Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riewpassa, Leonardo Ch. M.
"Sampai saat ini di Indonesia belum ada penelitian tentang bentuk anatomi dan fungsi bibir setelah dilakukan tindakan labioplasti terutama hasil dari satu tehnik operasi. Komplikasi yang sering terjadi berupa jebolnya jahitan dan terjadinya kelainan pertumbuhan maksila akibat terlalu tegangnya otot yang dihubungkan sehingga dicoba tehnik modifikasi Millard dimana kedua otot dijahitkan diprolabium dengan tujuan rnengurangi tegangan yang terjadi.
Metode yang digunakan dimana semua penderita labioschizis bilateral yang dioperasi dengan memakai tehnik ini dinilai komplikasi yang terjadi, bentuk penampilan -dan fungsi bibir atas dengan memakai modified William's form dan formulir penilaian fungsi bibir selama bulan Agustus sampai September 2006. Hasilnya diuji dengan memakai Mann Whitney dan hubungan keduanya dengan regresi tinier.
Hasil yang didapatkan adalah : penderita berjumlali 27 orang sebanyak 24 orang laki-laki ( 88.88 %) dan 3 orang perempuan. ( 11.12 % ). Ditemukan I orang (3.7 % ) penderita dengan komplikasi berupa dehisensi. Terdapat 5 orang ( 18.52% ) dengan delayed speech. HasiI dinilai oleh 6 orang penilai. Pada penelitian ini digunakan nilai toleransi. Tehnik ini dapat dipakai jika dibandingkan dengan nilai toleransi (p = 0.193 ), tidak dapat dipakai jika dibandingkan dengan nilai normal (p = 0.000 ). Fungsi bibir tidak didapatkan perbedaan bermakna ( p = 0.153 ) dan terdapat hubungan antara bentuk penampilan dan fungsi bibi atas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindrawati Tjuatja
"Palsi serebral adalah penyebab utama disabilitas fisik di negara berkembang. Penderita palsi serebral dengan ketidakmampuan ambulasi berpeluang mengalami kontraktur sendi dan kelainan postur, yang dapat memburuk. Kelainan postur yang dapat terjadi adalah skoliosis, pelvic obliquity dan subluksasi/dislokasi panggul dengan problem sekunder nyeri, hilangnya kemampuan mandiri, duduk, berdiri, berjalan, ulkus dekubitus, masalah dalam kebersihan perineal, kardiovaskular dan respirasi. Sehingga perlu dilakukan deteksi sejak dini kelainan postur terutama kejadian subluksasi/dislokasi panggul.
Metode : Desain penelitian ini adalah studi potong lintang dengan tujuan melihat apakah terdapat hubungan antara derajat spastisitas otot aduktor panggul, level Gross Motor Function Classification System (GMFCS) dan nilai Migration Percentage (MP) untuk mendeteksi dislokasi panggul pada anak palsi serebral yang datang ke poli rawat jalan divisi pediatri Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Spastisitas otot aduktor panggul dinilai menggunakan Modified Tardieu Scale (MTS) komponen R2, R1 dan R2-R1, level GMFCS dinilai dengan menggunakan panduan GMFCS dan nilai MP didapat dari pengukuran foto panggul AP oleh dokter spesialis Radiologi.
Hasil : Dari 30 responden penelitian, 3 tungkai dieksklusi sehingga analisis spastisitas aduktor panggul dan MP dilakukan pada total 57 tungkai. Penelitian ini menunjukkan tidak ada korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (antara variabel R2 dan MP dengan nilai r = -0,060; p = 0,658. Antara variabel R1 dan MP dengan nilai r = - 0,136; p = 0,314) dan tidak ada perbedaan bermakna level GMFCS dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (p = 0,831).
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai Migration Percentage dan tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna level Gross Motor Function Classification System dengan nilai Migration Percentage dalam mendeteksi dislokasi panggul.

