Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Franky Indra Wijaya
"Latar Belakang: Angka mortalitas penyakit kritis menurun di seluruh dunia, namun pasien yang selamat mengalami disabilitas fungsional yang signifikan akibat penghancuran otot. Kelemahan otot yang terjadi pada pasien ICU (Intensive Care Unit) ini disebut sebagai ICU-AW (Intensive Care Unit Acquired Weakness). Penilaian tebal otot diafragma telah dipakai untuk memprediksi usaha napas dan penggunaan ventilator. Pennation angle merupakan pola susunan serat otot dalam hubungannya dengan aksis otot yang berfungsi sebagai penghasil kekuatan otot.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perubahan pennation angle otot rektus femoris yang berhubungan terhadap perubahan tebal otot diafragma.
Metode: Sebanyak 34 subjek penelitian yang dirawat di Intensive Care Unit dengan menggunakan ventilasi mekanik, dilakukan penghitungan tebal otot diafragma dan pennation angle otot rektus femoris hari pertama hingga hari kelima perawatan menggunakan ultrasonografi. Kemudian dihitung rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dan perubahan tebal otot diafragma serta dilakukan analisa korelasi.
Hasil: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima (R = 0,041 - 0,211, p = 0,231 - 0,816). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama (R = -0,615 hingga -0,777, p = 0,001). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima (R = 0,471 - 0,728, p = 0,001 - 0,005). Terdapat korelasi sedang hingga kuat antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama (R = -0,538 hingga -0,710, p = 0,001).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris dengan rasio perubahan tebal otot diafragma. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga hari kelima dengan pennation angle otot rektus femoris hari pertama. Terdapat korelasi positif antara rasio perubahan pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima dengan
pennation angle otot rektus femoris hari kedua hingga kelima. Terdapat korelasi negatif antara rasio perubahan tebal otot diafragma hari kedua hingga hari kelima dengan tebal otot diafragma hari pertama.

Background: Critical disease mortality rates decline worldwide, but survivors experience significant functional disability due to muscle destruction. Muscle weakness that occurs in ICU patients is referred to as ICU-AW. Assessment of diaphragm muscle thickness has been used to predict breathing effort and ventilator use. Pennation angle is a pattern of muscle fibers in relation to muscular axis that functions as a muscle strength.
Purpose: Determine the changing ratio in pennation angle of the rectus femoris muscle which is associated with changing ratio of diaphragm muscle thickness.
Methods: 34 research subjects who were admitted to the Intensive Care Unit using mechanical ventilation, thickness of diaphragm muscle and pennation angle of the rectus femoris muscle were measured on the first day until the fifth day of treatment using ultrasonography. Then the changing ratio of diaphragm muscle thickness and the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle were calculated on the second to the fifth day then the correlation analysis were done.
Result: There was no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness on the second to the fifth day (R = 0.041 - 0.211, p = 0.231 - 0.816). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the first day (R = -0,615 to -0,777, p = 0.001). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day (R = 0.471 - 0.728, p = 0.001 - 0.005). There was a moderate to strong correlation between the changing ratio of diaphragm muscle thickness of the second to the fifth day with the diaphragm muscle thickness on the first day (R = -0,538 to -0,710, p = 0.001).
Conclusion: There is no correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle with the changing ratio of diaphragm muscle thickness. There is a negative correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the first day of pennation angle of the rectus femoris muscle. There is a positive correlation between the changing ratio of pennation angle of the rectus femoris muscle on the second to the fifth day with the rectus femoris muscle pennation angle on the second to the fifth day. There is a negative correlation between the diaphragm thickness changes on the second to the fifth day with the thickness of the diaphragm muscle on the first day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Maria
"Latar belakang: Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer ganas tersering yang ditemukan pada anak-anak dan remaja dengan prevalensi mencapai 20% dari seluruh keganasan tulang. Sejak pengenalan kemoterapi neoadjuvan, angka sintasan penderita osteosarkoma meningkat pesat menjadi 50-75%. Respons kemoterapi neoadjuvan selama ini dinilai secara histopatologik melalui operasi, dengan mengevaluasi persentase area nekrosis dibandingkan tumor. Sekuens diffusion weighted imaging (DWI) dan nilai apparent diffusion coefficient (ADC) adalah sekuens magnetic resonance imaging (MRI) untuk menilai restriksi difusi suatu jaringan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mencari korelasi nilai ADC tumor pasca kemoterapi dengan pemeriksaan histopatologik untuk mengevaluasi respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.
