Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fildza Sasri Peddyandhari
"Latar Belakang: Hipertensi intra-abdomen adalah kondisi yang sering dialami pasien kritis. Untuk memperbaiki distribusi ventilasi paru, pengaturan positive end expiratory pressure (PEEP) pada ventilasi mekanis yang dipandu alat electrical impedance tomography (EIT) dapat digunakan untuk mencegah terjadinya cedera epitel yang ditandai dengan peningkatan kadar receptor for advanced glycation receptor (RAGE) akibat pemberian PEEP yang tidak sesuai.
Metode: Penelitian kohort prospektif dengan metode non probability sampling pada pasien laparoskopi ginekologi. Pasien diberikan manajemen ventilasi sesuai protokol penelitian dengan memberikan PEEP 5-8-11-14 cmH2O pasca insuflasi gas CO2. Distribusi udara diamati melalui alat EIT serta dilakukan pengambilan sampel RAGE melalui bilasan bronkus pada waktu sebelum insuflasi, setelah manajemen ventilasi dan 2 jam pascamanajemen ventilasi.
Hasil: Terdapat perubahan yang bermakna secara statistik pada parameter tidal impedance variation regional (∆TIV-ROI) paru dependen (p < 0.001).
Kesimpulan: Alat EIT dapat membantu melihat distribusi udara paru selama pemberian manajemen ventilasi pasien model hipertensi intra-abdomen sehingga tidak menyebabkan cedera pada paru.

Background: Intra-abdominal hypertension is a condition often experienced by critical patients. To improve the distribution of pulmonary ventilation, positive end expiratory pressure (PEEP) setting in mechanical ventilation guided by an electrical impedance tomography (EIT) device can be used to prevent epithelial injury which is characterized by increased levels of the receptor for advanced glycation receptor (RAGE) due to unsuitable PEEP.
Methods: Prospective cohort study with non-probability sampling method in gynecological laparoscopic patients was conducted. Patients were given ventilation management according to the research protocol by providing PEEP 5-8-11-14 cmH2O after CO2 gas insufflation. Air distribution was observed using the EIT device and RAGE samples were taken via bronchial lavage before insufflation, after ventilation management and 2 hours after ventilation management.
Results: There was a statistically significant change in the dependent lung regional tidal impedance variation (∆TIV-ROI) parameter (p < 0.001).
Conclusion: The EIT device aids in monitoring the distribution of lung air during ventilation management for patients with intra-abdominal hypertension to avoid lung injury.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Bram Kilapong
"Latar Belakang. Penggunaan ventilator merupakan intervensi paling banyak digunakan di ICU. Kelemahan otot pernapasan dan otot ekstremitas pada pasien kritis meningkatkan lama penggunaan ventilator. Penelitian ini melihat hubungan antara tebal otot diafragma, tebal otot rektus femoris dan otot bisep brakii sebagai salah satu prediktor lama penggunaan ventilator di ICU, serta melihat kontribusi masing-masing pengaruh tersebut terhadap lama penggunaan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik dengan desain penelitian kohort longitudinal, yang dilakukan pada pasien baru yang menggunakan ventilator di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo antara kurun waktu Desember 2018 sampai Febuari 2019. Sebanyak 30 sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil dan diikuti selama lima hari perawatan di ICU.
Hasil
Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot biseps brakii dan otot rektus femoris dapat terjadi dalam 24 jam dan bersifat fluktuatif. Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot ekstremitas memiliki kecepatan yang berbeda. Kontribusi penurunan tebal diafragma terhadap lama penggunaan ventilator hanya 31,05%.
Kesimpulan
Perubahan tebal otot diafragma, penurunan luas penampang otot rektus femoris dan penurunan luas penampang otot bisep brakii serta peningkatan kadar CRP darah tidak dapat digunakan sebagai prediktor lama penggunaan ventilator.

