Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlina Rahmah
Abstrak :
Latar Belakang: Prevalensi pasien yang mengalami perburukan kondisi klinis di ruang perawatan sebesar 15 – 20% yang menyebabkan luaran serius yaitu kematian. Kejadian mortalitas pada kelompok pasien tersebut dapat dipengaruhi dari poin skor NEWS yang tinggi. Tujuan: Mengetahui hubungan NEWS terhadap kejadian mortalitas pada pasien yang diaktivasi pemanggilan TMRC di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Desain kohort retrospektif pada pasien dewasa yang dilakukan aktivasi pemanggilan TMRC di seluruh area rumah sakit kecuali ruang operasi, perawatan intensif, dan departemen emergensi. Sampel terpilih dengan metode total sampling dan analisis menggunakan survival Kaplan-meier dan analisis multivariat Cox extended model. Hasil : Terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada pasien yang dilakukan pemanggilan TMRC dengan skor NEWS tinggi pada waktu kurang dari 15 hari risiko mortalitas meningkat sebesar aHR 2,86, 95% CI 2,18–3,77, p-value 0,000 pada mereka yang tidak memiliki penyakit hati kronik setelah dikontrol dengan sepsis. Sedangkan, pada pasien dengan skor NEWS tinggi yang memilliki penyakit hati kronik meningkat risiko mortalitasnya menjadi aHR 4,17, 95% CI 1,39–12,44, p-value 0,01 setelah dikontrol dengan sepsis. Kesimpulan: Skor NEWS tinggi pada waktu kurang dari 15 hari memiliki peningkatan risiko mortalitas sebesar hampir 3 kali lipat pada mereka yang tidak memiliki penyakit hati kronik. Sedangkan, pada pasien yang memilliki penyakit hati kronik meningkat risiko mortalitasnya menjadi 4 kali setelah dikontrol dengan sepsis. ......Background: The patients prevalence who experience worsening clinical conditions on the general ward is 15-20%, which causes a serious outcome, namely death. Mortality events in this group of patients who were called rapid response team were influenced by high NEWS score points. Objective: To determine the association between NEWS and mortality in patients who have called TMRC at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods: This study used a retrospective cohort design from patients data who have called TMRC in all hospital areas except the operating room, intensive care, and emergency room. The sample was selected using total sampling, analyzed using Kaplan-meier survival analysis and cox extended model analysis. Results: Patients who have called TMRC with a high NEWS score in less than 15 days had increased risk of mortality aHR 2,86, 95% CI 2,18–3,77, p-value 0,000 in those who did not have chronic liver disease. Meanwhile, in patients with a high NEWS score who had chronic liver disease the risk of mortality increased to aHR 4,17, 95% CI 1,39–12,44, p-value 0,01 after being controlled with sepsis. Conclusion: A high NEWS score at less than 15 days had almost 3-fold increased risk of mortality in those without chronic liver disease. Meanwhile, in patients who have chronic liver disease, the risk of mortality increases to 4 times after being controlled with sepsis.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
Abstrak :
Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663). ......There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Amelya
Abstrak :
Latar Belakang: N-asetilsistein (NAS) memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai antikoksidan dan antiinflamasi. Belum banyak penelitian pemberian NAS pada pasien COVID-19. Pemberian NAS pada pasien COVID-19 derajat berat memiliki hasil luaran yang bervariasi, salah satunya diduga disebabkan lama terapi yang hanya beberapa jamhari. Tujuan: Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif di ICU RS PELNI, Jakarta. Penelitian ini dimulai setelah mendapat sertifikat etik dan ijin lokasi yang dimulai pada bulan Februari-April 2023. Pengambilan sampel secara consecutive sampling. Kriteria penerimaan meliputi pasien COVID-19 derajat berat dengan usia ≥18 tahun. Kriteria penolakan meliputi pasien sedang hamil/menyusui. Kriteria pengeluaran meliputi pasien meninggal sebelum pemberian NAS mencapai 14 hari. Luaran yang diamati adalah kejadian intubasi, mortalitas, nilai rasio netrofil limfosit, kadar D-dimer, dan CRP. Data penelitian merupakan data sekunder dari rekam medis. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan program SPSS versi 27. Hasil: Didapatkan total 112 pasien dengan 55 pasien tidak mendapatkan terapi NAS dan 57 pasien mendapatkan terapi NAS. Dari hasil analisis bivariat didapatkan pasien dengan terapi NAS memiliki kemungkinan untuk diintubasi sebesar 2,7 kali dan tidak berhubugan dengan mortalitas. Dari hasil analisis multivariat, didapatkan hanya variabel kejadian intubasi yang bermakna terhadap mortalitas. Simpulan: Terapi ajuvan NAS tidak menurunkan kejadian intubasi dan mortalitas. ......Background: N-acetylcysteine (NAS) has many benefits, one of which is as an antioxidant and anti-inflammatory. There have not been many studies of giving NAS to COVID-19 patients. Giving NAS to patients with severe degrees of COVID-19 has varied outcomes, one of which is thought to be caused by the duration of therapy which is only a few hours-days. Purpose: This retrospective cohort study was conducted in the ICU of PELNI Hospital, Jakarta. This research was started after obtaining an ethical certificate and location permit which began in February-April 2023. The samples were taken using consecutive sampling. Inclusion criteria was patients with severe degree of COVID-19 aged ≥18 years. Exclusion criteria was patients who are pregnant/breastfeeding. Drop out criteria was patients who died before 14 days of NAS administration. The observed outcomes were intubation events, mortality, neutrophil lymphocyte ratio D-dimer and CRP levels. The research data is secondary data from medical records. Data were analyzed with appropriate statistical tests using the SPSS version 27 program. Results: There were a total of 112 patients with 55 patients not receiving NAS therapy and 57 patients receiving NAS therapy. From the results of bivariate analysis, it was found that patients with NAS therapy had a 2.7 times the likelihood of being intubated and had no association with mortality. From the results of the multivariate analysis, it was found that only the intubation event variable had a significant effect on mortality. Conclusion: Adjuvant therapy for NAS does not reduce the incidence of intubation and mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mario Abet Nego
Abstrak :
Pendahuluan: Berbagai studi menyatakan bahwa pencapaian kadar terapeutik vankomisin pada pasien sakit kritis sangat rendah. Hal ini terjadi karena perubahan farmakokinetik pada pasien kritis akibat proses penyakit dan berbagai intervensi medis. Vankomisin mempunyai indeks terapeutik yang sempit, oleh karena itu pencapaian target kadar terapeutik sangat penting dievaluasi. Saat ini, pemberian vankomisin pada pasien sakit kritis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik tahun 2022. Namun, evaluasi pencapaian target kadar terapeutik vankomisin pada pasien kritis belum pernah dilakukan. Evaluasi pencapaian target kadar terapeutik vankomisin ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat pedoman pemberian dosis vankomisin yang lebih adekuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pencapaian kadar terapeutik vankomisin pada pasien sakit kritis. Metode: Penelitian ini merupakan studi pendahuluan dengan desain potong lintang. Rekrutmen subjek penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian adalah pasien sakit kritis yang menggunakan vankomisin. Pemeriksaan kadar vankomisin dilakukan dengan metode ELISA pada sampel darah subjek yang diambil saat trough concentration. Data-data klinis dan laboratorium lain didapatkan dari rekam medis subjek. Hasil: Jumlah subjek penelitian ini adalah 20 orang. Target kadar terapeutik vankomisin tercapai pada 45% subyek penelitian. Median kadar vankomisin pada penelitian ini adalah 17,43 mg/L (3,07 – 25,11 mg/L). Kadar terapeutik vankomisin lebih banyak tercapai pada subyek yang tidak mengalami overload cairan (61,5%) dan yang mendapat vankomisin dengan cara infus yang diperpanjang (64,3%). Pada penelitian didapatkan 3 (15,8%) subyek mengalami cidera ginjal akut setelah penggunaan vankomisin, dengan kadar vankomisin 17,37 mg/L, 11,16 mg/L, dan 13,64 mg/L. Kesimpulan: Capaian target kadar terapeutik vankomisin terjadi hanya pada sebagian pasien sakit kritis. Keadaan subyek yang tidak overload cairan dan pemberian infus vankomisin yang diperpanjang menjadi faktor yang mungkin mempengaruhi tercapainya target kadar terapeutik vankomisin. Kata kunci: trough concentration, vankomisin, pasien sakit kritis, farmakokinetik, kadar terapeutik ......Introduction: Various studies have stated that the achievement of vancomycin therapeutic levels in critically ill patients is very low. This condition occurs because of pharmacokinetic changes in critically ill patients due to the disease process and various medical interventions. Vancomycin has a narrow therapeutic index, therefore it is important to evaluate the drug concentration. Currently, the administration of vancomycin in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia is based on local antibiotic guidelines 2022. However, an evaluation of vancomycin