Cerebral palsy was the most common cause of physical disability in the developing country. A non-ambulant child with cerebral palsy was vulnerable to the development of joint contractures and postural deformity, which are often progressive. Postural deformities that can arise were scoliosis, pelvic obliquity and hip subluxation/dislocation with the secondary problems were pain, loss of ability to be independence, sitting, standing, walking, pressure ulcers, perineal hygiene and cardiorespiration. It was necessary to make early detection for postural deformities particularly hip subluxation/dislocation.
Methods : This was a cross sectional study. The aim of this study to see there are any associations among the degree of hip adductor spasticity, the level of Gross Motor Function Classification System (GMFCS) and the Migration Percentage (MP) to detect the occurrence of hip dislocation in children with cerebral palsy who came to outpatient polyclinic pediatric division of Physical and Rehabilitation Departmen, RSUPN Cipto Mangunkusumo. The hip adductor spasticity was measured with Modified Tardieu Scale (MTS) R2, R1 dan R2-R1 component, The level of GMFCS was measured with GMFCS protocol and the MP has done by Radiolog on plain foto of pelvic AP.
Results : From the 30 respondens, 3 legs were exclude, therefor just 57 legs were analized for hip adductor spasticity and MP. This study shows that there was no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP (between variable R2 and MP with score r = -0,060; p = 0,658. Between variable R1 and MP with score r = -0,136; p = 0,314), there was no significant difference between level of GMFCS and MP (p = 0,831).
Conclusion : This study shows that there is no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP, there is no significant difference between level of GMFCS and MP to detect the occurance of hip dislocation in children with cerebral palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rigen Herpramasanti
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur, mengetahui adakah perbedaan rerata kemampuan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), dan melihat hubungannya dengan faktor-faktor ibu yaitu pendidikan ibu, ibu bekerja, jumlah anak dalam keluarga, riwayat pemberian ASI lebih dari 6 bulan, dan rentang waktu interaksi ibu dan anak.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Populasi terjangkau adalah anak riwayat lahir prematur yang terdata di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2009 sampai dengan 2010 dan anak riwayat prematur yang terdata di Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. Penilaian kemampuan bahasa dan kognisi dengan menggunakan Capute Scale CAT/CLAMS.
Hasil : Angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan adalah sebesar 25%. Terdapat kecenderungan nilai rerata kemampuan bahasa dan kognisi yang lebih rendah pada anak riwayat prematur BBSR dibandingkan BBLR, namun tidak signifikan (p>0,05). Faktor ibu yang memberikan hubungan yang bermakna adalah rentang waktu interaksi ibu dan anak, dimana didapatkan memiliki korelasi lemah terhadap kemampuan kognisi (r=0,275, p=0,04)
Kesimpulan : Kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan cukup besar, sehingga memerlukan perhatian khusus. Ibu dengan anak riwayat prematur hendaknya meningkatkan rentang waktu interaksi dengan anaknya untuk meningkatkan kemampuan kognisi pada anak.

ABSTRACT
The aim: To knew the prevalence of language and cognition problem in preterm children, to knew the difference in language and cognition acquitition between preterm children with low birth weight (LBW) and very low birth weight (VLBW), and to knew relationship with maternal factors are maternal education, working mother, number of chlidren, breast feeding for 6 months, dan length time of mother children interaction.
Methods: Study design was crosssectional. The population was preterm infant registered in Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak 2009 until 2010 and preterm children registered in Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. The tools used to measure language and cognition acquisition were Capute Scale CAT/CLAMS.