Background. Mechanical ventilation is the most common intervention used in ICU. Respiration and extremities muscle weakness in critically ill patients tend to increase duration of mechanical ventilation. This study analyzed the relation among diaphragm muscle thickness, cross section area of rectus femoris and biceps brachii muscle, inflammation and duration of mechanical ventilation. Contribution of each factor as predictor to duration of mechanical ventilation was also analyzed.
Method. This is an analytic observational study with longitudinal cohort design. The sample are newly intubated critically ill patients in Cipto Mangunkusumo National Hospital between December 2018 and February 2019. Thirty samples who met inclusion criteria were recruited and followed up for five days.
Result. Diaphragm muscle thinning, cross sectional area muscle decrease can be seen within 24 hours after initiating ventilator and were highly fluctuative. Diaphragm muscle and extremities muscle cross section area had different rates of decline. Quantitative muscle parameters decline and increase of blood CRP concentration were unable to predict duration of mechanical ventilation. The contribution of diaphragm muscle thinning to duration of mechanical ventilation was 31,05%
Conclusion. Diaphragm muscle thinning, rectus femoris and biceps brachii muscle cross sectional area decline and increased CRP level could not be used to predict duration of mechanical ventilation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haloho, Agustina Br
"Latar Belakang: Ventilasi mekanik diperlukan pasien kritis di unit perawatan intensif dengan tujuan menormalkan kadar gas darah arteri dan menyeimbangkan kadar asam basa, namun penggunaan ventilasi mekanik yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya Ventilator Associated Pneumonia, cedera paru, infeksi nosokomial, dan sepsis. Ketebalan diafragma memiliki korelasi signifikan dengan lama penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan faktor-faktor risiko dengan ketebalan diafragma pasien kritis di ICU, sehingga dapat membantu untuk memprediksi lamanya penggunaan ventilasi mekanik.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional terhadap 30 subjek penelitian yang memenuhi kriteria penerimaan selama periode September 2018- Desember 2018 di Ruang Perawatan Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin. Ketebalan diafragma pasien kritis yang menggunakan ventilasi mekanik diukur pada hari ke-0, ke-3, ke-5 dan kemudian dibandingkan.
Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ventilasi mekanik didominasi oleh laki-laki (63,33 %), usia 40-70 tahun (63,33%), dengan status nutrisi kategori tidak obes (90%). Penurunan ketebalan diafragma signifikan terjadi pada hari ke-3 (nilai P = 0,026). Penurunan ketebalan diafragma memiliki hubungan yang bermakna dengan RNL (nilai P = 0,003), kadar prealbumin (nilai P = 0,025), IMT (nilai P = 0,015), sepsis (nilai P = 0,010), dan pemberian albumin artifisial (nilai P = 0,013). Sedangkan usia (nilai P = 0,603), jenis kelamin (nilai P = 0,906), opioid (nilai P = 0,315), dan kadar glukosa (nilai P = 0,303) menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penurunan ketebalan diafragma terjadi pada subjek yang menggunakan ventilasi mekanik dipengaruhi oleh RNL, kadar prealbumin serum, IMT, sepsis, dan penggunaan albumin intravena, namun tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin, penggunaan opioid, dan pemberian infus albumin intravena.

Background: Mechanical ventilation required by critical patients in intensive care unit to normalizing arterial blood gas and balancing acid-base levels, but prolonged use of mechanical ventilation can cause ventilator associated pneumonia, lung injury, nosocomial infections, and sepsis. Diaphragm thickness has a significant correlation with the duration of mechanical ventilation uses. This study aims to analyze the relations of risk factors with the thickness of the diaphragm of critical patients in the ICU. Hopefully it can help to predict the length of the mechanical ventilation uses.
Methods: This study was an observational analytic study of 30 research subjects who met the acceptance criteria during the period September 2018-January 2019 in the Intensive Care Unit of Dr. Mohammad Hoesin Hospital. The diaphragm thickness of critical patients using mechanical ventilation was measured on the 0th, 3rd, 5th and then compared by days.
