Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budy Darmawan
"ABSTRAK
Makalah ini membahas penggambaran Lara Croft dari waktu ke waktu serta membahas hubungannya dengan seksualitas dan perannya sebagai tokoh utama dalam seri video gim Tomb Raider. Tomb Raider 1996 , Tomb Raider: Legend 2006 , dan Tomb Raider 2013 akan dibandingkan untuk mengetahui bagaimana Lara digambarkan dari beberapa generasi. Kerngka yang digunakan dalam makalah ini adalah analisi tekstual dan teori male gaze yang dikemukakan Mulvey. Dengan menggunakan kerangka tersebut, terdapat sebuah penemuan bahwa Lara Croft dijadikan objek seksual melalui penggambarannya di gim lawas. Meski di gim terbaru penggambaran tersebut sudah berkurang, terdapat sebuah pertentangan karena gimnya sendiri mengandung unsur kekerasan seksual. Makalah ini berkontribusi terhadapa diskusi mengenai bagaimana perempuan diproyeksikan di sebuah video gim dalam hubungannya dengan studi gender.

ABSTRACT
This paper discusses the depiction of Lara Croft from time to time and its relation to her sexuality and role as the main character in Tomb Raider video game series. Tomb Raider 1996 , Tomb Raider Legend 2006 , and Tomb Raider 2013 are compared to find how Lara is represented in different era of the game series. Using textual analysis and Mulvey rsquo s male gaze as the framework, it is revealed that there is sexual objectification in the depiction of Lara Croft in the older version of Tomb Raider. While the newest reboot is less sexualized, the game itself is ambivalent since it shows sexual violence. This paper contributes to the discussion of how women are represented in video games in relation to gender studies."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Prasetyo
"ABSTRAK
Dalam setengah dekade terakhir, produksi karya sastra pekerja migran di Singapura berkembang pesat. Para pekerja migran tersebut berkumpul untuk menarasikan kisah melalui segi pandang mereka sendiri, bertekad untuk membentuk ulang narasi dominan mdash;yang cenderung negatif mdash;seputar pekerja migran. Beberapa peneliti telah mulai mempelajari karya sastra produksi pekerja migran. Namun, penelitian yang mereka lakukan hampir selalu terfokus pada karya sastra itu sendiri; belum ada peneliti yang mendiskusikan produksi karya sastra pekerja migran dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Penelitian ini berusaha memahami bagaimana penulis migran memosisikan diri mereka di tengah sistem semi-otoriter Republik Singapura. Melalui metode etnografi daring online ethnographic method , peneliti mengumpulkan data melalui wawancara-wawancara yang dilakukan dengan penulis migran terkemuka yang karyanya telah dicetak dan diterbitkan oleh penerbit lokal. Penulis-penulis migran tersebut meliputi Wina Indonesia , Fedelis Filipina , dan Hasan Banglades . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif dan politik para penulis migran dipicu oleh Migrant Worker Poetry Competition dan program-program pasca-acaranya yang diselenggarakan bersama Sing Lit Station. Dalam praktiknya, skema work permit untuk pekerja rumah tangga dan konstruksi bangunan menggeser kekuasaan dari pusat negara kepada para majikan; hal ini menciptakan efek pendisiplinan berganda terhadap para penulis migran. Sering kali, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi mereka. Akan tetapi, para penulis migran tersebut nyatanya dapat melakukan negosiasi terhadap kondisi ini. Faktor-faktor yang menentukan proses negosiasi tersebut meliputi: latar belakang pendidikan, kecakapan menggunakan perangkat sastra literary devices , dan kasus hukum yang pernah mereka alami.

