Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susana Somali
"LATAR BELAKANG : Sirosis hati merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit hati yang sering dijumpai selain hepatitis virus akut dan kanker hati. Komplikasi sirosis hati yang tersering adalah asites. Adanya asites merupakan prognosis yang buruk karena hanya sekitar 50% penderita sirosis hati dengan asites dapat bertahan hidup dalarn waktu 2 tahun. Asites juga merupakan faktor predisposisi terjadinya komplikasi berbahaya seperti Peritonitis Bakteri Spontan (PBS).
BAHAN DAN METODE : 74 subyek penelitian penderita sirosis hati dengan asites. Pada cairan asites dilakukan biakan aerob-anaerob, pemeriksaan hitung leukosit dengan alat hitung sel otomatis Sysmex XT2000i®, hitung jenis leukosit dengan mikroskop dan uji leukosit esterase carik celup urin sedangkan pemeriksaan albumin, protein dan LDH dilakukan untuk serum dan cairan asites.
HASIL : Pada penelitian ini didapatkan penderita PBS sebanyak 14 orang (18.92%). Pada kelompok PBS didapatkan netrositik asites sebanyak 12 orang (85.71%). Dari hasil biakan yang positif pads kelompok penderita PBS berhasil diisolasi dua jenis kuman golongan Enterobacteriaceae yaitu Escherichia call dan Enterobacter aerogenes. Kedua kuman ini diduga menghasilkan Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Dengan menggunakan cara perhitungan stastistik menurut Bland-Altman didapatkan bahwa hasil hitung jumlah leukosit pada cairan asites dengan menggunakan alat otomatis Sysmex XT2000P tidak berbeda bermakna dengan cara manual. Untuk memperkirakan jumlah PMN cairan asites ? 250 sellpL maka cut off point untuk MuitistixlOSG® adaiah pada skala trace sedangkan untuk Comburl4M® adalah pada skala positif-2. Sebagian besar cairan asites pada penderita PBS termasuk transudat berdasarkan kriteria Light (85.71 %). Pada 92.86 % penderita PBS mempunyai SAAG > 1.1 g/dL.
KESIMPULAN : Pada penelitian ini diperoleh proporsi PBS sebesar 18.92 % dan proporsi netrositik asites sebesar 85.71%. Kedua jenis kuman batang Gram negatif diduga menghasilkan ESBL sehingga resisten terhadap Sefotaksim. Hitung leukosit cairan asites dapat dilakukan dengan alat penghitung sel otomatis Sysmex XT2000i. Leukosit esterase carik celup urin Multistixi OSG® dan Comburl0M@ dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah PMN cairan asites > 250 sellpL. Cairan asites pada penderita PBS temasuk transudat menurut modifikasi kriteria Light. PBS tidak mempengaruhi SAAG.
SARAN : Parasentesis diagnostik harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik empirik. Leukosit esterase carik celup urin dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memdiagnosis PBS secara "bedside". Penelitian lanjutan untuk mendapatkan pola dan kepekaan antibiotika kuman penyebab PBS.

Cirrhosis is identified as one of major health problems in Indonesia. It is found to be the most prevalent liver disease in addition to acute viral hepatitis and liver cancer. Ascites is the most common complication associated with cirrhosis. About 50% of patients with cirrhosis who develop ascites die within 2 years of diagnosis. Ascites also predisposes life-threatening complication such as Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Materials and Methods. 74 cirrhosis patients who develop ascites were included in the study. The ascitic fluid was cultured in aerobic and anaerobic media. Leukocytes were evaluated for leukocytes count using Sysmex XT2000iT"" automatic cell counter, leukocytes differential count was observed under the microscope, and dip stick urine of leukocyte esterase test. Moreover, albumin, protein, and LDH level were assessed for both serum and ascitic fluid.
