Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Rida Alexa SR
Abstrak :
Pencatatan nama pada dokumen kependudukan merupakan hal yang penting bagi setiap penduduk sebagai subjek hukum. Oleh karena itu, maka terbitlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama Pada Dokumen Kependudukan (PERMENDAGRI Nomor 73 Tahun 2022). Skripsi ini berpendapat bahwa PERMENDAGRI Nomor 73 Tahun 2022 perlu diteliti lagi dari segi keberlakuannya sebagai payung hukum bagi pencatatan nama yang baik dan tertib, serta bagaimana pencatatan nama yang baik dan benar itu seharusnya berjalan. Sehingga, terdapat setidaknya terdapat 3 (tiga) pokok permasalahan yang perlu dijawab mengenai pencatatan nama pada dokumen kependudukan dan PERMENDAGRI Nomor 73 Tahun 2022, yaitu: (1) bagaimana pengaturan mengenai pencatatan nama dalam dokumen kependudukan pada Pasal 5 PERMENDAGRI Nomor 73 Tahun 2022 dalam pencatatan berbagai dokumen kependudukan di Indonesia?; (2) bagaimana hukum mengatur dalam hal perbedaan pencatatan nama dalam dokumen kependudukan?; dan (3) bagaimana pertimbangan hakim dalam hal adanya kasus mengenai pencatatan nama pada dokumen kependudukan? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, skripsi ini melakukan penelitian terhadap beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai pencatatan nama serta pandangan hakim mengenai pencatatan nama. Setelah itu, skripsi ini memberikan analisis terkait keberlakuan Pasal 5 PERMENDAGRI Nomor 73 Tahun 2022 dalam pengaturan mengenai pencatatan nama. ...... Recording of names on population documents is important for every resident as a legal subject. On that account, the Minister of Home Affairs Regulation Number 73 of 2022 concerning Registration of Names on Population Documents (PERMENDAGRI Number 73 of 2022) was issued. This thesis argues that PERMENDAGRI Number 73 of 2022 needs to be examined again in terms of its effectiveness as a legal umbrella for good and proper name registration, and how it should work. Therefore, there are at least 3 (three) main issues that need to be answered in relation to the registration of names in population documents and PERMENDAGRI Number 73 of 2022, which are: (1) how are the arrangements regarding the recording of names in population documents in Article 5 PERMENDAGRI Number 73 of 2022 in the records of various population documents in Indonesia?; (2) how does the law regulate in terms of differences in the recording of names in population documents?; and (3) what is the judge's consideration in a case concerning the inclusion of names in the census record? To answer these three questions, this thesis conducts research on several laws and regulations that regulate the recording of names and the judges’ point of view towards it. The thesis then examines the application of Article 5 of PERMENDAGRI Number 73 of 2022 in the regulation regarding name registration.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradila Utami
Abstrak :
Pengaturan pengampuan saat ini tidak hanya diatur melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun juga undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Putusan Banding No. 75/PDT/2018/PT.JMB, Majelis Hakim telah mengabulkan pembatalan penetapan pengampuan yang diajukan oleh Terampu. Penyusunan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan kualitatif untuk meneliti kasus berdasarkan dengan undang-undang berlaku perihal pengampuan, dengan fokus terhadap kedudukan Terampu sebagai pengaju pembatalan dari pengampuan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Terampu memiliki kedudukan sebagai pengaju pembatalan pengampuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini memiliki beberapa pasal yang mengatur mengenai pengampuan dan menjadi suatu pelengkap dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terutama terkait Pembatalan Pengampuan. Walaupun demikian, terdapat beberapa substansi berbeda dalam aspek sifat pengampuan dan kriteria pengampu. Putusan Banding No. 75/PDT/2018/PT.JMB telah mencerminkan substansi dari undang-undang tersebut, namun undang-undang ini belum menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara penyandang disabilitas pada kasus pembatalan pengampuan tersebut. ......Conservatorship is regulated through the Civil Code and other laws such as Law No. 8/2016 on Persons with Disabilities. In Appeal Decision No. 75/PDT/2018/PT.JMB, the Panel of Judges granted the annulment of the conservatorship order filed by the Respondent. This research is a normative juridical research that uses a qualitative approach to examine cases based on the applicable laws regarding conservatorship, with a focus on the position of the Curandus as the applicant for the annulment of conservatorship. The results of this study show that Curandus has a position as a conservatorship annulment applicant based on Law No. 8/2016 on Persons with Disabilities. This law has several articles regulating conservatorship and complements the Civil Code, especially regarding the annulment of conservatorship. However, there are some substantial differences in the nature of conservatorship and the criteria for the conservator. Appeal Decision No. 75/PDT/2018/PT.JMB reflects the substance of the law, but this law has not been taken into consideration by the Judges in deciding cases involving persons with disabilities in cases of conservatorship annulment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Nurhafiah Salsabilah