Results: The prevalence of language and cognition problem in premature children was 25%. There is a trend that language and cognition acquisition lower in premature children with VLBW than LBW, but not significant (p>0,05). Maternal factor that gave significant relationship only the length time of mother children interaction, with gave weak correlation with cognition acquisition (r=0,275, p=0,04)
Conclussion: The prevalence of language and cognition problem in preterm children was high, so should be gave close attention. Mother of preterm children shoould be increase the length time of interaction with her child to increase the child’s cognition"
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Ambara Sjakti
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T22665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiati Laksmitasari
"ABSTRAK
Tesis ini disusun untuk mengetahui apakah uji jalan dua menit dapat digunakan sebagai alternatif uji kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan cerebral palsy atau palsi serebral ambulatori. Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek anak dengan palsi serebral ambulatori diminta untuk melakukan uji jalan dua menit dan uji jalan enam menit pada hari yang berbeda. Analisis statistik dilakukan untuk menilai korelasi antara jarak tempuh uji jalan dua menit dan jarak tempuh uji jalan enam menit. Hasil penelitian menyatakan bahwa uji jalan dua menit dan uji jalan enam menit mampu laksana pada anak dengan palsi serebral ambulatori, dengan penyesuaian khusus dalam teknis pelaksanaan. Rerata jarak tempuh uji jalan dua menit dan uji jalan enam menit masing-masing sebesar 47,87 + 28,54 m dan 134,33 + 80,27 m. Jarak tempuh uji jalan dua menit dan jarak tempuh uji jalan enam menit berkorelasi secara signifikan dengan tingkat korelasi yang sangat kuat (r = 0,920). Maka, uji jalan dua menit dapat dipertimbangkan sebagai alternatif uji kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan palsi serebral ambulatori. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai validitas dan reliabilitas uji jalan dua menit subjek tersebut.

ABSTRACT
This thesis was aimed to know whether two-minute walking test can be used as an alternative to cardiorespiratory fitness tests in children with ambulatory cerebral palsy (CP). The design was cross sectional. Children with ambulatory CP performed two-minute walking test and six-minute walking test on different days. Statistical analysis was performed to assess the correlation between the two-minute walking distance and the six-minute walking distance. The results stated that the two-minute walking test and the six-minute walking test were feasible for children with ambulatory CP, provided that some modifications were made in procedures. The meanof the two-minute walking distance and the six-minute walking distancewere 47.87 + 28.54 m and 134.33 + 80.27 m respectively.There issignificant correlation between two-minute walking distance and six-minute walking distance with very strong level (r = 0.920). Thus, two-minute walking test can be considered as an alternative to cardiorespiratory fitness tests in children with ambulatory CP. Further research is needed to test the validity and reliability of the two-minute walking test."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riri Prima Yolanda
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Ketrampilan menghisap dan koordinasi antara menghisap, menelan dan bernafas belum adekuat belum adekuat pada neonatur prematur. Neonatal Oral-Motor Assessment Scale (NOMAS) adalah alat ukur yang telah sahih dan andal dalam menilai oromotor skill pada neonatus prematur. Penelitian ini ingin menguji validitas isi dan reliabilitas interrater dan test-retest yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Metode : Desain penelitian ini adalah uji validasi, terdiri dari 16 subjek yang diambil berdasarkan kriteria penerimaan; neonatus prematur, kondisi umum stabil dan diizinkan oleh orang tua dengan mengisi informed consent. Data berupa video saat menyusu diawali dari saat pertama bertemu peneliti hingga usia koreksi 40 minggu. Oromotor skill dinilai dengan NOMAS yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Validitas isi dilakukan dengan proses non-statistik; keandalan intrarater dinilai dengan uji Cohen?s Kappa dan Inter Class Correlation, keandalan interrater dengan uji Cronbach Alpha dan Inter Class Correlation.
Hasil : Dari 16 neonatus didapatkan usia gestasi 32-35 minggu dan BBLR 93,75%. Secara isi NOMAS berbahasa Indonesia telah dinyatakan sesuai dengan NOMAS berbahasa Inggris. Keandalan intrarater bernilai baik hingga sempurna (K= 0,6-1,00 dan ICC= 0,4-1,00). Uji keandalan interrater bernilai rendah hingga hampir sempurna (Cronbach?s Alpha = 0,18-0,84 dan ICC= 0,05- 0,80).
Kesimpulan : NOMAS berbahasa Indonesia mempunyai validitas isi dan reliabilitas yang baik untuk digunakan sebagai alat ukur oromotor skill pada neonatus prematur. Sebaiknya mengikuti pelatihan NOMAS agar lebih mengusai penggunaan alat ukur ini.