Metode: Pengukuran nilai ADC tumor pada bagian mid, proksimal, dan distal pada MRI pasca kemoterapi neoadjuvan dengan menggunakan freehand range of interest (ROI) pada sekuens DWI dan ADC dengan nilai b 800. Freehand ROI diukur dengan melibatkan jaringan tumor dan nekrotik tanpa jaringan normal. Nilai ADC tersebut dikorelasikan dengan hasil persentase nekrosis dari pemeriksaan histopatologik berdasarkan lokasi sesuai potongan MRI dan laporan hasil operasi yang berupa persentase nekrosis keseluruhan. Analisis dilakukan dengan uji Pearson pada distribusi normal dan uji Spearman pada distribusi tidak normal.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 14 subyek penelitian dengan rerata nilai ADC tumor bagian proksimal sebesar 1,66±0,36x10-3 mm2/s, bagian mid 1,68±0,32x10-3 mm2/s, bagian distal 1,66±0,34x10-3 mm2/s, dan rerata ketiganya 1,67±0,32x10-3 mm2/s. Sedangkan persentase nekrosis keseluruhan sebesar 62,8±26,1%. Nilai ADC tumor bagian proksimal berkorelasi signifikan (p>0,05) dengan persentase nekrosis keseluruhan dengan nilai r sebesar 0,60. Luas penampang tumor pada bagian proksimal mempunyai ukuran yang paling kecil dibandingkan pada bagian mid dan distal.
Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan bahwa nilai ADC tumor bagian proksimal pada MRI pasca kemoterapi dan ukuran luas penampang tumor yang kecil berkorelasi dengan respons kemoterapi neoadjuvan pada pasien osteosarkoma.

Background: Osteosarcoma is the most prevalent bone malignancy in children and adolescents, approximately 20% of all bone malignancies. Since the introduction of neoadjuvant chemotherapy, prognosis of osteosarcoma have been improved drastically to 50-75%. Neoadjuvant chemotherapy response has been assessed histopathologically after tumor resection, by calculating percentage of necrotic areas compared to tumor areas. Diffusion-weighted imaging (DWI) and apparent diffusion coefficient (ADC) value are magnetic resonance imaging (MRI) sequences to evaluate diffusion restriction in a tissue qualitatively and quantitatively.
Objective: The aim of this study was to seek correlation of post-chemotherapy tumor ADC value and histopathological assessment to evaluate neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
Methods: ADC measurement was done in the proximal, middle, and distal part of the tumor by drawing freehand range of interest (ROI) guided by DWI sequence with b value of 800. The freehand ROI was drawn involving the tumor and necrotic area, excluding the normal ones. ADC value was correlated with necrotic percentage in each location according to MRI slices and necrotic percentage of the whole tumor based on the official report. Statistically, the data were analyzed with Pearson’s correlation (in normal distribution data) and Spearman correlation (in abnormal distribution).
Results: There were 14 subjects in this study, with ADC value of 1,66±0,36x10-3 mm2/s (proximal), 1,68±0,32x103 mm2/s (middle), 1,66±0,34x10-3 mm2/s (distal), and mean ADC value of 1,67±0,32x10-3 mm2/s. The necrotic percentage of the whole tumor was 62,8±26,1%. ADC value of proximal part of the tumor correlates significantly (p>0,05) with the necrotic percentage of the whole tumor (r = 0,60). Tumor area in the proximal part was smallest in size than other parts of the tumor.