ABSTRACT
The last half a decade has seen the proliferation of migrant literary writings in Singapore. These migrant writers have banded together to narrate their stories through their own lens, determined to reshape the dominant mdash often negative mdash discourse surrounding migrant workers. Researchers have begun to study these literary writings. However, such researches are invariably centered on the literary works no one has discussed the production of migrant literary works with regards to State power. This research attempts to understand how migrant writers position themselves amidst the soft authoritarian system of Singapore Government. Using online ethnographic method, I gathered data from online interviews with three prominent migrant writers who have their literary works published and circulated by local publishers. These writers include Wina Indonesian , Fedelis Filipino , and Hasan Bangladeshi 1 . The results demonstrate that the migrant writers rsquo political and collective consciousness is raised, in large part, by Migrant Worker Poetry Competition and its post event programs put together in collaboration with Sing Lit Station. In practice, the existing work permit scheme for domestic and construction workers decenters power from the State to employers, creating multiple disciplining forces towards migrant writers. Often, this condition raises concerns among said workers. Nevertheless, some negotiation is enacted by these migrants. The factors determining the negotiation enacted by these writers include educational background, mastery of literary devices, and legal cases that they have had in the past. 1 The names Wina, Fedelis, and Hasan are not their real names "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Yusuf Eko Suwarno
"ABSTRAK
Karya sastra anak kerapkali memperkuat gagasan gender, entah itu melalui representasi gender, konstruksi gender, dll. Sebagai kerangka teoretisnya, penelitian ini bergantung pada teori Judith Butler tentang identitas yang dibangun secara sosial dan teori esensialisme gender untuk mempelajari konstruksi identitas gender tokoh utama dalam The Miraculous Journey of Edward Tulane karya Kate Dicamillo. Dalam teorinya, Judith menyatakan bahwa identitas gender kita adalah produk konstruksi sosial yang diabadikan melalui wacana-wacana untuk menciptakan rasa identitas yang melekat; yang berarti bahwa itu bukan proses alami. Sebaliknya, pendekatan esensialisme pada identitas gender menekankan bahwa ada esensi sejati dalam identitas gender kita. Makalah ini, dengan demikian, berfokus pada analisis kontestasi antara konstruksi sosial identitas gender dan esensialisme gender yang dipostulasikan dalam buku ini. Jurnal ini juga mengkaji bagaimana konstruksi identitas gender Edward - yang digambarkan melalui konstruksi sosial ndash; sebetulnya mengemukakan ide esensialisme gender.

ABSTRACT
Children 39;s literature often reinforces the idea of gender, whether it is through the representation of genders, the construction of genders, etc. As its theoretical framework, this study depends on Judith Butler 39;s theory of socially constructed identity and the theory of gender essentialism to study gender identity construction of the main character in Kate Dicamillo 39;s The Miraculous Journey of Edward Tulane. In her theory, Judith states that our gender identity is a product of social construction that is perpetuated through discourses to achieve a sense of inherent identity, meaning that it is not a natural process. On the contrary, essentialism approach on gender identity stresses that there is a true essence in our gender identity. This paper, thus, focuses on analyzing the contestation between the social construction of gender identity and gender essentialism that is postulated in the book. It also examines how the construction of Edward 39;s gender identity mdash;which is articulated to be embodying a socially constructed identity mdash;propounds the idea of gender essentialism."
2018
Mk-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Livina Veneralda
"Meskipun sudah lebih banyak cerita dalam film Hollywood yang berpusat pada para karakter perempuan, representasi perempuan dalam perfilman Hollywood masih problematis, mengingat para karakter ini menginternalisasi gagasan perempuan sebagai sang Liyan. Berdasarkan pendapat Beauvoir 2010 , karena perempuan dipojokkan sebagai sang Liyan, mereka menjadi bagian yang tidak penting dalam masyarakat. Dalam film Blue Jasmine 2013 , Jasmine tidak memiliki kekuasaan untuk merancang dan memimpin masa depannya karena ia menyerahkan dirinya kepada laki-laki. Kemudian, ketika ia berusaha untuk membebaskan dirinya dari situasi tersebut, ia mengalami tekanan yang datang dari atasannya, seorang laki-laki. Menerapkan konsep imanen dan transenden milik Beauvoir untuk menjelaskan perjalanan Jasmine, pada akhirnya ia terjebak dalam imanensi ketika ia membiarkan laki-laki memiliki kekuasaan atas dirinya. Meskipun demikian, ketika Jasmine ingin mengambil alih kekuasaan atas dirinya lewat pendidikan, ia telah bertujuan untuk mendapatkan transendensi. Terlepas dari usahanya untuk mendapatkan transendensi tersebut, Jasmine kembali jatuh pada imanensi. Menggunakan analisis tekstual, karya ilmiah ini menemukan bahwa film ini menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan bagi perempuan untuk mendapat transendensi. Selain itu, kegagalan tersebut berujung pada akhir yang tragis, dan mengandung pesan bahwa perempuan terikat pada imanensi.