ABSTRACT
Background : Sucking skills and the coordination between sucking, swallowing and breathing are inadequate on premature neonates. Neonatal Oral-Motor Assessment Scale (NOMAS) is a measuring instrument that is both valid and reliable in assessing oromotor skills in premature neonates. The study aims to test the content validity and interrater reliability and test-retest reliability of NOMAS translated to Bahasa Indonesia which has never been done before.
Methods : This study is a validation test, consisting of 16 subjects who were taken using the inclusion criteria; premature neonates, in stable general condition and allowed by their parents to participate in the study by filling out an informed consent. Data was collected in the form of a video taken during feeding, starting from the first meeting with the researcher until 40 weeks corrected age. Oromotor skills was assessed using NOMAS which has been translated into Bahasa Indonesia. Content validity was performed using non-statistical process; intrarater reliability was assessed using Cohen's Kappa test and Inter Class Correlation, and interrater reliability using Cronbach Alpha test and Inter Class Correlation.
Results : Of the 16 neonates, a mean gestation age of 32-35 weeks and low birth weight incidence of 93.75% was found. The content of NOMAS in Bahasa Indonesia has been declared in accordance with NOMAS in English. Intrarater reliability was good to perfect (K= 0,6-1,00 and ICC= 0,4-1,00). Interrater reliability was low to almost perfect (Cronbach?s Alpha = 0,18-0,84 and ICC= 0,05- 0,80)
Conclusion : NOMAS in Bahasa Indoensia has good content validity and reliability and can be used as a measuring tool for oromotor skills in premature neonates. NOMAS training is adviced to master the use of this measure., Background : Sucking skills and the coordination between sucking, swallowing and breathing are inadequate on premature neonates. Neonatal Oral-Motor Assessment Scale (NOMAS) is a measuring instrument that is both valid and reliable in assessing oromotor skills in premature neonates. The study aims to test the content validity and interrater reliability and test-retest reliability of NOMAS translated to Bahasa Indonesia which has never been done before.
Methods : This study is a validation test, consisting of 16 subjects who were taken using the inclusion criteria; premature neonates, in stable general condition and allowed by their parents to participate in the study by filling out an informed consent. Data was collected in the form of a video taken during feeding, starting from the first meeting with the researcher until 40 weeks corrected age. Oromotor skills was assessed using NOMAS which has been translated into Bahasa Indonesia. Content validity was performed using non-statistical process; intrarater reliability was assessed using Cohen's Kappa test and Inter Class Correlation, and interrater reliability using Cronbach Alpha test and Inter Class Correlation.
Results : Of the 16 neonates, a mean gestation age of 32-35 weeks and low birth weight incidence of 93.75% was found. The content of NOMAS in Bahasa Indonesia has been declared in accordance with NOMAS in English. Intrarater reliability was good to perfect (K= 0,6-1,00 and ICC= 0,4-1,00). Interrater reliability was low to almost perfect (Cronbach’s Alpha = 0,18-0,84 and ICC= 0,05- 0,80)
Conclusion : NOMAS in Bahasa Indoensia has good content validity and reliability and can be used as a measuring tool for oromotor skills in premature neonates. NOMAS training is adviced to master the use of this measure.]"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Ambara Sjakti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T22665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virna Agustriani
"Kekuatan otot pernapasan bertanggung jawab terhadap perbedaan tekanan dalam proses ventilasi yang diukur dengan Maximum Inspiratory Pressure (MIP) yang menggambarkan kekuatan otot diafragma dan otot inspirasi lain, dan Maximum Expiratory Pressure (MEP) untuk otot abdomen dan otot ekspirasi lain. Pemeriksaan ini sensitif menggambarkan kelemahan otot pernapasan, mudah dilakukan dan tidak invasif, namun belum menjadi prosedur rutin. Beberapa negara telah melakukan penelitian sebelumnya dan mendapatkan nilai standar yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mengukur kekuatan otot pernapasan pada anak sehat,sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai standar Maximum Inspiratory Pressure dan Maximum Expiratory Pressure pada anak usia delapan sampai dua belas tahun di Jakarta. Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 267 subjek. Subjek adalah anak sekolah dasar usia 8-12 tahun di Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa spirometri untuk memastikan sehat respirasi, diberikan kuesioner aktivitas fisik, dan setelahnya dilakukan pemeriksaan MIP dan MEP dengan alat digital manometer. Data MIP dan MEP yang didapat dinilai korelasinya dengan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan aktivitas fisik. Nilai MIP dan MEP pada anak usia 8- 12tahun mendapatkan nilai tengah 58 dan 59mmHg. Subjek laki-laki mendapatkan nilai tengah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan nilai MIP 60 mmHg dan 55mmHg, nilai MEP 63 mmHg dan 56mmHg. Dengan uji korelasi spearman terdapat korelasi signifikan antara MIP dengan berat badan dan tinggi badan, dengan nilai korelasi lemah, namun tidak dengan nilai MEP. Tidak terdapat hubungan antara nilai MIP dan MEP dengan aktivitas fisik.

