Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joshua Vincent
"Hingga kini, Korea Utara telah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional yang mencakup tindakan terorisme, pelanggaran HAM, dan pengembangan senjata nuklir. Berbagai metode penyelesaian sengketa secara damai telah dilakukan, termasuk berbagai bentuk dialog antar negara, namun upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Beberapa negara kemudian memutuskan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara secara unilateral, dan selanjutnya menjatuhkan sanksi yang dikoordinasikan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB dengan dasar Pasal 41 Piagam PBB. Skripsi ini akan membahas metode-metode yang digunakan dalam penyelesaian konflik antar negara, praktik-praktik penggunaan sanksi ekonomi dalam penyelesaian konflik antar negara, dan implementasi kedua hal tersebut dalam penyelesaian konflik Korea Utara.

Until now, North Korea has been reported on several international law violations, including terrorism, human rights violation and nuclear proliferation. While a considerable amount of peaceful methods had been taken, including various negotiations, they are to no avail. Several countries then decided to impose economic sanctions unilaterally, and some has been coordinated by United Nations Security Council Resolutions collectively with the basis of United Nations Charter Article 41. Ideally, with this much amount of sanctions that have been done perpetually and ubiquitously, it should have given some significant effects to the ending process of this conflict. This thesis will analyze the legal methods of settling conflicts between states, the practices of economic sanctions to resolute conflicts between states, and the implementation of those methods and precedent cases to the North Korea conflict."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S59974
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanita Dhiyaan Rahmani
"Praktek pemisahan diri secara sepihak dari negara di luar konteks dekolonisasi kini marak terjadi, baik yang berakhir dengan terbentuknya negara baru atau yang gagal. Meskipun demikian, hukum internasional tidak mengatur secara eksplisit mengenai legalitas maupun ilegalitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk memetakkan sejauh mana hukum internasional sepakat mengenai pengaturan isu ini, dengan membandingkan instrumen hukum internasional yang terdahulu dan dibandingkan dengan dengan praktek percobaan pemisahan diri secara sepihak yang terjadi akhir-akhir ini, baik yang memperoleh pengakuan luas maupun yang tidak. Pemishan diri secara sepihak dari negara dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa hukum internasional mengizinkan sekelompok orang dalam negara untuk memisahkan diri dari negaranya, sebagai bentuk hak penentuan nasib sendiri secara eksternal, apabila terdapat kualifikasi tertentu yang dimiliki dan dialami kelompok orang tersebut.

Unilateral secession for people outside decolonisation has become an increasing instances, which either resulted in the birth of a new state or not. Nevertheless, international law neither explicitly govern the legality nor illegality of such practice. This research is intended to map the extent which international law agreed, by comparing the earlier instruments of international law with three contemporary practices which acquired widespread recognition and not. Those practices exhibit that international law allows a group of people to unilaterally secede, as a manifestation of an eternal right of self-determination, if certain qualification are met by such group."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S60500
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yvonne Ivon
"Skripsi ini membahas mengenai konsep hak access to justice sebagai hak asasi yang sangat penting bagi penyandang disabilitas. Hak asasi penyandang disabilitas diatur secara spesifik dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Selain mengatur mengenai hak asasi penyandang disabilitas, CRPD juga mengatur mengenai ruang lingkup penyandang disabilitas. Pasal 13 konvensi ini mengatur mengenai hak access to justice bagi penyandang disabilitas. Pelaksanaan efektif dari hak ini bagi penyandang disabilitas bergantung pula pada pelaksanaan efektif dari hak asasi terkait access to justice, yaitu hak aksesibilitas, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan hak untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Meskipun hak ini sangatlah penting bagi para penyandang disabilitas, sampai saat ini Jepang, Malaysia, dan Indonesia belum memiliki pengaturan yang ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas mengenai access to justice.

