Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Delia Yosephine Dipasto
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai metode induksi dimana metode tersebut dijadikan sebagai landasan ilmu pengetahuan ilmiah. Generalisasi induksi berfungsi untuk mempermudah kita menentukan standar pengetahuan. Namun di dalam induksi itu sendiri masih banyak terdapat problem. Maka reliabilisme merupakan solusi bagi problem induksi. ......This thesis talks about induction method which is a method that considered as scientific standard of our knowledge. Generalization of induction makes scientists easier to decide about knowledge. But induction itself still has some problems. So reliabilism is the best solution to problem of induction.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S44767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ridho Anugrah
Abstrak :
Penggunaan dan perkembangan pesat teknologi informasi digital memunculkan perubahan signifikan di dalam struktur masyarakat. Luciano Floridi dengan teori re-ontologisasi mengatakan informasi dapat mengubah struktur masyarakat secara radikal. Re-ontologisasi ini dibentuk dari interaksi antara inforgs dan infosphere. Kemudian teori tersebut menjadi dasar etika yang disebut etika informasi (IE). Etika informasi menekankan idealitas, tanpa adanya entropi di dalam infosphere untuk menjelaskan apa itu `baik`. Dari pemahaman bahwa etika adalah konstruksi idealitas, Floridi menganggap manusia sebagai homo poieticus. Homo poieticus berarti manusia yang memiliki sifat pembentuk dan penjaga. Artikel ini berpendapat sebelum menjadi homo poieticus, manusia harus kembali melihat keterbatasan kapasitas kognitifnya. Terutama di dalam pesat dan masifnya perkembangan informasi. Melalui etika behavioral, menjelaskan permasalahan kognitif manusia sebagai agen moral terbatas oleh rasio dan kebiasaannya. Etika behavioral menggunakan konsep dasar seperti keterbatasan rasionalitas, etikalitas terbatas, dan heuristik di dalamnya. Dengan memahami dan menyadari keterbatasan tersebut, manusia dapat memaksimalkan penilaian etis. Keterbatasan ini tidak memungkinkan adanya pemahaman holistik dari etika maupun infosphere. Namun, dari keterbatasan tersebut untuk menjaga infosphere usaha yang dilakukan adalah memaksimalkan penilaian etis. Dari usaha maksimalisasi ini, menurut penulis homo poieticus dapat menjadi lebih bijak. Usage and progress of digital information technology sparks significant shift in the structure of society. Luciano Floridi with his re-ontologization, explaining information could change the society`s structure in radical way. Reontologization is made by interactions of inforgs and infosphere. The theory become a foundation towards a system of ethics named information ethics (IE). Information ethics emphasises on infosphere state with ideality, without entropy to explain what is `good`. Ethics is a construct ons of ideality of infosphere, the role of human being in Floridi`s sense is to become homo poieticus. Homo poieticus is a demiurgic attitude of the informational and moral agent. This article argues that before becoming homo poieticus, moral agents should take a look back into our own limitations of cognitive capacities. Especially in this abundance and fast growing information condition. Through behavioral ethics, I shall explain the problem of limitations of moral agent. Behavioral ethics using concepts like bounded rationality concept, bounded ethicality, and heuristics to explain it. With understanding and realising the limitations, moral agents could maximising ethical decision making. The limitations shows the impossibilities of holistic understanding of ethics nor infosphere. From maximising the limitations, I think homo poieticus could become more virtuous or wise demiurgic agent.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tahta Arash Madani
Abstrak :
Pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan pemerintah yang sangat penting. Pajak
menjadi salah satu sumber penting penerimaan negara untuk membiayai kegiatan negara
dalam menjalankan tugasnya. Secara historis, pajak mulanya dipungut pemerintah untuk
menjalankan tugas negara yang bersifat sederhana, penegakan keamanan dan pembiayaan
perang. Namun dalam perkembangannya, pajak kini telah menjadi salah satu instrument
pemerintah untuk melakukan intervensi dan menciptakan keadilan, melalui kesetaraan
ekonomi. Skema pajak yang sering digunakan dan dipandang sebagai instrumen penciptaan
keadilan adalah pajak progresif, dengan menetapkan beban atau porsi pajak lebih besar
kepada individu atau kelompok yang memiliki kekayaan atau penghasilan lebih tinggi.
