Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Diella Amanda
"Sejak pertama kali dinyatakan ilegal melalui la loi n° 70-1320 du 31 décembre 1970, kebijakan pemerintah Prancis terhadap ganja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Prancis merupakan salah satu negara dengan hukuman paling berat untuk penggunaan ganja di Eropa. Namun, meskipun memiliki hukum yang berat, Prancis merupakan salah satu negara dengan persentase konsumen ganja tertinggi di Eropa. Hasil survei populasi umum yang dilakukan oleh Santé publique France dan OFDT menunjukkan bahwa ganja merupakan psikoaktif terlarang yang paling banyak digunakan di Prancis dan penyebaran ganja di Prancis terus meningkat sejak diberlakukannya kebijakan pelarangan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran regulasi tersebut dalam menanggulangi permasalahan konsumsi ganja di Prancis. Penelitian ini mencari tahu pengaruh konsumsi ganja di Prancis terhadap regulasi yang dibuat pada masa pemerintahan Emmanuel Macron dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan sebelumnya yang tidak efektif serta seruan reformasi dari masyarakat tidak mempengaruhi kebijakan Emmanuel Macron dalam upaya menanggulangi permasalahan terkait ganja di Prancis. Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Emmanuel Macron memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu dekriminalisasi parsial atau contraventionnalisation serta percobaan penggunaan ganja untuk tujuan terapeutik. Meskipun kebijakan baru Macron dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah, langkah ini berupaya untuk menghindari perselisihan antara pihak-pihak yang menuntut legalisasi ganja, serta pihak konservatif yang bersikeras mempertahankan hukum ganja yang represif

Since it was first declared illegal through la loi n ° 70-1320 du 31 décembre 1970, the French government's policy towards cannabis has not changed significantly. France is one of the countries with the most severe penalties for the use of marijuana in Europe. However, despite its tough laws, France has one of the highest percentage of cannabis consumers in Europe. The results of a general population survey conducted by Santé publique France and OFDT shows that marijuana is the most widely used illicit psychoactive in France and that diffusion of cannabis in France has continued to increase since the enactment of the ban. This raises questions about the role of these regulations in overcoming the problem of cannabis consumption in France. This research investigates the effect of marijuana consumption in France on regulations made during Emmanuel Macron administration period using qualitative methods and literature study techniques. This research proves that the previous ineffective policies and calls for reform from the public did not influence Emmanuel Macron's policies in trying to tackle the problems related to cannabis in France. In dealing with this problem, Emmanuel Macron's government decided to take a middle course, namely partial decriminalization or contraventionnalisation and the trial of using marijuana for therapeutic purposes. While Macron's new policies do not really solve the problem, the move seeks to avoid clashes between parties claiming marijuana legalization and conservatives who insist on maintaining repressive cannabis laws"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Hamonangan
"Tesis ini membahas relasi antara Pemerintah Prancis sebagai aktor negara dan organisasi non-pemerintah sebagai aktor non-negara, dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Prancis terhadap isu perubahan iklim global pasca Protokol Kyoto. Penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri melalui pendekatan sosial untuk menjelaskan peran organisasi non-pemerintah di dalam dinamika struktrur domestik mengenai kebijakan iklim Prancis. Hasil kajian tesis ini menunjukkan bahwa di dalam sistem yang demokratis, organisasi non-pemerintah memiliki ruang untuk mempengaruhi pemerintah Prancis terkait kebijakannya terhadap perubahan iklim. Dalam konteks isu perubahan iklim di Prancis, organisasi non-pemerintah memiliki sebagai penyedia informasi dan kelompok lobi. Selain itu, organisasi non-pemerintah juga berupaya membuat perubahan normatif dengan membangun jejaring sesama organisasi non-pemerintah dan dengan pemerintah di tingkat lokal. Organisasi non-pemerintah juga menikmati hubungan kerjasama secara langsung bersama Pemerintah Prancis. Hal tersebut ditujukan guna menciptakan keselarasan antara tindakan negara dan masyarakat sipil di tingkat domestik Prancis dan juga kebijakan di tingkat internasionalnya. Penulis berpendapat bahwa kebijakan luar negeri Prancis dalam merespon isu perubahan iklim pasca Protokol Kyoto merupakan hasil pertemuan dari upaya pengambilan posisi kepemimpinan dalam negosiasi iklim internasional dan tujuan nasionalnya, di mana organisasi non-pemerintah memiliki peran sebagai aktor non-negara yang mendesak negara untuk dapat bertindak lebih maju dan selaras sesuai dengan kebijakan luar negeri yang responsif terhadap isu perubahan iklim, namun juga dengan tetap memperhatikan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi masyarakat Prancis.