Abstrak :
Kasus fetishisme kain jarik dalam Putusan Nomor 2286/Pid.Sus/2020/PN Sby merupakan salah satu kasus yang menggemparkan publik pada tahun 2020. Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan Terdakwa pada kasus ini telah melanggar tiga pasal, yang dua diantaranya merupakan pasal tentang perbuatan cabul. Terdakwa melakukan pencabulan dengan cara membungkus korbanya menggunakan kain jarik lalu melakukan seks oral kepada para korban nya. Di dalam hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa ini merupakan tindak pidana asusila yang telah membahayakan orang lain. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tinjauan hukum pidana Islam terhadap pencabulan yang dilakukan oleh pengidap fetishisme serta untuk mengetahui sanksi atau uqubah yang tepat bagi pelakunya. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung dengan jenis data sekunder. Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perbuatan cabul yang dilakukan oleh pengidap fetishisme dalam kasus ini adalah tindak pidana yang masuk dalam kategori ta’zir sehingga diancam pula dengan uqubah ta’zir. Mengenai sanksi yang tepat bagi pelakunya, maka bentuk sanksinya akan disesuaikan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh ulil amri dan apa yang diputuskan oleh hakim ketika menjatuhkan pidananya. Untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali, maka perlu adanya kesadaran dari masyarakat maupun pemerintah terhadap bahaya dari gangguan preferensi seksual seperti fetishisme ini. ......The case of fetishism in Verdict Number 2286/Pid.Sus/2020/PN Sby is one of the cases that shocked the public in 2020. In the verdict the judge stated that the Defendant had violated three articles, two of which were articles on sexual abuse. The Defendant committed sexual abuse by wrapping his victims using a jarik fabric and then performing oral sex on the victims. In Islamic law, the act committed by the Defendant is an immoral crime that has endangered other people. Therefore, this study aims to find out more about sexual abuse committed by people with fetishism and the right sanctions or uqubah for the perpetrators. This research is a juridical-normative research using qualitative analysis methods supported by secondary data types. The result shows that based on this case sexual abuse with fetishism in this case were criminal acts that fell into the category of ta'zir so that they were also threatened with uqubah ta'zir. Regarding the appropriate form of sanctions, it will be adjusted to what has been set by the ulil amri and what is decided by the judge when imposing the sentence. To prevent this incident from happening again, it is necessary to have awareness from the public and the government about the dangers of sexual preference disorders such as this fetishism.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Hafni Humaira
Abstrak :
Dalam menentukan perwalian terhadap anak, penting untuk memperhatikan prinsip kepentingan terbaik anak. Meskipun dalam praktiknya khususnya dalam penetapan Nomor 4/PDT.P/2020/PN Plp, Majelis Hakim masih belum memberikan pertimbangan hukum mengenai prinsip kepentingan terbaik bagi anak, tetapi hal ini tidak dapat dikesampingkan. Untuk itu, penelitian ini akan melihat bagaimana seharusnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak diterapkan, khususnya dalam penetapan perwalian terhadap anak berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak dan peraturan lainnya yang berlaku di Indonesia. Melalui metode penulisan doktrinal, penelitian ini ingin melihat sejauh mana Penetapan Nomor 4/PDT.P/2020/PN Plp menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam perwalian di Indonesia. Penelitian ini dilengkapi dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan Majelis Hakim tidak memperhatikan ketentuan PP 29/2019. Pengangkatan perwalian yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku akan berdampak dengan keberlangsungan hidup anak. Hal ini dikarenakan semasa hidupnya, anak yang masih termasuk dalam masyarakat rentan akan bergantung dengan walinya. Selain itu, sesuai pada Konvensi Hak-Hak Anak khususnya dalam General Comment No. 14 (2013) on The Right of The Child to Have His or Her Best Interests Taken as a Primary Consideration mengatur prinsip kepentingan terbaik anak harus diuraikan secara eksplisit mengenai bagaimana hal ini dipertimbangkan. Ketentuan ini juga tidak diejawantahkan oleh Majelis Hakim karena dalam pertimbangan hukumnya sama sekali tidak mencantumkan pertimbangan mengenai kepentingan terbaik bagi anak. Dalam penelitian ini, akan diberikan saran yaitu terhadap Mahkamah Agung untuk membuat pedoman teknis agar Majelis Hakim dalam melakukan pengangkatan seorang wali terhadap anak dapat memperhatikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, pembuatan panduan khusus mengenai pelaksanaan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang harus dipatuhi oleh aparat penegak hukum dan masyarakat, serta adanya pelatihan kepada