Results. Spontaneous Bacterial Peritonitis was diagnosed in 14 subjects (18.92%). Twelve subjects (85.71%) within this group developed neutrocytic ascites. Enterobacteriaceae pathogens, i.e. Eschericiiia coil and Enterobacter aerogerles, had been isolated from the ascitic fluid culture. These pathogens were suspected for producing Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Using Bland-Altman test, it was discovered that there were no significant differences in leukocytes count of ascitic fluid either measured with Sysmex XT2000iT"' automatic cell counter or conventional method. The cut-off point for MultistixlOSGTm was set on trace scale, whereas the ComburlOMTM was set on scale positive-2 to obtain a number of PMN leukocytes count of more than 250 cellslpL. Based on Light criteria, 85.71% of ascitic fluid from the SBP patients were considered as transudates. Meanwhile, 92.86% of SBP group showed an SHAG ? 1.lg/dL.
Conclusions. The study reveals that the proportion of SBP is 18.92% and neutrocytic ascites is 85.71%. Both of the Gram-negative bacteria are considered producing ESBL that induce resistance to Cefotaxime. Leukocytes count of ascitic fluid can be measured using Sysmex XT2000iTM automatic cell counter. To predict PMN leukocyte count of more than 250 cells/pL, the dip stick urine leukocytes esterase test using MultistixlOSGT"^ and ComburlOMTM are available. The ascitic fluid in SBP patients are classified as transudates, based on Light criteria. SBP has no effect against SAAG.
Suggestions. A diagnostic paracentesis should be performed prior to empirical antibiotics therapy. The dip stick urine leukocytes esterase test can be use as an alternative method to diagnose SBP along with the other bedside techniques. Further study is required to attain pattern and sensitivity of SBP pathogens.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T 18018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Bonauli
"Tesis ini menggambarkan pola kuman pada kasus infeksi intra abdomen yang disebabkan perforasi saluran cerna atas dan bawah beserta kepekaan antibiotiknya di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan desain deskriptif analitik. Kuman yang terdapat pada infeksi intra abdomen di tahun 2013 adalah E.coli, Stapylococcus sp dan Enterococcus, sama dengan studi sebelumnya. Sedangkan angka kepekaan kuman terhadap antibiotik terutama golongan aminoglikosida lebih rendah dari data yang sudah ada sebelumnya. Usulan penggunaan antibiotik Amikacin masih dapat diberikan untuk terapi empiris infeksi intra abdomen bersama dengan Metronidazol.

Intra Abdominal Infection (IAI) is the second most commonly identified cause of severe sepsis. This study wants to identify pattern of bacteria in intra abdominal infections due to upper and lower gastro intestinal tract perforation. This is cross sectional study with analytic descriptive. Result of this study shows that mostly bacteria in intra abdominal infections are E.coli, Stapylococcus and Enterococcus. This is similar with the previous study but with antibiotic susceptibility rate are lower especially aminoglicoside, compare to prior data. Amikacin is still recommended for empiric therapy in intra abdominal infection but combine with Metronidazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, Irrine Merrychs
"Masalah resistensi antimikroba yang berkembang menyebabkan munculnya kuman panresisten, yang resisten terhadap semua antimikroba yang tersedia. Munculnya bakteri panresisten ini menggambarkan suatu titik akhir yang mengkhawatirkan karena tidak tersedia pilihan terapi antibiotik yang rasional. Peningkatan kejadian resistensi antibiotik disertai penurunan produksi antibiotik baru sehingga diperlukan evaluasi dari kombinasi antibiotik yang sudah ada. Fosfomisin adalah antibiotik lama yang tidak memiliki resistensi silang dengan golongan antibiotik lain sehingga berpotensi menimbulkan interaksi yang sinergis terhadap bakteri resisten.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antibakteri in vitro kombinasi fosfomisin dan beberapa antibiotik lain, yaitu doripenem, moksifloksasin, kolistin dan amikasin terhadap kuman batang Gram negatif panresisten. Pada penelitian ini dilakukan uji kombinasi antibiotik menggunakan metode Etest terhadap 15 isolat kuman panresisten, yang terdiri dari Acinetobater baumanii (n=8), Pseudomonas aeruginosa (n=5) dan Klebsiella pneumoniae (n=2). Interaksi yang terjadi dinilai berdasarkan indeks Fractional Inhibitory Concentration (FIC), yaitu sinergi bila indeks FIC ≤ 0,5, indiferen bila indeks FIC 0,5 sampai 4, dan antagonis bila indeks FIC > 4. Isolat kuman berasal dari berbagai jenis spesimen yang diperiksakan di laboratorium otomasi RSUPNCM.