Secara sederhana, pajak progresif dibangun dari asumsi bahwa dibutuhkan intervensi
pemerintah yang lebih besar untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan redistribusi
kekayaan. artikel ini bertujuan untuk membantah asumsi keadilan, redistribusi dan perlunya
intervensi negara dalam mencapai kesejahteraan melalui pajak progresif dan menunjukkan
bahwa terdapat permasalahan kepentingan diri manusia yang menyebabkan kapitalisme
tidak cocok dengan pajak progresif. Untuk mencapai tujuan tersebut, artikel ini d isusun
menggunakan metode refutasi, dengan cara mendekomposisi pajak progresif, kemudian
melakukan refutasi (membantah) terhadap asumsi-asumsi tersebut. Sehingga, dapat dilihat
bahwa pajak progresif pada dasarnya tidak sesuai dengan asumsi-asumsi yang
membangunnya dan tidak cocok untuk dalam kondisi kapitalisme dan dunia saat ini yang
sudah semakin terbuka antara satu sama lain. Tax is a very important government policy instrument. Tax is an important source of state
revenue to finance state activities in carrying out their duties. Historically, tax were initially
levied by the government to carry out simple state tasks, security enforcement and war
financing. But in its development, tax has now become one of the government instruments
to intervene and create justice, through economic equality. Tax scheme often used and seen
as instruments of creating justice are progressive taxes, by assigning a greater tax burden or
portion to individuals or groups who have higher wealth or income. Put simply, progressive
tax is built on the assumption that greater government intervention is needed to create
wealth, justice and redistribution of wealth. This article aims to refute the assumptions of
justice, redistribution and the need for state intervention in achieving prosperity through
progressive tax and shows that there are problems of human self-interest that cause
capitalism to be incompatible with progressive tax. To achieve this goal, this article has
been prepared using a refutation method, by decomposing progressive tax, then refute those
assumptions. So, it can be seen that progressive taxation is fundamentally incompatible
with the assumptions that built it and is not suitable for the current condition of capitalism
and the world that are increasingly open to each other.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Rahmah
Abstrak :
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah memasuki tahap hiperhistori dan revolusi komunikasi telah menghilangkan batasan ruang-waktu yang tetap dalam media. Perubahan ini mengubah dunia secara fundamental dan menciptakan mode masyarakat jejaring serta ekosistem digital bernama cyberspace. Keberadaan cyberspace, disertai kemampuan jejaring memproses data digital secara otonom menjadi tantangan besar bagi konsep properti intelektual. Tak hanya memperparah problem internal properti intelektual dalam mengkonstruksikan keterbatasan material pada objek imaterial, cyberspace telah menghilangkan distingsi antara proses publikasi, distribusi, dan re-distribusi, menjadi satu proses utuh yang bersifat interaktif. Artikel ini bertujuan untuk mengkritik bagaimana klaim dan paradigma yang digagas dalam teori justifikasi properti intelektual, baik secara proprietarian maupun konsekuensialis, tidak relevan dalam perkembangan teknologi informasi komunikasi. Melalui analisa konseptual, refutasi, dan elaborasi kritis, artikel ini menemukan bahwa klaim-klaim konsep properti intelektual sudah tidak relevan dalam konteks masyarakat jejaring. Kendati objek imaterial dan kreasi kultural tetap memiliki peran penting dalam sosial, namun keberadaannya dalam masyarakat jejaring lebih tepat untuk dikaji sebagai relasi dibandingkan entitas eksklusif sebagai properti. ......Information and communication technology development has reached hyper history stage, and the communication revolution has surpassed the borders of fixed space-time in the media. This changes the world fundamentally and constitutes a mode of network society as well as the digital ecosystem called cyberspace. The existence of cyberspace, as well as the network’s power to process digital data autonomously, pose a great challenge to the concept of intellectual property. Not only it