Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oldi Dedya
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Mengukur berat badan pada kondisi tertentu pada pasien geriatri sulit untuk dilakukan sehingga diperlukan suatu alat bantu baru murah dan mudah yang dapat digunakan untuk mengestimasi berat badan aktual pada seorang geriatri.Tujuan: Mendapatkan faktor yang berperan terhadap estimasi berat badan aktual serta mendapatkan rumus estimasi berat badan aktual pada pasien geriatri.Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 150 pasien geriatri yang berobat di Poliklinik Geriatri RSCM periode Juli 2016. Pasien dengan overload cairan, riwayat amputasi tungkai, imobilitas, instabilitas, tidak dapat mengikuti perintah, riwayat operasi ganti sendi lutut atau total hip replacement, dan menolak diikutsertakan, dieksklusi dari penelitian ini. Pengukuran yang dilakukan adalah penimbangan berat tungkai, pengukuran lingkar lengan atas, pengukuran lingkar perut, dan pengukuran lingkar paha. Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui faktor yang berperan terhadap estimasi berat badan aktual. Uji regresi linear dilakukan untuk memperoleh rumus estimasi berat badan aktual pada geriatri.Hasil Penelitian: Penelitian dilakukan pada 70 pria dan 80 wanita dengan usia rerata 70 tahun dengan indeks masa tubuh rerata 24,67 kg/m2. Hasil uji korelasi berat badan aktual terhadap berat tungkai adalah 0,91. Hasil tersebut akan lebih tinggi pada wanita dengan r = 0,95 dan pada pria r = 0,83. Lingkar perut pada pria diketahui memiliki korelasi terhadap berat badan dengan r = 0,85. Rumus estimasi berat badan aktual yang didapat = 16,262 12,414 berat tungkai. Formula tersebut dapat memprediksi keluaran sebesar 81 p
ABSTRACT
Background In Elderly, weight measurement in specific condition can be difficult, so we need a new cheap and easy tool that can be used to estimate the actual body weight on a geriatric.Objective Obtain a factors that contributes to estimate actual body weight. Make a formula for body weight estimation in geriatric patients.Methods This study is a cross sectional study on 150 geriatric patients who seek treatment at the Geriatric clinic RSCM period of July 2016. Patients with fluid overload, limb amputations, immobility, instability, can not follow orders, history replace the knee joint surgery or total hip replacement, and refused to involve the research were excluded from this study. Lower limbs weight measurement, upper arm circumference, abdominal circumference measurement, and the measurement of thigh circumference were taken in this study. Correlation test was conducted to determine the factors that contribute to the estimated actual weight. Linear regression analysis was conducted to obtain the actual body weight estimation formula in geriatrics.Results This study involve 70 man and 80 woman with average age is 70 and average body mass index is 24,67 kg m2. The correlation for actual weight to the weight of the lower limb is 0.91. The result would be higher if differentiated into women with r 0.95, and r 0.83 in men. Abdominal circumference in men have strong correlation with actual body weight r 0.85. Estimated actual body weight formula 16.262 12.414 weight of the lower limb. The formula can predict the output by 81 p
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Fidiaji Hiltono Santoso
Abstrak :
Latar Belakang: Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi progresivitas pneumonia, dengan risiko mortalitas dan kebutuhan ventilasi mekanik yang sangat tinggi. Identifikasi risiko tinggi kejadian ARDS sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan tenaga medis dan upaya pencegahan yang optimal. Tujuan: Mengetahui insidens ARDS pada pasien pneumonia dan mengetahui apakah hipoalbuminemia dapat memprediksi kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan. Metode: Studi kohort prospektif pasien pneumonia yang dirawat ruang rawat inap RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo dalam periode 1 Agustus-31 Desember 2015. Hipoalbuminemia didefinisikan sebagai kadar albumin admisi < 2,5 g/dL. Kejadian ARDS dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria Berlin dalam 14 hari perawatan. Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 120 pasien. Insidens kumulatif ARDS sebesar 17,5% (IK95% 10,7%-24,3%). Analisis bivariat menunjukkan hipoalbuminemia dapat memprediksi peningkatan risiko ARDS dalam 14 hari perawatan (RR 3,455; IK 95% 1,658-7,200). Terdapat hubungan bermakna antara sepsis saat admisi dan keseimbangan cairan dengan kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan. Analisis multivariat menunjukkan RR hipoalbuminemia setelah penyesuaian adalah 3,274 (IK 95% 1,495-5,528), dengan variabel perancu sepsis saat admisi. Simpulan: Insidens ARDS pasien pneumonia dalam 14 hari perawatan adalah 17,5%. Hipoalbuminemia dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan pasien pneumonia. ...... Background: Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) is one of complication for pneumonia progression, it is associated with higher risk of mortality and increased need for mechanical ventilation. Identification of patients with high risk of developing ARDS is essential to increase physician alertness and ensure optimal prevention. Purpose: To obtained information about incidence of ARDS in pneumonia diagnosed patients, and if hypoalbuminemia can predict occurrence of ARDS in 14 days after diagnosed pneumonia. Method: Prospective cohort study in pneumonia diagnosed patients admitted in August until 31 December 2015, with 14 days of observation, all patient is being treated in medical ward unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Hypoalbuminemia is defined as albumin level below 2,5 g/dL and ARDS is defined by Berlin criteria. Result: The study has enrolled 120 patient. Cumulative incidence of ARDS is 17,5% (IK95% 10,7%-24,3%). Bivariate analysis showed hypoalbuminemia could predict increased risk of ARDS in 14 days after diagnosed pneumonia (RR 3,455; IK 95% 1,658-7,200). There is significant relationship between sepsis at time of admission and mean fluid balance. Multivariate analysis shows adjusted RR 3,274 (IK 95% 1,495-5,528), with sepsis at time of admission as a confounder. Conclusion: Cumulative incidence of ARDS in pneumonia diagnosed patient after 14 days is 17,5%. Hypoalbuminemia could predict increased risk of ARDS in 14 days of treatment in pneumonia diagnosed patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yassir
Abstrak :
LATAR BELAKANG. Progresifitas penurunan sekresi insulin sudah terjadi sebelum individu didiagnosis sebaai DM tipe-2 baru karena kelelahan sel beta pankreas untuk mengatasi resistensi insulin. Efek glukotoksisitas, Iipotoksisitas dan amiloidosis pada sel beta pankreas menyebabkan proses tersebut terus berlanjut walaupun pasien telah diterapi dengan baik. Berbagai penelitian memperlihatkan sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru ditemukan dengan fungsi sel beta pankreas yang sudah rendah. Populasi tersebut lebih cepat mengalami kegagalan terapi dibandingkan populasi dengan fungsi sel beta pankreas yang masih baik akibat progresifitas penurunan sekresi insulin yang lebih cepat, sedangkan resistensi insulin dalam tingkatan yang sama. Akibatnya prevalensi kegagalan mencapai kontrol glukosa darah yang baik menjadi tinggi pada populasi tersebut, dan merupakan salah satu penyebab komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular yang semakin meningkat. Di poliklinik diabetes RSCM dan berbagai puskesrnas di Jakarta, sebagian besar penyandang DM tipe-2 sulit untuk mencapai kontrol glukosa darah yang baik dan tingginya prevalensi komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular. Apakah populasi tersebut sudah berada dalam fungsi sel beta pankreas yang rendah? Penelitian ¡ni bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi sel beta pankreas melalui perhitungan HOMA-B dan resistensi insulin melalui perhitungan HOMA-IR pada subyek penyandang DM tipe-2 baru yang berobat di poliklinik diabetes RSCM. METODOLOGI. Dirancang studi potong lintang dengan analisis deskriptif. Prosedur yang dilakukan adalah subyek dipuasakan selama 10 jam lalu diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa dan insulin puasa. Dari hasil tersebut dilakukan penghitungan HOMA-B dan HOMA-IR. HASIL. Telah dilakukan pengambilan data terhadap 100 subyek. Nilai median usia 52 tahun. 51% dan subyek mempunyai riwayat keluarga DM dan sebagian besar subyek adalah obes sebanyak 54%. Sebagian besar subyek dalam kelompok nilai HOMA-B yang sangat rendah yaitu kurang dari 25 pmol/mmol sebanyak 55% dengan nilai median 17,14 pmol/mmol, dan dalam kelompok nilai HOMA-IR yang rendah yaitu kurang dari 3 pmol-mmol/l2 scbanyak 61% dengan niai median 245 pmol-mmol/l2. SIMPULAN. Sebagian besar penyandang DM tipe-2 baru di poliklinik diabetes RSCM adalah obes dan manpunyai riwayat keluarga DM. Sebagian besar subyek berada dalam kelompok fungsi sel beta pankreas dan resistensi insulin yang rendah.