This thesis analyzes the relationship between French Government as a state actor and non-governmental organizations as non-state actors, in the process foreign policy making process on the issue of global climate change after the Kyoto Protocol. The author uses foreign policy theory through a social approach to explain the role of non-governmental organizations in the dynamics of domestic structures regarding French climate policy. The results of this thesis study show that in a democratic system, non-governmental organizations have room to influence the French government regarding their policies on climate change. In the context of climate change issues in France, non-governmental organizations have information providers and lobby groups. In addition, non-governmental organizations also try to make normative changes by building relationships between networks of non-governmental organizations and the government at the local level. Non-governmental organizations also enjoy direct cooperative relations with French government. It is intended to create harmony between the actions of the state and civil society at the French domestic level and also at the international level. The author argues that France's foreign policy in responding to the issue of climate change after the Kyoto Protocol is the result of a meeting of the interplay between taking leadership positions in international climate negotiations and its national goals, in which non-governmental organizations have a role as non-state actors who urge countries to act more advanced and aligned in accordance with foreign policies that are responsive to the issue of climate change, while continuing to pay attention to social and economic justice for the French citizen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhang Guannan
"Sejarah pertukaran perdagangan dan budaya sudah sejak lama terjadi antara China dan Indonesia, sejak zaman Jalur Sutra pada abad-13 SM. Kedua bangsa ini sudah mulai berkomunikasi melalui perdagangan. Salah satu peristiwa yang terkenal
terkait kontak dagang ini adalah kisah pelayaran Zhenghe (郑和atau lebih dikenal dengan sebutan Chengho, seorang navigator dan Laksamana armada laut pada Dinasti Ming/1368-1644 M ) ke Indonesia. Kontak dagang China-Indonesia melalui Jalur Sutra di masa lalu bangkit kembali di masa sekarang dalam bentuk kerja sama bisnis, seiring dengan program One Belt One Road yang digagas oleh pemerintah China. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sejauh mana interaksi budaya Indonesia-China di dalam dunia bisnis, konflik budaya yang terjadi, serta cara mengatasinya. Selain itu, penelitian ini bermaksud mengetahui seberapa jauh para pekerja di perusahaan multinasional China di Indonesia mengenal program One Belt One Road, khususnya dalam hubungan China dan Indonesia sebagai dasar pemahaman mereka atas kerja sama bisnis kedua
pihak tersebut. Melalui metode deskriptif-kualitatif, penulis melakukan penelitian
lapangan dan mewawancarai langsung para pelaku bisnis etnis Tionghoa di Indonesia dan beberapa pelaku bisnis China yang bekerja di Indonesia untuk menemukan jawabannya. Konsep yang digunakan untuk menganalisis adalah konsep konflik budaya. Penelitian ini menemukan bahwa pemahaman tentang OBOR tidak mempengaruhi interaksi bisnis antara etnis Tionghoa dengan China, serta menemukan bahwa perbedaan budaya kerja di Indonesia dan di China memungkinkan terjadinya konflik budaya.

The history of trade and cultural exchanges has been going on for a long time
between China and Indonesia, since the time of the Silk Road in the 13th century BC. The two nations have begun to communicate through trade. One of the well-known events related to this trade contact is the story of the voyage of Zheng He, or better known as Chengho, a navigator and Admiral of the naval fleet in the Ming Dynasty/1368-1644 AD) to Indonesia.