worsens the existing internal problem of intellectual property in its constructing material scarcity to immaterial objects, but cyberspace has also eradicated the distinction between processes of publication, distribution, and re-distribution, into one single interactive process. This article aims to criticize how intellectual property justification theory claims and paradigms, whether in proprietary view and consequentialist view, is irrelevant to the information and communication technology development. By conceptual analysis, refutation, and critical elaboration, this article exposes that intellectual property justification theory, especially as patent and copyright foundation, is incoherent within its claim in the context of the network society. In spite of the important role that immaterial object and cultural creation operate in society, its existence in the network is more suitable to be comprehended as a relation instead of the exclusive entity as a property.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noorca Maya Regita
Abstrak :
Arsitektur dalam pandangan umum adalah usaha manusia untuk membangun tempat tinggal yang aman dan nyaman. Proses penciptaan bangunan yang dikenal selama ini selalu melibatkan ukuran matematis, tetapi sesungguhnya keseluruhan rangkaian usaha ini merupakan proses yang sangat kompleks. Arsitektur, secara konseptual, didefinisikan sebagai usaha untuk membangun ruang bagi manusia, yang melibatkan penambahan satu dimensi tertentu, yaitu dimensi kemanusiaan. Penciptaan bangunan didasari oleh relasi kuasa yang terjadi dalam lingkungan sosial. Hal inilah yang melahirkan berbagai gaya arsitektur bangunan secara kultural. Keberadaan bangunan memberi peluang bagi penghuni untuk memacu inteligensi melalui adaptasi dan desain menjadi mediasi bagi intensionalitas penghuni terhadap bangunan. ......Architecture in general is a human’s effort to build a secure and comfort home. The creation of a building as we know, is always involving the mathematical measure, however, the whole sequence of these efforts is a complicated process. In a conceptual understanding, architecture is defined as a matter of making a human space, which is adding a particular dimension, i.e. humanistic dimension. The creation of a building is based on the relation of power, which is happened in a social environment. This is what produce so many different style of architectur in culture. The exsistence of a building gives the probability to the dweller for boosting his/her intelligence through the adaptation and the design stance, which is become a mediation for the dweller’s intentionality to the building.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Bernardo Gyorgy
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperjelas permasalahan justifikasi epistemik. Descartes, pada kedua buku tersebut, diasumsikan memiliki argumentasi yang mendasari pengetahuan-pengetahuan yang ia temui. Beberapa dari pengetahuan tersebut adalah eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif. Epistemologi Descartes berangkat dari fondasi 'aku berpikir'; pengetahuan tersebut niscaya benar dan indubitable. Dari situ, Descartes mengetahui bahwa substansi ada dua: mind dan body. Setelah itu, ia mendeduksi (non-silogistik) bahwa pengetahuan mengenai realitas objektif bukan direpresentasikan oleh sensasi, melainkan direpresentasikan oleh ide-ide bawaan di dalam mind. Dari penelitian saya, saya berkesimpulan tiga hal. Yang pertama Descartes melakukan kekeliruan (invaliditas) ketika ia mengetahui eksistensi diri. Descartes keliru mencampur knowing-how dan knowing-that, dan menganggap 'aku berpikir' sebagai objek, hal yang dihipotesiskan tidak luput dari Evil Genius. Yang kedua pengetahuan mengenai distingsi mind-body inkoheren. Hal ini dikarenakan kekeliruan kategoris yang ia lakukan. Yang ketiga prakondisi pengetahuan Descartes mengenai realitas objektif tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan justifikasi realitas formal dengan realitas objektif sama, dan akhirnya pengetahuan tersebut bergantung pada natural light. Oleh karena ketiga hal tersebut, argumentasi Descartes, dalam kedua buku tersebut, mengenai eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif tidak justified.