BACKGROUND. The declining of insulin secretion already happened before the patent diagnosed type 2 diabetic, caused by beta cell pancreas failure in order to compensate insulin resistance. The glucotoxicity and lipotoxicity effect combined with amyloidosis onì beta cell pancreas caused continuing declining process progessiveIy even though the patient has been treated. Most of the previous studies showed that many new type 2 diabetic patients have already had low beta cell finction. This population failed to achieve targeted therapy faster than population with good beta cell function, because faster the declining of insulin secretion. However, innsulin resistance was almost constant. Because of that, prevalence of failed to achieve good blood glucose control were high and one of the mechanisms cause micro and macro vascular complication will increase. Many type 2 diabetic who attended in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo hospital and Primary Health Care in Jakarta failed to achieve good blood glucose control and there were high incidence of macro and micro vascular complication We hypothesized that many new type 2 diabetIc patients in endocrine metabolic clinic in Cipto Mangunkusumo have already had low beta cells function. We investigated the profile of beta cells function by calculated IIOMA-13 and insulin resistance by calculated ROMA-IR in new type 2 diabetic patients who attenckxl in endocrine metabolic clinic ¡n Cipto Mangunkusumo hospital. METHOD. A descriptive-cross sectional study was conducted. After 10 hours fasting, new type 2 diabetic patients were checked for fasting blood glucose and fasting insulin concentration. Based on those numbei, The HOMA-B and HOMA-IR were calculated. RESULT. Based on the results of 100 patients. Median value of age was 52 years old. 51% of the subjects had family history of diabetic and most of them were obese in 54% subjects. Most of the subjects were in lower HOMA-B value less than 25 Pmol/mmol in 55% of the subiects with median NOMA-B vahe was 17,14 pmol/mmol and wese in lower HOMA-IR less than 3 pmol-mmol,I2 in 61% of the subjects with median HOMA-ER value was 2,45 pmol-mmol/12 groups. CONCLUSION. Many new type 2 diabetic patients, who attended in endocrine metabolic Clinic in Cipto Mangunkusumo hospital, were obese and have already had family history of diabetic. Most of the subjects were in low pancreas beta cell function and insulin resistance groups.
2007
T23366
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Pasha
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Skor Clinical Disease Activity Index CDAI , sebagai salah satu metode pengukur derajat aktivitas artritis reumatoid AR , dipandang memiliki kelebihan dibandingkan metode skor lain karena tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium penunjang. Studi-studi yang dilakukan pada pasien AR di luar Indonesia mengungkap bahwa korelasi, validitas dan reliabilitas CDAI dinilai baik saat diuji dengan pembanding skor lain. Namun demikian studi-studi tersebut hanya mengikutsertakan subjek pasien AR murni tanpa komorbiditas. Pasien AR di Indonesia memiliki karakteristik klinis yang berbeda, terutama dalam aspek adanya kondisi komorbiditas, perbedaan predisposisi genetik dan perbedaan fenotipe penyakit. Tujuan: Menilai validasi skor CDAI pada profil pasien AR di Indonesia. Metode: studi potong lintang pada subjek pasien AR yang berobat di poliklinik Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo bulan April s.d. Mei 2016. Setiap subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pencatatan hasil pemeriksaan penunjang dan pencatatan data komorbiditas yang tertera di rekam medis. Dua pengukur melakukan penghitungan skor CDAI dan skor Disease Activity Score 28 DAS28-CRP sebagai baku emas pembanding pada tiap subjek. Luaran berupa data numerik. Penilaian model validasi data numerik dilakukan dengan analisis performa model prediktor menggunakan indeks R 2 . Hasil: Terdapat 119 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Seluruh subjek memiliki kondisi komorbiditas selain AR. Indeks R 2 =0,831 83,1 ;