The focus of this thesis is access to justice concept as a very important right for persons with disabilities. Persons with disabilities? rights are specifically written in Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). This convention also regulates the scope of persons with disabilities. Article 13 of this convention is ensuring access to justice rights for persons with disabilities. Effective access to justice for persons with disabilities also depend on effective implementation of related rights, such as accessibilities, education rights, rights to work and rights to participate in politics. Although this right is very important for persons with disabilities, Japan, Malaysia and Indonesia haven?t regulate this right specifically for them."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S60535
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Fajri Yani
"Teknologi penginderaan jauh menggunakan satelit saat ini berkembang semakin pesat. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana aspek kedaulatan negara objek penginderaan dalam penggunaan data hasil penginderaan jauh satelit, termasuk penerapan perlindungan kedaulatan negara tersebut ke dalam peraturan hukum nasional negara pengindera dan negara yang diindera. Terdapat tiga permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu (1) penggunaan dan pengaturan mengenai penginderaan jauh satelit menurut hukum internasional, (2) perlindungan hukum terhadap kedaulatan negara objek penginderaan jauh, dan (3) penerapan perlindungan terhadap negara objek penginderaan jauh dalam peraturan nasional baik di negara pengindera dan di negara yang diindera. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-nomatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengenai perlindungan kedaulatan negara objek penginderaan terhadap data yang diambil dengan penginderaan jauh satelit belum diatur dalam hukum internasional secara spesifik. Penulis menyimpulkan bahwa perlindungan terhadap kedaulatan negara objek penginderaan ini dilakukan dengan peraturan masing-masing negara, baik negara pengindera dan negara yang diindera, dan juga dengan menggunakan perjanjian bilateral.

Currently, remote sensing satellite technology is rapidly growing. This thesis discusses the protection of sensed state sovereignty over its data from the remote sensing satellites activities, including the implementation of sovereignty`s protection into the sensing states and sensed state`s national legislations. There are three issues discussed in this thesis: (1) the use and regulations on remote sensing satellites under international law, (2) the legal protection of sensed state`s sovereignty, and (3) the implementation of sensed state`s sovereignty into national legislation of sensed states and sensing states. This research uses juridical-normative approach. The result of this research reveals that there is no distinctive law regulating protection over sensed state`s sovereignty about its data from the remote sensing satellite. It is concluded that the protection of sensed state`s sovereignty can be regulated by the national regulation of each states, and also by bilateral agreements."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S61399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanna Priangka Ramadhanti
"Pada zaman sekarang, teknologi terus berkembang agar dapat membantu manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Dengan adanya tekonologi yang dapat membuat informasi menjadi digital, terbuka serta meluas maka masyarakat semakin bergantung pada jaringan dan tekonologi informasi. Tidak hanya pada masyarakat, teknologi informasi sangat diperdaya oleh pemerintahan untuk dapat membangun negaranya. Suatu negara dapat menggunakannya untuk kegiatan militer dan bahkan melakukan aktivitas-aktivitas dengan menggunakan cyber. Suatu cyber operation dapat membantu militer, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini dapat mempengaruhi keamanan negara. Terdapat kasus-kasus dimana negara menuduh negara lain untuk melakukan cyber operation terhadap negaranya dan telah terbukti memberikan dampak-dampak terhadap infrastruktur negara. Cyber operation dan aktivitas cyber merupakan hal yang baru dan belum terdapat pengaturan khusus yang mengaturnya. Dengan demikian, skripsi ini melihat bagaimana penerapan hukum internasional ( khususnya dari segi jus ad bellum) yang ada pada perkembangan cyber, khususnya terhadap cyber operation. Skripsi ini akan menganalisa tiga kasus yakni kasus pada Estonia (2007), Iran (2010) dan Ukraina (2015).

In the current era, technology continues to evolve and develop in order to help humans perform its daily activities. With the technology and digital information, it has made the public?s reliability towards them for its lives. Not only the people, information technology is being deceived by the government to be able to build and develop the country. A country can use them for military activities and even perform various activities using cyber. A military cyber operation can be a positive thing, however, it be denied that this could affect the security of the state. There have been cases where a state has been accused by other countries to conduct cyber operations against its country and has likely provide the effects on the country's infrastructure. Cyber operations and cyber activity is new and there are no specific law which govern them. Thus, this thesis seek to see how the current international law (from the perspective of jus ad bellum) applies towards the development of cyber particularly against cyber operation. This thesis will analyze three cases of the case in Estonia (2007), Iran (2010) and Ukraine (2015)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angky Banggaditya
"Skripsi ini pada dasarnya membahas mengenai kerjasama negara sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam penanganan serta perlindungan pengungsi yang datang ke wilayah suatu negara secara masal ditinjau dari sudut pandang hukum internasional. Konsep kerjasama yang kemudian dikenal sebagai konsep burden sharing ini berakar dari prinsip kerjasama serta solidaritas internasional yang berkembang sebagai suatu prinsip yang disetujui oleh negara-negara dan sebagai suatu prinsip hukum yang dikenal secara umum di dunia. Pertanyaan mendasar tulisan ini adalah bagaimana konsep tersebut berlaku dalam hukum internasional dan bagaimana penerapannya oleh Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Penulis ini berujung pada suatu hasil bahwa konsep burden sharing ini merupakan konsep yang masih berkembang sehingga tidak ada acuan rigid dalam penerapannya. Maka dari itu, mekanisme penerapannya di berbagai belahan dunia berbeda-beda namun dengan tujuan utama yang sama yaitu berbagi beban secara adil. Terkait dengan Indonesia, konsep ini memiliki keterkaitan dengan Indonesia dengan posisi Indonesia sebagai negara yang membutuhkan bantuan negara lain dalam menangani permasalahan pengungsi masal, khususnya pengungsi-pengungsi Rohingya. Kebutuhan Indonesia akan kontribusi negara lain dalam penanganan permasalahan pengungsi masal ini terlihat dari pandangan-pandangan Indonesia yang terindikasi dari pernyataan perwakilan-perwakilan negara di berbagai konferensi internasional yang diikuti Indonesia yang membahas mengenai solidaritas negara dalam menangani pengungsi masal.
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tinjauan pustaka serta wawancara dengan pihak terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan UNHCR Indonesia. Saran penulis terkait dengan isu ini adalah bahwa sebagai bagian dari masyakat internasional, negara-negara di dunia harus senantiasa memberikan kontribusinya terhadap penanganan pengungsi masal yang tentu akan sangat berat apabila hanya ditangani oleh satu negara saja.