Conclusion: From this study, it is concluded that ADC value in the proximal part of the tumor in post-chemotherapy MRI and lesser tumor size correlate to neoadjuvant chemotherapy response in osteosarcoma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irsan Abubakar
"Osteosarkoma merupakan salah satu tumor ganas tulang primer yang paling sering ditemukan. Kemoterapi neoadjuvan merupakan salah satu alternatif terapi yang dapat meningkatan luaran dan kesintasan pasien. Studi ini dilakukan untuk menilai luaran klinis, histopatologis, dan radiologis pada pasien osteosarkoma yang menjalani kemoterapi neoadjuvan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang yang menggunakan data pasien dengan diagnosis osteosarkoma yang telah menjalani kemoterapi neoadjuvan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Januari 2017 hinggal Juli 2019. Terdapat 58 subjek dalam penelitian ini. Sebanyak 38 (65,5%) subjek berjenis kelamin laki-laki dengan median usia seluruh subjek 16 (5 hingga 67) tahun. Sebanyak 10 (17,2%) subjek merupakan good responder kemoterapi neoadjuvan. Dari hasil analisis data didaapatkan perbedaan bermakna kadar laboratoris ALP (p=0,002), LED (p=0,002), dan NLR (p<0,001) sebelum dan sesudah kemoterapi. Derajat nekrosis berkorelasi negatif dengan perubahan nilai LDH sebelum dan sesudah kemoterapi (r=-0,354; p=0,006), namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan parameter lain seperti perubahan kadar ALP (r=-0,186; p=0,162) dan LED (r=-0,104;  p=0,437). Secara radiologis didapatkan peningkatan nilai ADC yang bermakna (p=0,028) setelah pemberian kemoterapi neoadjuvan, namun perubahannya tidak berhubungan dengan persentase nekrosis tumor (r=-0,300; p=0,433). Pada pasien osteosarkoma yang menjalani kemoterapi neoadjuvan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo bulan Januari 2017 hingga Juli 2019, didapatkan perbedaan bermakna kadar penanda inflamasi dan parameter radiologis berupa ADC sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi adjuvan.

Osteosarcoma is one of the most prevalent primary tumors of the bone. Neoadjuvant chemotherapy has been administered in osteosarcoma cases to increase the survival rate and improve outcomes. This study is conducted to investigate the clinical, histopathological, and radiological outcome of osteosarcoma patients who underwent neoadjuvant chemotherapy, as well as the various factors that contributes to said outcome. This study is a cross-sectional study that involves the data of patients diagnosed with osteosarcoma who underwent neoadjuvant chemotherapy in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from January 2017 up to July2019. A total of 58 subjects was admitted in this study. Thirty-eight (65,5%) subjects are male, with the median age of all subjects being 16 years old (5 to 67). We found that 10 subjects (17,2%) is a good responder to neoadjuvant chemotherapy. From the data analysis, significant differences were observed in ALP (p=0,002), ESR (p=0,002) and NLR (p=<0,001) levels before and after neoadjuvant chemotherapy. The degree of necrosis is inversely correlated with the change in LDH level before and after neoadjuvant chemotherapy (r=-0,354; p=0,006), however, no significant correlation was observed in ALP (r=-0,186; p=0,162) dan ESR (r=-0,104;  p=0,437). Radiologically, there is an increase in ADC value (p=0,028) after neoadjuvant chemotherapy. However, this is not correlated with the degree of necrosis (r=-0,300; p=0,433) observed pathologically. There is a significant difference in inflammatory markers and radiological parameter (ADC) pre and post neoadjuvant chemotherapy among osteosarcoma patients in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from January 2017 up to July 2019."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Humala Prika Aditama
"Latar belakang: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas yang paling banyak terjadi pada anak dan remaja. Kemoterapi neoadjuvan dapat meningkatkan kesintasan 5 tahun hingga 60 – 80% pada pasien osteosarkoma. Baku emas evaluasi respon kemoterapi neoadjuvan adalah histological mapping untuk menilai persentase nekrosis tumor. Volumetri-Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan 3D Slicer dapat menilai nekrosis tumor, tumor viabel, dan volume tumor total secara kuantitatif. Tujuan: Menganalisa korelasi volume dan persentase tumor viabel berdasarkan volumetri-MRI dengan nilai persentase tumor viabel berdasarkan pemeriksaan histopatologi pada pasien osteosarkoma pasca kemoterapi neoadjuvan. Metode: Melakukan volumetri tumor pada MRI pasca kemoterapi neoadjuvan dengan menggunakan teknik segmentasi manual dan semiotomatis pada 3D Slicer untuk mendapatkan volume total tumor, area nekrosis, serta tumor viabel. Hasil pengukuran volumetri tumor viabel dan persentase tumor viabel pasca kemoterapi dikorelasikan dengan persentase tumor viabel berdasarkan histopatologi. Analisis dilakukan dengan uji Spearman. Hasil: Pada 31 subyek penelitian, nilai median persentase tumor viabel berdasarkan volumetri-MRI yaitu 65,9% (range 19,7 – 99,5%), sedangkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi didapatkan nilai median 53% (range 8 – 100%). Persentase tumor viabel berdasarkan volumetri-MRI tidak berkorelasi signifikan (p>0,05) dengan persentase tumor viabel berdasarkan histopatologi dengan nilai R: 0,333. Kesimpulan: Terdapat kecenderungan berbanding lurus antara persentase tumor viabel berdasarkan volumetri-MRI dan pemeriksaan histopatologi, walaupun tidak terdapat korelasi yang signifikan.