ABSTRACT
Background Clinical Disease Activity Index CDAI stands out amongst other methods in measuring disease activity of rheumatoid arthritis RA patient. CDAI is considered to be more practical and cost effective in daily practice because it requires no laboratory examination. Previous studies conducted overseas revealed that CDAI has good correlation, validity, and reliability compared with other scoring methods. However, those studies included only pure RA subjects. Indonesian RA patients have distinct clinical profiles, in terms of comorbidity diseases, genetic predisposition, and fenotype of the disease. Objectives To analyze validation of CDAI in distinct clinical profiles of RA patients in Indonesia. Methods A cross sectional study in RA outpatients, who were visiting Rheumatology Clinic in RSCM on monthly basis from April to May 2016. Assesement of each patient include history taking and physical examination. All recent laboratory results and other data in medical record were documented in reseacher form. CDAI and Disease Activity Score 28 CRP DAS28 CRP , as gold standard, were measured by two observers. Outcomes were in numeric. Validation measurement were done in terms of validating a model prediction and quantifying how good the predictions from the model are. Overall perforomance were measured with R 2 index. Result A total of 119 subjects met the inclusion criteria. All subjects were RA patients with comorbidities and were representing quite numbers of Indonesian races characteristic profile. R 2 0,831 83,1 p
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Sinthya Langow
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko utama osteoartritis (OA). Penelitian terdahulu mendapatkan bahwa faktor mekanik saja tidak cukup untuk menjelaskan hubungan kejadian OA dengan obesitas. Leptin diduga berperan dalam proses destruksi kartilago pada OA. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat adakah korelasi antara leptin serum dengan COMP dan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita OA yang berobat di poliklinik Reumatologi RSCM dalam periode Juni-Juli 2014. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Diagnosis OA lutut berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1896. Dilakukan pemeriksaan leptin dan COMP serum dengan metode ELISA. Pemeriksaan radiologi kedua lutut dilakukan dengan posisi antero-posterior pada pasien yang berdiri tegak. Kemudian dilakukan pengukuran lebar celah sendi tibiofemoral medial oleh ahli radiologi, Analisa statistik bivariat digunakan mendapatkan korelasi antara leptin dengan COMP dan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial. Hasil: Sebanyak 51 subjek memenuhi kriteria inklusi penelitian, 45 orang (88,2%) adalah wanita. Rerata kadar leptin didapatkan 38119,45 ± 21076,09 pg/ml. Nilai median COMP adalah 805,3(144,1-2241)ng/ml dan rerata lebar celah sendi tibiofemoral medial 3,73 ± 1,58 mm. Pada analisa bivariat tidak ditemukan korelasi antara leptin dan COMP ( r = 0,043, p= 0,764) dan juga antara leptin dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial( r = -0,135, p = 0,345). Pada subjek dengan lama sakit > 24 bulan didapatkan korelasi negatif kuat antara leptin dengan lebar celah sendi tibio femoral medial ( r = 0,614, p = 0,015). Simpulan: Tidak didapatkan korelasi antara leptin dan COMP pada penelitian ini. Penelitian ini juga tidak mendapatkan korelasi antara leptin dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial pada pasien OA lutut dengan obesitas.