This study basically explains about cooperation between states as part of international community in handling and protecting the refugees which arrive in one's territory massively, observed from international law standpoint. The concept of cooperation, which is further known as burden sharing concept, is rooted from the principle of international cooperation and international solidarity which is developing as a principle agreed by states and are widely recognized as a general principle of law. The fundamental question of this writing is how such concept exist under international law and how is the implementation by Indonesia.
This research leads to a conclusion that burden sharing is a concept that is still evolving so that there is no rigid guidance in the implementation yet. Therefore, there are varieties of implementation mechanisms among states, but the ultimate purpose remains the same, that is equitable distribution of burden. In relation with Indonesia, this concept has a connection with the fact that Indonesia is a state which needs support from other countries in handling the mass influx of refugees, especially the Rohingyan refugees. Indonesia's need of others'contribution in handling this problem is seen from the views indicated from Indonesia's representatives statement in a number of international conferences attended by Indonesia on solidarity of states in facing the mass influx of refugees.
This research is conducted by having a literature review and field interview with several concerned institutions such as Foreign Ministry of Indonesia and UNHCR Indonesia. It is author advise that as part of international community, states should always assert their contribution in accommodating the mass influx of refugees which certainly would very burdening if it is handled only by one state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhiningtyas Sahasrakirana Djatmiko
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan perlindungan penduduk sipil serta bantuan kemanusiaan menurut hukum internasional, dan juga secara spesifik membahas tentang perlindungan terhadap kapal sipil yang membawa bantuan kemanusiaan di laut bebas. Analisis akan dilakukan terhadap penyerangan kapal Mavi Marmara oleh Israel, di mana Israel dinilai telah melanggar sejumlah ketentuan dalam hukum hak asasi manusia, hukum humaniter internasional, serta hukum laut. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menggarisbawahi pentingnya akses penduduk sipil dalam daerah konflik bersenjata terhadap bantuan kemanusiaan dan perlindungan yang harus diberikan terhadap bantuan kemanusiaan tersebut.

ABSTRACT
This thesis studies the provision and protection of civilians and humanitarian assistance under international law. This thesis also specifically discusses the protection of civilian ships carrying humanitarian assistance in high seas. Further analysis will be conducted with regard to Israel's attack to MV Mavi Marmara, where Israel is considered to violate human rights law, international humanitarian law, and the law of the sea. This thesis uses qualitative approach. In conclusion, this thesis attempts to underline the importance of civilians' access to humanitarian assistance in armed conflict and the protection that must be given to such humanitarian assistance. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S442
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Megah
"ABSTRAK
Kegiatan wisata ruang angkasa merupakan salah satu contoh dari kegiatan komersialisasi di ruang angkasa. Saat ini, kegiatan tersebut masih dalam tahap pengembangan menuju bisnis masa depan yang sangat baik dari segi keuntungan. Sehingga, penjelasan seputar kegiatan wisata ruang angkasa adalah sebuah hal yang patut diketahui seluk-beluknya, terkait pula dengan aspek-aspek hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu, sejauh ini sudah ada tujuh wisatawan ruang angkasa yang berangkat dalam kegiatan berwisata di ruang angkasa. Dari tujuh orang, akan dibahas tiga orang berdasarkan isu hukum penting menyangkut keberangkatan mereka dalam hal berwisata ke ruang angkasa. Dengan demikian, kegiatan wisata ruang angkasa adalah kegiatan yang paling mungkin dilakukan secara rutin di masa yang akan datang, sehingga pengaturannya secara internasional dan nasional harus ditata dengan baik, adil, dan bertanggung jawab.