Interaksi antibakteri in vitro yang terjadi terhadap isolat kuman A. baumanii, P. aeruginosa, dan K. pneumoniae panresisten, baik dengan kombinasi fosfomisin dan amikasin, fosfomisin dan doripenem, fosfomisin dan moksifloksasin, serta fosfomisin dan kolistin pada semua isolat bersifat indiferen (100%). Tidak ditemukan interaksi yang bersifat sinergi atau antagonis.

The evolving problem of antimicrobial resistance in Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii and Klebsiella pneumoniae has led to the emergence of clinical isolates to pandrug-resistant (PDR) isolates, i.e. resistant to all available antibiotics.The emergence of pandrug-resistant (PDR) bacteria represents a worrying endpoint in the development of antimicrobial resistance. The increased incidence of antibiotic resistance accompanied by decreased production of new antibiotics required the evaluation of combinations of existing antibiotics.
The aim of this study to evaluate the in vitro antibacterial interaction of combination fosfomycin with doripenem, amikacin, colistin and moxifloxacin against PDR Gram negative bacteria. We evaluated antibiotic combinatinons against 15 panresistant clinical isolates, which consisted of Acinetobater baumanii (n=8), Pseudomonas aeruginosa (n=5) dan Klebsiella pneumoniae (n=2). The in vitro antibacterial interactions were evaluated by determination of fractional inhibitory concentration (FIC) index. Synergy was defined as FIC index ≤ 0,5, indiferen as FIC index 0,5 to 4, and antagonism as FIC index > 4. The isolates were collected at RSUPNCM hospital from various clinical specimens.
The in vitro antibacterial interaction against A. baumannii, P. aeruginosa, and K. pneumoniae panresistant isolates, either with the combination of fosfomycin and amikacin, fosfomycin and doripenem, fosfomycin and moxifloxacin, as well as fosfomycin and colistin showed indifferent to all isolates (100%). No interaction was found synergistic or antagonistic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iqbal Hassarief Putra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi kulit dan jaringan lunak (IKJL) oleh MRSA di ruang rawat inap merupakan masalah nosokomial yang meningkat prevalensinya setiap tahun. Hal tersebut akan meningkatkan angka mortalitas, biaya dan lama rawat bila tidak dikelola dengan baik. Faktor-faktor risiko terjadinya infeksi MRSA pada pasien IKJL di ruang rawat inap penting untuk diketahui agar dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor-faktor risiko tersebut sehingga pada gilirannya diharapkan kejadian MRSA pada pasien IKJL dapat dicegah atau dikendalikan.
Tujuan: Mengetahui proporsi IKJL oleh MRSA dan mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terinfeksi MRSA pada penderita IKJL di ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien rawat inap RSCM yang memiliki IKJL. Kelompok kasus adalah subjek dengan IKJL oleh MRSA, kelompok kontrol adalah subjek dengan IKJL oleh non-MRSA. Analisis bivariat dilakukan pada 9 variabel bebas yaitu pemakaian antibiotik sebelum kultur, infeksi HIV, IVDU, penggunaan kortikosteroid, prosedur medis invasif, DM, keganasan, riwayat hospitalisasi dan ruang rawat. Semua variabel yang mempunyai nilai p<0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Selama periode penelitian, proporsi MRSA pada pasien IKJL yang dilakukan kultur di ruang rawat inap adalah 47% (IK 95% 42%- 52%). Terdapat 171 pasien yang memenuhi kriteria, 71 pasien terinfeksi MRSA (kasus) dan 100 pasien terinfeksi non-MRSA (kontrol). Berdasarkan hasil analisis multivariat terdapat tiga variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik, yaitu keganasan (OR 6,139; IK 95% antara 1,81-20,86; p=0,004), antibiotik quinolone (OR 4,592; IK 95% antara 2,06-10,23; p<0,001), dan prosedur medis invasif (OR 2,871; IK 95% antara 1,31-6,32; p=0,009).