ABSTRACT
Background: Obesity is a well-recognized risk factor for osteoarthritis. However, the relationship between obesity and OA may not simply due to mechanical factor. Increasing evidence support the role of leptin in OA cartilage destruction. The objective of this study was to examine the possible correlation between leptin serum with COMP and medial joint space width in knee OA with obesity. Methods: This study was a cross sectional study in OA patients visiting Rheumatology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital between June- July 2014. Samples were collected using consecutive sampling method. Knee OA was diagnosed from clinical and radiologic evaluation based on American College of Rheumatology 1986 criteria. Serum was collected from 51 knee OA patients, serum leptin and COMP were measured by ELISA. Antero-posterior radiographs of the knee have been taken in weight bearing position, and then the radiologist measured the minimum medial joint space width. The correlation between leptin and same variables, such as COMP and tibiofemoral medial minimum joint space width were analized by bivariate analysis. Results: Fifty one subjects met the inclusion criteria, with 45 (88,2%) are women. Mean of Leptin was 38119,45 (SD 21076,09). Median of COMP was 805,3(144,1-2241) and mean of minimum joint space width was 3,73 (SD1,58) mm. In bivariate analysis we found no correlation between leptin and COMP ( r = 0,043, p= 0,764) and also between leptin and medial joint space width ( r = - 0,135, p = 0,345).Cluster analysis for the subject with disease onset >24 month showed strong negative correlation between leptin and tibiofemoral medial minimum joint space width (r = 0,614, p = 0,015). Conclusion: There was no correlation between leptin and COMP in this study. This study also showed that there was no correlation between leptin and medial tibiofemoral joint space width in knee OA with obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herikurniawan
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko utama osteoartritis (OA). Penelitian terdahulu mendapatkan bahwa faktor mekanik saja tidak cukup untuk menjelaskan hubungan OA dengan obesitas. Saat ini faktor metabolik yang berkaitan dengan massa lemak tubuh dianggap memiliki peranan penting, tetapi lemak mana yang paling berperan masih kontroversial apakah lemak viseral atau lemak subkutan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan korelasi antara distribusi lemak tubuh dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita OA lutut dengan obesitas yang berobat di poliklinik Reumatologi, Geriatri dan Penyakit Dalam RSCM periode Januari-Maret 2016. Diagnosis OA lutut berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1986. Pemeriksaan distribusi lemak tubuh menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA). Pemeriksaan radiologi lutut menggunakan radiologi konvensional (foto polos) untuk menilai lebar celah sendi tibiofemoral medial. Analisis statistik bivariat digunakan untuk mendapatkan korelasi antara distribusi lemak tubuh dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial. Hasil: Sebanyak 56 orang pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia ikut dalam penelitian, mayoritas subjek berjenis kelamin perempuan (73,2%). Median kadar lemak viseral adalah 12% (7.5-16,5) median lemak subkutan adalah 30,2% (16,5-37,9) dan median rasio lemak viseral/subkutan adalah 0,40 (0,26-0,80). Rerata lebar celah sendi tibiofemoral medial adalah 2,34 mm (SB 0,78). Korelasi antara lemak viseral dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,474 p: < 0,001). Tidak didapatkan korelasi antara lemak subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,187 p: 0,169) serta tidak didapatkan korelasi antara rasio lemak viseral/subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,225 p: 0,09) Simpulan: Lemak viseral berkorelasi negatif sedang dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,474 p: < 0,001). Tidak didapatkan korelasi antara lemak subkutan dan rasio lemak viseral/subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral
ABSTRACT
Background: Obesity is a major risk factor for knee osteoarthritis. The relationship between obesity and OA may not simply due to mechanical factor. Evidence suggests that metabolic factors related to body fat play important roles, but the specific type of fat that contributes to OA is unclear. The objective of this study was to examine the possible correlation between body fat distributions with knee OA Method: This study was a cross sectional study in OA patients with obesity visiting Rheumatology, Geriatric, Internal Medicine clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital between January-March 2016. Samples were collected using consecutive sampling method. Knee OA was diagnosed from clinical and radiologic evaluation based on American College of Rheumatology 1986 criteria. Body fat distribution was measured by bioelectrical impedance analysis (BIA). Radiographs of the knee was measured by conventional radiography to evaluate joint space narrowing (JSN). The correlation between body fat distributions with joint space width was analyzed by bivariate analysis Result: A total of 56 subjects were recruited, with majority of subjects were women (73,2%). Median of visceral fat was 12% (7.5-16,5), median of subcutaneous fat was 30,2% (16,5-37,9) and median of visceral to subcutaneous fat ratio was 0,40 (0,26-0,80). Mean of medial tibiofemoral joint space width was 2,34 mm (SB 0,78). In bivariate analysis we found correlation between visceral fat and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,474 p: < 0,001). There is no correlation between subcutaneous fat and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,187 p: 0,169) and also visceral to subcutaneous fat ratio and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,225 p: 0,09). Conclusion: Visceral fat is correlated with medial tibiofemoral joint space width (r: -0,474 p: < 0,001). There is no correlation between neither subcutaneous fat nor visceral to subcutaneous fat ratio and medial tibiofemoral joint space width.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Anindito