aparat penegak hukum mengenai pentingnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan yang utama. ......In determining guardianship of children, it is crucial to prioritize the principle of the child's best interests. Despite the Panel of Judges failure to consider the best interests of the child in Determination Number 4/PDT.P/2020/PN Plp, this should not be overlooked. Therefore, this research will examine how the best interests of children should be applied in determining guardianship based on the Convention on the Rights of the Child and other Indonesian regulations. Through a doctrinal writing method, this research aims to assess the application of the best interests of children principle in Determination Number 4/PDT.P/2020/PN Plp. The research is supported by primary, secondary, and tertiary legal materials. The findings reveal that the Panel of Judges did not adhere to the provisions outlined in PP 29/2019. Appointing guardianship without following the applicable regulations will adversely affect the child's well-being, as they rely on their guardians for support. Furthermore, the Panel of Judges did not incorporate considerations regarding the best interests of the child in their legal deliberations, contrary to the provisions of the Convention on the Rights of the Child, especially General Comment No. 14 (2013) ) on The Right of The Child to Have His or Her Best Interests Taken as a Primary Consideration. In this research, suggestions will be given to the Supreme Court to create technical guidelines so that the Panel of Judges in appointing a guardian for a child can pay attention to the principle of the best interests of the child, creating special guidelines regarding the implementation of the principle of the best interests of the child which must be adhered to by law enforcement officers. and the community, as well as training for law enforcement officers regarding the importance of the principle of the best interests of children as the main consideration.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ejos Micel Kiko
Abstrak :
Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 membuat terjadinya perubahan regulasi di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak ketiga atas postnuptial agreement dengan membandingkan antara Indonesia dan Australia. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal berbentuk yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh pasangan atau suami-isteri untuk menyelamatkan harta benda dari hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang seperti perceraian dan lainnya. Perjanjian perkawinan tidak lepas dari pihak-pihak yang membuat maupun pihak ketiga yang tersangkut. Dengan diperbolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan (postnuptial agreement), menimbulkan permasalahan hukum terhadap pihak ketiga yang tersangkut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan mengenai postnuptial agreement di Indonesia belum sepenuhnya melindungi pihak ketiga. Sementara itu, Australia mengatur postnuptial agreement lebih sistematis dan jelas dalam Family Law Act 1975. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadikan Australia sebagai contoh negara yang mengatur postnuptial agreement dengan jelas dan tegas. Dengan demikian, perlindungan hukum bagi pihak ketiga atas postnuptial agreement di Indonesia akan lebih terjamin. ......With the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 made changes to the regulations in Indonesia regarding marital agreements. This paper aims to determine the legal protection for third parties on postnuptial agreements by comparing Indonesia and Australia. This research is a doctrinal research in the form of normative juridical with a comparative legal approach. A marriage agreement is an agreement made by a couple or husband and wife to save property from unwanted things in the future such as divorce and others. The marriage agreement cannot be separated from the parties who make it and the third parties involved. With the permissibility of making a marriage agreement after the marriage takes place (postnuptial agreement), it raises legal issues for third parties involved. The results of this study show that the regulations regarding postnuptial agreements in Indonesia have not fully protected third parties. Meanwhile, Australia regulates postnuptial agreements more systematically and clearly in the Family Law Act 1975. Therefore, Indonesia can take Australia as an example of a country that regulates postnuptial agreements clearly and firmly. Thus, legal protection for third parties to postnuptial agreements in Indonesia will be more guaranteed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Juarsih
Abstrak :