ABSTRACT
Background: Patients with skin and soft tissue infections (SSTI) caused by MRSA in the inpatient ward are nosocomial problem which its prevalence has increased every year. It will increase the mortality rates, costs and lenghts of stay for patients if it’s not well-managed. It’s important to know exactly the risk factors for MRSA infection among patients with SSTI in inpatient ward in order to prevent and control the risk factors, that in turn, it is expected that the incidence of MRSA among patients with SSTI can be prevented or controlled.
Aim: : To find out the proportion of MRSA-caused SSTI and studying the factors associated with the risk of MRSA infection on patients with SSTI in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) inpatient ward.
Method: This research used case-control design. The data were collected from inpatient ward medical records who have SSTI. The case group are Subjects who have MRSA caused SSTI, the control group are Subjects who have non MRSA caused SSTI. Bivariate analysis was performed in 9 independent variables which were pre-cultured antibiotic use, HIV infection, IVDU, corticosteroid use, invasive medical procedure, diabetes melitus, malignancy, hospitalization history and wards. All of variables, in the bivariate analysis, produced the p value <0.25 were entered in the multivariate analysis with logistic regression.
Result: During the study periode, the proportion of MRSA-caused SSTI which culture was performed in inpatient ward was 47% (95% CI 42%- 52%). There were 171 patients fulfilled the criteria which consist of 71 patients infected by MRSA (case group) and 100 patients infected by non-MRSA (control group). Based on the multivariate analysis, there were three variables statistically significance, which firstly was malignancy (OR 6.139; 95% CI 1,81-20,86; p=0.004), quinolone class of antibiotic (OR 4.592; 95% CI 2,06-10,23; p<0.001), and invasive medical procedure (OR 2.871; 95% CI 1,31-6,32; p=0.009)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Yonata
"Latar Belakang: Dalam dekade terakhir terjadi peningkatan bakterimia Multi-Drug Resistant (MDR) Gram negatif. Bakterimia MDR Gram negatif tidak hanya meningkatkan angka kematian, tetapi juga dapat dikaitkan dengan peningkatan morbiditas pasien, lama perawatan dan biaya perawatan rumah sakit. Faktor-faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif di ruang rawat inap penting untuk diketahui sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor-faktor risiko tersebut dan menurunkan kejadian bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.
Metode: Faktor risiko diidentifikasi menggunakan studi kasus kontrol. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien rawat inap RSCM yang memiliki kultur darah positif tumbuh bakteri patogen Gram negatif. Kelompok kasus adalah subjek dengan bakterimia MDR Gram negatif, kelompok kontrol adalah subjek dengan bakterimia non-MDR Gram negatif. Kedua kelompok kasus dan kontrol diambil secara konsekutif dikarenakan kurangnya sampel. Analisis bivariat dilakukan pada variabel bebas yaitu riwayat antibiotik sebelumnya, pemberian antibiotik kombinasi, fokus infeksi, riwayat hospitalisasi, lama perawatan, Charlson index >2, pemberian kemoterapi, kortikosteroid, keganasan, kolonisasi, absolute neutrophile count (ANC) <500, perawatan di ICU/HCU, prosedur medis invasif, hipoalbuminemia. Semua variabel yang mempunyai nilai p <0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Selama periode penelitian didapatkan 131 pasien yang memenuhi kriteria, 42 pasien dengan bakterimia MDR Gram negatif (kasus), dan 89 pasien dengan bakterimia non-MDR Gram negatif (kontrol). Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan 2 variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik yaitu riwayat ICU/HCU (p= 0.003) dan riwayat ventilator (p=0.030). Pada analisa multivariat lebih lanjut terdapat satu varibel bermakna secara statistik, yaitu riwayat ICU/HCU (OR: 3.118; IK 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Simpulan: Riwayat ICU/HCU merupakan faktor risiko terjadinya bakterimia MDR Gram negatif pada pasien rawat inap.

Background: Over the past decade, the numbers of bloodstream infections caused by multidrug-resistant (MDR) Gram-negative bacteria have risen sharply. MDR Gramnegative bacteremia increases not only mortality, but may also be associated with increased patient morbidity, length of treatment and hospitalization costs. It is important to identify risk factors of MDR Gram-negative bacteremia among hospitalized patients in order to prevent and to control these risk factors and thus to lower the incidence of MDR Gram-negative infections among hospitalized patients.