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Perkembangan dalam tatalaksana Lupus eritematosus sistemik (LES) telah meningkatkan kesintasan pasien dengan LES. Kualitas hidup merupakan komponen evaluasi terapi LES dan value based medicine. Salah satu kuesioner khusus untuk menilai kualitas hidup adalah Lupus QoL. Saat ini di Indonesia belum ada kuesioner khusus penilaian kualitas hidup pada pasien dengan LES. Penelitian ini bertujuan membuktikan Lupus QoL sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pasien dengan LES di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian diawali dengan menerjemahkan Lupus QoL ke dalam bahasa Indonesia kemudian diujicobakan pada 10 responden. Penelitian kemudian dilanjutkan pada jumlah sampel yang lebih besar. Keandalan dievaluasi dengan Intraclass Correlation Coefficient (ICC) pada tes dan tes ulang dan cronbach α pada konsistensi internal. Kesahihan konstruksi dinilai dengan multi trait scaling analysis. Kesahihan eksternal dinilai dengan menilai korelasi antara Short form 36 (SF36) dengan Lupus QoL dan aktivitas penyakit. Hasil: Pengambilan data terhadap 65 pasien LES yang berobat di unit rawat jalan Ilmu Penyakit Dalam RSCM selama bulan Oktober ? November 2015. Kesahihan eksternal Lupus QoL baik dengan korelasi terhadap SF36 dengan r :0.38 ? 0.66 (p<0.05). Multi trait analysis scaling menunjukkan korelasi yang baik antara nilai tiap domain dengan nilai total (r:0.46 ? 0.85) dan antara skor tiap butir pertanyaan dan skor total domain (r:0.44 ? 0.93). Nilai ICC (interval 7 hari) baik (ICC>0.7). Nilai cronbach α> 0.7 pada setiap domain. Korelasi Lupus QoL terhadap aktivitas penyakit memiliki korelasi yang lemah dan tidak bermakna yang sesuai dengan penelitian ? penelitian sebelumnya. Simpulan: Kuesioner Lupus QoL Indonesia sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pada pasien dengan LES di Indonesia
ABSTRACT
Background: The development in Systemic Lupus Erythematosus treatment has led into the increasment of survival. Quality of life has become a component to evaluate therapy ini SLE and value based medicine. One spesific questionnaire to asses quality of life is Lupus Quality of Life (Lupus QoL). Currently in Indonesia there has not been spesific questionnaire to asses quality of life in SLE patients. This study aims to prove that Lupus QoL is valid and reliable to asses the quality of life in SLE patients in Indonesia. Methods: This study is cross sectional study. This study began with the translation the Lupus QoL into indonesian language then tested in 10 respondents. After that,this study continued with a larger sample size. The intraclass coefficient correlation was used to evaluate test and re test reliability, the cronbach alpha was used to evaluate internal consistency. Construct validity evaluated using multi trait scaling analysis and the extrenal validity evaluated using the correlation between domains in short form 36 (SF 36) with Lupus QoL and with disease activity. Results:Data collection were done on 65 SLE patients in Oktober ? November 2015 in RSCM. The external validity with SF 36 was good with r:0.38-0.66(p<0.05). The construct validity is good with r > 0.4 (0.44 ? 0.93). The ICC value in one week >0.7 and Cronbach α was >0.7 in each domain. The correlation with disease activity was weak and consistent with another studies. Conclusion: Lupus QoL questionnaire is valid and reliable to asses quality of life in SLE patients in Indonesia.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harbanu Hermawan Mariyono
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Aterosklerosis merupakan penyakit sistemik, bisa terjadi di seluruh pembuluh darah. Pada arteri karotis terjadi penebalan tunika intima yang dapat dideteksi menggunakan penunjang non invasif yaitu dengan ultasound. Pada tungkai dapat dilakukan pemeriksaan non invasif yaitu Ankle-Brachial Index (ABI) dan Toe-Brachial Index (TBI) untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer, dengan asumsi bahwa adanya penurunan ABI atau TBI menunjukkan sudah ada stenosis. Berdasarkan hal ini diduga terdapat hubungan antara ABI dan TBI dengan Carotid Intima Media Thickness (CIMT). Tujuan: Mendapatkan hubungan antara ABI dan TBI dengan CIMT. Metode: Dilakukan studi potong lintang pada 36 pasien diabetes tipe II. Dilakukan pemeriksaan ABI dan TBI bila memenuhi kriteria Penyakit Arteri Perifer, dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasound untuk mengetahui ketebalan tunika intima karotis. Hubungan antara ABI dan TBI dengan CIMT dihitung dengan Spearman. Hasil: Rerata ABI yang diperoleh adalah 0,97 ± 0,15, rerata TBI 0,56 ± 0,1. Nilai tengah CIMT 0,96 (0,77 - 3,60). Tidak terdapat hubungan antara ABI dengan CIMT (r=-259, p=0,127) dan terdapat hubungan negatif bermakna antara TBI dengan CIMT (r=-0,47, p=0,004). Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara ABI dengan CIMT. Terdapat hubungan negatif bermakna antara TBI dengan CIMT.
