Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dandi Baskoro Soebakir
Abstrak :
Keberadaan struktur geologi merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan zona permeabel pada suatu sistem geotermal. Penelitian ini dilakukan di salah satu area prospek geotermal di zona Sistem Sesar Sumatera (GSF) yang termasuk dalam segmen Angkola dan Barumun yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemenerusan fitur permukaan hingga bawah permukaan terutama struktur geologi yang berkaitan erat dengan zona permeabel dengan mengintegrasikan data geologi, geokimia, dan geofisika. Teknologi remote sensing digunakan untuk mengidentifikasi struktur geologi yang terobservasi di permukaan yang dikorelasikan dengan persebaran manifestasi permukaan. Namun, tidak semua struktur geologi yang terobservasi di permukaan dapat diamati dan kemenerusannya dari permukaan hingga bawah permukaan dilakukan dengan pendekatan geofisika menggunakan data magnetotelurik (MT) dan gravitasi. Interpretasi struktur geologi permukaan berdasarkan analisis remote sensing dan persebaran manifestasi permukaan memiliki korelasi yang positif dengan hasil gravitasi adanya struktur graben dari zona GSF yang memiliki orientasi baratlaut-tenggara. Kelurusan dan karakteristik (arah dan kemiringan) struktur ditandai dengan adanya kontras nilai gravitasi, nilai Horizontal Gradient Magnitude (HGM) maksimum, dan nilai zero Second Vertical Derivative (SVD) serta analisis Multi Scale-Second Vertical Derivative (MS-SVD). Hasil interpretasi struktur bawah permukaan gravitasi berkorelasi positif dengan analisis parameter MT (splitting curve MT) yang dapat mengindikasi zona struktur bawah permukaan. Gabungan interpretasi struktur permukaan dan bawah permukaan teridentifikasi adanya 5 struktur (F1, F2, F3, F4, dan F5) yang diklasifikasikan sebagai Struktur Pasti (F1, F2, F3, dan F4) dan Struktur Diperkirakan (F5) yang memiliki orientasi baratlaut-tenggara. Struktur F3 yang berorientasi baratlaut-tenggara merupakan struktur utama yang berperan sebagai fluid conduit (zona permeabel) yang dibuktikan dengan adanya manifestasi mata airpanas bertipe klorida. Berdasarkan hasil pemodelan inversi 3-D MT dan pemodelan kedepan 2-D gravitasi dapat mendelineasi zona reservoir pada kedalaman 1500 – 2000-meter yang dikontrol oleh struktur F3 dan zona reservoir berasosiasi dengan batuan metasediment yang nantinya dapat menentukan lokasi sumur pengeboran. Untuk memvisualisasikan sistem geotermal secara komprehensif, maka dikembangkan model konseptual dengan mengintegrasikan model geofisika yang memiliki kualitas data optimum dengan data geologi dan geokimia yang saling berkorelasi, sehingga dapat dijadikan dasar dan acuan dalam menentukan lokasi pengembangan sumur produksi dan reinjeksi dan menurunkan resiko kegagalan dalam well targeting. ......The existence of geological structures is one of the important parameters in determining the permeability zone in a geothermal system. This study was conducted in one of the geothermal prospect areas in the Sumatera Fault System (GSF) zone included in the Angkola and Barumun segments which aims to identify the continuity of surface to subsurface features, especially geological structures that are closely related to permeability zones by integrating geological, geochemical, and geophysical data. Remote sensing technology is used to identify geological structures observed at the surface that are correlated with the distribution of surface manifestations. However, not all surface-observed geological structures can be observed and their continuity from the surface to the subsurface is done with a geophysical approach using magnetotelluric (MT) and gravity data. Interpretation of surface geological structures based on remote sensing analysis and the distribution of surface manifestations has a positive correlation with the gravity results of the graben structure of the GSF zone which has a northwest-southeast orientation. The alignment and characteristics (direction and slope) of the structure are characterized by the