concentration in critically ill patients has never been carried out. Evaluation of vancomycin concentration can be considered as a basis for making adequate vancomycin dosing guidelines. Aim of this study was to describe the vancomycin concentration in critically ill patients. Methods: This research is a preliminary study with a cross-sectional design. Subjects recruitment was done by consecutive sampling method. Subjects were critically ill patients who taking vancomycin. Examination of vancomycin concentration was conducted using ELISA method on subjects' blood samples taken during trough concentration. Other clinical and laboratory data were obtained from the subject's medical record. Result: Sample size of this study was 20 subjects. The target therapeutic level of vancomycin was achieved in 45% of the study subjects. The median of vancomycin concentration on this study was 17.43 mg/L (3.07 – 25.11 mg/L). Therapeutic levels of vancomycin were achieved more in subjects who did not experience fluid overload (61.5%) and received vancomycin by extended infusion method (64.3%). There were 3 subjects (15.8%) experienced acute kidney injury after using vancomycin, with vancomycin concentration of 17.37 mg/L, 11.16 mg/L, and 13.64 mg/L. Conclusion: Achievement of target therapeutic levels of vancomycin occurs in only a minority of critically ill patients. The condition of the subjects who are not fluid overload and the prolonged administration of vancomycin infusion are factors that may affect the achievement of the target therapeutic level of vancomycin. Keywords: trough concentration, vancomycin, critically ill patients, pharmacokinetics, therapeutic concentration
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
Abstrak :
Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM. Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian. Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3). Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat. ...... Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence. Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration. Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3). Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Yudha Lantang
Abstrak :
Latar Belakang: Bedah abdomen merupakan salah satu tindakan yang memiliki persentase mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pemberian cairan sebagai kompensasi hipotensi dan kehilangan darah yang menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien bedah mayor abdomen menjadi faktor resiko utama dalam terjadinya morbiditas dan mortalitas. Hipotensi dan gangguan hemodinamik dapat dipertahankan dengan pemberian vasopressor. Norepinefrin merupakan vasopressor lini pertama yang diberikan untuk mempertahankan hemodinamik. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sistem random sampling, 196 subjek dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan dilakukan randomisasi untuk dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu kelompok terapi standar dan kelompok norepinefrin. Hasil: Hasil penelitian dengan Chi-square menunjukkan bahwa durasi hipotensi dan laktat serta profil hemodinamik (index contractility, mixed vein, stroke volume variation) tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kelompok norepinefrin dan kelompok terapi standar (OR 1.00;95% CI = 0.062 - 16.217; OR 1.18;95% CI = 0.670-2.095; OR 1.09;95% CI = 0.611 – 1.952; OR 0.94;95% CI = 0.472- 1.872; OR 1.54;95% CI = 0.863-2.746). Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan bahwa dengan pemberian norepinefrin dini pada awal fase hipotensi memiliki efek yang sama baiknya dengan terapi cairan, sehingga dapat menjadi alternatif dalam mempertahankan hemodinamik perioperatif. ...... Introduction: Major abdominal surgery is one of the actions that have a percentage of high mortality and morbidity. Giving fluid as compensation for hypotension and loss of blood causes disturbance in hemodynamics in patients with major abdominal surgery factor risk main in happening morbidity and mortality. Hypotension and disorders in hemodynamics could be maintained with the administration of vasopressors. Norepinephrine is a first-line vasopressor for maintaining hemodynamics. Method: In this experimental study with systematic random sampling, 196 subjects were chosen based on criteria inclusion and randomization for categorized into two groups that is group therapy standard and group norepinephrine. Result: This experiment analyzed with Chi-square shows that duration hypotension and lactate as well as profile hemodynamics (index contractility, mixed vein, stroke volume variation) do have meaningful differences _ Among group norepinephrine and group therapy standard OR 1.00;95% CI = 0.062 - 16.217; OR 1.18;95% CI = 0.670-2.095; OR 1.09;95% CI = 0.611 – 1.952; OR 0.94;95% CI = 0.472- 1.872; OR 1.54;95% CI = 0.863-2.746). Conclusion: This experiment obtained that given norepinephrine at the beginning phase of hypotension has the same effect as fluid therapy, so that could be an alternative in maintaining hemodynamics perioperativ