ABSTRACT
This undergraduate thesis aims to clarify the issues raised about the problem of epistemic justification. Descartes, on both of this book, is assumed to have underlying arguments on the knowledge he discovered. Some of these knowledge are self-existence, the mind-body distinction, and objective reality. Descartes‘ epistemology started from the foundation of 'I think'; such knowledge is necessarily true and indubitable. Descartes recognized that there are two substances: mind and body. Then, he deduced (non-syllogistically) that the knowledge of objective reality is not represented by sensation, but rather by the innate ideas inside of the mind. From my research, I concluded three things. First, Descartes committed an invalid deduction when he discovered self-existence. Descartes mistakenly mixed 'knowing-how' and 'knowing-that', and thought that 'I think' as an object, things which is hypothetically couldn't escape from the Evil Genius. Second, the mind-body distinction is incoherent. This is caused by categorical error that he committed. Third, Descartes' precondition of knowledge about objective reality is not sufficient. This is because in Descartes formal reality and objective reality is the same, and ultimately the knowledge depend on natural light. Because of these three notions, Descartes' arguments inside the two books, about the existence of self, mind-body distinction, and the objective reality are not justified.
2014
S54464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Sopiana
Abstrak :
Problem epistemologi selalu berkaitan dengan perkembangan pengetahuan. Perkembangan pengetahuan dapat dilacak melalui perkembangan ilmu yang telah berkembang pesat sejak revolusi di abad ke-17. Perkembangannya tidak hanya ditandai dengan kemunculan teori-teori yang mempunyai kapasitas eksplanatoris yang luas. Akan tetapi, perkembangan ilmu pengetahuan juga dikarakterisasi oleh standar operasi yang digunakan tanpa disadari, yaitu konfirmasionisme. Penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa konfirmasionisme sebagai metodologi gagal dalam memberikan fondasi bagi pengetahuan kita. ...... The problem of epistemology always concerning about the growth of knowledge. The growth of knowledge can be traced by studying the growth of scientific knowledge which already undergone a terrific development since its revolution in the 17th century. Its development not only visible by the emerging of numerous theories that has a far-ranging explanatory action but also characterized by an insensibly standard operation named confirmationism. This undergraduate thesis is an effort to remark the failure of confirmationism as a methodology in giving a solid ground to our knowledge.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lola Loveita
Abstrak :
Di dalam philosophy of mind, epifenomenalisme adalah sebuah gagasan bahwa relasi sebab-akibat mental dan fisikal bersifat satu arah. Mind atau kesadaran merupakan produk sampingan dari otak dan tidak dapat menyebabkan. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris merupakan latar belakang yang menghasilkan pemahaman bahwa entitas yang mampu menyebabkan hanyalah entitas fisik, khususnya di bidang fisika dan neurofisiologi. Dengan demikian manusia bukanlah agen atau subjek yang memiliki tindakannya karena yang menjadi penyebab tidak lebih hanyalah neuron-neuron semata. Gagasan itu telah mengabaikan ontologi orang-pertama yang bersifat mental dan subjektif. Epifenomenalisme keliru memahami aspek fisik dan mental dari mind sebagai dua entitas yang eksklusif, serta menerapkan hukum fisikal ke dalam relasi di antara keduanya. Meskipun mind identik dengan otak, tetapi ia bersifat anomali karena gagal jatuh ke dalam hukum fisika, sehingga relasi di antara keduanya tidak dapat dijelaskan dengan ketat. ......In the philosophy of mind, epiphenomenalism is an idea that the causal relationship of mental and physical is unidirectional. Mind or consciousness is a byproduct of the brain and cannot be the cause. The development of empirical science is the background which results in the understanding that the only entity capable of causing is physical entities, particularly in the fields of physics and neurophysiology. Thus, human is not an agent or a subject who own their action because the cause is only neurons. The idea had been ignoring first-person ontology which has mental and subjective nature. Epiphenomenalism, thus, misunderstand the physical and mental aspects of the mind as two exclusive entities, as well as the physical laws apply to the relationships between them. Although the mind is identical with the brain, but it is anomalous because it fails to fall into the law.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigay Citta Acikgenc