Background: Osteosarcoma is the most common malignant bone tumor in children and adolescents. Neoadjuvant chemotherapy can improve 5-year survival up to 60 - 80% in osteosarcoma patients. The gold standard of neoadjuvant chemotherapy response evaluation is histological mapping to determine the percentage value of tumor necrosis. 3D Slicer volumetry based on Magnetic Resonance Imaging (MRI) can quantitatively assess tumor necrosis, viable tumor, and total tumor volume. Objective: Analyze the correlation between volume and percentage of viable tumors based on MRI-volumetry and histopathological in osteosarcoma patients post neoadjuvant-chemotherapy. Methods: Perform tumor volumetry on MRI post neoadjuvant-chemotherapy using manual and semiautomatic segmentation techniques on 3D Slicer to obtain total tumor volume, necrosis area, and viable tumor. The results of volumetric measurement of viable tumor and the percentage of viable tumor post chemotherapy were correlated with the percentage of viable tumor from histopathological examination. Analysis was performed with Spearman's test. Results: Based on 31 study subjects, the median percentage of viable tumors based on MRI-volumetry was 65.9% (range: 19.7 - 99.5%), while based on histopathology, the median value was 53% (range: 8 - 100%). The percentage of viable tumors based on MRI-volumetry was not significantly correlated (p>0.05) with the percentage of viable tumors based on histopathology with an R value: 0.333. Conclusion: There is a directly proportional trend between the percentage of viable tumors based on MRI-volumetry and histopathological examination, although there was no significant correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Que
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia.

Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Hunter Design
"Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh.
Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685).
Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis.

Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator.
Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day.
Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685)
Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bram Kilapong
"Latar Belakang. Penggunaan ventilator merupakan intervensi paling banyak digunakan di ICU. Kelemahan otot pernapasan dan otot ekstremitas pada pasien kritis meningkatkan lama penggunaan ventilator. Penelitian ini melihat hubungan antara tebal otot diafragma, tebal otot rektus femoris dan otot bisep brakii sebagai salah satu prediktor lama penggunaan ventilator di ICU, serta melihat kontribusi masing-masing pengaruh tersebut terhadap lama penggunaan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik dengan desain penelitian kohort longitudinal, yang dilakukan pada pasien baru yang menggunakan ventilator di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo antara kurun waktu Desember 2018 sampai Febuari 2019. Sebanyak 30 sampel yang memenuhi kriteria inklusi diambil dan diikuti selama lima hari perawatan di ICU.
Hasil
Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot biseps brakii dan otot rektus femoris dapat terjadi dalam 24 jam dan bersifat fluktuatif. Penurunan tebal otot diafragma dan penurunan luas penampang otot ekstremitas memiliki kecepatan yang berbeda. Kontribusi penurunan tebal diafragma terhadap lama penggunaan ventilator hanya 31,05%.
Kesimpulan
Perubahan tebal otot diafragma, penurunan luas penampang otot rektus femoris dan penurunan luas penampang otot bisep brakii serta peningkatan kadar CRP darah tidak dapat digunakan sebagai prediktor lama penggunaan ventilator.