Chinese-Indonesian trade contacts through the Silk Road in the past have revived in the present in the form of business cooperation, following with the One Belt One Road program initiated by the Chinese government. This study intends to find out theextent of Indonesian-Chinese cultural interaction in the business world, cultural conflicts that occur, and how to overcome them. In addition, this study aims to figure out how far the workers in Chinese multinational companies in Indonesia are familiar with the One Belt One Road program, especially in China and Indonesia relations as
the basis for their understanding of the business cooperation of the two parties.
Through descriptive-qualitative methods, the author conducted field research and interviewed Chinese ethnic business people in Indonesia and several Chinese business people working in Indonesia to find answers. The concept used to analyze is the concept of cultural conflict. This study found that understanding of OBOR did not affect business interaction between ethnic Chinese and Chinese, also, the differences
in work culture between Indonesia and China made cultural conflicts possible.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fandra Febriand
"Penelitian ini tentang representasi identitas diaspora Tionghoa dalam dua film, yaitu The Journey (Malaysia) dan Ngenest (Indonesia). Peran diaspora Tionghoa sejak awal kehadiran film di kedua negara (akhir 1920-an) sangat signifikan. Akan tetapi, sejak periode akhir 1960-an hingga tahun 2000, peran itu dan tema ketionghoaan berkurang sangat drastis akibat dari kebijakan politik kedua negara terhadap diaspora Tionghoa. Baru setelah tahun 2000-an, seiring perubahan politik di Indonesia dan ketersediaan teknologi dalam pembuatan film di Malaysia, film bertema ketionghoaan kembali hadir di kedua negara. The Journey (2014) dan Ngenest (2015) diproduksi pada era setelah tahun 2010-an, dan disutradarai oleh diaspora Tionghoa. Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini melakukan analisis mendalam terhadap unsur-unsur pembentuk kedua film, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Konsep representasi dan identitas dari Stuart Hall digunakan sebagai kerangka teoritis dalam penelitian ini untuk memahami representasi identitas diaspora Tionghoa dalam kedua film dari dua negara ini.
Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kedua film sama-sama merepsentasikan hal- hal berikut, namun dengan cara yang berbeda, yaitu: 1) tradisi adalah bagian dari penanda identitas diaspora Tionghoa; 2) dinamika identitas yaitu berupa tegangan antara tradisi dengan modernitas (The Journey) dan antara ketionghoaan dengan pandangan diskriminatif terhadapnya (Ngenest); 3) ketidakadaan relasi dengan Tiongkok sebagai negara secara politis. Representasi identitas diaspora Tionghoa di dalam kedua film sangat berbeda karena tidak terlepas dari perbedaan sosial, budaya, dan politik identitas terhadap diaspora Tionghoa di kedua negara tersebut. Masing-masing tokoh utama dalam kedua film merepresentasikan bagaimana identitas diaspora Tionghoa berada dalam kondisi “being” dan “becoming” dalam konteks konsep identitas dari Stuart Hall, yaitu identitas adalah a matter of “becoming” as well as of “being”.

This research is about the representation of the Chinese diaspora‟s identity in two different films, The Journey (Malaysia) and Ngenest (Indonesia). Since the late 1920s, when the cinema has just started to be introduced in both countries, the contributions of the Chinese diaspora has been very significant. However, from the late 1960s to 2000, there has been a decline in the participation of the Chinese diaspora in the cinema which results in the decline of Chinese-themed films. This phenomenon was a result of the two countries' political policies towards the Chinese diaspora. It was only after the 2000s, along with political changes in Indonesia and the availability of technology in filmmaking in Malaysia, that Chinese-themed films returned to both countries. The Journey (2014) and Ngenest (2015) were produced in the post-2010s era, and were directed by the Chinese diaspora. Using qualitative methods, this research conducts an in-depth analysis of the elements of the two films, which are the narrative elements and cinematic elements. Stuart Hall's concept of representation and identity was used as a theoretical framework to understand the representation of Chinese diaspora identity in the two films from these two countries.
The findings of this study are that both films represent the followings: 1) tradition is part of the identity marker of the Chinese diaspora; 2) the dynamics of identity in the form of tension between tradition and modernity (The Journey) and between Chinese and discriminatory views against it (Ngenest); 3) the absence of relations with China as a country politically. However, there were differences in how those things were represented. The different representations were related with the differences in terms of social, cultural, and identity politics of the Chinese diaspora in both countries. Using Stuart Hall‟s concept of identity, it can be seen that each of the main characters in both films represents how the identity of the Chinese diaspora is in a state of "being" and "becoming".