contrast of gravity values, maximum Horizontal Gradient Magnitude (HGM) values, and zero Second Vertical Derivative (SVD) values as well as Multi Scale-Second Vertical Derivative (MS-SVD) analysis. The results of gravity subsurface structure interpretation are positively correlated with MT parameter analysis (splitting curve) which can indicate subsurface structure zones. The combined interpretation of surface and subsurface structures identified 5 structures (F1, F2, F3, F4, and F5) classified as Certain Structures (F1, F2, F3, and F4) and Estimated Structure (F5) that have a northwest-southeast orientation. The northwest-southeast oriented F3 structure is the main structure that acts as a fluid conduit (permeability zone) as evidenced by the manifestation of chloride-type hot springs. Based on the results of 3-D MT inversion modeling and 2-D gravity forward modeling, it can delineate the reservoir zone at a depth of 1500 - 200 meters controlled by the F3 structure and the reservoir zone is associated with metasedimentary rocks which can later determine the location of drilling wells. To visualize the geothermal system comprehensively, a conceptual model was developed by integrating geophysical models that have optimum data quality with geological and geochemical data that are correlated, so that it can be used as a basis and guide in determining the location of production well development and reinjection and reduce the risk of failure in drilling targets.
Jakarta: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Ardhana
Abstrak :
Secara geografis Lapangan RD termasuk kedalam provinsi Sumatera Selatan dan secara geologi berada dalam kompleks Bukit Barisan. Pada penelitian ini penulis melakukan pemodelan inversi 3D magnetotelluric dan mengkorelasikan dengan data sumur dan didukung oleh data eksporasi yang telah ada sebelumnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapat rumusan mengenai karakterisasi secara geologi dan nilai resistivitas yang tepat untuk menentukan Top of Reservoir. Hasil penelitian penulis dari data sumur menunjukan adanya pendinginan dan referensi Base of Conductive (BOC) di lapangan RD adalah 14ohm.m, lebih besar dari referensi BOC 1-10 ohm.m (Ussher, 2000) yang biasa diterapkan di lapangan panas bumi. Kontrol litologi lebih dominan dalam menentukan TOR dimana tuff dasitis dan riolitis ditemukan di semua sumur. Kontrol BOC dalam menentukan TOR hanya bisa dilakukan pada elevasi dibawah 1200m. ......RD field is geographically located on South Sumatera Province and geologically inside Barisan Mountain Range. In this study, author make 3D MT inversion model and correlate it with well data supported with other exploration data had been published with aim to characterize Top of Reservoir (TOR) based on resistivity and geological feature. This study show from well data that cooling is a main feature in RD field and applicable Base of Conductive (BOC) reference is 14 ohm.m instead of 1-10 ohm.m proposed by Ussher (2000) which usually applied in geothermal field. Lithology is a more dominant control to define TOR, where all TOR is observed on dacitic or rhyolitic tuff. BOC control to define TOR is only applicable in elevation lower than 1200m.
Jakarta: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Juanda
Abstrak :
ABSTRAK
Pemodelan seismik adalah suatu teknik yang digunakan untuk mensimulasikan pergerakan gelombang seismik didalam bumi. Tujuan pemodelan adalah didapatkanya asumsi keadaan struktur bawah tanah dan sebagai salah satu cara dalam mendesain survey lapangan yang sebenarnya. Pemodelan seismik dibuat dengan program matlab yang mengkombinasikan fungsi finite difference dengan general user interface (gui). Keakuratan Metode ini sangat dipengaruhi oleh interval grid yang digunakan, orde, dan geometri dari model geologi yang dibuat. Selain itu, data hasil perekaman seismik sangat dipengaruhi parameter filter, panjang perekaman, clip level, dan Metode akuisisi yang digunakan. Pemilihan parameter yang tepat, akan menghasilkan respon sinyal seismik yang lebih jelas.