ABSTRACT
Background: Atherosclerosis is a systemic disease that can be found in all arteries. Carotid Intima Media Thickness can be measure with ultrasound. Peripheral Artery Disease can be assessed with Ankle Brachial Index (ABI) And Toe Brachial Index (TBI). Low ABI or TBI can detect stenosis on the lower extremity arteries. Objective:To determine correlation between Ankle Brachial Index And Toe Brachial Index With Carotid Intima Media Thickness Methods: A cross sectional study on type II diabetic patients. Peripheral artery were assessed with Ankle Brachial Index and Toe Brachial Index. Carotid Intima Media Thickness measured with ultrasound. Correlation between ABI and TBI with CIMT were calculated with Spearman correlation test. Results: Mean Ankle Brachial Index were 0,97 ± 0,15, mean Toe Brachial Index 0,56 ± 0,1. Median of Carotid Intima Media Thickness 0,96 (0,77 - 3,60). Correlation between ABI with CIMT (r=-259, p=0,127) and TBI with CIMT (r=-0,47, p=0,004) Conclusions:There were no correlation between Ankle Brachial Index with Carotid Intima Media Thickness. There were negative correlation between Toe Brachial Index with Carotid Intima Media Thickness.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ralph Girson Manuel Dirgagunarsa
Abstrak :
Latar Belakang: Thalassemia adalah penyakit herediter, dan anemia berat adalah salah satu fenotip utama pada thalassemia mayor, sehingga transfusi sel darah merah adalah modalitas utama tatalaksana. Transfusi sel darah merah diberikan sebanyak 1-2 kali setiap bulan akan meningkatkan kesintasan, tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dan menyebabkan muatan besi berlebih, terutama pada penderita thalassemia bergantung transfusi/transfusion dependent thalassemia TDT. Infeksi adalah penyebab kematian kedua pada TDT, setelah gagal jantung. Risiko infeksi meningkat pada transfusi berulang, hal ini terjadi karena adanya infeksi akibat transfusi, dan perubahan respon imun. Perubahan respon imun terjadi karena adanya aloimunisasi dan muatan besi berlebih.Perubahan respon imun dalam TDT dapat terjadi baik dalam respon imun inat maupun imun spesifik. Dalam studi sebelumnya terdapat korelasi ferritin serum dengan jumlah CD4, tetapi hal ini belum diteliti di Indonesia. Tujuan: Mendapatkan korelasi antara muatan besi berlebih ferritin serum dan saturasi transferin dengan imuitas selular CD4 pada penderita dewasa thalassemia beta bergantung transfusi.Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang. Pengambilan sampel secara konsekutif pada TDT dewasa. Jumlah subjek adalah 64 orang. Subjek melakukan ronsen toraks dan pemeriksaan laboratorium darah. Pemeriksaan HBsAg, anti HCV, anti HIV diperiksa dengan menggunakan metode Electroimmunoassay ELISA . Serum feritin, dan saturasi transferin diperiksa menggunakan metode Electrocheminulescentimmunoassay ECLIA . Limfosit subset diperiksa menggunakan flowcytometer. Uji korelasi dengan menggunakan korelasi Spearman`s. Hasil: Pada penelitian ini mendapatkan proporsi Hepatitis B sebanyak 4,7 , Hepatitis C positif sebanyak 10,9 , tidak ditemukan anti HIV dan ditemukan 4 dari 41 subjek yang mengalami TB paru. Hasil uji Spearman menunjukkan korelasi negatif lemah dan tidak bermakna antara ferritin serum dengan CD4 p= 0,75, r= -0,04 , dan korelasi positif lemah dan tidak bermakna antara saturasi transferin dengan CD4 p= 0,133, r= 0,19 .Simpulan: Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara muatan besi ferritin serum dan saturasi transferin dengan imunitas seluler CD4.