Although there have been more Hollywood movies having their stories centered on female characters, their representation in Hollywood cinema is still problematic as most of these female characters often internalize the notion of women as the Other. According to Beauvoir 2010 , since women are deemed to be the Other, they become inessential part of the society. In the movie Blue Jasmine 2013 , Jasmine has no power to design and lead her future as she subjugates herself to men. Then when she tries to free herself from this situation, she experiences oppression that comes from a male higher-up. Applying Beauvoir rsquo;s concept of immanence and transcendence to explain her journey, Jasmine initially is stuck in immanence when she lets men have power over her. However, when she wants to take control over her own life through education, she aims at achieving transcendence. Albeit her attempt to reach her transcendence, in the end, Jasmine falls back into immanence. Using textual analysis, this paper found that the movie creates an environment that makes it impossible for a woman to transcend. Moreover, this failure leads to her tragic ending, and it conveys a message that women are bound to immanence.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Amalia Prihatini
"Keberadaan karakter non-heteronormatif di serial televisi Amerika semakin terlihat lebih banyak. Publik kini lebih familiar dengan karakter LGBT. Namun, terdapat sebuah stereotipe yakni semua karakter non-heteronormatif diklasifikasikan sebagai LGBT. Riverdale (2017- 2019) terlepas dari stereotipe ini dengan menggambarkan sexual fluidity. Serial televisi Riverdale diadaptasi dari buku komik tahun 1970 dengan alur cerita mengenai kehidupan remaja di Riverdale. Riset sebelumnya mengenai sexual fluidity fokus pada analisis data survei, pengamatan, dan sejarah. Tujuan dari riset ini adalah untuk menginvestigasi bagaimana seksualitas yang berubah-ubah direpresentasikan di serial televisi Amerika, Riverdale. Dengan menggunakan teori Diamond mengenai sexual fluidity (2009), riset ini menemukan bahwa meskipun terdapat beberapa karakter dengan karakteristik sexual fluidity, mereka masih terpengaruh norma heteronormatif.

Non-heteronormative characters have become more visible in American TV series. The public are more familiar with LGBT characters now. However, there is a common stereotype that all non-heteronormative characters are classified as LGBT. Riverdale (2017-2019) breaks away from this stereotype by portraying sexually fluid characters. Riverdale TV series is adapted from 1970s comic book with a plot revolving around teenagers life on Riverdale. Previous sexual fluidity research focus on data analysis of survey, observation, and history. The aim of this research is to investigate how sexual fluidity is represented on Riverdale TV series. Using Diamond`s (2009) theory of sexual fluidity, this research found that although there are some sexually fluid characters, they still follow heternormative norms to some extent."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Audi Kemala Husinsjah
"Kekerasan terhadap perempuan selalu menjadi perhatian utama dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan dapat bersatu membentuk persaudaraan untuk berbagi kekuatan dan sekaligus meluncurkan gerakan feminis untuk berdiri dalam solidaritas dalam memerangi penindasan yang berlapis-lapis. Meskipun begitu, penekanan pada persaudaraan juga bisa menjadi masalah ketika kelas atau ras tertentu terus mendominasi wanita lain untuk mengikuti agenda mereka sendiri. Salah satu karya yang menggambarkan gagasan persaudaraan ini adalah serial TV How to Get Away with Murder, yang ditulis oleh Peter Nowalk, dan juga dikenal sebagai salah satu produksi dari Shonda Rhimes. Menggunakan analisis tekstual dan konsep bell hooks tentang persaudaraan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggambaran persaudaraan seperti yang ditunjukkan oleh Annalise Keating dalam menangani kasusnya serta dengan Bonnie Winterbottom. Sebagai hasilnya, penulis berpendapat bahwa meskipun persaudaraan antara Annalise, kliennya, dan Bonnie secara signifikan alami muncul atas pengalaman mereka yang serupa sebagai korban pelecehan, masih terlihat elemen-elemen yang bermasalah di dalam penggambaran Annalise sebagai penyelamat wanita dan hubungannya dengan Bonnie, karena hal tersebut menyerupai visi persaudaraan yang ditimbulkan oleh wanita kulit putih yang dikritik oleh hooks.