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Hendrik Kaunang
Abstrak :
Latar Belakang: World Health Organization (WHO) menetapkan status pandemi COVID-19 secara global pada 11 Maret 2020. Covid-19 terutama mempengaruhi sistem pernapasan menyebabkan pneumonia dan dapat secara cepat masuk ke dalam kondisi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Kurangnya pengetahuan mengenai Covid-19 dengan ARDS membuat para petugas medis harus terus mencari tatalaksana yang paling tepat, termasuk terapi non farmakologis.,salah satunya adalah posisi prone. Laporan kasus ini akan membahas mengenai efek posisi prone pada pernapasan pasien Covid-19 yang mengalami ARDS berat. Tujuan: Laporan kasus ini ditujukan untuk mengetahui efek klinis dan efek samping terkait posisi prone pada pasien Covid-19 yang mengalami ARDS berat. Metode: Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskiptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang tercatat di rekam medis rawat inap pasien dengan kasus COVID-19 yang dilakukan posisi Prone selama perawatan di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini disajikan dengan desain studi laporan kasus. Laporan Kasus : Tiga pasien dirawat di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo di diagnosis Covid-19 dengan ARDS dan memiliki kondisi awal dan komorbid yang bervariasi. Pada ketiga pasien dilakukan posisi prone selama perawatan. Dari ketiga pasien didapatkan peningkatan PaO2, rasio PaO2/FiO2, saturasi oksigen perifer sejak posisi prone dilakukan hingga beberapa saat setelahnya, tetapi juga penurunan hemodinamik. Luaran di akhir perawatan cukup dipengaruhi kondisi awal dan komorbid Simpulan : Posisi prone memiliki efek perbaikan pada system pernapasan tetapi dengan efek samping pada hemodinamik dan luaran sangat dipengaruhi kondisi awal dan komorbid. Sebaiknya dilakukan pada 48 jam awal gejala ARDS dan dihindari pada komorbid kardiovaskular. ......ackground: On March 11th 2020, World Health Organization (WHO) stated that Covid-19 was a global pandemic. This disease mainly affects the respiratory system that will lead to pneumonia, and quickly becoming into acute respiratory distress syndrome (ARDS. The less knowledge of Covid-19 with ARDS encourages medical workers to find the appropriate management, including non pharmacological therapy, one of it is prone position. This serial case report, will review about the effect of prone position for respiratory function in ARDS patients due to COVID-19. Goals: The purpose of this study is to find out the clinical and side effects of prone position on Covid-19 with ARDS patient Method : This study is a retrospective descriptive study that using the medical record of Covid-19 patient whereas prone position have been performed during treatment in RSUPN Cipto Mangunkusumo. This study is presented with design of serial case report. Case Report : Three patients in the ICU of RSUPN Cipto Mangunkusumo with the diagnosis of Covid-19 with ARDS, all have variative condition and comorbids. Prone position have been performed during treatment. From the three patients, there are increase of PaO2, PaO2/FiO2 ratio, peripheral oxygen saturation since prone position was performed and sometime after, but also decreasing in the hemodynamic condition. The outcome at the end of the treatment is influenced by the early condition and comorbid Conclusion : Prone position have good effect on respiratory system, but also also side effect on hemodynamic, and the outcome is influenced by the early condition and comorbid. It is better to be performed at the first 48 hours of the ARDS symptoms and avoided in the patient with cardiovascular comorbid
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Corry Quando Yahya
Abstrak :