ABSTRACT
Space tourism activities are one of example of commercialization activities in outer space. Currently, these activities are still in development progress to a future good business in terms of profit. Thus, the explanation about space tourism activities is thing to know the ropes and also related to aspects of international law and national law. Moreover, so far there are seven-space tourists who depart for tour to outer space. Of the seven people, will be discussed three people based on the most important legal issue in terms of their space tourism activities. Therefore, space tourism activities are activities that are most likely to be carried out routinely in the future, so that from internationally and nationally have arrangements good law with fair and responsible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S319
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Setianingsih Suwardi
"Disertasi ini mencoba untuk mempelajari masalah Aspek Hukum Panjanjian Pinjaman Antara Republik Indonesia (RI) dan Bank Dunia (BD) Serta Penarapannya Dalam Hukum Nasional Indonesia. Perjanjian Pinjaman antara RI dan BD merupakan perjanjian internasional yang tunduk pada hukum internasional (pasal 10.01 G.C. IBRD/IDA). Perjanjian pinjaman itu mengatur masalah tentang pinjaman uang maka ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu mirip dengan perjanjian pinjaman kumersial. Perbedaannya dangan perjanjian komersial biasa adalah adanya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian pinjaman antara RI dan BD yang tidak terdapat dalam perjanjian kmmersial biasa, yaitu menyangkut masalah-masalah pelaksanaan proyek yang diatur oleh hukum administrasi negara. Oleh karena itu dalam melakukan pendekatan atas perjanjian pinjaman antara RI dan BD dilakukan secara transnasiunal.
Bank Dunia dalam memberikan pinjaman berkepentingan agar pinjamannya dipergunakan seefektif mungkin. Guna mencapai tujuan tersebut maka Bank Dunia membuat peraturan-peraturan yang dijadikan padoman dalam memberikan pinjaman. Peraturan-peraturan standar tadi misalkan General Condition (B.C.), y-,. Pedoman Prokuremen (G.P.) dan lain-lain. Ketentuan standar tadi marupakan ketentuan yang diperlakukan dalam perjanjian pinjaman, namun masih dapat dirundingkan untuk disesuaikan dengan sifat proyek yang dibiayai oleh pinjaman Bank Dunia. Adanya ketentuan- ketentuan dalam G.C. dan G.P, yang terdapat dalam perjanjian pinjaman ditambah adanya sistem Iifh cycle, maka BD dimungkinkan dapat campur tangan dalam pelaksanaan proyek. Hal ini tidak hanya manyangkut masalah teknis dan ekonomi, tetapi juga menyangkut masalah hukum. Perjanjian pinjaman antara RI dan BD merupakan perjanjian internasional yang langsung dapat berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan ratifikasi oleh DPR.
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa perjanjian pinjaman RI dan BD didahulukan dari ketentuan perundang-undangan nasional (primat hukum internasional). Perjanjian pinjaman antara RI dan BD dalam suasana nasional masih diikuti oleh perjanjian lainnya, misalkan perjanjian penerusan dan perjanjian proyek. Masalah yang dihadapi dari penerapan perjanjian pinjaman antara RI dan BD adalah belum-adanya kemantapan dalam pengaturan nasional. Pengaturan pelaksanaan pinjaman luar negeri pengaturannya belum sesuai déngan rumitnya masalah yang dihadapi. Personil pelaksanaan proyek di lapangan banyak yang kurang memahami aturan-aturan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian pinjaman.