Respiratory muscle strength is responsible for the pressure difference in the ventilation process measured by Maximum Inspiratory Pressure (MIP) which represents the strength of the diaphragm muscles and other inspiratory muscles, and Maximum Expiratory Pressure (MEP) for abdominal muscles and other expiratory muscles. This measurement is sensitive in representing respiratory muscle weakness, easy to use and non-invasive. However, it is not a routine procedure. Several countries have conducted previous studies and obtained different standard results. In Indonesia, no study measures respiratory muscle strength in healthy children. Therefore, this study aims to obtain standard values for Maximum Inspiratory Pressure and Maximum Expiratory Pressure in eight to twelve years old children in Jakarta. This is a cross-sectional study that involved 267 subjects. The subjects were 8-12 years old elementary school students in Jakarta who fulfilled the inclusion and exclusion criteria. They were examined for respiratory health using spirometry, given a physical activity questionnaire, and examined for MIP and MEP using a digital manometer. Correlations were obtained between MIP and MEP data and gender, weight, height, and physical activity. The MIP and MEP values in 8-12 years old children showed a median of 58 and 59 mmHg, respectively. Male students showed higher median value compared to female students with MIP value of 60 mmHg and 55 mmHg, and MEP value of 63 mmHg and 56 mmHg. Spearmans correlation test showed a significant correlation between MIP and weight and height with weak correlation strength. However, the MEP value showed otherwise. There was no correlation between MIP and MEP values and physical activity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Ekawati
"Gangguan komunikasi pada anak dengan palsi serebral dapat meliputi gangguan pada proses berbicara dan berbahasa baik ekspresif maupun reseptif. Gangguan fungsi komunikasi berpengaruh secara bermakna terhadap kualitas hidup anak dengan palsi serebral terutama dalam domain aktivitas sehari-hari dan partisipasi dalam hubungan sosial. Sistem penilaian fungsi komunikasi pada anak dengan palsi serebral sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar fungsi komunikasi anak. Communication Function Classification System (CFCS) merupakan instrumen yang dipakai untuk mengelompokkan fungsi komunikasi anak dengan palsi serebral. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesahihan dan keandalan instrumen CFCS yang diadaptasi dan diterjemahkan dalam budaya dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik divisi Pediatri RSCM dari 1 Oktober 2021 hingga 28 Februari 2022. Metode yang digunakan adalah desain potong lintang dengan sampel berjumlah 42 orang. Uji kesahian menggunakan validitas isi. Data diolah dengan uji keandalan inter-rater menggunakan koefisien Kappa dan test-retest menggunakan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien Kappa antara rater dokter dengan terapi wicara adalah 0,643 (baik), nilai antara rater dokter dengan pelaku rawat adalah 0,385 (lemah) dan nilai antara rater terapi wicara dengan pelaku rawat adalah 0,333 (lemah). Nilai ICC pada rater dokter adalah 1,000, rater terapis wicara adalah 0.973 dan pada rater pelaku rawat adalah 0,937. Berdasarkan hasil dari proses translasi, adaptasi bahasa, uji keandalan inter rater dan test retest maka dapat disimpulkan CFCS versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang sahih dan memiliki keandalan yang baik antara rater dokter dan terapi wicara untuk digunakan sebagai alat klasifikasi fungsi komunikasi penderita palsi serebral di Indonesia.