ABSTRACT
Seismic modelling is a technique that use to simulating wave propagation in the earth. The purposes are to predict/assumed the structure of subsurface and also to design of seismic survey. The seismic modelling program created by matlab programming that combine finite difference function and general user interface (GUI). The accuracy of its method influenced by grid interval that used, order of finite difference, and geometry from the artificial geological model. Besides that, seismic data record influenced by filtering, duration of record data, clip level and acquisition method. The right parameter option will produce respond of seismic signal clearly.
2007
S29324
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Riamon
Abstrak :
ABSTRAK
Pada sektor migas, pengukuran geofisika dilakukan di suatu lapangan minyak dengan tujuan yang beragam baik terkait dalam proses eksplorasi, eksploitasi, maupun monitoring. Untuk itu hingga kini telah dilakukan pengukuran gravitasi berkelanjutan di Talang Jimar, salah satu lapangan minyak yang berlokasi di Prabumulih, Sumatera Selatan. Hasil pengolahan dan pemodelan dua dimensi data gravitasi Lapangan Talang Jimar periode September - Oktober 2003 menggunakan metode Talwani menunjukkan adanya pola anomali gravitasi rendah yang berkorelasi dengan struktur patahan normal/graben dengan tren timur laut-barat daya serta pola anomali gravitasi tinggi yang berkorelasi dengan struktur patahan naik dengan tren barat laut-tenggara.
2007
S29334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Josua Gregory
Abstrak :
Metode MT merupakan metode geofisika yang umum serta unggul yang digunakan dalam eksplorasi panasbumi saat ini. Namun metode ini memiliki tantangan dalam menentukan secara pasti dimana zona konduktif pada suatu daerah melalui hasil inversi 2-D maupun 3-D akibat dari sifat gelombang elektromagnetik (EM) untuk menginduksi lapisan yang bersifat konduktif, sehingga penetrasi gelombang EM menjadi kecil. Tantangan lain yang muncul adalah upaya meningkatkan rasio kesuksesan dalam tahap drilling (drilling success ratio) pada eksplorasi panasbumi. Target drilling erat kaitannya dengan zona rekahan (fracture). Secara umum zona fracture pada sistem panasbumi berasosiasi dengan sesar yang terisi material ataupun fluida yang akan memiliki resistivitas yang rendah atau bersifat konduktif. Dengan menggunakan fungsi transfer geomagnetik atau disebut juga dengan tipper (induction arrows), yaitu fungsi transfer yang menghubungkan medan magnet vertikal (z) terhadap medan magnet horizontal (x dan y) serta diintegrasikan dengan hasil inversi MT, kita dapat menentukan keberadaan anomali konduktif. Analisis induction arrows pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software WinGlink. Software ini dapat menampilkan arah panah induksi beserta besar panahnya. Induction arrows pada WinGlink dapat ditampilkan dan dianalisis dalam dua tampilan, yaitu Maps induction arrows untuk menganalisis secara lateral dan Pseudo-Section induction arrows untuk menganalisis secara vertikal. Analisis induction arrows serta inversi 2-D telah diaplikasikan pada data riil (Lapangan-X). Hasil analisis induction arrows serta inversi 2-D pada data riil (Lapangan-X), telah sukses diaplikasikan untuk mengetahui posisi struktur utama serta memetakan persebaran anomali konduktif. ...... The MT method is an excellent geophysical method commonly used in geothermal exploration. However, the method presents a challenge in pinpointing the conductive zone in an area based on either 2-D or 3-D inversion result, as a consequence of the tendency of electromagnetic (EM) waves to induce currrent in a conductive layer, which leads to low penetration of MT waves into that layer. Another challenge is in improving the drilling success ratio of the geothermal exploration process. The Drilling target is heavily affected by fracture zones. Generally, the fracture zones in a geothermal system are associated with faults containing conductive materials or fluids will having low resistivity. Using the geomagnetic transfer function, also called the tipper (induction arrows), which is a transfer function that correlates the vertical (z direction) magnetic field to horizontal (x and y direction) magnetic fields, along with MT inversion results, we can determine the location of conductive anomaly. Analysis of Induction arrows on this research done on the software WinGlink. This software can display the direction and magnitude of the induction arrow. In WinGlink, Induction arrows can be displayed and analyzed in two viewing modes, namely the Maps of induction arrows for lateral analysis and Pseudo-Section of induction arrows for vertical analysis. Analysis of induction arrows with 2-D inversion, has been successfully applied to real data (X-Field) in locating the main structure and mapping the distribution of the conductive anomalies.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54984