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas cara menjamin keterandalan sumber pengetahuan testimoni di era teknologi informasi dan komunikasi. Perdebatan mengenai cara menjustifikasi testimoni dilatari oleh tradisi epistemologi modern yang tercermin pada argumentasi reduksionisme dan anti-reduksionisme. Reduksionisme merujuk pada tesis bahwa jaminan keyakinan berbasis testimoni mesti dilandaskan pada sumber non-testimoni seperi persepsi inderawi dan penalaran induktif. Sedangkan, anti-reduksionisme menyatakan bahwa keterandalan pengetahuan testimonial dapat dijamin oleh testimoni itu sendiri. Thesis ini berpijak pada prinsip kebenaran yang akan dibagikan oleh pemberi maupun penerima testimonisecara alami karena niat baikyang melekat padanya. Penelitian ini menolak prinsip justifikasi yang dipakai oleh reduksionisme dan anti-reduksionisme. Sebab, prinsip justifikasi tidak menghitung keterlibatan aktif agen epistemik sebagai pemberi dan penerima testimoni serta mengabaikan risiko gullibility dan intellectual irresponsibility pada proses akuisisi dan transmisi testimoni. Berdasarkan problem tersebut, skripsi ini hendak mendemonstrasikan prinsip kebajikan intelektual sebagai upaya teoretis yang lebih baik daripada prinsip justifikasi dalam menjamin keterandalan sumber pengetahuan testimoni.
ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses the problem of testimony rsquo s reliability in the age of infosphere. The early argumentation of the justification of testimony typically traced to two views reductionism and anti reductionism. According to reductionists, to justify testimonial knowledge acquired by the hearer from a speaker, we need to possess non testimonial source of knowledge, such as inductive reasoning or perception. In contrast to reductionism, anti reductionists argue that testimony is a basic source of justification. This research refutes the principle of justification in both reductionism and anti reductionism to answer the problem of reliability in testimony because of two reasons first, the principle of justification fails to see the active roles of a speaker and a hearer in knowledge acquisition, second, the principle of justification ignores the risk of gullibility and intellectual irresponsibility in the process of transmission of testimony. Based on the problems of principle of justification, I will demonstrate how intellectual virtues of virtue epistemology have better approach to warrant the reliability of testimony.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Vincenzo Jonathan
Abstrak :
Proyek epistemologi adalah membuat perbedaan antara keyakinan belaka dan pengetahuan-keyakinan itu adalah tebakan keberuntungan, sedangkan pengetahuan dibenarkan keyakinan sejati. Tulisan ini secara khusus membahas salah satu bidang ilmu yang ada, dalam keanekaragamannya, yaitu ilmu keyakinan agama, dan lebih eksplisit lagi ilmu tentang Tuhan. Tidak semua kepercayaan orang - termasuk keyakinan agama, atau tentang Tuhan-bisa dikategorikan sebagai ilmu, mengingat kemungkinan itu adalah tebakan untung, atau bahkan bukan ilmu. Melalui analisis konseptual, makalah ini akan membagi dan membandingkan keyakinan tentang Tuhan dalam dua bentuk teori justifikafi, yaitu secara internal, melalui internalisme Chisholm, dan, secara eksternal, melalui eksternalisme Plantinga dalam tantangan (1) ketersembunyian Tuhan yang ditawarkan oleh Schellenberg, dan (2) ilmu kognitif agama yang ditawarkan oleh Dennett ......The epistemology project is to make a distinction between mere belief and knowledge - belief is a guess of luck, whereas knowledge is justified by true belief. This paper specifically discusses one of the existing fields of science, in its diversity, namely the science of religious beliefs, and more explicitly the knowledge of God. Not all people's beliefs - including religious beliefs, or about God - can be categorized as knowledge, given the possibility that it is a guess of luck, or not even science. Through conceptual analysis, this paper will divide and compare beliefs about God in two forms of justifikafi theory, namely internally, through Chisholm's internalism, and, externally, through Plantingas externalism in the challenges of (1) Gods hiddenness offered by Schellenberg, and (2) ) the cognitive science of religion offered by Dennett.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>