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Haryo Nugroho
"Di masa modern saat ini, kehidupan umat manusia tidak dapat dipisahkan dari fenomena diaspora. Diaspora merujuk kepada sekelompok manusia yang hidup di luar wilayah yang menjadi asal mereka, baik atas pilihan sukarela atapun keadaan memaksa. Etnis Maluku, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Asia Tenggara, memiliki banyak komunitas diaspora yang tersebar di Belanda. Jumlah mereka cukup signifikan dan menjadi salah satu komunitas terbesar diaspora asal Indonesia. Kepergian mereka meninggalkan tanah Maluku dapat dirunut sejak di bubarkannya tentara kolonal Belanda (KNIL) dan lahirnya Republik Maluku Selatan (RMS). Generasi pertama dari diaspora Maluku di Belanda umumnya terdiri dari keluarga mantan tentara KNIL yang tak ingin meleburkan diri ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berintegrasi pada masyarakat Indonesia di wilayah lain. Meski begitu, kedatangan mereka di negeri Belanda tidak mendapat sambutan hangat, baik dari pemerintah Belanda maupun masyarakatnya. Keberadaan mereka menarik untuk diketahui terlebih mereka juga tinggal secara eksklusif di sebuah kompleks khusus yang dikenal sebagai “Mollucan Quarter”. Identitas diri dari para diaspora Maluku yang tinggal di negeri Belanda juga berbeda-beda.
Sejak masa lampau, manusia tidak dapat dipisahkan dari fenomena diaspora. Diaspora merupakan istilah yang merujuk kepada sekelompok manusia yang hidup di luar wilayah asal mereka. Tesis ini meneliti sekelompok etnis Maluku yang menjadi komunitas diaspora di negeri Belanda. Sekelompok etnis Maluku ini merupakan tentara Maluku anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang berpihak kepada Belanda melawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam masa perang kemerdekaan (1945--1949). Keberadaan diaspora Maluku di Belanda yang telah beregenerasi ini menarik untuk diteliti terkait identitas kebudayaan yang dikembangkan, antara mempertahankan tradisi kebudayaan Maluku dan adaptasi dengan kebudayaan Belanda. Dengan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik wawancara jarak jauh melalui platform zoom, tesis ini memperoleh gambaran kehidupan hibrida yang dipresentasikan oleh komunitas diaspora Maluku di Belanda.

In today's modern era, human life cannot be separated from the diaspora phenomenon. Diaspora refers to a group of people who live outside their native territory, either by voluntary choice or by coercion. Ethnic Maluku, as a part of Southeast Asian society, has many diaspora communities spread across the Netherlands. Their number is quite significant and is one of the largest diaspora communities from Indonesia. Their departure from the land of Maluku can be traced since the disbandment of the Dutch colonial army (KNIL) and the birth of the Republic of South Maluku (RMS). The first generation of the Moluccan diaspora in the Netherlands generally consisted of families of former KNIL soldiers who did not wish to integrate themselves into the Indonesian National Army (TNI) and integrate into Indonesian society in other areas. Even so, their arrival in the Netherlands did not receive a warm welcome, both from the Dutch government and the people. Their existence is interesting to know especially that they also live exclusively in a special complex known as the “Mollucan Quarter”. The identity of the Maluku diaspora living in the Netherlands is also different.