Tulisan ini mengkaji mengenai pengaturan hukum yang masih belum mengatur secara rinci bagaimana kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anak setelah putusnya perkawinan yang diakibatkan oleh perceraian. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa hukum Indonesia mengatur bahwa bapak yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak setelah perceraian, dibantu oleh ibu apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Kewajiban orang tua setelah perceraian tersebut tidak mengatur mengenai parameter biaya nafkah anak setelah perceraian, tidak ada peninjauan ulang terhadap kondisi finansial orang tua, serta sampai kapan nafkah anak diberikan. ......This paper analyzes the legal regulations that still do not regulate in detail how the obligation of parents to meet the daily living needs of children after the breakdown of marriage caused by divorce. This paper is prepared using legal-normative research method. From the results of the research, it is found that Indonesian law regulates that the father is responsible for the maintenance and education of children after divorce, assisted by the mother if the father cannot fulfill these obligations. Parental obligations after divorce do not regulate the parameters of child support after divorce, there is no review of the financial condition of the parents and how long child support is provided.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
Abstrak :
Pelecehan seksual di jalanan (street harassment) merupakan jenis kejahatan yang paling dekat dengan masyarakat dan sangat meresahkan. Dalam Islam, tindakan pelecehan seksual sangat tidak dibenarkan karena merupakan tindakan tercela dan keluar dari jalur syariat. Pelecehan seksual merupakan kemaksiatan dan dapat mendekatkan pelakunya dengan perbuatan zina. Pelecehan seksual tidak sampai kepada perbuatan persetubuhan, sehingga perbuatan tersebut belum tergolong sebagai zina. Pelecehan seksual jalanan tergolong sebagai jarimah takzir dan pelakunya harus dijatuhi ‘uqubat takzir. Di Indonesia, ‘uqubah takzir pelecehan seksual jalanan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU KUHP Nasional, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat. Dalam perspektif hukum Islam, ‘uqubat dianggap baik apabila telah sesuai dengan maqashid syariah. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum pidana Islam pelecehan seksual di jalanan dan apakah Putusan Nomor 36/Pid.B/2020/PN.Wtp, Putusan Nomor 209/Pid.B/2020/PN.Bks dan Putusan Nomor 53/Pid.B/2021/PN.Bli sebagai contoh putusan mengenai kasus pelecehan seksual di jalanan telah sesuai dengan pemidanaan dalam hukum pidana Islam. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan hukum pidana Islam mengenai street harassment dan menilai putusan-putusan yang berkaitan dengan pelecehan seksual di jalanan. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif dengan metode penelitian kualitatif dengan dukungan data primer berupa tiga putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa terdapat putusan yang ‘uqubat-nya telah sesuai dengan maqashid syariah dan memberikan keadilan bagi korban. Akan tetapi, terdapat juga putusan yang belum sesuai dengan maqashid syariah dan tidak cukup adil bagi para korban. ......Street harassment is the type of crime that is closest to society and is very disturbing. In Islam, the act of sexual harassment is not justified because it is a despicable act and goes out of the path of sharia. Sexual harassment is a sin and can bring the perpetrator closer to adultery. The sexual harassment examined in this thesis does not reach the act of intercourse, so that when associated with Islamic law, the actions of the perpetrators of sexual harassment are not yet classified as adultery. In Islamic law, street sexual harassment is classified as jarimah takzir and the perpetrator must be sentenced to 'uqubat takzir. In Indonesia, 'uqubat tazkir in the case of street sexual harassment is regulated in the Criminal Code, Criminal Code Law, TPKS Law, and Jinayat Law on Qanun Aceh. In the perspective of Islamic law, 'uqubat is considered good if it is in accordance with maqashid sharia. Therefore, this study seeks to determine street sexual harassment in terms of Islamic criminal law and whether Decision Number 36/Pid.B/2020/PN.Wtp, Decision Number 209/Pid.B/2020/PN.Bks and Decision Number 53/Pid.B/2021/PN.Bli are in accordance with takzir in Islamic criminal law. This research aims to explain the view of Islamic criminal law on sexual harassment and assess decisions related to sexual harassment on the streets. This research is in the form of normative juridical with qualitative research methods with the support of primary data in the form of court decisions. From the results of the research, it was found that there are decisions whose 'uqubat' is in accordance with maqashid sharia and provides justice for victims. However, there are also decisions that are not in accordance with maqashid sharia and do not provide enough justice for victims.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levy Annisa Adrian
Abstrak :