Latar Belakang: Pembedahan merupakan peristiwa yang menimbulkan kecemasan besar bagi sebagian besar pasien. Hingga saat ini, studi antara kecemasan dan nyeri pascaoperasi masih kurang memadai. Maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ambang nyeri dan toleransi nyeri praoperasi terhadap derajat nyeri pascaoperasi pada pasien yang cemas dan tidak cemas. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif di RSCM yang berlangsung pada periode 25 April 2019 hingga 10 Maret 2020 dan melibatkan 63 pasien sesuai dengan kriteria inklusi yang telah dijadwalkan untuk menjalani operasi tulang panjang elektif. Semua peserta menyelesaikan kuesioner skala kecemasan praoperasi (APAIS) Amsterdam Preoperative and Information Scale dan menjalani evaluasi penilaian sensitivitas nyeri praoperatif dengan penilaian ambang nyeri dan toleransi nyeri menggunakan algometer. Evaluasi nyeri pascaoperasi menggunakan penggaris Visual analog scale (VAS) pada jam ke 4, 6 dan 24 pascaoperasi. Hasil: Studi ini melibatkan 63 pasien dengan usia rerata 37,68 ± 15,67 tahun (17-68 tahun); terdiri atas 42 laki-laki (67%) dan 21 perempuan (33%). Mayoritas dari subyek tidak cemas 45 (71,4%), sedangkan 18 (28,6%) adalah kelompok cemas. Studi ini menemukan pengurangan signifikan nilai rerata ambang nyeri maupun toleransi nyeri pada kelompok cemas. Kelompok cemas memiliki ambang nyeri dan toleransi nyeri rerata 3,43 ± 1,04 kgf /cm2 dan 4,96 ± 1,11 kgf /cm2 dibandingkan dengan kelompok tidak cemas yaitu 4,63 ± 1,25 kgf /cm2 dan 7,14 ± 2,23 kgf /cm2. Individu yang cemas cenderung memiliki ambang nyeri yang rendah (p 0,0001) dan toleransi nyeri yang rendah (p 0,0002) dengan skor VAS yang lebih tinggi, pascaoperasi. Simpulan: Kecemasan mengurangi ambang nyeri dan toleransi nyeri praoperasi dan memiliki korelasi signifikan dengan skor VAS pascaoperasi pada jam ke-4. Oleh sebab itu, penilaian kecemasan praoperasi dapat berguna untuk mengidentifikasi individu yang rentan terhadap rasa sakit berlebihan pascaoperasi. ......Background: Hospitalization and surgery are critical life events that bring about considerable anxiety to most patients. There is paucity of information on anxiety and its relation to postoperative pain. The goal of this study was to evaluate whether anxiety influences preoperative pain threshold and pain tolerance values and its correlation to postoperative surgical pain. Methods: A hospital-based prospective cohort study from April 25, 2019 to March 10, 2020 involving sixty-three patients who matched the inclusion criteria and scheduled for elective long bone surgery were enrolled into the study. All participants completed the Amsterdam preoperative anxiety and information scale (APAIS) questionnaire and underwent evaluation of their pre-operative pain sensitivity assessment: pain threshold and tolerance with an algometer. Visual analog scale (VAS) ruler was used to assess pain at 4th, 6th and 24th hour postoperative. Results: A total of 63 patients with mean age 37.68 ± 15.67 years (range 17 to 68 years), consisting of 42 males (67%) and 21 females (33%) were included in this study. Majority of the subjects were not anxious 45 (71.4%), while the remainder 18 (28.6%) were anxious. This study found significant reduction in mean pressure pain threshold and pain tolerance amongst anxious individuals compared to non-anxious individual. Anxious individuals had a mean pain threshold and tolerance of 3.43 ± 1.04 kgf /cm2 and 4.96 ± 1.11 kgf /cm2 compared to non-anxious individuals at 4.63 ± 1.25 kgf /cm2 and 7.14 ± 2.23 kgf /cm2. Anxious individuals were likely to have low pain threshold (p 0.0001) and low pain tolerance (p 0.0002) with higher VAS scores, postoperatively. Conclusion: Anxiety reduces both preoperative pain threshold and tolerance and has significant correlation to postoperative VAS score during the 4th hour. Hence, assessment of anxiety is a simple and useful tool in identifying those susceptible to exaggerated postoperative pain.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Agus Waluyo Jati
Abstrak :
Latar Belakang: Anemia atau kadar hemoglobin yang menurun dari nilai normalnya merupakan permasalahan yang biasa terjadi pada pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU) dan 61% pasien anemia membutuhkan ventilasi mekanik. Anemia dapat mengganggu kemampuan ventilasi selama proses penyapihan dan ekstubasi. Namun pengaruh dari kadar hemoglobin yang menurun ini masih belum jelas dan diperdebatkan oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah kadar hemoglobin berpengaruh terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia. Tujuan: Mengetahui efek kadar hemoglobin terhadap proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik. Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, EMBASE, Scopus dan Cochrane database dengan pembatasan waktu 2013 sampai dengan 2022. Protokol studi ini telah di registrasi di PROSPERO (CRD42022336646) pada tanggal 7 Agustus 2022. Hasil: Total 7 penelitian dengan 2.054 pasien dengan ventilasi mekanik memenuhi kriteria untuk penelitian ini dan dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Setelah pemeriksaan database menyeluruh, dilaposkan satu studi tidak menemukan korelasi antara hemoglobin dan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi. Enam penelitian menyatakan bahwa kadar hemoglobin berhubungan dengan keberhasilan proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkonfirmasi hasil tinjauan sistematis ini. Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan kadar hemoglobin mempengaruhi proses penyapihan dan ekstubasi pada pasien kritis dengan ventilasi mekanik. Namun dibutuhkan penelitian yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil telaah sistematis ini. ......Background: Anemia or hemoglobin levels that decrease from average values ​​is a common problem in critical Intensive Care Unit (ICU) patients, and 61% of anemic patients require mechanical ventilation. Anemia can impair ventilation ability during weaning and extubation. However, the effect of decreased hemoglobin levels is still unclear and debated; therefore, this systematic review was made to conclude whether hemoglobin levels affect weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation based on available studies. Objective: To determine the effect of hemoglobin levels on the process of weaning and extubation in critically ill patients with mechanical ventilation. Methods: Using specific keywords, a comprehensive search of potential articles was carried out on PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane databases with a time limit of 2013 to 2022. This study protocol was registered at PROSPERO (CRD42022336646) ) on August 7th, 2022. Result: A total of 7 studies with 2,054 patients with mechanical ventilation met the criteria for this study and were included in a systematic review after a thorough database check. One study found no correlation between hemoglobin and the successful weaning and extubation process. Six studies stated that hemoglobin levels were associated with the success of the weaning and extubation process in critically ill patients with mechanical ventilation. Conclusion: This study concludes that hemoglobin levels influence the weaning and extubation processes in critically ill patients with mechanical ventilation. However, more research is needed to confirm the results of this systematic review.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sudaryadi
Abstrak :
Tujuan: Melakukan telaah sistematis untuk membandingkan terapi hidrokortison dan hidrokortison, asam askorbat, dan tiamin (HAT) sebagai ajuvan pada tingkat mortalitas pasien syok septik. Metode: Pencarian komprehensif dilakukan menggunakan empat pangkalan data (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) menggunakan kata kunci spesifik hingga tanggal 18 Mei 2022. Semua studi yang dipublikasikan mengenai penggunaan terapi HAT pada pasien syok septik dikumpulkan dan ditelaah. Hasil: Dua studi uji acak terkendali, satu studi kontrol kasus, dan satu studi kohort yang melibatkan 635 pasien. Terapi HAT ditemukan tidak signifikan dalam menurunkan angka kematian di ICU (RR 0.89 95% CI [0.60 sampai 1.32], p=0.56), angka kematian di rumah sakit (RR 1.2 95% CI [0 ,90 sampai 1.59], p= 0,21), dan mortalitas 28 hari (RR 0,95, 95% CI [0,56 hingga 1,58], p=0,83) Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam mortalitas pada kelompok yang menggunakan HAT bila dibandingkan dengan terapi hidrokortison. Registrasi: ID pendaftaran PROSPERO untuk penelitian ini adalah CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055). ......Objective: We systematically reviewed the comparison between hydrocortisone and hydrocortisone-ascorbic acid-thiamine combined therapy (HAT) as adjuvant in the mortality rate of septic shock patients. Method: Four databases (PubMed, EMBASE, Scopus, and Cochrane) are comprehensively searched using specific keywords up to 18th May 2022. All published studies on the use of HAT on septic shock patients were collected and reviewed Results: Two randomized controlled trials, one case control study and one cohort study enrolling 635 patients were included. HAT therapy was found to be not significant in reducing the ICU mortality rate (RR 0,89 95% CI [0,60 to 1,32], p=0,56), hospital mortality rate (RR 1.2 95% CI [0,90 to 1,59], p=0,21), and 28 days mortality (RR 0,95, 95% CI [0,56 to 1,58], p=0,83). Conclusion: No significant difference in mortality was found in the HAT group when compared with hydrocortisone therapy. Trial registration: PROSPERO registration ID for this study is CRD42022296055 (https://www.crd.york.ac.uk/prospero/display_record.php?RecordID=296055).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>