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anugrah Indah Lestari
Abstrak :
Data magnetotellurik biasanya masih dihimpun dan ditampilkan dalam bentuk profil dan diinterpretasi menggunakan inversi 1-dimensi (1-D) atau 2-dimensi (2-D). Asumsi yang digunakan dalam inversi 1-D dan 2-D dapat menyebabkan kesalahan interpretasi dikarenakan kondisi riil di bawah permukaan adalah 3-D. Oleh karena itu dilakukan pengujian inversi 1-D, 2-D, dan 3-D (full tensor impedance dan off diagonal elements) profil data sintetik 3D untuk menganalisis pengaruh efek 3D dan efek tepi. Hasil dari inversi 1D dan 2D memperlihatkan ketidakmampuan dalam mempertahankan geometri model sintetik 3D terutama dalam memperlihatkan batas tepi model sintetik 3D. Dengan menggunakan inversi 3-D, terlihat memberikan hasil yang lebih baik dalam memperlihatkan geometri model sintetik 3D. Pentingnya penggunaan on diagonal elements (Zxx dan Zyy) dalam proses inversi diperlihatkan melalui hasil data sintetik yakni menambah keakuratan dalam hasil inversi terutama pada profil bagian tepi dari benda konduktif dan resistif. Hal ini diperlihatkan melalui hasil plot nilai impedansi Zxx dan Zyy. Oleh karena itu penggunaan seluruh komponen tensor impedansi penting digunakan dalam inversi 3-D untuk menginterpretasi profil data. Arah strike juga terlihat sangat mempengaruhi hasil inversi 2-D. Analisis terhadap inversi multidimensi profil data dilakukan terhadap data riil magnetotelurik daerah prospek panas bumi Tawau, Malaysia. Dari hasil inversi1-D, 2-D, dan 3-D pada data riil didapatkan kemiripan pola distribusi zona resistivitas rendah dan tinggi pada hasil inversi 1-D dan 3-D dikarenakan hasil kedua inversi tidak dipengaruhi oleh arah strike serta hasil ini mendukung kesesuaian pada hasil model sintetik di mana hasil inversi 1-D dapat mencitrakan resistivitas bawah permukaan dengan baik pada kedalaman dangkal. ...... Magnetotelluric data is usually still collected and displayed in profile data and interpreted by using 1-dimensional inversion (1-D) or 2-dimensional inversion (2-D). The assumption that is used in 1-D and 2-D may lead potential pitfall during interpretation because real condition beneath the surface is 3-D. Therefore, inversion 1-D, 2-D, and 3-D (full tensor impedance and off diagonal elements) is tested in 3D synthetic profile data for analyzing the influence of 3D effect and edge effect. 1-D and 2-D inversion result shows an inability to maintain the geometry of 3D synthetic model, mainly in imaging edge border of 3D synthetic model. By using 3-D inversion profile synthetic data MT, it is proven that the use of 3-D inversion gives better result in showing the geometry of 3D synthetic model. The importance of on diagonal elements (Zxx and Zyy) in the inversion result is shown by the result of synthetic data which increase the accuracy of inversion result, particularly at edge of conductive and resistive feature. This is shown by the result of impedance value (Zxx and Zyy) ploting. Therefore, using all components of tensor impedance is important in 3D inversion to interpret profile data. Strike direction is also seen affect the result of 2D inversion. Analysis of multidimension inversion of profile data is then performed on real magnetotelluric data in Tawau geothermal prospect area. From 1-D, 2-D, and 3-D inversion result, it is obtained that there is similarity in distribution pattern of low and high resistivity zone because both of the inversion are not influenced by strike direction and this result supports the suitability of synthetic model result where 1-D inversion can image subsurface resistivity at shallow depth well.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachriza Fathan
Abstrak :