Background Thalassemia is a hereditary disease and severe anemia is main phenotype in major thalassemia, therefore red cell transfusion is main modality in major thalassemia management. Transfusion which are given 1 2 times every month will improve prognosis and survival, but both higher risk infections and iron overload are found in thalassemia, especially in transfusion dependent thalassemia TDT. Infections are second cause of death in adult TDT, after heart failure. Higher risk infections are caused by multiple transfusions, which can cause alter in immune response due to alloimunization, transfusion related infections and iron overload. Iron overload in TDT can altered immune response, both innate immune and specific immune. Some studies showed correlation between ferritin and CD4, but these were not yet studied in Indonesia Objective. Objectives in this study were to determine correlations between iron overload serum ferritin and transferrin saturation and immune cellular specific CD4 Methods This were cross sectional study. Subjects were examined consecutively with chest x ray and serum blood collections. Total subjects were 64 subjects. HBsAg, anti HCV, anti HIV, were tested using ELISA. Serum Ferritin, and transferin saturation were tested using ECLISA. lymphocyte subsets were analyzed using flowcytometer. Correlations tests used Spearman rsquo s test. Results We found proportion HBsAg 4,9 positive, Anti HCV positive 10,7 , no subjects with positive for anti HIV, and there was 4 41 subjects with lung tuberculosa from chest X ray. There were weak negative correlation and not significant between serum ferritin with CD4 p 0,75, r 0,04 , and weak positive correlation and not significant between transferrin saturation with CD4 p 0,133, r 0,19 .Conclusions There were no correlations between iron overload ferritin and cellular immunity CD4 in adult transfusion dependent thalassemia.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryo Anggoro K. Wibowo
Abstrak :
Kejadian kardiovaskular adalah penyebab kematian utama pada artritis reumatoid AR . Periodontitis diketahui berperan dalam patogenesis disfungsi endotel pada AR. E-selectin merupakan penanda disfungsi endotel yang spesifik dihasilkan oleh endotel. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek terapi periodontal terhadap kadar E-selectin pada pasien AR. Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi pada penderita AR yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSCM periode Maret-Mei 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Randomisasi dilakukan dengan randomisasi blok. Subyek dibagi menjadi kelompok terapi periodontal dan kontrol. Dilakukan Uji t untuk melihat perbedaan selisih E-selectin awal dan akhir studi antara kelompok intervensi dengan kontrol. Periodontitis ditemukan pada 31 subyek 64,5 . Tidak didapatkan perbedaan selisih E-selectin awal dan akhir studi yang signifikan secara statistik antara kelompok intervensi dengan kontrol p=0,303 . Sebagai kesimpulan tidak didapatkan pengaruh terapi periodontal terhadap kadar E-selectin pada pasien AR.
Cardiovascular event is the main cause of mortality in rheumatoid arthritis RA . Periodontitis is known to be involved in the pathogenesis of endothelial dysfunction in RA. E selectin is a marker of endothelial dysfunction and was expressed specifically in endothelial cells. The objective of this study was to determine the effect of periodontal treatment on E selectin level in RA patients. This was a randomized clinical trial in RA patients visiting Rheumatology Clinic RSCM between March May 2017. Samples were collected using consecutive sampling method. Randomization was done using block randomization. Subjects was divided into nonsugical periodontal treatment group and control group. T test was used to measure the difference of delta E selectin before after study between periodontal treatment group and control. Periodontitis was found in 31 subjects 64,5 . There was no statistically significant difference of delta E selectin before after treatment between periodontal treatment group and control. As a conclusion, periodontal treatment has no effect on E selectin level in RA patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>