Background. Mechanical ventilation is the most common intervention used in ICU. Respiration and extremities muscle weakness in critically ill patients tend to increase duration of mechanical ventilation. This study analyzed the relation among diaphragm muscle thickness, cross section area of rectus femoris and biceps brachii muscle, inflammation and duration of mechanical ventilation. Contribution of each factor as predictor to duration of mechanical ventilation was also analyzed.
Method. This is an analytic observational study with longitudinal cohort design. The sample are newly intubated critically ill patients in Cipto Mangunkusumo National Hospital between December 2018 and February 2019. Thirty samples who met inclusion criteria were recruited and followed up for five days.
Result. Diaphragm muscle thinning, cross sectional area muscle decrease can be seen within 24 hours after initiating ventilator and were highly fluctuative. Diaphragm muscle and extremities muscle cross section area had different rates of decline. Quantitative muscle parameters decline and increase of blood CRP concentration were unable to predict duration of mechanical ventilation. The contribution of diaphragm muscle thinning to duration of mechanical ventilation was 31,05%
Conclusion. Diaphragm muscle thinning, rectus femoris and biceps brachii muscle cross sectional area decline and increased CRP level could not be used to predict duration of mechanical ventilation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Koncoro
"Latar Belakang: Sarkopenia mempengaruhi prognosis karsinoma sel hati (KSH). Dalam penilaian klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) terkandung penilaian status performa Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG). Status performa ECOG merupakan penilaian aktivitas fisik terkait sarkopenia. Pemeriksaan baku emas sarkopenia pada KSH mahal dan membutuhkan banyak waktu. Pemeriksaan tebal otot paha dapat digunakan sebagai modalitas yang baru. Studi ini bertujuan untuk menilai hubungan antara status performa ECOG dengan sarkopenia pada KSH, mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH, dan mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien sarkopenia dengan non sarkopenia pada KSH.
Metode: Studi ini dilakukan di RS tersier selama Januari – Oktober 2021. Analisis statistik dilakukan untuk memperoleh hubungan antara status performa ECOG, tebal otot paha, dan status sarkopenik pasien KSH.
Hasil: Delapan puluh lima subjek pasien KSH (usia median, 52 tahun) dilakukan analisis. Sarkopenia diamati pada 30,6% pasien KSH. Setelah melalui analisis multivariat, status performa ECOG buruk berhubungan dengan sarkopenia pada KSH (adjusted OR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Terdapat perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH (p < 0,001). Terdapat juga perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien sarkopenia dan non sarkopenia (p < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status performa ECOG tinggi dengan sarkopenia pada KSH (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah lebih besar dibanding dengan status performa ECOG tinggi pada karsinoma sel hati. Rerata tebal otot paha pasien non sarkopenia lebih besar dibanding dengan sarkopenia pada karsinoma sel hati.

Background: Sarcopenia affects hepatocellular carcinoma (HCC) prognosis. HCC staging consists of Eastern Cooperative Oncology Group performance status (ECOG-PS). ECOG-PS is an assessment of physical activity related to sarcopenia. Gold standard examinations for sarcopenia in HCC are expensive and time-consuming. Thigh muscle thickness can be used as a new modality. This study was aimed to explore the association between ECOG-PS with sarcopenia, to seek thigh muscle thickness difference between poor and good performance status, and to know thigh muscle thickness difference between sarcopenic and non-sarcopenic patients with HCC.
Methods: The study was conducted in a tertiary hospital during January – October 2021. Statistical analysis was performed to obtain an association between ECOG-PS, thigh muscle thickness, and sarcopenic status of HCC patients.
Results: Eighty-five HCC patients (median age, 52 years) were analyzed. Sarcopenia was observed in 30,6% of HCC patients. On multivariate binary regression analysis, a poor ECOG-PS remained independently associated with sarcopenia in HCC (adjusted OR = 6,35, 95% CI 2,06-19,6, p < 0,001). There was a significant difference in thigh muscle thickness between good and poor performance status (p < 0,001). There was also a significant difference in thigh muscle thickness between sarcopenic and non-sarcopenic patients (p < 0,001).