Pencurian dalam keluarga merupakan kejadian yang masih marak terjadi dalam kehidupan dan menjadi persoalan yang cukup sering terjadi di Indonesia. Pada Pasal 481 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur bahwa pencurian yang terjadi di dalam lingkungan keluarga dapat di Pidana apabila terpenuhinya delik aduan dari korban yang merupakan keluarga dari pelaku. Adapun perbedaan yang terdapat dalam Hukum Pidana Islam yang mana dalam Hukum Pidana Islam tidak mengenal pencurian yang terjadi dalam lingkungan keluarga, karena terdapat syubhat dalam kepemilikan harta dalam agama Islam. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam penyelesaian tindakan pencurian yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kriminalisasi pencurian yang dilakukan dalam keluarga menurut KUHP dan hukum pidana Islam. Serta untuk mengetahui penerapan pencurian dalam keluarga berdasarkan putusan Nomor 505/Pid.B/2020/PN Pkb berdasarkan hukum pidana Islam. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, dengan dukungan data primer berupa putusan-putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa pencurian keluarga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dipidana asalkan terpenuhinya delik aduan, sedangkan Hukum Pidana Islam tidak mengenal pencurian dalam keluarga yang dikenakan hukuman potong tangan, akan tetapi pencurian dalam keluarga tetap dapat dikenakan hukuman ta'zir bila memenuhi syarat. Pencurian dalam keluarga seharusnya tidak terjadi pencurian apalagi di dalam keluarga karena menurut Islam menghukum keluarga sama saja dengan melakukan sesuatu yang haram yaitu memutuskan tali silaturahmi.  ......Theft in the family is an incident that still occurs in life and is a problem that occurs quite often in Indonesia. In Article 481 Paragraph (2) of the Criminal Code, it is stated that theft that occurs within the family environment can be punished if the complaint is fulfilled by the victim who is the perpetrator's family. There are differences in Islamic Criminal Law in that Islamic Criminal Law does not recognize theft that occurs within the family environment, because there are doubts regarding the ownership of property in the Islamic religion. The aim of this research is to determine the criminalization of theft committed within the family according to the Criminal Code and Islamic criminal law. As well as to find out the implementation of theft in the family based on decision Number 505/Pid.B/2020/PN Pkb based on Islamic criminal law. This research takes the form of normative juridical, with the support of primary data in the form of court decisions. From the research results, it was found that family theft based on the Criminal Code can be punished as long as the complaint offense is fulfilled, whereas Islamic Criminal Law does not recognize theft within the family. Therefore, regarding theft in the family, theft should not occur, especially within the family, because according to Islam, punishing the family is the same as doing something haram, namely breaking ties of a family.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Cahya Farhani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami perubahan prosedur dispensasi kawin setelah diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2019 serta implikasinya terhadap penetapan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar. Penelitian disusun dengan menggunakan metode doktrinal dengan studi kasus pada dua penetapan dispensasi kawin yang dipilih. Data diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perma No. 5 Tahun 2019 memberikan pedoman yang lebih ketat dalam proses permohonan dispensasi kawin, dengan tujuan untuk melindungi hak anak dan mengurangi angka pernikahan usia dini. Studi kasus pada Penetapan Nomor 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl dan Nomor 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl mengungkapkan adanya peningkatan tuntutan pembuktian bagi pemohon dispensasi serta peran aktif hakim dalam menggali alasan dan urgensi permohonan. Penetapan dalam kedua kasus tersebut mencerminkan penerapan Perma No. 5 Tahun 2019 yang lebih detail dan berorientasi pada perlindungan kepentingan terbaik anak. Perma No. 5 Tahun 2019 berpengaruh signifikan terhadap proses dan hasil putusan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Polewali Mandar, dengan adanya penekanan pada aspek perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas utama. ......The objective of this study is to examine the changes in marriage dispensation procedures that took place after the issuance of Supreme Court Regulation (Perma) No. 5 of 2019 and its implications for the determination of marriage dispensation in the Polewali Mandar Religious Court. The research was prepared using the doctrinal method with case studies on two selected marriage dispensation decisions. Data were obtained through document studies and interviews with relevant parties. The findings indicate that Perma No. 5 of 2019 introduces stricter guidelines for the marriage dispensation application process, aimed at safeguarding children's rights and reducing the incidence of early marriages. Case studies of Stipulations No. 1/Pdt.P/2023/PA.Pwl and No. 121/Pdt.P/2024/PA.Pwl reveal an increase in evidentiary requirements for dispensation applicants and the active role of judges in exploring the reasons and urgency of the application. The stipulations in both cases reflect a more thorough application of Perma No. 5/2019 and prioritize the protection of the child's best interests.. Perma No. 5/2019 has a significant effect on the process and outcome of marriage dispensation decisions at the Polewali Mandar Religious Court, with a focus on child protection and prioritizing the best interests of the child.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library