Aim: To identify the risk factors associated with the occurrence of MDR Gramnegative bacteremia among hospitalized patients.
Method: Risk factors were identified by a case-control study. Data was collected from inpatients medical record that had positive blood cultures of Gram negative bacterial pathogens. Both case and control samples were collected consecutively due to lack of samples available. The case group was subjects who had MDR Gram-negative bacteremia, and the control group was subjects who had non-MDR Gram negative bacteremia. Bivariate analysis was performed on several independent variables, which were previous antibiotic history, antibiotic combination, source of infection, history of hospitalization, duration of hospitalization, Charlson index> 2, administration of chemotherapy, use of corticosteroid, malignancy, colonization, ANC <500, history of treatment in ICU / HCU, invasive medical procedures and hypoalbuminemia. All variables that had a value of p <0.25 on bivariate analysis were included in multivariate analysis using logistic regression.
Result: During the study period, there were 131 patients fulfilled the criteria, which consisted of 42 patients who had MDR Gram-negative pathogen bacteremia (case) and 89 patients who had non-MDR Gram-negative pathogen bacteremia patients (control group). Based on the bivariate analysis, there were two variables statistically significance, which were history of treatment in ICU / HCU (p=0.003) and history of ventilator (p=0.030). Further multivariate analysis showed that there was one variable statistically significance, which was history of treatment in ICU / HCU (OR: 3.118; CI 95% : 1.443 – 6.736; p=0,004).
Conclusion: History of treatment in ICU / HCU was risk factor of MDR Gram negative bacteremia among hospitalized patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eunike Hanna Dameria
"Latar Belakang : Meropenem, salah satu antibiotik yang paling efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif, dianggap sebagai pengobatan terakhir yang paling dapat diandalkan untuk infeksi bakteri. Penyebaran yang cepat dari resistensi meropenem, terutama diantara bakteri gram negatif, merupakan masalah kesehatan yang sangat penting. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif, namun penelitian yang dilakukan pada pasien infeksi intra abdomen masih terbatas.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan resistensi antibiotik meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra-abdomen di RSCM tahun 2013-2017.
Metode : Penelitian desain cross sectional dengan mengambil data dari rekam medis pasien infeksi intra abdomen pada rentang waktu tahun 2013-2017 sebanyak keseluruhan populasi terjangkau.
Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dari faktor-faktor yaitu, usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif.
Kesimpulan : Usia, jenis kelamin, penyakit yang menyertai, riwayat antibiotik, jumlah leukosit dan jumlah albumin bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan resistensi meropenem terhadap bakteri gram negatif pada pasien infeksi intra abdomen.

Background : Meropenem, one of the most effective antibiotics against gram-negative bacteria and gram-positive bacteria, is considered to be the most reliable last treatment for bacterial infections. The rapid spread of meropenem resistance, especially among gram negative bacteria, is a very important health problem. Various factors are known to be associated with the incidence of meropenem resistance to gram-negative bacteria, but studies conducted on patients with intra-abdominal infections are still limited.
Objectives : To determine the factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections at Cipto Mangunkusumo Hospital in the year of 2013-2017.
Methods : A cross sectional design study by taking data from medical records of intra-abdominal infection patients in the period of 2013-2017 as much as the entire affordable population.
Results : There were no statistically significant differences in factors, namely age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocyte and amount of albumin associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria.
Conclusion : Age, sex, accompanying disease, history of antibiotics, number of leucocytes and amount of albumin are not factors associated with meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections. Further research is needed to determine the effect of other factors related to meropenem resistance against gram-negative bacteria in patients with intra-abdominal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Na Imatul Mahanani
"ABSTRAK
Antibiotik profilaksis pada tindakan biopsi prostat transrectal ultrasound (TRUS) diberikan untuk mengurangi komplikasi infeksi. Antibiotik profilaksis yang digunakan di RSUPNCM adalah fluorokuinolon tetapi terdapat tren peningkatan resistensi. Belum tersedia data mengenai profil bakteri dan antibiogram pada swab rektal biopsi prostat di RSUPNCM sebagai acuan profilaksis dan terapi infeksi pasca biopsi prostat.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data profil bakteri dan antibiogram swab rektal pasien biopsi prostat, serta mendapatkan data jumlah pasien yang mengalami komplikasi infeksi pasca biopsi prostat di RSUPNCM.