This dissertation is trying to study the problem on the legal aspects of the loan agreement between the Republic of Indonesia and the world Bank and its implementation within the Indonesian National Law. The loan Agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank constitutes an international agreement (article 10.10 G.C. IBRD/IDA). The loan agreement regulates problems concerning the loan, therefore the provisions reflected in the agreement are similar to those in commercial loan agreement. The differences with the normal commercial loan agreement are that in the loan agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank there are some regulations which do not appear in the normal commercial agreement, such as the regulations about the implementation of the project which are regulated by administration law. Therefore, the approach to study the loan agreement between the Republic of Indonesia and the world Bank should be done through transnational approach.
The World Bank in providing the loan has the interest that the loan should be used effectively. To achieve the said objectives, the world Bank made some provisions as a guidelines in providing loan. Those standard provisions are among others the General Condition (GC), Guidelines for Procurement (GP) etcetera. Those standard provisions have become the regulations applied in the loan agreement. However, it is negotiable in line with the nature of the project which are financed by the loan from the World Bank. The existence of those standard Drovisions (GC, GP) which appear in the loan agreement together with the life cycle system made possible for the world Bank to intervene in the execution of the financed projects. This was not only effecting the technical and economic matters but also involving legal matters. The loan agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank is an international agreement which shall be directly come into force after signing, without ratification by the parliament.
The result of my research shows that loan agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank is given high priority vis a vis the national law (primate of international law). The application of the loan agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank in our national law is still followed by other agreements, such a subsidiary loan agreement and project agreement. The problems exist from the implementation of the loan agreement between the Republic of Indonesia and the World Bank have shown that there is no stability in the national regulations. The regulation of the execution of the foreign loan is not yet in line with the complexity of the problems faced. The executors at almost all fields mostly are not familiar with the regulations which have been done according to the provisions of the loan agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
D1150
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danar Anindito M.
"ABSTRAK
Demi meningkatkan hubungan ekonomi di bidang perdagangan antara kedua
negara, Indonesia dan Jepang sepakat untuk membuat perjanjian perdagangan
bilateral yang bertajuk Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement
(IJEPA) yang ditandatangani sejak 20 Agustus 2007. Perjanjian tersebut telah
berlaku sejak 1 Juli 2008. Dengan bentuk perjanjian perdagangan bilateral, maka
berdasarkan pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) Indonesia
dan Jepang dapat mengenyampingkan prinsip non-diskriminasi yang harus
diterapkan kepada negara lain yang bukan pihak dari IJEPA. Di dalam IJEPA
sendiri terdapat beberapa jenis limbah B3 yang ikut menjadi komoditas yang
diperdagangkan dan mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan bea
masuk. Mengingat baik Indonesia dan Jepang merupakan negara pihak dari Basel
Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes
and their Disposal (Konvensi Basel) yang mengatur perdagangan limbah B3 antar
negara, maka kedua negara ini wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan
Konvensi Basel. Di dalam Konvensi Basel sendiri perdagangan limbah B3 hanya
diizinkan bila memenuhi syarat dan kondisi yang ditetapkan Konvensi Basel.
Skripsi ini akan meninjau apakah perdagangan limbah B3 yang diatur oleh IJEPA
memenuhi Konvensi Basel. Dari segi hukum perdagangan internasional sendiri
segala perdagangan yang menyangkut kepentingan kesehatan makhluk hidup
dapat dikesampingkan selama memenuhi prinsip-prinsip yang diatur dikandung di
dalam pasal 20 (b) GATT. Pengesampingan ini dikenal dengan prinsip
pengecualian umum (General Exceptions). Mengingat masuknya komoditas
limbah B3 berpotensi membahayakan kesehatan makhluk hidup, maka dapat
dikoreksi melalui pasal 20 (b) GATT bila memenuhi ketentuan yang
dipersyaratkan oleh pasal 20 (b) GATT.

ABSTRACT
In order to enhance economic relations in trade between the two countries,
Indonesia and Japan agreed to make a bilateral trade agreement entitled Indonesia-
Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) signed since August 20, 2007.
Then the agreement was effective from July 1, 2008. By bilateral trade
agreements form, Indonesia and Japan can disregard the principle of nondiscrimination
that should be applied to other countries which are not party to the
IJEPA based on article 24 of General Agreement on Tariffs and Trade. In the
commodities list of IJEPA, there are several kind of hazardous wastes which are
founded in that list and got import duties exemption or reduction like other
products. Remembering Indonesia and Japan are parties to Basel Convention on
The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their
Disposal (Basel Convention), then both of them must comply with every rules that
governed by Basel Convention including hazardous wastes trade. Transboundary
movements of hazardous wastes are only allowed by Basel Convention if it fulfills
the terms and conditions that are established by Basel Convention. This paper will
review whether the trade regulations of IJEPA meets the Basel Convention. In
other regime, all the trade that involves the interests of the health of living things
can be ruled out if violate international trade law regime particularly article 20 (b)
of General Agreement on Tariffs and Trade. This exception is known as the
general exceptions principle. Remembering the inclusion of hazardous wastes
commodity potentially endangered the health of living things, then it could be
corrected through Article 20 (b) GATT if it fulfills the provisions required by that
rule.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1827
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>