Since ancient times, humans cannot be separated from the diaspora phenomenon. Diaspora is a term that refers to a group of people who live outside their territory of origin. This thesis examines a group of ethnic Moluccas who are a diaspora community in the Netherlands. This Moluccan ethnic group is a Moluccan soldier who is a member of the KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger or Royal Dutch East Indies Army) which sided with the Dutch against the Indonesian National Armed Forces (TNI) during the war for independence (1945-1949). The existence of the regenerated Moluccan diaspora in the Netherlands is interesting to study regarding the cultural identity developed, between maintaining Maluku cultural traditions and adaptation to Dutch culture. With qualitative research using remote interview techniques through the zoom platform, this thesis obtains a description of the hybrid life presented by the Maluku diaspora community in the Netherlands.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bariq Mughniy Waliyyaayasi
"Tesis ini berisi pembahasan mengenai ide virtual tour oleh museum sebagai upaya menarik minat masyarakat agar tetap dapat mengunjungi museum selama masa pandemi Covid-19. Hal ini bertujuan agar museum tetap dapat mempertahankan warisan budaya, khususnya bagi kedua kota yang difokuskan di dalam tesis ini, yaitu Jakarta dan Hanoi. Penelitian ini akan memperlihatkan bagaimana efek pada masing-masing kota tersebut dalam menarik minat masyarakat agar dapat tetap mempertahankan warisan budayanya. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana tampilan dari virtual tour itu sendiri, sehingga pembaca dapat mengerti tentang teknologi ini dan dapat melihat keunggulan dan kelemahan dari ide tersebut terhadap kedua museum di kedua negara. Selain itu, Pemerintah di kedua negara ini masing-masing memiliki strategi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap kebudayaan. Hubungan bilateral juga dibangun oleh kedua negara untuk memperkuat strategi pengembangan industri pariwisata. Beberapa aspek yang menjadi fokus pembahasan agar strategi tersebut dapat berjalan dengan lancar, yaitu dengan melihat sisi sumber daya manusia dan juga sumber daya budaya di masing-masing negara. Setelah mengetahui kelebihan dan kekurangan strategi dari kedua negara, maka akan dapat dilihat seberapa efektif kedua museum dari kedua negara untuk menjalankan teknologi virtual tour. Untuk itu, perlu dilihat juga bagaimana kondisi budaya wisata museum baik di Indonesia maupun di Vietnam, agar dapat melihat akankah strategi yang telah dilakukan oleh kedua negara berjalan sesuai dengan yang diharapkan dalam perjanjian bilateral yang telah dibuat. Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan kedua pemerintah negara dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan? Penelitian ini akan menjelaskan ide virtual tour di kedua negara, dengan melihat kelebihan dan kekurangan apa yang dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan teknologi tersebut menjadi semakin baik ke depannya. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dan analisis deskriptif, dengan teknik perbandingan untuk mendapatkan hasil penelitian berupa perbandingan virtual tour berdasarkan pada kelebihan dan kekurangannya. Melalui teori pemertahanan budaya, akan didapati hasil penelitian berupa keberhasilan pemerintah dalam mempertahankan budaya, serta hambatan yang dialami selama mempertahankan budaya.

This thesis contains a discussion about the idea of ​​a virtual tour by a museum as an effort to attract public interest so that they can still visit museums during the Covid-19 pandemic. It is intended that the museum can maintain cultural heritage, especially for the two cities that are focused in this thesis, they are Jakarta and Hanoi. This research will show how the effect on each of these cities in attracting people's interest in order to maintain their cultural heritage. This research also explains how the virtual tour itself looks, so the readers can understand this technology and see the advantages and disadvantages of the idea against the two museums in both countries. In addition, the Governments in these two countries each have strategies to increase public interest in culture. Bilateral relations were also built by the two countries to strengthen the tourism industry development strategy. Several aspects are the focus of discussion so that the strategy can run smoothly, namely by looking at the human resources side and also the cultural resources in each country. After knowing the advantages and disadvantages of the strategies of the two countries, it will be seen how effective the two museums from the two countries are in carrying out virtual tour technology. For this reason, it is also necessary to look at the condition of museum tourism culture both in Indonesia and in Vietnam, in order to see whether the strategies that have been carried out by the two countries will work as expected in the bilateral agreement that has been made. How can the efforts of the two governments succeed as expected? This research will explain the idea of ​​a virtual tour in both countries, by looking at the advantages and disadvantages of what can be used as a reference to develop the technology for the better in the future. This thesis will use qualitative methods and descriptive analysis, with comparative techniques to obtain research results in the form of a virtual tour comparison based on the advantages and disadvantages. Through the theory of cultural defense, research results will be found in the form of the government's success in maintaining culture, with the obstacles experienced while maintaining culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuranindia Endah Arum Purwatiningsih
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas ketepatan padanan istilah tata hidang yang terdapat
dalam Kamus Prancis Indonesia Pariwisata karya Tito W. Wojowasito dengan
menganalisis komponen makna entri dan subentri yang berkaitan dengan bidang
tata hidang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa padanan istilah tata hidang yang
terdapat dalam kamus ini sudah cukup baik dengan jumlah padanan tepat
sebanyak 45 buah dari total 50 padanan. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa
peralatan tata hidang yang digunakan masyarakat penutur bahasa Prancis dan
bahasa Indonesia pada umumnya tidak jauh berbeda. Namun, ditemukannya
padanan yang kurang tepat menunjukkan bahwa tidak adanya padanan dalam
bahasa sasaran yang benar-benar sama dengan bahasa sumber karena terdapat
perbedaan budaya dan lingkungan hidup antarmasyarakat pengguna bahasa.