Results: The study showed that the use of mechanical ventilation was dominated by men (63.33%), ages 40-70 years (63.33%), with nutritional status in the category of not obese (90%). A significant decrease in the thickness of the diaphragm occurred on the 3rd day (p-value = 0.026). The decrease in diaphragm thickness has a significant relations with RNL (p-value = 0.003), prealbumin level (p-value = 0.025), BMI (p-value = 0.015), sepsis (p-value = 0.010), and artificial albumin (p-value = 0.013). Whereas age (p-value = 0.603), gender (p-value = 0.906), opioid (p-value = 0.315), and glucose level (p-value = 0.303) showed a relations that did not reach statistical significance.
Conclusion: The decrease in diaphragm thickness occurred in subjects using mechanical ventilation affected by RNL, serum prealbumin levels, BMI, sepsis, and intravenous albumin uses, but were not affected by age, sex, opioid use, and intravenous albumin infusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hajriya Brahmi
"Latar Belakang: Penggunaan heparin inhalasi pada beberapa penelitian COVID-19
memberikan hasil dalam perbaikan klinis pasien, baik dalam menurunkan lama rawat,
perbaikan oksigenasi paru, dan mortalitas. Dosis harian total heparin inhalasi yang
bervariasi terutama bila diberikan bersamaan dengan antikoagulan sistemik, memiliki
resiko komplikasi perdarahan yang memerlukan kajian terhadap keefektifan dan
keamanannya.
Tujuan: Meneliti keefektifan dan keamanan inhalasi heparin dosis 150,000 IU/hari
dengan dosis 100.000 IU/hari dinilai dari AaDO2, aPTT dan d-Dimer dalam 7 hari
pengamatan pada pasien ICU COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan studi kohort
retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis pasien ICU COVID-19 bulan
September 2020 – September 2021. Terdapat 300 sampel menggunakan consecutive
sampling. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok heparin dosis 150.000 IU/hari dan
100.000 IU/hari. Pencatatan dilakukan dalam 7 hari pengamatan. Uji Statistik
menggunakan uji Mann Whitney untuk menilai tingkat keparahan, Uji Wilcoxon rank test
untuk melihat perbedaan variabel dependen hari pertama dengan hari ketujuh pada
masing-masing dosis.
Hasil: Heparin inhalasi baik dosis 150.000 IU/hari dan 100.000 IU /hari bermakna
menurunkan AaDO2 pada 7 hari pengamatan (p 0.001). Nilai aPTT tidak memanjang
pada kedua kelompok, dan kedua dosis heparin sama- sama menurunkan nilai d-Dimer
pada 7 hari pengamatan (p 0.001).
Simpulan: Heparin Inhalasi dosis 150.000 IU/hari sama efektif dinilai dari AaDO2, dan
sama amannya terhadap aPTT dan d-Dimer dibandingkan heparin inhalasi dosis 100.000
IU/hari.

Rationale: The use of inhaled heparin in several COVID-19 studies has resulted in
clinical improvements in patients, both in reducing length of treatment, improving
pulmonary oxygenation, and reducing mortality. The varying total daily dose of inhaled
heparin, especially when given together with systemic anticoagulants, poses a risk of
bleeding complications that require review of its effectiveness and safety.
Objective: To analyze effectiveness and safety of heparin inhalation dosage 150,000
IU/day compare to 100,000 IU/day assessed from AaDO2, aPTT and d-Dimer from 7
days observation in ICU COVID-19 patients with invasive and non-invasive ventilator
patterns.
Methods: An observational cohort retrospective study used secondary data from medical
records ICU COVID-19 patients with invasive and noninvasive ventilator patterns from
September 2020 – September 2021. There were 300 samples using consecutive sampling.