Communication disorders in children with cerebral palsy can include disturbances in speech and language processes, both expressive and receptive. Impaired communication function significantly affects quality of life of children with cerebral palsy, especially in the domain of daily activities and participation in social relationships. The communication function classification system in children with cerebral palsy is needed to obtain basic data on children's communication functions. The Communication Function Classification System (CFCS) is an instrument used to classify the communication functions of children with cerebral palsy. This study aims to test the validity and reliability of the CFCS instrument adapted and translated into Indonesian culture and language. This research was conducted at the Polyclinic of Department of Medical Rehabilitation in Pediatrics Division of RSCM from October 1, 2021 to February 28, 2022. The method used was a cross-sectional design with a sample of 42 subjects. Validity test using content validity. The data was processed by inter-rater reliability test using Kappa coefficient and test-retest using Intraclass Correlation Coefficient (ICC). The results showed that the Kappa coefficient between raters of doctors and speech therapy was 0.643 (good), the value between raters of doctors and caregivers was 0.385 (weak) and the value between raters of speech therapy and caregivers was 0.333 (weak). The ICC value for the doctor rater is 1,000, the speech therapist rater is 0.973 and the caregivers rater is 0.937. Based on the translation process, language adaptation, inter rater reliability test and test retest, it can be concluded that the Indonesian version of the CFCS is a valid instrument and has good reliability between rater doctors and speech therapy to be used as a means of classifying the communication function of patients with cerebral palsy in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagung Adi Sresti Mahayana
"Anak palsi serebral seringkali memiliki kebugaran kardiorespirasi yang rendah yang berdampak inaktivitas dan penurunan kualitas hidup. Untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi diperlukan terapi latihan, dimana membutuhkan peresepan latihan yang tepat dan aman. Uji jalan dua menit merupakan suatu metode yang paling fungsional untuk menilai kebugaran kardiorespirasi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai keandalan dan mengetahui minimal detectable change (MDC95) uji jalan dua menit untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi pada anak palsi serebral ambulatori. Penelitian ini merupakan uji keandalan dengan metode test-retest yang berlangsung selama Maret hingga Agustus 2021 di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik divisi Pediatri RSUPN dr. Ciptomangunkusumo dan komunitas. Lima belas subjek yang masuk dalam kriteria inklusi melakukan uji jalan dua menit sebanyak dua kali di hari yang sama. Nilai keandalan test-retest ditemukan sangat tinggi (ICC= 0,99, p<0,001) dengan MDC95 2,496 m. Uji jalan dua menit dapat diaplikasikan sebagai uji latih yang andal dan aman untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan palsi serebral ambulatori.

Cerebral palsy children often have low cardiorespiratory endurance which results in inactivity and decreased quality of life. To improve cardiorespiratory endurance, exercise therapy is needed, which requires proper and safe exercise prescriptions. The two-minute walk test is the most functional method for assessing cardiorespiratory fitness. This study aims to assess the reliability and determine the minimum detectable change (MDC95) of two-minute walking test to measure cardiorespiratory endurance in ambulatory cerebral palsy children. This research is a reliability test using the test-retest method which take place from March to August 2021 at the outpatient clinic of Department of Medical Rehabilitation, Pediatric Division, RSUPN dr. Ciptomangunkusumo and the community. Fifteen subjects who met the inclusion criteria did a two-minute walking test twice on the same day. The test-retest reliability was found to be excellent (ICC= 0.99, p<0.001) with MDC95 of 2,496 m. The two-minute walking test can be applied as a safe and reproducible exercise test to measure cardiorespiratory endurance in ambulatory cerebral palsy children with excellent reliability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>