ABSTRAK
Analisis seismik untuk mempelajari proses tektonik, kejadian gempa dan interaksi gempa membutuhkan pengetahuan yang akurat terhadap lokasi hiposenter gempa. Akurasi lokasi hiposenter dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemahaman terhadap struktur lapisan. Pengaruh dari kekeliruan terhadap struktur kecepatan lapisan dapat dengan efektif diminimalisasi menggunakan metode relokasi double-difference. Metode tersebut bekerja dengan meminimasi nilai residu antara selisih waktu tempuh terukur dan terhitung antara dua gempa yang diasumsikan memiliki lintasan rambat gelombang yang sama dari sumber menuju suatu stasiun. Pada penelitian ini, penulis menggunakan data sintetik yang dibuat dengan variasi model kecepatan dan data riil di suatu daerah dekat struktur patahan. Data tersebut diolah menggunakan program HYPO71 yang mengaplikasikan metode Geiger untuk mendapatkan lokasi awal hiposenter, kemudian direlokasi dengan menggunakan program buatan berbasis MATLAB (Delta-Hypo) dan program HypoDD yang mengaplikasikan metode double-difference. Hasil pengolahan data sintetik memberikan peningkatan akurasi episentral hingga 48% dan kedalaman hingga 42%. Hal ini menunjukkan bahwa metode double-difference berhasil merelokasi hiposenter sehingga diperoleh parameter dengan akurasi yang lebih baik, sekalipun terdapat penyederhanaan pada model kecepatan yang digunakan. Hasil pengolahan data riil menunjukkan adanya kesesuaian lokasi hiposenter dengan struktur geologi dan patahan yang ada di lapangan.
ABSTRACT
Seismicity analysis for the study of tectonic processes, earthquake recurrence, and earthquake interaction requires precise knowledge of earthquake hypocenter locations. The accuracy of absolute hypocenter locations is controlled by several factors, one of which is knowledge of the crustal structure. The effects of errors in structure can be effectively minimized by using double-difference relocation methods. This method works by minimizing residual between observed and calculated differential travel time between two events which assumed had a similar ray path between the source region and a common station. In this research, the author uses synthetic data which varies in velocity model and real data from a certain region near fault structure. These data were processed using HYPO71 program that applies Geiger method to obtain initial hypocenter locations, and then relocated using artificial MATLAB based program (Delta-Hypo) and HypoDD program that applies double-difference method. The synthetic data processing results gives epicentral accuracy improvement up to 48% and focal-depth up to 42%, which shows that double-difference method can successfully relocate hypocenters so that parameters with better accuration are obtained, although there are simplification in velocity model used. The real data processing results shows that the hypocenter locations is appropriate with existing geological and fault structure in the field.
Universitas Indonesia, 2014
S57247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Noor Ichwan
Abstrak :
ABSTRAK
Inversi data magnetotellurik merupakan suatu proses mengubah data magnetotellurik menjadi penampang resistivitas. Salah satu metode inversi yang digunakan adalah inversi 3D. Inversi 3D magnetotellurik mengasumsikan bahwa bumi memiliki variasi resistivitas baik arah vertikal maupun lateral. Inversi tersebut menghasilkan model yang paling mendekati keadaan lapisan bumi yang sebenarnya. Akan tetapi, inversi 3D dimensi membutuhkan memori serta waktu yang lama dalam prosesnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variasi model awal sebagai pengontrol proses inversi. Model awal yang dapat digunakan adalah resistivitas hasil inversi 1D dimana hasil inversi tersebut memiliki kemiripan dengan hasil inversi 3D. Pada penelitian ini, penulis melakukan inversi data riil magnetotellurik dengan memvariasikan beberapa model awal. Variasi 'inversi dengan menggunakan model awal 1D menunjukkan bahwa model awal 1D mampu mengontrol proses inversi 3D dilihat dari kesesuaian hasil inversi 3D dengan model awal yang digunakan. Selain itu, hasil inversi dengan menggunakan model awal data inversi 1D menunjukkan hasil yang lebih baik pada model yang menggunakan lebih banyak mesh grid. Hal tersebut dapat dilihat dari RMS error model terhadap data observasi.