ABSTRACT
This research studies the equivalence of food service terms in Kamus Prancis
Indonesia Pariwisata, a specialized bilingual dictionary, by analizing the
components of entries and subentries related to food service. The result shows that
there are 50 accurate equivalences. It reveals that the food service utensils used in
France and Indonesia are similar. However, the inaccurate equivalences prove that
there are no identical equivalent due to the cultural differences between language
users."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danya Triaselini
"Ungkapan metaforis dalam lagu di album Racine Carree menarik untuk diteliti karena dapat merepresentasikan sesuatu yang lain dari kata tersebut. Selain itu, juga dapat mengetahui alasan mengapa penulis menggunakan kata tersebut yang dapat dikaitkan dengan latar belakang kehidupannya. Penelitian ini membahas makna dan jenis-jenis metafora yang terdapat dalam tiga lirik lagu rap Prancis “Carmen”, “Formidable”, dan “Papaoutai” di album Racine Carree karya Stromae. Penggunaan metafora dalam lirik lagu juga dikaitkan dengan latar belakang kehidupan Stromae. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis komponen makna Leech (1981) dan teori metafora Ullman (1962). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metafora di dalam tiga lagu yang ditulis di dalam album tersebut menceritakan tentang dirinya sendiri dan merepresentasikan latar belakang hidupnya. Selain itu, ditemukan bahwa Stromae merupakan penyanyi yang suka mengakulturasikan budaya di dalam karya-karyanya. Jenis metafora yang dominan dalam tiga lagu tersebut adalah metafora konkret ke abstrak. Tiga lagu ini memiliki kesamaan tema, yaitu kehilangan. Akan tetapi, penggunaan metafora di tiga lagu tersebut memiliki perbedaan pada penggunaan unsur metafora. Hal ini terjadi karena unsur yang hilang dalam setiap lagu berbeda: kehilangan interaksi dalam dunia nyata, kehilangan sosok ayah, dan sosok kekasih.

The metaphorical expression in the song on the album Racine Carree is interesting to discuss because it can represent something else from the word. In addition, you can also find out the reason why the author uses the word that can be related to the background of his life. This research discusses the meaning and types of metaphors contained in three French rap song lyrics "Carmen", "Formidable", and "Papaoutai" on Stromae's Racine Carree album. The use of metaphors in song lyrics is also related to the background of Stromae's life. This research is a qualitative research using Leech's (1981) meaning component analysis and Ullman's metaphorical theory (1962). The results of the research show that the use of metaphors in the three songs written on the album tells about itself and represents the background of his life. In addition, it was found that Stromae is a singer who likes to acculturate culture in his works. The dominant type of metaphor in the three songs is a concrete metaphor to abstract. These three songs have the same theme, namely loss. However, the use of metaphors in these three songs has a difference in the use of metaphorical elements. This happens because the elements lost in each song are different: losing interaction in the real world, losing the figure of the father, and the figure of the lover."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atalia Dewi Febrianne
"Pada awal masa Republik Kelima, pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Prancis atau Anglisisme semakin kuat akibat perluasan kebudayaan serta superioritas teknologi dan ekonomi Amerika Serikat usai Perang Dunia II. Sebagai reaksi terhadap situasi ini, Prancis mengambil tindakan resistensi untuk mempertahankan kemurnian bahasa Prancis melalui penerapan kebijakan bahasa. Meski demikian, sikap Prancis terhadap Anglisisme senantiasa berubah seiring dengan pergantian masa pemerintahan. Perkembangan sikap Prancis terhadap Anglisisme terwujud dalam pembentukan berbagai badan regulator bahasa pada masa pemerintahan Charles de Gaulle dan Georges Pompidou, pengesahan Undang-Undang Bas-Lauriol pada masa pemerintahan Valéry Giscard dsstaing, pengesahan Undang-Undang Toubon pada masa pemerintahan François Hollande, dan dilakukannya berbagai upaya untuk menerima pengaruh bahasa Inggris setelah pengesahan Undang-Undang Toubon. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini memaparkan kebijakan bahasa yang diterapkan sejak awal masa Republik Kelima hingga tahun 2015 untuk menguraikan keterkaitan perkembangan ideologi politik dan sikap Prancis terhadap Anglisisme pada periode itu. Melalui analisis terhadap perkembangan kebijakan bahasa pada masa Republik Kelima, terungkap bahwa perubahan ideologi pemerintah Prancis pada masa Republik Kelima menjadi faktor pembentuk sikap Prancis terhadap Anglisisme dari satu masa pemerintahan ke masa pemerintahan berikutnya.

At the beginning of the French Fifth Republic, Anglicism flourished in France due to the growing cultural expansion and economic power of the United States. In order to preserve the purity of the French language, France began the national resistence against Anglicism through its language policies. The development of the French attitude towards Anglicism throughout the Fifth Republic was manifested in the formation of various linguistic organizations during de Charles de Gaulle and Georges Pompidous government, the ratification of the Bas-Lauriol Law during Valéry Giscard dsÉstaings government, the ratification of the Toubon Act under François Hollande, and the growing acceptance of the English linguistic influence after the ratification of the Toubon Act. This study discusses the language policies implemented since the beginning of the Fifth Republic until 2015 to analyze the relationship between the development of political ideology and the French attitudes towards Anglicism. Through the analysis of the development of language policy during the Fifth Republic, it is revealed that the change of ideology of the French government during the Fifth Republic is the main factor that dictates Frances attitude towards Anglicism from one government to the next."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mona Rahmawati Wibowo
"ABSTRAK
Kondisi demografis berupa peningkatan angkatan usia tua, yang berasal dari generasi baby-boom, mengharuskan pemerintah untuk menyiapkan pendanaan pensiun yang mencukupi di masa mendatang. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, pemerintah Prancis yang saat itu dipimpin oleh Nicolas Sarkozy, mencanangkan beberapa perubahan dalam sistem pensiun. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 ikut menjadi alasan pendorong pemerintah dalam melakukan reformasi tersebut. Perubahan besar dalam sistem pensiun ini adalah penundaan masa pensiun selama dua tahun yang kemudian mendapat penolakan dari masyarakat Prancis dan berujung pada pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota. Pemerintah akhirnya memutuskan konsesi kecil dalam reformasi kebijakan pensiun yang dilakukan namun tidak mengubah rencana utama yaitu penundaan usia pensiun selama dua tahun. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif untuk memaparkan perkembangan kebijakan sistem pensiun pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy. Melalui pengumpulan data kepustakaan, peneliti meninjau reaksi masyarakat yang muncul pasca diumumkannya rencana perubahan kebijakan pensiun serta meninjau dinamika kebijakan pensiun dan implementasinya.Setelah mengulas pembahasan di atas, penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika kebijakan yang terjadi sejak adanya rencana perubahan kebijakan hingga perubahan dilakukan, bersifat cukup dinamis karena pemerintah melakukan perubahan besar pada awal reformasi sebelum kemudian menambahkan perubahan kecil setelah adanya gerakan resistensi. Hal ini juga mempengaruhi dinamika reaksi masyarakat yang juga ditemukan bersifat cukup dinamis. Masyarakat pada awalnya memberikan reaksi yang cukup besar dengan melibatkan jumlah massa yang banyak dan kemudian mereda setelah kebijakan akhir diterbitkan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>