatan ini dilakukan dengan unsur buaian, tipu muslihat dan/atau bujuk rayu yang lazimnya bermula dari pertanyaan-pertanyaan tentang identitas umum korban hingga kemudian berlanjut ke arah yang lebih vulgar. Dalam hal ini, platform digital hampir selalu menjadi sarana yang digunakan oleh pelaku grooming dalam menargetkan dan membujuk korbannya. Platform digital merupakan salah satu bentuk sistem elektronik yang diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektroniknya tersendiri. Oleh karena itu, ini akan menelisik lebih lanjut terkait apakah platform digital dapat bertanggungjawab secara hukum bilamana perbuatan grooming terjadi dalam sistem elektroniknya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisis akan menggunakan beberapa tolak ukur mulai dari peraturan-perundang-undangan seputar penyelenggara sistem elektronik, teori pertanggungjawaban, dan konsep dari prinsip andal, aman, dan bertanggung jawab sebagaimana terkandung di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). ......Child grooming is seen as one of the new techniques used by groomers to lure children into enganging in sexual activities with them This act was carried out with elements of lulling, manipulation and/or persuasion which usually start with questions regarding the general identity of their victim which will then proceed to a much more vulgar direction. In this case, digital platforms are almost always the means used by groomers in targeting and persuading their victims. A digital platform is a form of electronic system organized by its own electronic system administrator. Therefore, this paper is to question whether digital platforms can be held liable whenever grooming acts occur in their electronic systems. To answer this question, the analysis will use several benchmarks such as laws and regulations regarding electronic system administrators, , theories on liability, and the concept of reliable, safe and responsible as contained in Article 15 of the Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Orcaputri
Abstrak :
Media sosial merupakan wadah komunikasi baru bagi masyarakat, untuk bisa saling berinteraksi dan bertukar informasi dengan menggunakan sistem elektromagnetik. Namun, dengan meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hal tersebut juga diikuti dengan berkembangnya tindak kejahatan pornografi dengan menyalahgunakan media sosial yang ada. Maka dari itu, media sosial sebagai salah satu penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum atas tindak pidana pornografi yang difasilitasi dalam sistem elektroniknya. Fokus penelitian ini, akan membahas lebih mendalam mengenai aplikasi TikTok, dan menguraikan secara akademis tentang (i) bagaimana kewajiban media sosial TikTok sebagai PSE dalam mematuhi norma kesusilaan berdasarkan hukum positif di Indonesia; (ii) bagaimana media sosial TikTok mengatur pembatasan muatan seksual yang dilarang untuk disiarkan; (iii) bagaimana pertanggungjawaban media sosial Tiktok terhadap konten pornografi yang ditayangkan pada sistem elektroniknya dalam fitur live streaming. Metode penelitian yang digunakan penulis ialah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan sumber penelitian pustaka, serta dengan sifat penelitian yang analitis dan berbagai jenis data sekunder yang mendukung. Dasar hukum utama yang mengatur mengenai media sosial sesuai dengan hasil analisis penulis ialah, UU ITE, UU Pers, serta UU Penyiaran. Namun penulis akan memfokuskan pembahasan kepada TikTok sebagai PSE resmi di Indonesia, yang diatur oleh peraturan turunan UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020. Penelitian penulis juga ditinjau dari dasar hukum utama mengenai pornografi, yakni pada UU Pornografi dan KUHP. Pada dasarnya, ketentuan diatas telah memuat hak dan kewajiban TikTok sebagai PSE, yang dimana salah satunya untuk tidak menyebarkan informasi/dokumentasi elektronik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, TikTok masih menyebarkan konten pornografi, sehingga badan usaha asing tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum dalam hal belum terpenuhi secara lengkap kewajibannya, sebagai PSE berdasarkan peraturan perundangundangan. ......Social media is a new communication platform for the public, to be able to interact and exchange information using electromagnetic systems. However, with the increasing number of social media users, this is also followed by the development of pornography crimes by abusing existing social media. Therefore, social media as one of the organizers of the electronic system (PSE) in Indonesia, can be held legally responsible for pornography crimes facilitated in its electronic system. The focus of this research, will go deeper into the TikTok app, and elaborate academically on (i) how TikTok’s as a social media comply with obligations as a PSE in based on moral norms positive law in Indonesia; (ii) how TikTok's as a social media regulates restrictions on sexual content that is prohibited from being broadcast; (iii) how Tiktok's as a social media is responsible for pornographic content that is aired on its electronic system in the live streaming feature. The research method used by the author is normative juridical research, using literature research sources, as well as with the analytical nature of research and various types of supporting secondary data. The main legal basis governing social media in accordance with the results of the author's analysis is the ITE Law, the Press Law, and the Broadcasting Law. However, the author will focus the discussion on TikTok as an official PSE in Indonesia, which is regulated by derivative regulations of the ITE Law, namely Government Regulation No. 71 of 2019, and Ministerial Regulation No. 5 of 2020. The author's research is also reviewed from the main legal basis regarding pornography, namely the Pornography Law and the KUHP. Basically, the provisions have contained the rights and obligations of TikTok as a PSE, one of which is not to disseminate electronic information/documentation that is prohibited by laws and regulations. In practice, TikTok still spreads pornographic content, so the foreign business entity is obliged to legally responsible its actions based on the law, in terms of they have not fully fulfilled their obligations as a PSE based on laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Difa Chairunnisa
Abstrak :