Desain penelitian adalah kohort prospektif. Menggunakan swab rektal dari 47 pasien biopsi prostat di Departemen Urologi RSUPNCM. Didapatkan bakteri Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterococcus faecium, Acinetobacter haemolyticus, Morganella morganii ss morganii, dan Enterococcus faecalis. Antibiotik yang memiliki sensitvitas tinggi gentamicin, amikacin, ampicillin sulbactam, amoxicillin clavulanat, ceftazidime, piperacillin tazobactam, cefepime, imipenem, doripenem, meropenem, dan ertapenem. Antibiotik yang menunjukkan resistensi tinggi cephalothin, cefotaxime, ceftriaxone, dan cefoperazone. Keluhan subyektif demam didapatkan pada 7 pasien dan tidak terdapat rawat inap ke rumah sakit. Tidak direkomendasikan pemberian fluorokuinolon sebagai antibiotik profilaksis pada tindakan biopsi prostat di RSUPNCM. Pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya dengan profilaksis target berdasarkan hasil kultur dan resistensi swab rektal. Apabila tidak dapat dilakukan maka antibiotik profilaksis yang dapat direkomendasikan adalah amoxicillin clavulanat dan ertapenem.

ABSTRACT
Prophylaxis antibiotics in trans rectal ultrasound prostate biopsy is given to reduce infection complication. The recent antibiotics in Doctor Cipto Mangunkusumo hospital is fluoroquinolone that showing increasing resistance trends. Bacterial profile and antibiogram of rectal swab patient underwent prostate biopsy is not available. This data is needed as a guidance of
prophylaxis antibiotics and post biopsy infection therapy in prostate biopsy.
This research aimed to obtain those data, and number of patient with infection complication post prostate biopsy.
Research design was prospective cohort. Swab rectal is collected from 47 patients underwent prostate biopsy in Doctor Cipto Mangunkusumo Hospital. Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Enterococcus faecium, Acinetobacter haemolyticus, Morganella morganii ss morganii, and Enterococcus faecalis were found. Antibiotics with high susceptible gentamicin, amikacin, ampicillin sulbactam, amoxicillin clavulanat, ceftazidime, piperacillin tazobactam, cefepime, imipenem, doripenem, meropenem, and ertapenem. Antibiotics with high resistance cephalothin, cefotaxime, ceftriaxone, and cefoperazone. Subjective complaints of fever were found in 7 patients. Fluoroquinolone is not recommended as prophylaxis antibiotics in trans rectal ultrasound prostate biopsy. The targeted prophylaxis antibiotics based on rectal swab culture and resistance test should be done. If this test cannot be done, we suggest the use of amoxicillin clavulanat and ertapenem as recommended prophylaxis antibiotics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Rizkianti
"ABSTRAK
Infeksi Intra abdominal masih merupakan masalah karena angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana menggunakan antibiotik empiris didasarkan pada profil bakteri dan antibiogram di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil bakteri dan antibiogram pada infeksi intra abdominal di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang dapat digunakan sebagai dasar pemilihan antibiotika untuk tatalaksana infeksi intra abdominal. Parameter yang diteliti adalah bakteri yang paling sering didapatkan pada kultur cairan asites dan jaringan yang berasal dari intra abdomen pasien dengan diagnosis infeksi intra abdominal dan pola kepekaan bakteri tersebut terhadap antibiotik. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 73 subjek. Pada penelitian ini didapatkan bakteri yang paling sering diisolasi pada kultur adalah E.coli dan K. Pneumoniae dengan sensitivitas baik pada antibiotik golongan Karbapenem Meropenem, Doripenem, dan Imipenem , Amikacin, Tigecycline, dan Vancomycin. Angka mortalitas didapatkan 31.5

ABSTRACT
Intra abdominal infections remains a problem due to its high mortality rate. The empirical antibiotic is based on region database of the bacteria profile and its sensitivity to antibiotic. This study aims to get a bacteria profile of intra abdominal infections and antibiogram in Cipto Mangunkusumo which is can be use as a basis for selecting an antibiotic for the treatment of intra abdominal infections. Studied parameters were bacteria most often found in ascites fluid and tissue cultures derived from patients with a diagnosis of intra abdominal infections and their sensitivity pattern to antibiotics. The study design was cross sectional with 73 subjects. In this study, the most frequently isolated bacteria cultures are E. coli and K. pneumoniae with good sensitivity to antibiotics Meropenem, Doripenem, Imipenem, Amikacin, Tigecyclin, and Vancomycin. The mortality rate was 31.5 ."