Conclusion: There were association between ECOG-PS and sarcopenia in HCC (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Mean thigh muscle thickness was larger in HCC patients with good ECOG-PS than poor ECOG-PS. Mean thigh muscle thickness was larger in non-sarcopenic HCC patients than sarcopenic ones.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Doli Mauliate
"Pendahuluan: Lesi muskuloskeletal pelvis merupakan kasus langka dengan prognosis buruk. Prosedur diagnostik yang cepat, akurat dan resiko komplikasi minimal sangat dibutuhkan pada kondisi tersebut. CT guided biopsy menjadi salah satu pilihan utama. Untuk itu dilakukan studi demografi terhadap pasien dengan lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo serta evaluasi ketepatan diagnosis yang diperoleh melalui prosedur CT guided biopsy.
Metode: Penelitian ini merupakan studi demografi dan uji diagnostik prosedur CT guided biopsy pada lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, yang dilaksanakan secara cross sectional. Data dikumpulkan menggunakan rekam medis pasien selama periode Juni 2007-Juni 2017. Analisis uji diagnostik menggunakan Fischer exact test, dengan standar baku pembanding berupa hasil histopatologi dari biopsi terbuka berupa prosedur eksisi terhadap lesi.
Hasil: Didapatkan 101 penderita lesi muskuloskeletal pelvis menjalani pengobatan selama periode 2007-2017. Ketepatan diagnosis CT guided biopsy dibanding hasil biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis adalah 86,36% dalam membedakan jenis, 90,9% dalam membedakan sifat keganasan, 85% dalam membedakan lesi primer muskuloskeletal maupun metastasis, dan 90% dalam membedakan lesi tulang maupun jaringan lunak. Berdasarkan lokasi lesi pada pelvis, ketepatan diagnosis CT guided biopsy tertinggi pada Zona I (83,3%), sedangkan berdasarkan ukuran, lesi berukuran >250ml memberikan ketepatan diagnosis 88,89-100%.
Pembahasan: Data demografi menunjukkan gambaran mirip dengan literatur dan dapat digunakan sebagai data dasar dalam menegakkan diagnosis lesi muskuloskeletal pelvis. Dalam evaluasi ketepatan diagnosis, CT guided biopsy dibanding biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis memiliki ketepatan yang tinggi secara statistik sehingga menunjukkan reliabilitas kuat dan dapat diterapkan sebagai prosedur baku dalam menegakkan diagnosis.

Introduction: Pelvic musculoskeletal lesion is rare, mostly malignant with bad prognosis. Since early diagnosis of these cases require rapid, accurate, and safe diagnostic procedure, CT guided biopsy are common choice of treatment option. Since no data registered on pelvic musculoskeletal lession yet assembled, we performed demographic study on pelvic musculoskeletal lesion in Cipto Mangunkusumo hospital combined with diagnostic test of CT guided biopsy on pelvic musculoskeletal cases.
Methods: This is a demographic study and diagnostic test on CT guided biopsy performed on pelvic musculoskeletal lesion, performed cross sectionally, using medical record from June 2007-June 2017. Sampling procedure performed based on inclusion and exclusion criteria, and evaluated with Fischer exact test, p value <0,05. Histopathologic result after open biopsy described as gold standard.
Results: During present decade, 101 patients with pelvic musculoskeletal lesion treated in Cipto Mangunkusumo hospital. Compared to open biopsy, the accuracy of CT guided biopsy were 86,36% on determining type of lesion, 90,9% on determining type of malignancy, 85% on determining primary lesion to a metastasis lesion, and 90% on determining bone to a soft tissue lesion. Based on location of lesion, Zone I provide best accuracy (83,3%) while based on size, lesion sized >250% has best accuracy (88,89-100%).
Discussion: Demographic data of this study found similar to literature. These distribution data help diagnostic procedure especially in Cipto Mangunkusumo hospital. High diagnostic accuracy of CT guided biopsy, support that the procedure is strongly reliable, and reasonably considered as a standard operational procedure on diagnostic of pelvic musculoskeletal lesion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library