Violence against women has always been a major concern in everyday life. Women can bond together as a form of sisterhood to share strengths and launch a feminist movement to stand in solidarity in fighting multi-layered oppression. However, the emphasis on sisterhood can also be problematic when a certain class or race maintains to dominate other women to follow their own agenda. One of the literary works that depicts this idea of sisterhood is the TV series How to Get Away with Murder, created by Peter Nowalk, also known as one of Shonda Rhimes` productions. Using textual analysis and bell hooks` concept of sisterhood, this research aims to analyze the portrayal of sisterhood as shown by Annalise Keating in dealing with her cases as well as with Bonnie Winterbottom. As a result, I argue that although the sisterhood between Annalise, her clients, and Bonnie naturally arises and is significant to their similar experiences as victims of abuse, problematic elements still persist in the portrayal of Annalise as a savior of women and of her relationship with Bonnie, as it resembles the vision of sisterhood evoked by white women criticized by hooks."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Raihana Savira Pramesti
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perpetuasi supremasi kulit putih di film Star Wars: The Force Awakens, film ketujuh dalam seri film Star Wars. Walaupun Star Wars VII telah dirayakan sebagai film yang memberdayakan perempuan dan orang-orang selain kulit putih karena diperkenalkannya banyak pemain-pemain utama baru dan perempuan sebagai tokoh utama, rasisme masih ada dalam film ini. Dengan menggunakan teori CRT, penelitian ini menemukan bahwa karakter-karakter selain kulit putih dan makhluk luar angkasa memiliki karakteristik yang negatif, sedangkan karakter-karakter kulit putih digambarkan secara positif. Selain penggambaran yang berbeda, karakter-karakter kulit putih melakukan aksi rasis kepada karakter-karakter yang bukan kulit putih, sedangkan karakter-karakter kulit putih menunjukan sikap yang sopan dan santun kepada sesamanya dalam berinteraksi dengan satu sama lain. Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa karakter-karakter bukan kulit putih menjadi bawahan karakter-karakter kulit putih untuk mewujudkan keinginan karakter-karakter kulit putih. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa dengan adanya perbedaan penggambaran, perbedaan sikap, dan subordinasi karakter-karakter bukan kulit putih, supremasi kulit putih diperkuat dalam film ini.

b>ABSTRACT
This research aims to scrutinize white supremacy perpetuation in Star Wars The Force Awakens, the seventh movie on the franchise. Even though Star Wars VII has been celebrated as an empowering movie for women and people of color due to the debut of new main characters and a female as the protagonist, racism is still a prevalent issue in this movie. By using critical race theory CRT , the research found that people of color and extra terrestrials characters embody negative characteristics, while the whites are positively portrayed. Besides the distinguishable portrayals, the white characters do racist acts to the non white characters, whereas the whites show positive attitude in interacting with one another. Furthermore, the study learns that the white need the non white as their subordinates in order to fulfill the white rsquo s goals. Thus, it can be concluded that with the distinct portrayals, different attitude, and subordination of the non white, white supremacy is strengthened in this movie. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Valerie Shanaz
"ABSTRAK
Beberapa wanita, berusaha untuk mencari jati diri mereka dengan menggunakan tubuh sebagai sarana untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri dalam situasi yang berbeda-beda, oleh karena itu, terbentuklah identitas mereka sebagai makhluk feminin di masyarakat. Namun, melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, wanita telah dihadapkan pada kenyataan bahwa tubuh mereka selalu dipandang sebagai objek seksual dan sebagai sarana untuk memuaskan hasrat pria. Di satu sisi, wanita sangat tertindas oleh nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat patriarki. Dalam novel Sidney Sheldon Nothing Lasts Forever 1994 , salah satu karakter wanita bernama Honey Taft, merupakan satu dari contoh wanita yang keberadaannya dalam masyarakat ditentukan hanya berdasarkan tubuh dan seksualitasnya oleh karakter lainnya. Sebagai kerangka teoretisnya, penelitian ini bergantung pada teori perwujudan wanita oleh Simone de Beauvoir. Dalam teorinya, Beauvoir menyatakan bahwa sepanjang sejarah, penindasan perempuan mengalihkan mereka ke ranah imanensi, atau penerimaan pasif dari peran yang ditugaskan kepada mereka oleh masyarakat, sampai mereka tidak lagi sadar bahwa mereka memiliki pilihan bebas. Makalah ini, oleh karena itu, berfokus pada analisis bagaimana tubuh wanita dapat menjadi sumber penindasan salah satu karakter dalam buku ini dengan menggunakan analisis tekstual.