Patients divided into 2 groups, one received dosage 150,000 IU / day heparin inhalation,
the other received heparin inhalation dosage 100,000 IU / day. Recording of the research
from medical records is carried out at 7 days of ICU treatment. Statistical tests were
carried out using Mann Whitney to assess severity, Wilcoxon rank test to see the
difference in dependent variables day 1 and day 7 to dose.
Measurements and Main Results: Heparin inhalation at dose of 150,000 IU/day and
100,000 IU/day both significantly decreased AaDO2 at 7 days of observation (p 0.001).
The aPTT on both groups at 7 days of observation are within normal limits. Both doses
of heparin inhalation decreased d-dimer at 7 days of observation (p 0.001).
Conclusion: Inhaled heparin doses of 150,000 IU/day as effective and as safe as inhaled
heparin doses of 100,000 IU/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anne Suwan Djaja
"Latar Belakang : Akumulasi cairan yang telah terjadi pasien sepsis dan diperberat oleh resusitasi cairan memiliki dampak buruk terhadap organ ginjal (sepsis related kidney injury). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini ingin menilai efektivitas deresusitasi dini menggunakan furosemide terhadap kejadian AKI pada pasien sepsis dengan menggunakan pNGAL sebagai parameter AKI. Metode : Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak tersamar ganda, yang dilakukan pada pasien sepsis di ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada periode Juli – Desember 2023. Kadar pNGAL diperiksa pada jam ke-0 dan ke-48 jam perawatan ICU. Sebanyak 40 subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 pasien pada kelompok perlakuan diberikan injeksi furosemide kontinyu 2 mg/jam, dan 20 pasien pada kelompok kontrol diberikan injeksi placebo 2 mL/jam. Hasil : Ditemukan kadar pNGAL telah meningkat sejak awal perawatan di ICU pada semua subjek. Tidak terdapat perbedaan bermakna selisih kadar pNGAL jam ke-0 dan ke-48 (p=0,146). Ditemukan penurunan kadar pNGAL yang cukup besar pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kadar laktat, TVS, lama perawatan ICU, lama penggunaan ventilator pada kedua kelompok tidak ditemukan berbeda bermakna. Rerata balans cairan pada jam ke-24 ditemukan lebih rendah pada kelompok intervensi (-391,01 ± 871,59 mL vs. 586,90 ± 1382 mL, p=0,016). Proporsi subjek yang menerima terapi pengganti ginjal dan mengalami kematian dalam 28 hari juga tidak berbeda signifikan. Simpulan : Penggunaan furosemide bermanfaat untuk mengurangi akumulasi cairan dalam 24 jam pertama perawatan sehingga menghambat progresifitas kerusakan tubulus ginjal pada pasien SAKI.

Background: Fluid accumulation occurs in septic patients and is increased by fluid resuscitation, causing kidney damage. This study aimed to determine the effectiveness of early deresuscitation with furosemide on the incidence of AKI in sepsis patients using pNGAL as an AKI parameter. Methods: This study used a double-blind, randomized clinical trial design conducted on sepsis patients in the ICU at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) in July – December 2023. pNGAL levels were measured at the first and 48th hours of ICU care. A total of 40 participants were divided into two groups: 20 patients in the treatment group were given continuous furosemide injections at a rate of 2 mg/hour, while 20 patients in the control group were given placebo injections of 2 mL/hour. Results: pNGAL levels had increased since all subjects started treatment in the ICU. There was no difference in changes of pNGAL levels at 0 and 48 hours (p=0.146). A trend of reduction in pNGAL levels was found in the intervention group compared to the control group. Lactate levels, TVS, length of ICU stay, and length of ventilator use in the two groups were not found to be significantly different. Fluid at 24 hours was lower in the intervention group (-391.01 ± 871.59 mL vs. 586.90 ± 1382 mL, p=0.016). The proportion of participants who underwent renal replacement therapy and died within 28 days showed no significant difference. Conclusion: Furosemide effectively lowers fluid accumulation in the first 24 hours of therapy, slowing the course of renal tubular injury in SAKI patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library