Kecerdasan Artifisial merupakan salah satu perkembangan teknologi yang mulai dimanfaatkan dan diterpakan dalam berbagai industri, salah satunya adalah Industri Medis. Teknologi menjadi salah satu hal yang sangat dibutuhkan untuk membantu meringankan beban dokter dan juga tenaga medis lainnya dalam menangani pasien. Saat ini pemanfaatan Kecerdasan Artifisial dalam Industri Medis sudah mulai berkembang, sehingga membantu meringankan pekerjaan para tenaga kesehatan dan juga dokter dalam melakukan diagnosis, membentuk citra radiologi, dan juga memprediksi pelayanan kesehatan terbaik untuk pasien. Saat ini, Indonesia tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kecerdasan Artifisial secara khusus, namun terdapat peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pemanfaatan Kecerdasan Artifisial dalam Industri Medis. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peraturan yang dapat diterapkan terhadap penyelenggaraan pemanfaatan Kecerdasan Artifisial dalam Industri Medis, dan kewajiban apa yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam menyelenggarakan Kecerdasan Artifisial dalam Industri Medis. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dan melakukan penelusuran serta perbandingan dengan best practice yang diterapkan oleh Uni Eropa. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa karakteristik dan cara kerja AI dalam industri medis menentukan kedudukan hukum AI, yang dimana AI dapat disamakan seperti Sistem Elektronik, Teknologi, dan Alat Kesehatan. AI sebagai Sistem Elektronik diselenggarakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik yang harus tunduk kepada kewajiban penyelenggaraan yang tertera pada peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, Uni Eropa menyamakan AI sebagai Alat Kesehatan dalam Industri Medis yang tunduk pada Medical Device Regulation. Merujuk pada Uni Eropa, Indonesia juga dapat menyamakan AI sebagai Alat Kesehatan dan tunduk pada kewajiban Izin Edar yang tertera peraturan perundang-undangan yang ada. ......Artificial intelligence (AI) is one of the technological developments that has begun to be utilized and applied in various industries, lncuding the medical industry. Therefore, technology has helped ease the burden on doctors and other medical professionals in treating their patients. The use of Artificial Intelligence in the medical industry has currently risen, and has helped healthcare workers and doctors alike in making diagnoses, forming radiological images, and also predicting the best healthcare services for patients. Currently, Indonesia does not have laws and regulations that specifically regulate Artificial Intelligence, but there are laws and regulations that can be applied to the use of Artificial Intelligence in the medical industry. Thus, it is necessary to carry out further research regarding the regulations that can be applied to the implementation of the use of Artificial Intelligence in the Medical Industry, and what obligations must be fulfilled by the parties in implementing Artificial Intelligence in the Medical Industry. This study uses a normative juridical approach, and conducts searches and comparisons with best practices implemented by the European Union. Based on this research, it was found that the characteristics and workings of AI in the medical industry determine an AI’s legal standing, where AI can be equated with Electronic Systems, Technology, and Medical Devices. AI as an Electronic System is administered by Electronic System Operators who must comply with the implementation obligations stated in the existing laws and regulations. In addition, the European Union equates AI as a Medical Device in the Medical Industry which is subject to the Medical Device Regulation. Referring to the European Union, Indonesia can also equate AI with Medical Devices and is subject to the distribution permit obligations stated in existing laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Alkhawarijmi
Abstrak :
Paylater merupakan layanan pembayaran yang disedikan oleh pelaku usaha jasa keuangan untuk memenuhi keperluan konsumsi konsumen atas barang yang dibelinya dari e-commerce. Layanan Paylater memiliki persyaratan yang lebih mudah ketimbang kartu kredit perbankan. Persyaratan yang mudah berisiko pada kerugian terhadap masyarakat selaku pengguna layanan Paylater, salah satunya berupa pembobolan layanan Paylater. Penanganan kasus pembobolan pada layanan Paylater oleh pelaku usaha jasa keuangan tidak selalu berjalan dengan maksimal. Tujuan dari penelitian ini menganalisis bentuk respon yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan terhadap laporan terhadap kasus pembobolan layanan Paylater milik konsumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan didukung oleh data sekunder berupa hasil penelusuran studi kepustakaan atau literatur dan pendekatan metode kualitatif berupa observasi suatu fenomena dengan hasil penelitian yang deskriptif analitis dan preskriptif. Hasil penelitian ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan mengupayakan dua hak konsumen saat menangani kasus pembobolan yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan hak konsumen untuk didengar pendapatnya mengenai barang dan/atau jasa yang digunakan. Pelaku usaha jasa keuangan bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan terkait layanan penanganan pengaduan, serta memperkuat sistem elektronik. Tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan merujuk pada peraturan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, POJK Nomor 18/ POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, POJK Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, dan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan. ......Paylater is a payment service provided by financial service businesses to meet consumers' consumption needs for goods they buy from e-commerce. Paylater services have easier requirements than bank credit cards. Easy requirements risk harm to the community as users of Paylater services, one of which is in the form of Paylater service breaches. The handling of cases of break-ins in Paylater services by financial service businesses does not always run optimally. The aim of this study is to analyze the response that should be made by financial service businesses to reports on consumer Paylater service breaches. This research was carried out using a juridical-normative research form supported by secondary data in the form of results of library research or literature searches and a qualitative method approach in the form of observation of a phenomenon with descriptive analytical and prescriptive research results. The results of this study oblige financial service businesses to seek two consumer rights when handling fraud cases, namely the right to comfort, security, and safety in consuming goods and/or services and the consumer's right to have their opinion heard regarding the goods and/or services used. Financial services businesses are responsible for evaluating and improving policies related to complaint handling services, as well as strengthening electronic systems. The responsibilities of financial service businesses refer to the regulations of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, POJK Number 18/POJK.07/2018 concerning Consumer Complaint Services in the Financial Services Sector, POJK Number 35/POJK.05/2018 concerning Conducting Business of Financing Companies, and POJK Number 6/POJK.07/2022 concerning Consumer Protection in the Financial Services Sector.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>