2017
T55609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Handayani
"Resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah besar dunia, berdampak pada penatalaksanaan pasien lebih sulit, lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatnya mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR, XDR, dan panresisten, mengetahui jenis kuman penyebab MDR, XDR, dan panresisten, serta jenis spesimen apa saja ditemukan kuman MDR, XDR, dan panresisten pada pasien yang mengalami mortalitas. Data penelitian didapatkan dari hasil kultur dan resistensi pasien di Laboratorium Mikrobiologi RSUPNCM mulai Juli 2015, dan dicari data mortalitasnya pada rekam medik.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR adalah 24.8, jenis kuman terbanyak pasien yang terinfeksi kuman MDR yang meninggal adalah Klebsiella pneumoniae, dan jenis spesimen terbanyak adalah sputum. Untuk kuman XDR didapatkan proporsi mortalitas 40.4, jenis kuman terbanyak pada pasien yang meninggal adalah Acinetobacter baumannii anitratus, dan spesimen terbanyak adalah sputum. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien yang terinfeksi kuman panresisten.

Resistance to antibbiotics is a major world problem, have an impact on patient management that more difficult, lenght of hospitalization, and increased mortality. This study aimed to determine the proportion of the mortality of patient infected by MDR, XDR, and panresistant bacteria, knowing the bacteria that cause MDR, XDR, an panresistant, as well as any type of specimen discovered MDR, XDR, and panresistant bacteria in patients with mortality. The data obtained from culture and resistante results patients in the Laboratory of Microbiology RSUPNCM began in July 2015, and requested the mortality data on medical records.
In this study, the proportion of the mortality of patients with MDR bacteria is 24.8, Klebsiella pneumoniae is the most type of bacteria in patients who died with MDR bacteria, and sputum is the most common specimen. The proportion of of the mortality of patients with XDR bacteria is 40.4, Acinetobacter baumannii anitratus is the most type of bacteria in patients who died with XDR bacteria, and sputum is the most common specimen. In this study, no patients get infected by panresistant bacteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ro Shinta Christina Solin
"Luka bakar merupakan salah satu bentuk trauma tersering dan infeksi luka bakar merupakan masalah serius yang menyebabkan hambatan pada maturasi epidermal dan penambahan pembentukan jaringan parut. Pada tahun terkahir berbagai penelitian menemukan patogen yang resisten terhadap terapi antibiotik. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran profil bakteri dan antibiogram pada infeksi luka bakar serta mortalitas di Unit Luka Bakar ULB Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo RSUPNCM periode Januari-Desember 2015. Penelitian ini dilaksanakan secara retrospektif dan didapatkan 214 isolat dari spesimen pus, swab, dan jaringan luka bakar yang berasal dari 89 pasien yang dirawat di ULB RSUPNCM. Isolat bakteri terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter baumannii. Proporsi mortalitas didapatkan sebesar 32.5

Burns is one of the most common forms of trauma and burn wound infection is a serious problem that causes a drag on epidermal maturation and addition of scar tissue formation. In recent years various studies finding pathogens that are resistant to antibiotic therapy. This study aims to get an overview of bacteria and antibiogram profile in infections and mortality burns in the Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period from January to December 2015. In this study, 214 isolates from pus specimens, swabs, and tissue burns derived from 89 patients treated at Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Most bacterial isolates is Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, and Acinetobacter baumannii. The proportion of mortality obtained amounted to 32.5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55643
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>