ABSTRACT
Some female, make an attempt to identify themselves by using their bodies as a way of communicating and expressing themselves through different situations, therefore, shaping their identity as a feminine being in the society. However, through experiences in daily life, female have been faced by the fact that their bodies are always seen as sexual objects and as a mean to please men rsquo s desire. In a way, women are much oppressed by the values shared in a patriarchal society. In Sidney Sheldon rsquo s novel Nothing Lasts Forever 1994 , one of the female characters named Honey Taft, is one example of a woman whose existence is often determined only from her body and sexuality by other characters. As its theoretical framework, this study depends on Simone de Beauvoir rsquo s theory of female embodiment. In her theory, Beauvoir stated that throughout history, women rsquo s oppression relegates them to the sphere of ldquo immanence, rdquo or the passive acceptance of roles assigned to them by the society, until they no longer aware that they have free choice. This paper, hence, focuses on analyzing how female body can become the source of oppression for one of the characters in the book by using textual analysis. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Safira Nurarafah
"David Levithan dikenal sebagai salah satu penulis yang tidak menggambarkan karakter LGBTQ yang stereotipikal dalam novel-novelnya. Salah satu novelnya, Every Day (2012) menyampaikan cerita tentang seorang karakter yang memiliki identitas gender berada di luar gender biner (gender non-conforming) yang dapat melakukan perjalanan dari satu tubuh ke tubuh lain setiap hari. Karakter utama novel ini adalah roh yang tidak memiliki tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki konstruksi gender di Every Day (2012). Menggunakan analisis tekstual, penelitian ini menunjukkan bahwa Every Day (2012) mempermasalahkan representasi dari konstruksi gender dan menantang konstruksi tersebut melalui karakternya.

David Levithan is known as one of the authors who does not portray stereotypical LGBTQ character in his novels. One of his novels, Every Day (2012) delivers a story about a gender non-conforming character who can travel from ones body to another every single day. The main character of the novel is a spirit who does not possess any bodies. This research aims to investigate gender construction in Every Day (2012). Using textual analysis, this research suggests that Every Day (2012) problematizes the representation of gender construction and challenges the construction through its characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Carollina Rochmawati
"Film-film bertemakan LGBTQ + semakin populer di kalangan warga Amerika, dan karakter-karakter LGBTQ + semakin sering diperlihatkan di film-film Hollywood sejak abad ke-21. Media umum Amerika sedang meningkatkan keragaman dalam representasi masyarakat, termasuk meningkatkan visibilitas cerita dan karakter LGBTQ +. Salah satunya adalah Call Me by Your Name (2017). Film ini telah memenangkan banyak penghargaan dan diterima dengan baik tidak hanya oleh penonton queer tapi juga penonton heteroseksual. Namun, terdapat masalah dalam penggambaran identitas dan hubungan homoseksual dalam Call Me by Your Name karena adanya unsur heteronormativitas. Penelitian ini disusun dalam bentuk studi pustaka menggunakan analisis tekstual. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap heteronormativitas dalam karakterisasi, plot, dan sinematografi Call Me by Your Name, serta menjelaskan bagaimana penggambaran homoseksualitas sebagai identitas seksual dan hubungan homoseksual dalam film ini berkontribusi pada kesuksesannya. Hasil analisis menunjukan bahwa Call Me by Your Name gagal menampilkan representasi homoseksualitas secara positif karena melanggengkan heteroseksisme dan memberikan gratifikasi kepada penonton heteroseksual.

LGBTQ+ movies have gained more popularity among American audience, and LGBTQ+ characters have been more visible in Hollywood movies since the twenty-first century. American mainstream media has been working on the diversity of representations, including bringing up the visibility of LGBTQ+ narratives and characters. One of them is Call Me by Your Name (2017). The movie has won numerous awards and been well received by not only queer but also heterosexual audience. However, its portrayals of homosexual identity and relationship are problematic due to the presence of heteronormativity. This research is written in a form of library research using textual analysis. This research aims to find heteronormativity in its characterization, plot, and cinematography, and to elaborate how its heterosexist portrayals of homosexuality as a sexual identity and a homosexual relationship contribute to its success. The findings show that Call Me by Your Name fails to offer a positive representation of homosexuality because it perpetuates heterosexism and gratifies heterosexual audience."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>