ABSTRACT
Inversion of Magnetotelluric data is a process to obtain resistivity variation from magnetotelluric data. 3D Inversion of magnetotelluric data is a method that usually used. Those method assume that earth has resistivity variation along vertical and lateral direction. It can produce the most similliar earth resistivity model to the real earth. However, 3D inversion method need high amount of CPU memory and calculation time. In order to cover that weakness, initial model is used to control the inversion process. The initial model used is resistivity variation from 1D inversion of magnetotelluric data. Resistivity variation of 1D inversion has simmiliar pattern with resistivity variation of 3D inversion. 3D inversion is done on real magnetotelluric data with variation of initial model. The variabels which are used initial model are resistivity variation and number of mesh grid blocks. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show that initial model can control the inversion process. The result of 3D inversion have similiar pattern with the inisial model which is used. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show better result than 3D inversion using homogenous resistivity initial model on larger number of mesh grid, it can be proven by its RMS errors.
2015
S58259
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Noor Ichwan
Abstrak :
ABSTRAK
Inversi data magnetotellurik merupakan suatu proses mengubah data magnetotellurik menjadi penampang resistivitas. Salah satu metode inversi yang digunakan adalah inversi 3D. Inversi 3D magnetotellurik mengasumsikan bahwa bumi memiliki variasi resistivitas baik arah vertikal maupun lateral. Inversi tersebut menghasilkan model yang paling mendekati keadaan lapisan bumi yang sebenarnya. Akan tetapi, inversi 3D dimensi membutuhkan memori serta waktu yang lama dalam prosesnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan variasi model awal sebagai pengontrol proses inversi. Model awal yang dapat digunakan adalah resistivitas hasil inversi 1D dimana hasil inversi tersebut memiliki kemiripan dengan hasil inversi 3D. Pada penelitian ini, penulis melakukan inversi data riil magnetotellurik dengan memvariasikan beberapa model awal. Variasi 'inversi dengan menggunakan model awal 1D menunjukkan bahwa model awal 1D mampu mengontrol proses inversi 3D dilihat dari kesesuaian hasil inversi 3D dengan model awal yang digunakan. Selain itu, hasil inversi dengan menggunakan model awal data inversi 1D menunjukkan hasil yang lebih baik pada model yang menggunakan lebih banyak mesh grid. Hal tersebut dapat dilihat dari RMS error model terhadap data observasi.
ABSTRACT
Inversion of Magnetotelluric data is a process to obtain resistivity variation from magnetotelluric data. 3D Inversion of magnetotelluric data is a method that usually used. Those method assume that earth has resistivity variation along vertical and lateral direction. It can produce the most similliar earth resistivity model to the real earth. However, 3D inversion method need high amount of CPU memory and calculation time. In order to cover that weakness, initial model is used to control the inversion process. The initial model used is resistivity variation from 1D inversion of magnetotelluric data. Resistivity variation of 1D inversion has simmiliar pattern with resistivity variation of 3D inversion. 3D inversion is done on real magnetotelluric data with variation of initial model. The variabels which are used initial model are resistivity variation and number of mesh grid blocks. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show that initial model can control the inversion process. The result of 3D inversion have similiar pattern with the inisial model which is used. The results of 3D inversion using 1D resistivity initial model show better result than 3D inversion using homogenous resistivity initial model on larger number of mesh grid, it can be proven by its RMS errors.
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>